Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175252 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kurnia Natalia Kusumo
"ABSTRAK
Latar Belakang :Maturasi skeletal sangat penting diperhatikan dalam Ilmu Bedah Mulut dan Maksilofasial karena pada beberapa kasus diperlukan maturitas skeletal yang telah selesai untuk penatalaksanaan tindakan bedah. Kasus tersebut antara lain dalam menangani Fibrous dysplasia, tindakan bedah orthognatik dan pemilihan pemakaian jenis plate pada masa pertumbuhan. Maturasi skeletal sangat penting diperhatikan karena apabila tindakan bedah dilakukan sebelum terjadinya maturasi skeletal akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tulang wajah. Maturasi skeletal ini merupakan usia biologis dari manusia dimana antara usia biologis dan usia kronologis belum tentu sama perkembangannya. Penentuan usia skeletal seringkali dilakukan dengan bantuan radiograf tangan dan sefalometri lateral yang menunjukkan adanya korelasi antara pertumbuhan tubuh dengan tulang-tulang wajah. Kedua analisis radiograf ini dapat membantu memberikan petunjuk mengenai usia skeletal seseorang yaitu melalui maturasi skeletal indeks (SMI) dan maturasi vertebra servikalis indeks. Tujuan :Menganalisis apakah ada perbedaan maturasi skeletal antara kelompok ras Proto-Melayu dan Deutro-Melayu melalui analisa maturasi skeletal indeks dan maturasi vertebra servikalis indeks. Bahan dan Cara : Dilakukan pengambilan rontgen foto karpal tangan kiri dan sefalometri lateral pada setiap sampel , hasil radiograf dilakukan tracing tanpa diketahui asal suku dan usia yang kemudian dilakukan analisa dengan maturasi skeletal indeks pada rontgen foto karpal tangan kiri dan maturasi vertebra servikalis indeks pada sefalometri lateral. Dari data yang didapat dilakukan uji statistik chi-square. Hasil : Hasil uji statistik memperlihatkan perbedaan maturasi skeletal yang bermakna antara kelompok ras Proto-Melayu dan Deutro-Melayu baik pada analisa maturasi skeletal indeks dan maturasi vertebra servikalis indeks. Kedua indeks tersebut dilakukan uji statistik Kappa untuk melihat kesesuaian diantara keduanya dan nilai ρ nya memnunjukka kesesuaian yang baik diantara kedua indeks tersebut. Kesimpulan : Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara maturasi skeletal kelompok ras Proto-Melayu dibandingkan dengan Deutro-Melayu .

ABSTRACT
Background: Skeletal maturation is important to in Oral and Maxillofacial Surgery because in some cases required skeletal maturity has been completed for surgical management. The case is among others in dealing with fibrous dysplasia, and the selection of surgical orthognatik use types during the growth plate. Skeletal maturation is important because if the surgery is performed prior to skeletal maturation would greatly affect the growth and development of facial bones.Skeletal maturation is a biological age of humans in which the biological age and chronological age is not necessarily the same development. Determination of skeletal age is often assessed with hand wrist and sefalometri lateral radiographs showing a correlation between the growth of the body with the bones of the face. Both the analysis of radiographs may help provide a skeletal age is through skeletal maturation index (SMI) and the cervical vertebrae maturation index. Objective: To analyze whether there are any differences in skeletal maturation between Proto-Malay and Deutro-Malay assessed with skeletal maturation index (SMI) and Cervical Vertebrae Maturation Index. Material and Method: Carpal x-ray image of the left hand and sefalometri lateral on each sample, the results of tracing both radiograph performed analysis with Skeletal Maturation Index (SMI) on the left hand carpal x-ray images and the Cervical Vertebrae Maturation Index (CVM) on the lateral sefalometri. The data was performed statistical analysis chi-square test. Results: The test results showed statistically significant differences in skeletal maturation between Proto-Malay and Deutro-Malay on both index , the analysis of skeletal maturation index and the cervical vertebrae maturation index. The Kappa statistical test was perform to see compatibility between SMI and CVM, and the ρ value show the good compatibility between the two indexes. Conclusion: From this study it can be concluded that there were significant differences Protomalay Skeletal Maturation compared with Deutromelayu."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T32163
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lathana Larissa Adrine
"Latar Belakang: Penentuan usia dental dan skeletal sangat penting dalam perawatan ortodonti. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode Demirjian dan Baccetti. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kalsifikasi gigi dapat menjadi salah satu evaluasi usia skeletal. Tujuan: Mengetahui korelasi antara usia dental berdasarkan maturasi gigi dengan usia skeletal berdasarkan maturasi tulang servikal. Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan 96 sampel berupa radiograf panoramik dan sefalometri lateral dari satu pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Metode Demirjian dan metode Baccetti digunakan untuk mengevaluasi usia dental dan skeletal. Uji korelasi Spearman dilakukan untuk mengetahui korelasi antara usia dental dan skeletal. Hasil: Terdapat korelasi sangat kuat antara skor maturasi gigi dengan maturasi tulang servikal pada laki-laki (r = 0,858, p = 0,000) dan perempuan (r = 0,807, p = 0,000). Korelasi paling kuat pada laki-laki terlihat pada kalsifikasi gigi molar 2 (r = 0,850, p = 0,000), sementara pada perempuan terlihat pada kalsifikasi gigi kaninus (r = 0,805, p = 0,000). Kesimpulan: Korelasi sangat kuat antara usia dental berdasarkan maturasi gigi dan usia skeletal berdasarkan maturasi tulang servikal menunjukkan potensi penggunaan usia dental untuk memperkirakan usia skeletal. Namun, terdapat variasi kekuatan korelasi antar kalsifikasi gigi dengan usia skeletal.

Background: Determining dental and skeletal age is critical in orthodontic treatment. The Demirjian and Baccetti method is one of various approaches to evaluate dental and skeletal age. Related research indicates that tooth calcification can serve as a primary diagnostic tool to determine skeletal age. Objective: To assess the correlation between dental age based on tooth maturation and skeletal age based on cervical vertebrae maturation. Methods: This study involved 96 panoramic and lateral cephalometric radiographs from patients who met inclusion criteria. The Demirjian method was used to assess dental age, while the Baccetti method was used for skeletal age, spearman correlation tests were conducted to evaluate the correlation. Results: A strong correlation was found between tooth maturation scores and cervical vertebrae maturation in males (r = 0,858, p = 0,000) and females (r = 0,807, p = 0,000). In males, the strongest correlation occurred in the second molar (r = 0,850, p = 0,000), while in females it occurred in the canine (r = 0,805, p = 0,000). Conclusion: Dental age based on tooth maturation strongly correlates with skeletal age based on cervical vertebral maturation, suggesting its potential use to estimate skeletal age, but variability exists among tooth types."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Loes D. Sjahruddin
"Indonesian Journal of Dentistry 2006; Edisi Khusus KPPIKG XIV: 134-138
One of the growth indicators that can be used to assess a child's developmental growth is through skeletal maturation. Skeletal maturity can be evaluated by using anatomical changes of the cervical vertebral bones observed on the lateral cephalometric radiographs. The purpose of this study was to determine the stage of cervical vertebrae maturation of Hb E B thalassemia patients by comparing the shape changes of the second to fourth cervical vertebrae bodies with a control group. The design of this study was a cross sectional. The subjects were children with Hb E B thalassemia aged 9-14 years. The results showed that the retarded maturation of the cervical vertebrae in Hb E B thalassemia was not found in subjects of pre-puberty age (9-11 years old), but in those of puberty age (12-14 years old).;One of the growth indicators that can be used to assess a child's developmental growth is through skeletal maturation. Skeletal maturity can be evaluated by using anatomical changes of the cervical vertebral bones observed on the lateral cephalometric radiographs. The purpose of this study was to determine the stage of cervical vertebrae maturation of Hb E B thalassemia patients by comparing the shape changes of the second to fourth cervical vertebrae bodies with a control group. The design of this study was a cross sectional. The subjects were children with Hb E B thalassemia aged 9-14 years. The results showed that the retarded maturation of the cervical vertebrae in Hb E B thalassemia was not found in subjects of pre-puberty age (9-11 years old), but in those of puberty age (12-14 years old)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2006
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ruthy Yulianti
"Latar Belakang : Sefalometri lateral merupakan pemeriksaan radiograf penunjang yang menjadi standar utama dalam mengetahui kelainan kompleks kraniofasial anak terutama pada kelainan pola skeletal serta menegakkan diagnosis dan penentuan rencana perawatan. Sefalometri memiliki efek paparan radiasi yang kumulatif dan dapat menginduksi kematian sel sehingga dapat merusak fungsi organ. Sekarang ini, terdapat pergeseran paradigma tujuan perawatan ortodontik yang lebih mengutamakan penilaian jaringan lunak. Fotometri lateral telah digunakan sebagai alat diagnostik non-invasif dan dapat memprediksi nilai keselarasan skeletal. Analisis fotometri dinilai lebih efektif, andal, dan ekonomis dalam menilai morfologi kraniofasial profil wajah. Tujuan : Menganalisa perbedaan jarak dan sudut radiografi sefalometri terhadap fotometri lateral pada anak dengan maturasi vertebra servikal tahap dua dan tiga ras Deutro Melayu sebagai landasan dalam penentuan diagnosis dan rencana perawatan. Metode Penelitian: Penelitian potong lintang dengan total subyek 38 anak dengan CVS 2 – CVS 3 ras Deutro Melayu. Pengambilan radiograf sefalometri lateral dan fotometri lateral serta dianalisis menggunakan aplikasi perangkat lunak (Webceph). Hasil : Tidak terdapat perbedaan signifikan antara sudut SNA, jarak NA, dan jarak FHP pada sefalometri lateral dengan sudut TrgNA, jarak N’A’, dan jarak FHP’ pada fotometri lateral. Kesimpulan : Fotometri lateral dapat dipertimbangkan menjadi alternatif dalam mengevaluasi kelainan kraniofasial yang lebih sederhana, eknomis, dapat dilakukan berulang dan bersifat radioproteksi.

Background: Lateral cephalometry is a supporting radiograph examination that is the main standard in finding out the abnormalities of the pediatric craniofacial complex, especially in skeletal pattern abnormalities and establishing a diagnosis and determining a treatment plan. Cephalometry has the effect of cumulative radiation exposure and can induce cell death that damage organ function. Currently, there is a paradigm shift in orthodontic treatment goals that prioritizes soft tissue assessment. Lateral photometry has been used as a non-invasive diagnostic tool and can predict skeletal alignment. Photometric analysis is considered more effective, reliable, and economical in assessing the craniofacial morphology of the facial profile. Objective: To analyze the difference in distance and angle of cephalometric radiographs to lateral photometry in children with stage two and three cervical vertebra maturation of the Deutro Malay race as a basis for determining the diagnosis and treatment plan. Methods: A cross-sectional study with a total of 38 subjects with CVS 2 - CVS 3 of Deutro Malay race. Lateral cephalometry and lateral photometry radiographs were taken and analyzed using a software application (Webceph). Results: There is no significant difference between SNA angle, NA distance, and FHP distance in lateral cephalometry with TrgNA angle, N'A' distance, and FHP' distance in lateral photometry. Conclusion: Lateral photometry can be considered as an alternative in evaluating craniofacial abnormalities that are simpler, economical, repeatable and radioprotective."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rino Meridian
"

Latar belakang: Hemodialisis merupakan salah satu tatalaksana penting yang dilakukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK) stadium 5 atau penyakit ginjal stadium akhir. Komplikasi akses hemodialisis lebih rendah pada penggunaan akses hemodialisis autogen dibandingkan dengan penggunaan akses prostetik. Maturitas fistula arteriovena sangat menentukan keberhasilan suatu akses vaskular untuk hemodialisis. Pemeriksaan  Volume flow pada draining vein yang sesuai dengan kriteria K/DOQI dapat menentukan maturitas suatu akses fistula arteriovena (FAV) . Pada penelitian ini diharapkan volume flow pada arteri brachialis dapat mewakili volume flow pada draining vein dalam menentukan maturitas suatu FAV. Subjek dan Metode : subjek adalah pasien pasien dengan PGK stadium 5,  sudah menjalani pembuatan FAV brachiosefalika usia 6 minggu dan sudah menjalani hemodialisa. Pada pasien diukur volume flow arteri brachialis dan draining vein dengan usg Doppler probe linier. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang  untuk mendapatkan hubungan volume flow arteri brachialis dengan maturitas FAV brachiosefalika. Hasil : FAV brachiosefalika (n=80) usia 6 minggu dievaluasi. Pada FAV brachiosefalika matur, didapatkan rerata volume flow arteri brachialis (1901±1030) sedangakan yang tidak matur didapatkan rerata volume flow arteri brachialis (563±152). Sedangkan rerata volume flow draining vein pada FAV brachiosefalika matur (2707±1717) lebih tinggi dari tidak matur (500±73). Pada arteri brachialis didapatkan cut-off sebesar 700 ml/mnt dengan sensitifitas 98,44 %, spesifisitas 87,5 %, positive predictive value 96,92 %, negative predictive value 93,33 % dan akurasi 96,25 %. Kesimpulan : volume flow arteri brachialis > 700 ml/mnt, memiliki nilai predictor yang baik untuk menilai maturasi FAV brachiosefalika, sehingga didapatkan nilai yang lebih akurat dan cepat dalam menilai maturasi suatu FAV.


Background: Hemodialysis is one of the important treatments in patients with stage 5 chronic kidney disease (CKD) or end-stage renal disease. Complications of hemodialysis access are lower in the use of access to autogenous hemodialysis compared to the use of prosthetic access. The maturity of arteriovenous fistula greatly determines the success of a vascular access to hemodialysis. The maturity of arteriovenous fistula depends on the preoperative preparation of arteriovenous fistula making. Examination of volume flow in draining veins that are in accordance with K / DOQI criteria can determine the maturity of an arteriovene fistula access (FAV). In this study it is expected that the volume flow in the brachial artery can represent volume flow in the draining vein in determining the maturity of an FAV. Subjects and Methods: Subjects were patients with stage 5 CKD, who had  brachiosefalic FAV 6 weeks of age and had hemodialysis. The patient measured brachial artery flow volume and draining vein with linear ultrasound Doppler probes. This study used a cross-sectional design to obtain a relationship between the volume flow of the brachial artery and the brachiosefalic FAV maturity. Result : Brachiocephalic FAV (n = 80) 6 weeks of age were evaluated. In the mature brachiosefalic FAV, the mean volume flow of brachial artery was (1901 ± 1030) while the non-mature FAV, the volume flow was (563 ± 152). While the mean volume flow of draining vein in mature brachiocephalic FAV (2707 ± 1717) is higher than immature (500 ± 73). The brachial artery obtained a cut-off of 700 ml / min with sensitivity of 98.44%, specificity of 87.5%, positive predictive value of 96.92%, negative predictive value of 93.33% and accuracy of 96.25%. Conclusion: Brachial artery flow volume> 700 ml / min, has a good predictor value for assessing brachiosefalic FAV maturation, so that a more accurate and faster value is obtained in assessing the maturation of a FAV.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58712
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuhanes Pramono
"Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, keadaan berubah dengan sangat drastis dimana ketika berlakunya peraturan yang lama yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah, Kewenangan Daerah Kota/Kabupaten sangat terbatas oleh karena semua sudah ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Sebaliknya sekarang ini kewenangan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten menjadi lebih luas oleh karena tidak lagi dibatasi oleh Pemerintah Pusat, kecuali 4 (em pat) urusan yang tidak diserahkan kepada Daerah, yaitu urusan: luar negeri, pertahanan dan keamanan, agarna dan peradilan.
Tentu saja setiap daerah tidak selalu sama dalam menyelenggarakan urusan yang menjadi kewenangannya, tergantung dari karakteristik yang dimiliki kebutuhan masyarakat di daerah tersebut. Yang pasti urusan yang diselenggarakan Pemerintah Daerah sekarang ini lebih banyak dibandingkan di masa lalu.
Kondisi seperti ini menuntut Pemerintah Daerah harus lebih tanggap dan sigap dalam merespon dan mengakomodir apa yang menjadi kebutuhan masyarakat di daerah. Inti penyelenggaraan pemerintah di daerah adalah memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat di daerah sehingga tercapai kesejahteraan di wilayah tersebut.
Kewenangan yang diserahkan dari atas itu akanditurunkan sampai ke tingkat yang paling rendah yaitu Desa/Kelurahan. Untuk Surakarta yang berbentuk kota maka tingkat pemerintah yang paling rendah adalah Kelurahan. Boleh jadi kelurahan merupakan ujung tombak pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat_ Oleh karena itu kelurahan bisa menjadi cermin penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintah kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan pelayanan yang prima terhadap masyarakat diperlukan kinerja yang prima dari para pegawai di lingkungan kelurahan. Kinerja pegawai memliki hubungan yang erat dengankonsiderasi dan kedewasaaa pegawai.
Penelitian tentang kinerja pegawai menarik untuk dilakukan, karena dengan tingkat kinerja yang baik para pegawai kelurahan maka menghasilkan kinerja organisasi yang baik pula sehingga apa yang menjadi tujuan organisasi bisa tercapai, yaitu terpenuhinya apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Kinerja pegawai dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: gaji, minat, bakat, jenis pekerjaan, gaya kepemimpinan, kebijakan organisasi, kondisi kerja, kepribadian, rekan kerja dan berbagai karakteristik individu pegawai seperti pendidikan, jenis kelamin, usia, masa kerja, jabatan dan sebagainya.
Yukl(1989) berpendapat bahwa bahwa untuk meningkatkan kinerja pegawai perlu diperhatikan adanya lima dimensi konsiderasi, yaitu: penjagaan pintu, penyelarasan, penyokongan, penetapan pedoman dan penguraian proses. Hersey dan Blanchard (1984) menyatakan bahwa kedewasaan pegawai merupakan variabel moderator yang mempengaruhi hubungan antara konsiderasi dan kinerja pegawai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan variabel moderator kedewasaan pegawai dalam mempengaruhi hubungan antara konsiderasi dan kinerja pegawai di lingkungan kelurahan kota Surakarta dengan asumsi bahwa pegawai yang memiiiki kedewasaan pegawai yang tinggi akan merespon secara lebih positif terhadap konsiderasi dibandingkan pegawai dengan kedewasaan yang rendah.
Subyek penelitian yang dipi1ih adalah para pegawai Kelurahan Kota Surakarta dengan sampel sebanyak 52 orang dari jumlah populasi sebanyak 357 orang. Kepada para responden diminta untuk menjawab kuesioner yang berisi pernyataan-pemyataan dari variabel-variabel penelitian.
Sebelum instrumen penelitian digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji coba terhadap 30 responden untuk mengetahui apakah instrumen penelitian tersebut valid dan variabel. Dengan menggunakan metode Alpha Cranbach, hasil perhitungan menunjukkan instrumen penelitian valid dan reliabel untuk digunakan dalam penelitian ini.
Karena jenis penelitian ini non parametris dan berskala ordinal, maka teknik uji korelasi yang digunakan adalah korelasi Jenjang Kendall (tau). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara konsiderasi dan kinerja pegawai, dengan kekuatan hubungan pada tingkat rendah (t = 0, 356 ).
Untuk mengetahui pengaruh kedewasaan pegawai terhadap hubungan antara konsiderasi dan kinerja pegawai digunakan teknik korelasi parsial Kendall. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan angka korelasi dan 0,356 menjadi 0,271. Artinya bahwa kedewasaan pegawai mempengaruhi (memperkuat) hubungan antara konsiderasi dan kinerja pegawai. Hasil penelitian juga ienunjukkan bahwa koefisien korelasi Kendall pada kelompok responden dengan kedewasaan yang tinggi sebesar 0,897 lebih kuat dibandingkan pada kelompok responden dengan kedewasaan yang rendah sebesar 0,858.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel kedewasaan pegawai merupakan moderator yang mempengaruhi (memperkuat) hubungan antara konsiderasi dan kinerja pegawai di lingkungan Kelurahan Kota Surakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rum
"LatarBelakang: Struktur dentokraniofasial pada anak dengan celah bibir dan langit-langit yang ditangani dengan prosedur bedah, akan mempengaruhi pertumbuhan maksila, namun tidak mempengaruhi struktur dan posisi mandibula. Disproporsional atau kelainan dentofasial dapat terjadi apabila pertumbuhan maksila tidak sejalan dengan pertumbuhan mandibula sehingga untuk mencapai keberhasilan perawatan perlu memperhatikan keadaan pertumbuhan dan perkembangan anak terutama pada kasus yang diindikasikan perawatan orthodonti disertai bedah orthognatik, dimana waktu dilakukan bedah pada saat pertumbuhan telah selesai. Dalam mengidentifikasi tahap pertumbuhan dapat digunakan beberapa indikator seperti usia kronologis, tinggi dan berat badan, perkembangan gigi geligi dan karakteristik maturasi seksual yaitu menstruasi pada wanita dan perubahan suara pada pria. Indikator lainnya adalah perkembangan skeletal yang umumnya dilakukan melalui pemeriksaan foto radiografik. Penentuan maturasi skeletal dengan mengevaluasi marurasi tulang karpal, sangat membantu untuk menetapkan diagnosis dan merencanakan perawatan yang tepat.
Tujuan: Untuk menilai tahap maturasi tulang karpal penderita celah bibir dan/atau langitlangit usia 15 - 20 tahun.
Bahan dan Cara : Dilakukan pengambilan rontgen foto karpal tangan kiri pada 25 sampel, hasil radiografi dilakukan analisa dengan maturasi skeletal indeks. Dari data yang didapat dilakukan uji statistik chi-squere.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tahap maturasi tulang karpal pada penderita celah bibir dan langit-langit pada kelompok umur 15-17 tahun, sangat bervariasi. Pada kelompok umur 18-20 tahun, baik lakilaki dan perempuan tahap maturasi skeletal telah selesai. Hasil uji statistik memperlihatkan perbedaan maturasi skeletal yang bermakna antara laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan :.Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara maturasi skeletal kelompok laki-laki dibandingkan kelompok perempuan pada penderita celah bibir dan/atau langit-langit.

Background : Dentocraniofacial structure in children with cleft lip and palate treated with surgical procedures, will affect the growth of the maxilla, but does not affect the structure and position of the mandible. Disproportionate or dentofacial abnormalities can occur when the growth of the maxilla is not in line with the growth of the mandible so as to achieve treatment success should pay attention to the state of growth and development of children, especially in the case of the indicated treatment with surgical orthodontic orthognatic, where surgery is the time when growth has been completed. In the growth stage can be used to identify some indicators such as chronological age, height and weight, the development of teeth and characteristics of sexual maturation that menstruation in women and in men the sound changes. Another indicator is the skeletal development which is generally done through radiographic examination. Determination of skeletal maturation by evaluating marurasi carpal bones, is helpful to establish the diagnosis and appropriate treatment plan.
Objectives : To assess patients with carpal bone maturation stage cleft lip and/or palate aged 15-20 years.
Material and Method : Hand wrist x-ray image of the left hand on 25 sample, result of radiograph performed analysis with Skeletal Maturation Index (SMI). The data was performed statistical analysis chi-squere test.
Results : The results showed carpal bone maturation stage in patients with cleft lip and palate in the age group 15-17 years, are very varied. In the age group 18-20 years, both male and female skeletal maturation stage has been completed. The test result showed statistically differences in skeletal maturation between male and female with cleft lip and palate on Skeletal Maturation Index (SMI).
Conclusion: From this study it can be conclude that there significant differences male skeletal maturation compared to female of children with cleft lip and palate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Setyoadi
"

Latar Belakang: Beberapa gen yang terekspresi spesfik di epididimis diduga

terlibat dalam proses pematangan sperma. Karakteristik gen yang terlibat dalam
pematangan sperma selain ekspresinya spesifik di epididimis juga dipengaruhi
oleh androgen, faktor testikuler, dan terekspresi pada saat masa pubertas. Salah
satu famili gen yang cukup banyak ditemukan terekspresi di epididimis adalah
Beta Defensin. Gen Beta Defensin diketahui memiliki peran sebagai pertahanan
terhadap mikroba, namun diduga memiliki keterlibatan dalam proses pematangan
sperma karena ekspresinya banyak ditemukan di epididimis. Oleh karena itu,
penelitian pada gen Beta Defensin terhadap perannya dalam proses pematangan
sperma perlu dilakukan. Berdasarkan studi sebelumnya diketahui bahwa salah
satu gen Beta Defensin yang terekspresi di epididimis yaitu Beta Defensin 2
(Defb2), namun karakterisasi terhadap gen ini belum dilakukan. Dengan
demikian, pada penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi gen Defb2 terkait
dengan perannya pada proses pematangan sperma.
Metode: Analisis bioinformatika digunakan untuk mendapatkan informasi
mengenai struktur gen, signal peptide, dan domain fungsional pada gen Defb2.
Analisis qRT-PCR untuk mengetahui ekspresi relatif gen Defb2 pada berbagai
jaringan, regulasinya oleh androgen, pengaruh dari faktor testikular dan
ekspresinya pada perkembangan postnatal.
Hasil: Defb2 merupakan protein sekretori karena memiliki signal peptide. Defb2
memiliki domain fungsional berupa N-myristoylation dan protein kinase-C. Gen
Defb2 terekspresi spesifik di epididimis khususnya pada bagian caput epididimis.
Defb2 ekspresinya dipengaruhi oleh androgen terbukti setelah perlakuan
gonadektomi, ekspresi Defb2 menjadi menurun dan kembali mengalami kenaikan
ketika diberikan testosteron eksogen. Defb2 juga ekspresinya dipengaruhi oleh
faktor testikuler terbukti setelah diberi perlakuan
Efferent Duct Ligation (EDL)
maka ekspresi Defb2 langsung menurun bahkan terjadi apoptosis sel sehingga
pola ekspresi gen Defb2 sudah tidak bisa diamati. Begitu juga pada analisis
postnatal development terlihat ekspresi gen Defb2 mulai terdeteksi jelas pada hari
ke-15 yang merupakan masa pubertas mencit jantan.
Kesimpulan: Defb2 merupakan gen yang terlibat dalam proses pematangan
sperma di epididimis yang dibuktikan dengan ekspresi spesifik di epididimis,
diregulasi oleh androgen dan faktor testikuler, serta mulai terekspresi pada masa
pubertas.


Background: Some of the specific genes expression in the epididymis are

suspected to be involved in the process of sperm maturation. Characteristics of the
genes involved in sperm maturation in the epididymis-specific expression in
addition also influenced by androgens, testicular factors, and expressed at the time
of puberty. One of a family of genes that is pretty much found expressed in the
epididymis is a Beta Defensins. Beta Defensin genes known to have a role as a
defence against microbes, but suspected to have involvement in the process of
sperm maturation because the expression is found in the epididymis. Therefore,
research on Beta Defensin genes against its role in sperm maturation process
needs to be done. Based on previous studies it is known that one of the Beta
Defensin genes which expressed in the epididymis that is Beta Defensins 2
(Defb2), but the characterization of this gene has not been made against. Thus,
this research aims to characterize genes associated with the Defb2 role in the
process of sperm maturation.
Methods: Bioinformatics analysis was used to obtain information about the
structure of genes, signal peptides, and functional domains of the Defb2 gene.
qRT-PCR analysis to find out the relative gene expression of Defb2 on various
tissue, regulation by androgens, the effect of testicular factors and its expression
in postnatal development.
Results: Defb2 is a secreted protein because it has signal peptides. Defb2 has a
functional domain in the form of N-myristoylation and kinase-C protein. Specific
genes expression of Defb2 in the epididymis is especially in the caput epididymis.
Defb2 expression influenced by androgens is proven after the gonadectomy, the
expression of Defb2 to be decreased and start increase again when exogenous
testosterone is given. Defb2 also its expression influenced by testicular factors
that proven after being given the treatment by Efferent Duct Ligation (EDL), then
the Defb2 expressions directly decreased and the cell apoptosis occurs even so
that the pattern of gene expression Defb2 already could not be observed. So also
on analysis of postnatal development seen gene expression Defb2 begins to be
detected clearly at day 15 which is a male mice puberty.
Conclusions: Defb2 is a gene which is involved in the process of maturation of
sperm in the epididymis that is evidenced by specific expression in the
epididymis, be regulated by androgens and testicular factors, and as well as start
expressed at puberty.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syaifiyatul H.
"[ABSTRAK
Latar belakang: Pematangan sperma di epididimis terjadi melalui interaksi
antara protein yang disekresikan oleh epitel dengan spermatozoa. Proses tersebut
diregulasi oleh androgen dan lingkungan spesifik di region epididimis. Androgendependent
gene yang hanya terekspresi di region tertentu namun tidak terekspresi
di region lain menimbulkan dugaan peran androgent reseptor (AR) koregulator.
Gelsolin (Gsn) adalah AR koregulator ditemukan predominan di epididimis
Holstein, namun perannya masih belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkarakterisasi Gsn pada epididimis mencit.
Metode: In silico untuk memprediksi struktur gen dan domain fungional.
Quantitative Real Time RT-PCR untuk menganalisa sebaran jaringan,
ketergantungan terhadap faktor endokrin dan faktor testikular, dan regulasi
postnatal.
Hasil: Gsn merupakan protein yang mengandung signal peptide. Ekspresi Gsn
tidak spesifik di epididimis. Gsn dipengaruhi oleh androgen dan faktor testikular.
Pasca gonadektomi, ekspresi Gsn menurun setelah 3 hari dan injeksi T eksogen
meningkatkan ekspresi Gsn. Hasil ini diperkuat dengan pemberian flutamide yang
menurunkan ekspresi Gsn. Ekspresi Gsn pada perkembangan individu konstan
postnatal 5 hari.
Kesimpulan: Gsn adalah protein yang disekresikan oleh epitel epididimis,
diregulasi oleh androgen dan faktor testikular. Ekspresi Gsn yang tidak spesifik
pada region tertentu di epididimis, diperlukan penelitian lanjut untuk mengetahui
peran Gsn dalam menentukan ekspresi gen-gen yang terlibat dalam pematangan
sperma.

ABSTRACT
Background: Sperm maturation in epididymis occurs through interaction
between proteins secreted by epithels with spermatozoa. The process is regulated
by androgen and specific environment in epididimal region. The androgendependent
gene that is only expressed in a particular region, but not expressed in
other regions led to allegations of androgen receptor (AR) coregulator action.
Gelsolin (Gsn) is AR coregulator found predominant in epididimal Holstein, but
its role still unknown. The aim is to characterize Gsn in mouse epididymis.
Methods: In silico analyses to predict gene strucure and functional domain.
Quantitative Real Time RT-PCR to analyse tissue distribution, androgen
dependent, testicular factor and postnatal regulation.
Results: Gsn is protein that contains signal peptide. Gsn is not spesific expressed
in epididymis. It is regulated by androgen and testicular factor. Post gonadectomy,
Gsn expression decrease in 3 days while injected by T exogen increasing Gsn
expression. This expression confirmed by flutamide that decreasing Gsn
expression. Gsn expression was constant at day 5 in postnatal development.
Conclusions: Gsn is protein that secreted by epididymal epitels and regulated by
androgen and testicular factor. Gsn expression was not spesific in epididymal
region. It is needed to do future research to know the role of Gsn in determining
genes expression that related to sperm maturation, Background: Sperm maturation in epididymis occurs through interaction
between proteins secreted by epithels with spermatozoa. The process is regulated
by androgen and specific environment in epididimal region. The androgendependent
gene that is only expressed in a particular region, but not expressed in
other regions led to allegations of androgen receptor (AR) coregulator action.
Gelsolin (Gsn) is AR coregulator found predominant in epididimal Holstein, but
its role still unknown. The aim is to characterize Gsn in mouse epididymis.
Methods: In silico analyses to predict gene strucure and functional domain.
Quantitative Real Time RT-PCR to analyse tissue distribution, androgen
dependent, testicular factor and postnatal regulation.
Results: Gsn is protein that contains signal peptide. Gsn is not spesific expressed
in epididymis. It is regulated by androgen and testicular factor. Post gonadectomy,
Gsn expression decrease in 3 days while injected by T exogen increasing Gsn
expression. This expression confirmed by flutamide that decreasing Gsn
expression. Gsn expression was constant at day 5 in postnatal development.
Conclusions: Gsn is protein that secreted by epididymal epitels and regulated by
androgen and testicular factor. Gsn expression was not spesific in epididymal
region. It is needed to do future research to know the role of Gsn in determining
genes expression that related to sperm maturation]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilwah Nora
"Pengantar: Dalam siklus teknologi reproduksi berbantu TRB , sebanyak 30 oosit ditemukan dalam keadaan immatur, oosit immatur ini akan yang memiliki kapasitas maturasi dan fertilisasi yang rendah, dan jarang sampai ketahap embrio transfer, namun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hal in belum diketahui secara luas.
Tujuan: Untuk melihat hubungan antara maturitas oosit dengan kadar hCG serum 12 jam pasca penuntikan dan ekspresi mRNA LHR sel granulosa pada siklus TRB. Untuk menilai apakah kadar hCG serum dan ekspresi LHR ini bisa memprediksi laju maturasi oosit pada siklus TRB.
Material dan Metode: total 30 sampel normoresponder yang mengikuti TRB dengan protocol antagonis dianalisa secra prospektif. Dua belas jam setelah penyuntikan hCG, kadar hCG serum diukur dan petik oosit melalui USG transvaginal dilakukan 35-36 jam kemudian. Sel granulosa oosit diperoleh saat denudasi oosit untuk proses intracytoplasmic sperm injection ICSI dan sel granulosa ini kemudian diproses RNA prufikasi, reverse transcription dan quantitative real-time polymerase chain reaction PCR . Oosit yang diperoleh saat itu langsung dinilai maturasinya. Test korelasi Pearson dilakukan untuk menilai korelasi laju maturasi oosit dengan kadar hCG dan ekspresi mRNA LHR. Analisa Receiver Operating Characteristic ROC dilakukan untuk menentukan nilai cut-off.
Hasil: Kadar hCG seum memiliki korelasi positif dengan maturitas oosit r 0.467, p

Introduction: During stimulated in vitro fertilization IVF cycle, up to 30 of the recovered oocytes are immatur ones which have lower maturation capacity, poor fertilization capacity and seldom yield transferable embryos however, the precise influencing factors are largely unknown.
Aim: To investigate the association of oocyte maturation with serum hCG levels measured 12 hours after trigger and LHr mRNA expression of granulosa cell in IVF cycles. To find out whether this serum hCG levels and expression of mRNA LHr granulosa cell can predict oocyte maturation rate in IVF cycles.
Material and Method A total of 30 normoresponder IVF cycles stimulated by antagonist protocol were analyzed prospectively. Twelve hours after triggering by exogenous hCG, level of hCG serum was measured and an ultrasound guided retrieval of oocytes was performed 35 36 hours later. Granulosa cells were obtained during oocyte denudation for intracytoplasmic sperm injection ICSI procedures and subjected to total RNA purification, reverse transcription and quantitative real time polymerase chain reaction PCR. Oocytes were stripped immediately after retrieval and maturation was assessed at this time. Pearson 39 s correlation test performed to analyze the correlation of oocyte maturation rate with serum hCG level and expression mRNA LHR. Receiver operating characteristic ROC analysis was performed to determine cut off value.
Result: Serum hCG have positive correlation with oocyte maturation r 0.467, p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>