Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169599 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Martalena
"ABSTRAK
Latar Belakang: Hiperglikemia admisi sebagai prediktor MACE pada SKA telah banyak diteliti, namun belum ada yang memperhatikan kesintasannya. Indonesia (ICCU RSCM khususnya), belum memiliki data epidemiologis mengenai hiperglikemia admisi pada SKA maupun pengaruhnya terhadap MACE dan kesintasannya. Penelitian ini dilakukan agar menjadi landasan untuk stratifikasi risiko selama perawatan.
Tujuan: Mengkaji hiperglikemia admisi sebagai prediktor MACE dan mengetahui kesintasan
terhadap MACE pada berbagai kelompok hiperglikemia admisi pada SKA selama perawatan.
Metode: Kohort retrospektif dengan pendekatan analisis kesintasan terhadap 442 pasien SKA yang dirawat di ICCU RSCM Januari 2008-Mei 2012, terbagi 3 kelompok berdasarkan gula darah admisi (GD ≤140mg/dl, 141-200mg/dL, >200mg/dL). Kurva Kaplan Meier digunakan untuk mengetahui kesintasan masing-masing kelompok. Analisis bivariat mengunakan uji log-rank, analisis multivariat menggunakan cox proportional hazard regression. Besarnya hubungan variabel hiperglikemia admisi dengan MACE dinyatakan dengan crude HR dan IK 95% serta adjusted HR dan IK 95% setelah memasukkan variabel perancu.
Hasil dan pembahasan: 63 (14,25%) pasien mengalami MACE dengan kesintasan rata-rata 6,373 hari; SE 0,076 dan IK 95% 6,225-6,522. Analisis bivariat menunjukkan hubungan bermakna antara hiperglikemia admisi dengan kesintasan MACE (p<0,001). MACE tercepat terjadi berturut-turut pada GD admisi >200mg/dL, 141-200mg/dL, dan ≤140mg/dL dengan rata-rata kejadian secara berturut-turut pada hari perawatan ke-5,989; 6,078; 6,632. Analisis multivariat menunjukkan hiperglikemia admisi merupakan prediktor independen MACE selama perawatan (Adjusted HR 2,422; IK 95% 1,049-5,588 untuk GD admisi 141-200mg/dL dan Adjusted HR 3,598; IK 95% 1,038-12,467 untuk GD admisi >200mg/dL).
Simpulan: Kesintasan MACE pada pasien SKA selama 7 hari perawatan di ICCU RSCM adalah 85,7%, dan terdapat perbedaan kesintasan antara berbagai kelompok hiperglikemia admisi terhadap terjadinya MACE. Semakin tinggi kadar gula darah, semakin buruk kesintasannya (semakin tinggi risiko dan semakin cepat pula terjadi MACE)

ABSTRACT
Background: Hyperglycemia on admission as a predictor for MACE in ACS has been studied for several circumstances, but none had seen it’s importance for survival. Cipto Mangunkusumo Hospital’s ICCU, had not have any epidemiological data about hyperglycemia on admission in ACS nor it’s influence to MACE and survival. This study was conducted to provide a platform for risk stratification during hospitalisation
Aim: To evaluate hyperglycemia on admission as a predictor for MACE and, to describe survival according to hyperglycemia on admission status in patients with ACS.
Methods: Retrospective cohort design and survival analysis was used to 442 ACS patients hospitalised at Cipto Mangunkusumo hospital’s ICCU between Januari 2008 and May 2012 that divided into 3 groups according to admission BG (≤140 mg/dL, 141-200 mg/dL and >200 mg/dL). Kaplan Meier curve utilised to evaluate the survival of each group. Bivariate analysis was conducted using Log-rank tes. Multivariate analysis was conducted using Cox proportional hazzard regression. The extend of relation between admission hyperglycemia and MACE was expressed with crude HR with 95% CI and adjusted HR with 95% CI after adjusting for confounders.
Results and discussion: MACE was found to happen to 63 (14.25%) patients with average survival of 6.373 days, SE 0.076 and 95% CI 6.225-6.522. Bivariate analysis found statistically significant relation hyperglycemia on between admission and MACE survival (p<0.001). MACE was significantly earlier in admission BG of >200 mg/dL, 141-200 mg/dL and ≤140 mg/dL respectively, with mean hospitalisation day at 5.989, 6.078 and 6.632 in that order. Multivariate analysis shown that hyperglycemia on admission was an independent predictor for MACE during hospitalisation (Adjusted HR 2.422; 95% CI 1.049-5.588 for BG 141-200 mg/dL and Adjusted HR 3.598; 95% CI 1.038-12.467 for BG >200 mg/dL).
Conclusion: Survival of MACE in ACS patient during 7 days hospitalisation in ICCU RSCM is 85,7%, and there was a survival difference between different admission hyperglycemia groups. The higher the blood glucose level, signify a worse survival and also faster and higher risk for MACE."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Widya Khorinal
"ABSTRAK
Latar Belakang. Hiperglikemia yang terjadi selama masa perawatan di rumah sakit pada pasien dengan penyakit kritis telah diketahui akan memberikan luaran klinis yang buruk bahkan dapat berujung pada kematian. Hiperglikemia yang terjadi pada pasien sindrom koroner akut (SKA) akan berakibat pada gangguan regenerasi sel endotel dan pembentukan pembuluh darah kolateral (revaskularisasi). Sayangnya, manajemen hiperglikemia sampai saat ini masih belum dicapai kata sepakat terutama perbedaan dalam menentuksn nilai potong dalam evaluasi glukosa lanjutan.
Tujuan. Untuk mengetahui pengaruh hiperglikemia selama perawatan terhadap kesintasan
(mortalitas) enam bulan pasien SKA dan mencari nilai potong ideal jntuk evaluasi lanjutan dan target kendali selama perawatan
Metodologi. Penelitian dilakukan secara kohort retrospestif pada pasien SKA di dirawat di instalasi ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, dengan melibatkan pasien yang dirawat sampai dengan Desember 2011. Pengambilan data subjek penelitian dilakukan melalui data sekunder dengan pendaraan rekam medis dan dilakukan secara konsekutif.
Hasil. Kami mendapatkan 807 pasien SKA selama periode Januari tahun 2000 sampai dengan Desember tahun 2011 yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Hiperglikemia selama perawatan terjadi 242 (30 %) subjek penelitian. Hiperglikemia yang memberikan pengaruh pada kesintasan enam bulan dengan meningkatkan resiko kematian (HR 2,16 dengan IK 95% 1,77 sampai 2,63). Nilai potong glukosa darah yang memberikan kemaknaan pada kesintasan berada pada nilai 142,5 mg/dL.
Kesimpulan. Pasien dengan hiperglikemia memiliki kesintasan yang lebih buruk dibandingkan pasien tanpa hiperglikemia. Nilai glukosa darah 142,5 mg/dL dapat dipergunakan sebagai nilai potong untuk evaluasi glukosa darah lanjutan selama masa perawatan.

ABSTRACT
Background. Hyperglicemia during hospitalization especially on critically ill patients has worse clinical outcome and deadly. Patient with hyperglicemiain in acute coronary syndrome (ACS) will hamper endotelial regeneration and revascularization of coronary blood vessels. Unforrtunately, up until now rate of blood glucose cut off in hyperglycemia management had not reached any consession although we undoubtfully agree that this concept is very important in evaluation and choosing goal treatment.
Aim. To determine the impact of hyperglicemia during admission in six month mortality rate of ACS patients and the best blood glucose cut off for evaluation and goal treatment.
Method. This research used retrospective cohort on ACS patients admitted in ICCU, Cipto Mangukusumo Hospital, Jakarta, untill December 2011. Subjects' data were collected through medical records consecutively.
Results. This research found that there were 807 ACS patients admitted during Januari 2000 to December 2011 that met inclusion and exclusion criterias. Hyperglicemia during admission was found on 242 (30 %) subjects. This condition statistically proven to increase six month mortality rate (HR 2, 16 with CI 95% 1,77 till 2,63). The best rate of Blood Glucose cut of for evaluation and management was 142,5mg/dL.
Conclussion. There was significant difference mortality rate between hyperglicemia patients and non hyperglicemia.Blood glucose level on 142, 5 mg/dL could be used as cut off evaluation during admission."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Berlian Indriansyah Idris
"[Pasien dengan hiperglikemia saat mengalami infark miokard akut (IMA) diketahui memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding pasien normoglikemia, terlepas dari apakah mereka diketahui memiliki diabetes
sebelumnya atau tidak. Selain itu, pasien dengan hiperglikemia mengalami luaran yang lebih buruk setelah menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKKP). Ishihara dkk. melaporkan kematian di rumah sakit yang lebih tinggi pada pasien dengan hiperglikemia, dan tidak ada perbedaan kematian yang bermakna antara pasien diabetes dengan nondiabetes.;Pasien dengan hiperglikemia saat mengalami infark miokard akut (IMA) diketahui memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding pasien normoglikemia, terlepas dari apakah mereka diketahui memiliki diabetes
sebelumnya atau tidak. Selain itu, pasien dengan hiperglikemia mengalami luaran yang lebih buruk setelah menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKKP). Ishihara dkk. melaporkan kematian di rumah sakit yang lebih tinggi pada pasien dengan hiperglikemia, dan tidak ada perbedaan kematian yang bermakna antara pasien diabetes dengan nondiabetes., Pasien dengan hiperglikemia saat mengalami infark miokard akut (IMA) diketahui memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding pasien normoglikemia, terlepas dari apakah mereka diketahui memiliki diabetes
sebelumnya atau tidak. Selain itu, pasien dengan hiperglikemia mengalami luaran yang lebih buruk setelah menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKKP). Ishihara dkk. melaporkan kematian di rumah sakit yang lebih tinggi pada pasien dengan hiperglikemia, dan tidak ada perbedaan kematian yang bermakna antara pasien diabetes dengan nondiabetes.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Setya Ardiningsih
"Hiperglikemia merupakan masalah di Indonesia yang jumlahnya semakin meningkat dan berdampak pada tingginya angka kematian penduduk. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan hiperglikemia pada orang dewasa di Kota Depok dan Kabupaten Lampung Tengah. Kedua daerah tersebut memiliki prevalensi hiperglikemia cukup tinggi, yaitu sebesar 14.4% di Kota Depok dan 7.7% di Kabupaten Lampung Tengah.
Desain penelitian adalah crossectional menggunakan data penelitian Strategi Nasional mengenai Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular 2010 dengan jumlah sampel 362 orang dewasa.
Analisis data dilaksanakan dengan Regresi Logistik Ganda dan pada permodelan akhir menunjukkan variabel lokasi penelitian (OR=11.9, 95% CI 2.04 – 69.39), tingkat pendidikan (OR= 11.25, 95% CI 1.99 – 63.44), dan asupan lemak (OR=3.44, 95% CI 1.04 – 11.44) memiliki hubungan signifikan terhadap hiperglikemia.
Lokasi penelitian memiliki nilai OR tertinggi sehingga merupakan faktor yang paling dominan terhadap hiperglikemia pada orang dewasa di Kota Depok dan Kabupaten Lampung Tengah. Kemudian terdapat enam variabel perancu (konfounder) yaitu variabel usia, variabel obesitas berdasarkan lingkar pinggang, variabel asupan energi, variabel konsumsi nasi, konsumsi mi, dan konsumsi singkong.

Hyperglycemia is a problem in Indonesia, which is increasing and contributes to the high mortality rate of the population. This study aimed to identify factors associated with hyperglycemia in adults in Depok and Central Lampung regency. Both of these areas have a high prevalence of hyperglycemia, which amounted to 14.4% in Depok and 7.7% in Central Lampung regency.
The study design was cross-sectional study used data on the National Strategy for Communicable Diseases Risk Factors in 2010 with 362 samples of adults.
Data analysis was performed with logistic regression modeling and the result shows the location of the study (OR = 11.9, 95% CI 2.04 - 69.39), educational level (OR = 11.25, 95% CI 1.99 - 63.44), and fat intake (OR = 3.44, 95% CI 1.04 to 11.44) have statistical relationship with hyperglycemia.
Location of the study had the highest OR value that is the most dominant factor for hyperglycemia in adults in Depok and Central Lampung regency. Then there are six confounding variables include age, obesity based on waist circumference, energy intake, rice consumption, noodle consumption, and cassava consumption.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S52528
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Pramudita
"Latar belakang: Skor MSOFA telah dikembangkan sebagai critical care triage pada rumah sakit dengan sumber daya terbatas. Di Indonesia telah diteliti performa MSOFA sebagai prediktor mortalitas terhadap pasien penyakit kritis namun terbatas pada pasien bedah. Hasil evaluasi prediksi mortalitas MSOFA menunjukkan kemampuan prediksi mortalitas yang cenderung rendah. Penambahan variabel lain pada skor MSOFA untuk meningkatkan prediksi mortalitas perlu diteliti lebih lanjut. Hiperglikemia pada penyakit kritis tanpa riwayat diabetes melitus (hiperglikemia akibat stres) berdasarkan penelitian merupakan faktor risiko independen terhadap mortalitas.
Tujuan: Melakukan validasi MSOFA serta nilai tambah kadar glukosa darah sebagai prediktor mortalitas pasien penyakit kritis tanpa riwayat diabetes melitus.
Metode penelitian: Penelitian prospektif kohort pada pasien penyakit kritis medis maupun bedah di RSUPN Cipto Mangunkusumo selama periode Agustus hingga Desember 2013. Pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, saturasi oksigen perifer, glasgow coma scale, pemeriksaan laboratorium kadar kreatinin, pemeriksaan glukosa darah sewaktu serta A1C dalam 24 jam pertama perawatan. Outcome penelitian ini adalah mortalitas dalam 28 hari. Analisis statistik menggunakan tes Hosmer-Lemeshow, plot kalibrasi serta kurva ROC.
Hasil: Subjek penelitian sebanyak 150 pasien. Mortalitas terjadi pada 52 pasien (34,67%) dengan sepsis sebagai masalah terbanyak. Kalibrasi MSOFA menunjukkan Hosmer-Lemeshow x2=13,748(p=0,056). Diskriminasi MSOFA menunjukkan AUC 0,83 (IK 95% 0,76-0,89). Hiperglikemia terjadi pada 79 pasien (52,67%). Penambahan kadar glukosa darah pada MSOFA tidak menunjukkan peningkatan AUC.
Simpulan: Validasi MSOFA menunjukkan kalibrasi dan diskriminasi yang baik pada pasien penyakit kritis baik medis maupun bedah. Penambahan kadar glukosa darah pada skor MSOFA tidak meningkatkan kemampuan prediksi mortalitas.

Background: MSOFA, a simple scoring system, has been developed as a critical care triage in centers with limited resources. Previous study have evaluated MSOFA’s performance but limited only in surgical critically ill patients which showed a low precision in predicting mortality. Addition of another variable to improve MSOFA’s performance merits further investigation. Hyperglycemia in critically ill patients without previous history of diabetes (stress hyperglycemia) has been shown to be an independent risk factor of mortality.
Objective: to evaluate MSOFA scoring system’s performance and addition of admission blood glucose test to predict mortality in critically ill patient without previous history of diabetes.
Methods: This was a prospective cohort study recruiting medical and surgical critically ill patients admitted to Cipto Mangunkusomo Hospital during a period of August to December 2013. History taking, physical examination, peripheral oxygen saturation, Glasgow Coma Scale, creatinine, blood glucose and A1C were obtained within 24 hour of admission. The outcome was mortality within 28 days. Performance of MSOFA was evaluated with the Hosmer-Lemeshow goodness of fit test and measuring the AUC.
Results: 150 patients completed the study protocols. Mortality was observed in 52 patients (34,67%) with sepsis being the most prevalent diagnosis. Calibration of MSOFA showed a Hosmer-Lemeshow test x2=13.748 (p = 0.056). Receiver Operating Curve (ROC) of MSOFA showed an AUC of 0,83 (95% CI 0,76-0,89). Stress hyperglycemia was evident in 79 patients (52,67%) recruited in this study. Addition of blood glucose to MSOFA scoring system did not show improvement in MSOFA’s performance.
Conclusion: We have validated MSOFA in this study which showed good calibration and discrimination in both medical and surgical critically ill patients. Adding blood glucose to MSOFA scoring system did not improve MSOFA’s performance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Yasmine Wardoyo
"Latar Belakang. Hiperglikemia pada perawatan pasien kritis merupakan faktor risiko yang dapat ditatalaksana dengan optimal untuk menurunkan mortalitas. Hubungan variabilitas glukosa dengan mortalitas telah diteliti menggunakan indikator yang bervariasi.
Tujuan. Mengkaji hubungan variabilitas glukosa yaitu rerata perubahan glukosa absolut (mean absolute glucose change, MAG) dan simpang baku glukosa terhadap mortalitas pasien kritis.
Metode. Penelitian kohort retrospektif terhadap 280 pasien yang dirawat di Unit Perawatan Intensif RSCM pada periode Januari 2012-Agustus 2013. Variabel MAG dan simpang baku glukosa dibagi menjadi 4 kuartil. Analisis hubungan antara MAG dan simpang baku glukosa dengan mortalitas dilakukan dengan uji X2. Untuk mengeluarkan faktor perancu (skor MSOFA, indeks komorbiditas Charlson, hipoglikemia, dan hiperglikemia) dilakukan uji regresi logistik.
Hasil. Nilai median MAG adalah 3,3 mg/dL/jam dan nilai median simpang baku glukosa adalah 38,3 mg/dL Insiden mortalitas lebih tinggi didapatkan pada kuartil atas MAG dan simpang baku glukosa dibandingkan kuartil bawah. Dari uji Chi Square didapatkan hasil OR MAG kuartil atas terhadap mortalitas OR 4,26 (IK 95% 1,98-9,15) dan OR simpang baku glukosa kuartil atas terhadap mortalitas OR 2,78 (IK 95% 1,35-5,71). Setelah dilakukan uji regresi logistik didapatkan fully adjusted OR 3,34 (IK 95% 1,08-10,31) untuk MAG dan 0,90 (IK 95% 0,28-2,88) untuk simpang baku glukosa.
Simpulan. Insiden mortalitas pasien dengan MAG tinggi lebih besar daripada pasien dengan MAG paling rendah. Proporsi mortalitas simpang baku glukosa tinggi (>59 mg/dL) lebih besar daripada pasien dengan simpang baku glukosa paling rendah, namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik.

Background. Hyperglycemia in critically-ill patient is a risk factor that can be managed in order to reduce mortality. Inspite of hyperglycemia, glucose variability also brings negative outcome to cells. Studies about glucose variability effect to mortality had been studied using many variables of glucose variability.
Objective. Analyze association between glucose variability (mean absolute glucose change [MAG] and glucose standard deviation) with mortality in critically-ill patients.
Methods. Retrospective cohort study is done to 280 critical ill patient in ICU and HCU in Cipto Mangunkusumo Hospital who admitted to critical care between January 2012-August 2013. MAG change and glucose standard deviation are divided into 4 quartiles. Association between MAG change and glucose standard deviation are analyzed using X2 test. To control the confounders (MSOFA score, Charlson comorbidities index, hypoglycemia, and hyperglycemia), logistic regression is done.
Result. Median of MAG change is 3.3 mg/dL/hour and median of glucose standard deviation is 37.63 mg/dL. Mortality incidence is higher in upper quartile of MAG change and glucose standard deviation compared to lower quartile. OR of upper quartile MAG change to ICU mortality is OR 4.26 (95% CI 1.98-9.15) and OR of upper quartile glucose standard deviation to ICU mortality is OR 2.78 (95% CI 1.35-5.71). These results are adjusted to MSOFA score, hypoglycemia, and hyperglycemia. In logistic regression test, fully adjusted OR are 3.34 (95% CI 1.08-10.31) and 0.90 (95% CI 0.28-2.88) for MAG change and glucose standard deviation, respectively.
Conclusion. Mortality incidence in patient with high MAG is larger than in patient with lowest MAG change. Mortality incidence in patient with high glucose standard deviation is larger than in patient with lowest glucose standard deviation, but the difference is not statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Marselina
"Pembedahan dapat memicu respons stres metabolik yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Mekanisme hiperglikemia pascaoperasi dihubungkan dengan resistensi insulin, peningkatan glukoneogenesis, dan glikogenolisis, serta penurunan glucose transporter-4. Hiperglikemia diduga sebagai respons adaptasi fisiologis “fight or flight” tetapi juga dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pascaoperasi. Risiko hiperglikemia pascaoperasi dan potensi bahaya yang ditimbulkan belum banyak disadari oleh para dokter. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien pascaoperasi di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, insidens hiperglikemia pada anak pascaoperasi, dan faktor-faktor yang memengaruhi hiperglikemia pascaoperasi. Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang terhadap 199 pasien di RSCM yang dirawat di ruang PICU pascaoperasi sepanjang Januari – Desember 2020. Data demografi serta gula darah pascaoperasi diambil dari rekam medis. Kejadian hiperglikemia pascaoperasi dalam 24 jam pertama adalah 42%. Faktor-faktor yang memengaruhi hiperglikemia pascaoperasi pada penelitian ini adalah usia > 60 bulan (rasio odds 1,92 (95% IK 1,08-3,41) p=0,025) dan median durasi operasi>5 jam (p=0,001)

Surgery can trigger metabolic stress response that can lead to hyperglycemia. Mechanism of postoperative hyperglycemia is associated with insulin resistance, increased gluconeogenesis, and glycogenolysis, and decreased glucose transporters-4. Hyperglycemia is thought to be a physiological “fight or flight” adaptive response but also associated with increased postoperative morbidity and mortality. The risk of postoperative hyperglycemia and the potential dangers that it causes have not been widely realized by doctors. This study aims to determine the characteristics of postoperative patients at the Pediatric Intensive Care Unit (PICU) at Ciptomangunkusumo Hospital (RSCM), incidence of hyperglycemia in postoperative children, related factors of postoperative hyperglycemia. This study is a cross-sectional study of 199 patients at RSCM who admitted in PICU postoperative during January – December 2020. Demographic data and postoperative blood sugar were taken from medical records. The incidence of postoperative hyperglycemia in the first 24 hours was 42%. Related factors of postoperative hyperglycemia in this study were age > 60 months (Odds ratio 1,92 (95% CI 1,08-3,41); p=0,025 and median operative duration > 5 hours (p=0,001)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pittara Pansawira
"ABSTRAK
Hiperglikemia sering terjadi pada pasien sakit kritis dan dapat menimbulkan volume residu lambung tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status hiperglikemia dengan status volume residu lambung tinggi pada pasien dewasa sakit kritis dalam 24 jam I dan II di ICU. Rancangan studi potong lintang, consecutive sampling, pada 96 subjek. Hasil penelitian, terdapat 45,8% subjek mengalami hiperglikemia pada 24 jam I dan 35,4% pada 24 jam II. Terdapat 28,1% subjek mengalami volume residu lambung tinggi pada 24 jam I dan 25% pada 24 jam II. Kesimpulannya, pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara status hiperglikemia dengan status volume residu lambung tinggi.

ABSTRAK
Hyperglycemia commonly occurs in critically ill patients and can cause high gastric residual volume. The aim of this study is to determine the relationship between hyperglycemia status and high gastric residual volume status in adult critically ill patients within the first and second 24 hours of admission in ICU. The design was cross sectional with consecutive sampling in 96 subjects. There were 45.8% subjects who had hyperglycemia in the first 24 hours and 35.4% in the second. There were 28.1% subjects who had high gastric residual volume in the first 24 hours and 25% in the second. In conclusion, there was no significant
relationship between hyperglycemia status and high gastric residual volume status in this study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tamrin
"Diabetes melitus merupakan sekelompok gangguan metabolisme tubuh, ditandai dengan hiperglikemik kronis yang dapat mengakibatkan komplikasi akut dan kronis. Prevalensi penyakit DM meningkat pada agregat dewasa sebagai kelompok rentan. Karya Ilmiah akhir Spesialis ini menggunakan integrasi teori manajemen, community as partner, family centre nursing, dan health promotion model. Pelaksanaan intervensi dengan pendekatan asuhan keperawatan keluarga pada 10 keluarga binaan dan asuhan keperawatan komunitas pada 65 diabetesi dewasa dengan purposive sampling. Terjadi peningkatan tingkat kemandirian keluarga dalam merawat agregat dewasa dengan DM. 90% kemandirian keluarga setelah intervensi adalah Tingkat kemandirian III dan 10% Tingkat Kemandirian IV. Terjadi peningkatan pengetahuan sebanyak 18,3%, sikap sebesar 22% dan perilaku sebesar 56% pada agregat dewasa dengan DM. Intervensi Dialatama merupakan suatu bentuk intervensi latihan yang efektif untuk mengatasi masalah gaya hidup kurang gerak, dan diagnosis keperawatan seperti ketidakefektifan pemeliharaan Kesehatan, perilaku Kesehatan cenderung berisiko, risiko ketidakstabilan gula darah, risiko disfungsi neurovaskuler perifer dan beberapa diagnosis lainnya. Intervensi Dialatama ini dapat diberikan kepada individu, kelompok maupun komunitas. Intervensi bisa dilakukan oleh masyarakat secara umum, baik yang memiliki masalah aktual maupun yang berisiko. Diharapkan Program Dialatama dapat terus dijalankan oleh diabetes secara aktif dan mandiri.

Diabetes Mellitus is metabolic disease because alter secretion, act of insulin or both, showed by hyperglycemia. The prevalence of DM increased in the aggregate of adults as a susceptible group. This specialist's final scientific work uses the integration of management theory, community as partner, family center nursing, and health promotion model. Implementation of the intervention with the approach of family nursing care in 10 assisted families and community nursing care for 65 adult diabetics with purposive sampling. There was an increase in the level of family independence in caring for the aggregate of adults with DM. 90% of family independence after the intervention is Level III independence and 10% Independence Level IV. There was an increase in knowledge as much as 18.3%, attitudes by 22% and behavior by 56% in the aggregate of adults with DM. Dialatama intervention is an effective form of exercise intervention to overcome sedentary lifestyle problems, and nursing diagnoses such as ineffective health maintenance, health behaviors that tend to be at risk, risk of blood sugar instability, risk of peripheral neurovascular dysfunction and several other diagnoses. This Dialatama intervention can be given to individuals, groups or communities. Interventions can be carried out by the general public, both those who have actual problems and those who are at risk. It is hoped that the Dialatama Program can continue to be run by diabetics actively and independently"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Thoeng Ronald
"ABSTRAK
Pendahuluan: Hiperglikemia dalam kehamilan ditemui pada 25% kehamilan di Asia Tenggara, dan jika tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi serius. Hemoglobin glikat (HbA1c) merupakan penanda standar status glikemik, namun dapat meningkat palsu pada kehamilan lanjut. Albumin glikat sebagai indikator status glikemik baru yang tidak dipengaruhi oleh anemia dapat menjadi alternatif dalam kehamilan.
Tujuan: Mengetahui penggunaan HbA1c dan albumin glikat pada kehamilan dengan status glikemik normal.
Metode: Sampel darah diambil dari 60 ibu hamil dengan usia kehamilan 21-36 minggu. Dilakukan pemeriksaan HbA1c, Hb, MCV, MCH, RDW, albumin glikat, albumin, besi serum, glukosa darah, saturasi transferin, dan TIBC. Parameter-parameter tersebut dibandingkan antara empat kelompok usia kehamilan (I: 21-24 minggu, n=17; II: 25-28 minggu, n=16; III: 29-32 minggu, n=16; dan IV: 33-36 minggu, n=11) menggunakan uji ANOVA atau Kruskal-Wallis dengan uji post-hoc.
Hasil: Kadar albumin glikat tidak berbeda bermakna antara keempat kelompok (p=0.061). Kadar HbA1c lebih tinggi pada kelompok IV (4.59 ±0.28 %) daripada kelompok I (4.24 ± 0.27%, p=0.009). Kadar Hb kelompok II {10.9 (7.9 ? 11.6) g/dL} lebih rendah dibandingkan III (11.68 ± 0.84 g/dL, p=0.004) dan IV (11.74 ± 0.66 g/dL, p=0.001). Kadar albumin pada kelompok IV (3.59 ± 0.22 g/dL) lebih rendah dibandingkan kelompok I (3.82 ± 0.19 g/dL, p=0.006). Tidak ada perbedaan bermakna MCV, MCH, RDW-CV, besi serum, TIBC, dan saturasi transferin antar kelompok usia kehamilan (semua p>0.05)
Kesimpulan: Kadar HbA1c berbeda menurut usia kehamilan, sedangkan pemeriksaan albumin glikat tidak terpengaruh dengan usia kehamilan. Albumin glikat dapat menjadi penanda status glikemik pada usia kehamilan 21-36 minggu.

ABSTRACT
Introduction: Hyperglycemia during pregnancy is found in 25% of pregnancy in Southeast Asia, and when uncontrolled may cause serious complications. Glycated hemoglobin (HbA1c) is a standard indicator for glycemic status, but can show false increase during late pregnancy. Glycated albumin, a new glycemic status indicator which is unaffected by anemia, may be an alternative for pregnancy.
Purpose: To examine the usefulness of HbA1c and glycated albumin during pregnancy with normal glycemic status.
Method: Blood samples were taken from 60 pregnant women between 21-36 weeks of pregnancy. Tests were done for HbA1c, Hb, MCV, MCH, RDW, glycated albumin, albumin, serum iron, blood glucose, transferrin saturation, and TIBC. These parameters were compared among four groups of age of pregnancy (I: 21-24 weeks, n=17; II: 25-28 weeks, n=16; III: 29-32 weeks, n=16; and IV: 33-36 weeks, n=11) using ANOVA or Kruskal-Wallis test with post-hoc tests.
Results: Glycated albumin was not statistically different among the groups (p=0.061). HbA1c level was higher in group IV (4.59 ± 0.28%) compared to group I (4.24 ± 0.27%, p=0.009). Hb level of group II {10.9 (7.9 ? 11.6) g/dL} was lower than group III (11.68 ± 0.84 g/dL, p=0.004) and IV (11.74 ± 0.66 g/dL, p=0.001). Albumin level of group IV (3.59 ± 0.22 g/dL) was lower than group I (3.82 ± 0.19 g/dL, p=0.006). No statistically significant difference was found for MCV, MCH, RDW-CV, serum iron, TIBC, and transferin saturation among pregnancy age groups (all p>0.05)
Conclusion: HbA1c was different with different pregnancy age, but glycated albumin was not affected by pregnancy age. Therefore glycated albumin may be used as glycemic status indicator during pregnancy age of 21-36 weeks."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>