Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173601 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Widyantoro
"Latar Belakang. Diabetes dapat mempengaruhi struktur dan fungsi jantung tanpa adanya hipertensi dan aterosklerosis.Dengan meningkatnya risiko gagal jantung dan kejadian kardiovaskular pada pasien diabetes, maka mengetahui penyebab dan mekanisme utama yang mendasari terjadinya disfungsi diastolik menjadi penting dalam upaya mencari strategi pengobatan yang potensial.Studi pre-klinik menunjukkan bahwa Endothelin-1 (ET-1) berperan penting dalam patofisiologi kardiomiopati diabetes. Namun, hubungan antara kadar ET-1 plasma dengan kejadian disfungsi diastolik serta mekanisme yang mendasari belum diketahui dengan pasti.
Tujuan. Mengetahui hubungan antara kadar ET-1 plasma dengan disfungsi diastolik dan mekanisme yang mendasarinya.
Metode. Sejumlah empat puluh satu pasien diabetes dan non diabetes yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di poliklinik Pusat Jantung Nasional Harapan Kita direkrut secara konsekutif pada bulan Oktober 2012. Fungsi diastolik ventrikel kiri diperiksa dengan echocardiography, sampel darah diambil untuk pemeriksaan ET-1 plasma dengan radioimmunoassay. Pemeriksaan cardiac magnetic resonance imaging (CMRI) dengan kontras gadolinium dilakukan untuk menilai fibrosis diffuse pada miokardium serta MRI spektroskopi untuk menilai kadar trigliserida (steatosismiokardium).
Hasil. Kadar ET-1 plasma lebih tinggi pada kelompok diabetes dibandingkan dengan non diabetes (1.48±0.50 vs. 1.08±0.22 pg/ml, p<0.05). Seluruh pasien diabetes mengalami disfungsi diastolik dengan 17 (85%) pasien mengalami disfungsi diastolik derajat 2 dan 3, sementara 13 (61.9%) pasien non diabetes menunjukkan fungsi diastolik normal. Tekanan atrium kiri yang meningkat juga didapatkan pada 16 (80%) pasien diabetes. Pada pasien dengan derajat disfungsi diastolik derajat 3 didapatkan kadar ET-1 yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan fungsi diastolik normal (1.78±0.50 vs. 1.09±0.19 pg/ml, p<0.05). Sejumlah 17 (85%) pasien diabetes mengalami fibrosis, steatosis ataupun keduanya, sementara 16 (76%) pasien non diabetes yang tidak mengalami keduanya. Kadar ET-1 plasma berkorelasi dengan fibrosis miokardium (Speaman koef. R = -0.394, p<0.05), namun tidak berkorelasi dengan steatosis miokardium (Pearson koef R = 0.259, p=NS). Pasien dengan fibrosis dan steatosis mengalami derajat disfungsi diastolik yang lebih berat, dan menunjukkan kadar ET-1 plasma yang lebih tinggi (1.44±0.53 vs. 1.14±0.25, p<0.05).
Kesimpulan. Kadar ET-1 plasma yang lebih tinggi pada diabetes berhubungan dengan tekanan atrium kiri yang meningkat dan derajat disfungsi diastolik yang lebih berat, serta berkorelasi dengan terjadinya fibrosis miokardium, namun tidak berkorelasi dengan steatosis miokardium.

Background. Diabetes may affect cardiac structure and function independent to atherosclerosis and hypertension. Considering the increased risk of heart failure and cardiovascular event in diabetic cardiomyopathy, investigation of etiology and mechanism of this unique entity is important for developing potential therapy. Endothelin-1 (ET-1) has been associated with development of diabetic cardiomyopathy in pre-clinical study.
Objective. This study aims to investigate correlation of plasma ET-1 with development of myocardial fibrosis and diastolic dysfunction diabetes patient.
Methods. Fourty-one diabetes and non diabetes patient with no history of myocardial infarction and left ventricular hyperthrophy were recruited in this cross sectional study. Plasma ET-1 level were measured with radioimmunoassay, diastolic function were evaluated by Doppler echocardiography, and diffuse myocardial fibrosis were evaluated by post-contrast myocardial T1 relaxation time using cardiac MRI.
Results. Plasma ET-1 level is higher in diabetes group as compare to non diabetes (1.48±0.50 vs. 1.08±0.22 pg/ml, p<0.05). All diabetes subjects developed diastolic dysfunction, with 17 (85%) had grade 2 and 3 diastolic dysfunction, compare to 13 (61,9%) non diabetes patient which showed normal diastolic function. We also observed the increased of left atrial pressure (LAp) in 16 (80%) of diabetes patient. Patient with grade 3 (severe) diastolic dysfunction showed higher plasma ET-1 level as compare to patient with normal diastolic function (1.78±0.50 vs. 1.09±0.19 pg/ml, p<0.05). Diabetes subject had shorter post-contrast T1 relaxation time - reflecting diffuse myocardial fibrosis (440.97±16.97 vs. 489.41±6.73 ms, p<.005), and correlates inversely to plasma ET-1 level (Spearman Coeff R = -0.394, p<0.05).
Conclusion. In conclusion, higher plasma endothelin-1 level is associated with diffuse myocardial fibrosis and diastolic dysfunction in diabetes patient. This may provide additional evidence for the potential clinical use of endothelin receptor blockade in preventing diabetic cardiomyopathy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Latar Belakang: Komplikasi sirosis hati pada jantung masih sedikit diketahui. Mekanisme patofisiologi sirosis hati yang melibatkan hipertensi portal memungkinkan terjadinya disfungsi diastolik ventrikel kiri.
Tujuan: Mengetahui proporsi disfungsi diastolik ventrikel kiri pada pasien sirosis hati dengan kriteria ASE-EAE 2009 dan konvensional, korelasi positif antara beratnya derajat disfungsi diastolik ventrikel kiri dengan beratnya derajat disfungsi hati melalui skor Child Turcotte Pugh ( CTP ) dan menilai hubungan parameter beratnya derajat disfungsi diastolik menurut kriteria ASE-EAE 2009 dengan skor CTP numerik.
Metode: Potong lintang pada pasien yang berobat secara konsekutif di Unit Rawat Jalan Hepatologi dan Rawat Inap Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM. Penelitian dimulai di bulan November 2013 hingga tercapai 96 subjek sirosis hati berusia 18-60 tahun. Anamnesis, pemeriksaan fisik, rekam medik dan pemeriksaan penunjang dilakukan. Pemeriksaan dengan ekokardiografi dilakukan oleh dua pemeriksa. Uji kesesuaian Kappa dan uji beda rerata dilakukan antar pemeriksa. Data kemudian diolah untuk diperoleh nilai proporsi, uji normalitas sebaran data, analisis uji korelasi Spearman dan analisis multivariat regresi linier.
Hasil: Sebanyak 54,17% pasien mengalami hipertrofi konsentrik ventrikel kiri. Proporsi disfungsi diastolik ventrikel kiri dengan kriteria ASE-EAE 2009 sebesar 34,3% namun 21,9% ditemukan fungsi diastolik normal dengan indeks volume atrium kiri meningkat, dengan kriteria disfungsi diastolik konvensional proporsi menjadi 68,8%. Seluruh parameter fungsi diastolik menunjukkan perubahan abnormal pada CTP B 8-10. Korelasi beratnya derajat disfungsi diastolik ventrikel kiri kriteria ASE-EAE 2009 dengan beratnya derajat disfungsi hati melalui skor CTP skala numerik adalah 0,42 ( p = 0,000 ). Bila penderita diabetes dan pengguna spironolakton dieksklusi, r menjadi 0,51 ( p = 0,000; ASE-EAE 2009 ). Parameter beratnya derajat disfungsi diastolik yang berhubungan dengan beratnya derajat disfungsi hati skor numerik CTP adalah selisih Ar-A, volume atrium kiri dan nilai lateral e’ ( p < 0,005 ).
Kesimpulan: Semakin berat disfungsi diastolik ventrikel kiri maka semakin berat sirosis hati. Parameter disfungsi diastolik ventrikel kiri yang berhubungan dengan beratnya sirosis hati adalah tekanan pengisian diastol intraventrikel beserta kekakuan miokard, remodelling atrium kiri dan kecepatan alir balik vena pulmonalis dalam menghadapi tekanan pengisian. Deteksi dini disfungsi diastolik pada sirosis hati dapat dimulai pada CTP B 8., Background: Cardiovascular complication of liver cirrhosis is relatively obscure. Liver cirrhosis pathophysiology involving portal hypertension made the possibility of cirrhosis complication manifested as left ventricular diastolic dysfunction.
Objective: To determine proportion of left ventricular diastolic dysfunction among liver cirrhotic patients according to American Society of Echocardiography-European Association of Echocardiography ( ASE-EAE ) 2009 and conventional approach, to determine any correlation between left ventricular diastolic dysfunction severity stages with severity stages of liver dysfunction in cirrhotic patients represented by Child Turcotte Pugh ( CTP ) score, also to asses relationship between severity stages of parameters of diastolic function according to ASE-EAE 2009 with liver cirrhosis severity evaluated by numerical CTP score.
Methods: In this cross sectional design, we targeted 96 liver cirrhotic patients within age of 18-60 year old consecutively due to any cause who admitted to ambulatory unit of Hepatology and Internal Medicine Cipto Mangunkusumo General Hospital wards into intended sample. The study started in November 2013 until proper sample size wasobtained. Echocardiography examination was performed by 2 operators. Interobserver validity was assesed with level of Kappa aggrement and mean difference. Data was extracted to find prevalence, normality test, Spearman correlation test and multivariate linear regression test.
Results: Left ventricular concentric hypertrophy was found in 54,2% of source population. Left ventricular diastolic dysfunction proportion among liver cirrhotic patients according to ASE-EAE 2009 is 34,3% and 21,9% of normal diastolic function subgroup has left atrial volume index ≥ 34 mL/m2. Conventional approach resulted in 68,8% of diastolic dysfuncation. All diastolic parameter showed abnormalities on CTP B 8-10. Spearman’s r values of stage of diastolic dysfunction severity according to ASE-EAE 2009 with severity of numerical CTP score is 0,42 ( p = 0,000 ). Exclusion of diabetic patients and spironolactone treated patients resulted in r 0,51 ( p = 0,000; ASE-EAE 2009 ). Parameters of diastolic function that have relation with liver dysfunction severity in cirrhosis measured by numerical CTP are Ar-A ( p = 0,004 ), left atrial volume index ( p = 0,005 ) and laterale e’ ( p = 0,026).
Conclusion: Severity of left ventricular diastolic dysfunction with severity of liver cirrhosis is correlated positively. Diastolic parameters relate with severity of liver cirrhosis are diastolic ventricular filling pressure with left ventricular chamber stiffness, left atrial remodelling and regurgitant of pulmonary venous flow velocity to oppose filling pressure. Early detection for diastolic dysfunction can be started on CTP B 8.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Randy Nusrianto
"Latar Belakang: Gagal jantung adalah salah satu bentuk komplikasi kardiovaskular dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada pasien DMT2. Disfungsi diastolik merupakan bentuk awal dari gagal jantung yang tidak bergejala dan seringkali terlambat terdiagnosis, sehingga deteksi dini penting untuk dilakukan. Guideline gagal jantung dari AHA merekomendasikan pemeriksaan NTproBNP dengan nilai batas >125 pg/ml sebagai salah satu upaya deteksi dini pada populasi berisiko. Penelitian-penelitian faktor klinis yang ada mayoritas dilakukan pada populasi kaukasia dengan hasil yang heterogen. Diketahui populasi DMT2 di Asia memiliki indeks massa tubuh lebih rendah, usia lebih muda, dan nilai dasar NTproBNP lebih rendah, namun memiliki prevalensi gagal jantung yang lebih tinggi. Belum ada penelitian yang meneliti hubungan faktor klinis dan kadar NTproBNP pada populasi DMT2 di Indonesia
Tujuan: Penelitian ini dibuat untuk mengetahui hubungan faktor klinis dan kadar NTproBNP dengan kejadian disfungsi diastolik pada populasi DMT2 di Indonesia
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang (cross sectional study), menggunakan data sekunder dari follow up ke-30 Studi Kohort PTM Litbangkes. Subyek berusia dibawah 65 tahun yang terdiagnosis DMT2 selama pengamatan dan memenuhi kriteria inklusi dicatat, dilakukan pemeriksaan NTproBNP dan dilakukan analisis dengan kejadian disfungsi diastolik yang didapatkan dari ekhokardiografi. Uji bivariat dilakukan dengan uji chi square dan uji multivariat menggunakan uji regresi multipel. Kadar NTproBNP yang diperiksakan dilakukan penentuan titik potong menggunakan Receiver Operating Characteristics (ROC).
Hasil: Subyek yang terinklusi didapatkan sebesar 91 orang. Uji multivariat menunjukkan baik kadar NTproBNP>125 pg/ml dan titik potong NTproBNP baru >62,5 pg/ml berhubungan bermakna dengan kejadian disfungsi diastolik dengan PRadj 2,791 (95% IK; 1,937-4,021; p<0,0001) dan PRadj 2,587 (IK 95%; 1,554 – 4,645; p:<0,0001) dengan Area under curve (AUC) 0,76. Pada penelitian kami, tidak ada faktor klinis yang berhubungan secara bermakna pada uji statistik
Simpulan: Peningkatan kadar NTproBNP >125 pg/ml berhubungan dengan kejadian disfungsi diastolik pada populasi DMT2 di Indonesia.

Background: Diastolic dysfunction is an early form of heart failure that is asymptomatic and often diagnosed late in T2DM patients, so early detection is encourage. The AHA heart failure guideline recommends NTproBNP testing with a cut-off value of >125 pg/ml as one of the early detection strategies. The majority of existing clinical factor studies have been conducted in Caucasian populations with heterogeneous results and it is known that T2DM populations in Asia have lower body mass index, younger age, lower baseline NTproBNP values with higher heart failure prevalence. To date, there have been no research determining the association between clinical factors and NTproBNP levels in the T2DM population in Indonesia.
Objective: This study was designed to determine the association of clinical factors and NTproBNP levels with the incidence of diastolic dysfunction in the T2DM population in Indonesia
Methods: This study is a cross sectional study, using secondary data from the 30th follow up of the Bogor NCD Cohort Study. Subjects under 65 years of age who are diagnosed with T2DM during observation and meet the inclusion criteria were being recorded, We will determine the association between clinical factors and NTproBNP examination results with the incidence of diastolic dysfunction obtained from echocardiography. Bivariate tests were performed using the chi square test and multivariate tests using multiple regression tests. The new NTproBNP cut off points were determined using Receiver Operating Characteristics (ROC).
Results: 91 subjects were included. Multivariate test showed that both NTproBNP level >125 pg/ml and new cut off >62,5 pg/ml was significantly associated with the incidence of diastolic dysfunction with PRadj 2,791 (95% IK; 1,937-4,021; p<0,0001) and PRadj 2.587 (95% CI; 1.554 - 4.645; p: <0.0001) respectively, with Area under curve (AUC) 0.76. In our study, No clinical factors were associated significantly with diastolic dysfunction incidence.
Conclusions: NTproBNP levels >125 pg/ml are associated with the incidence of diastolic dysfunction in the T2DM population in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diyah Eka Andayani
"Tujuan : Mengetahui korelasi antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA dan monosit pada penderita DM tips 2
Tempat : Poliklinik Metabolik dan Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipta Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Metodologi : Penelitian potong lintang pada 52 orang pasien DM tipe 2. Data yang diambil meliputi data umum dan demografi, lama menderita DM, status gizi, komplikasi, asupan vitamin C dan pemeriksaan laboratorium meliputi kadar vitamin C, MDA plasma, jmlah monosit dan kadar HbAic. Uji korelasi dilakukan dengan mcnggunakan uji Pearson dan Spearman-Rank
Hasil : Subyek terdiri dari 37 prang perempuan dan 15 orang pria, dengan rerata usia 49,88 ± 5,87 tahun. Sebanyak 46,2% subyek berpendidikan rendah, 75% berada di bawah Upah Minimum Propinsi (UMP), median lama menderita DM 48 (1- 228) bulan dan 78,8% telah mengalami komplikasi. Rerata IMT 26,11 + 4,85 kg/m2 dan 69,3% tcrmasnk kategori BB lebih. Sebanyak 40,4% tergolong dalam kelompok dengan asupan vitamin C kurang. Median kadar-vitamin C plasma 21,14 (1,89 - 0,86) pmo11L dan 52% tergolong ke dalam kelompok dengan kadar vitamin C rendah dan defisiensi. Median kadar MDA plasma 0,37 (0,03 - 0,86) [anon dart 90,4% subyek tergolong dalam kelompok dengan MDA normaL Rerata jutnlah monosit 7,13 ± 1,78% dan 75% mempunyai kadar monosit normal. Terdapat korelasi bermakna (p=0,02) antara asupan vitamin C dengan kadar vitamin C plasma, dan antara kadar HbA,c dcngan kadar MDA plasma (p=0,02). Variabel lain yang diteliti tidak mempcrlihatkan korelasi yang bermakna
Kesimpulan: Antara kadar vitamin C dengan kadar MDA plasma dan jumlah monosit tidak didapatkan korelasi yang bermakna. Didapatkan korelasi bermakna antara asupan vitamin C dengan kadar vitamin C plasma dan antara kadar HbA1c dengan kadar MDA plasma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syafiq
"Latar belakang. Gagal jantung dan aritmia merupakan penyebab kematian tersering pada penderita thalassemia R. Gangguan fungsi jantung, khususnya disfungsi diastolik merupakan komplikasi dini pada jantung akibat muatan besi berlebih (iron overload). Kadar feritin serum sampai saat ini masih secara luas digunakan sebagai parameter muatan besi berlebih (iron overload).
Tujuan. Mengetahui perbedaan kadar feritin serum antara penderita thalassemia j3 dewasa yang mengalami dan tidak mengalami disfungsi diastolik ventrikel kiri, dan mengetahui besar proporsi disfungsi diastolik pada penderita thalassemia 13 dewasa.
Metodologi. Penelitian ini merupakan studi potong lintang untuk melihat perbedaan kadar feritin serum (sebagai parameter iron overload) pada penderita thalassemia 13 dewasa yang mengalami disfungsi diastolik dibandingkan dengan yang tanpa disfungsi diastolik, serta untuk mendapatkan proporsi disfungsi diastolik pada penderita thalassemia 3 dewasa. Analisis terhadap variabel-variabel yang diteliti menggunakan uji-1 independen untuk mendapatkan perbedaan rerata kadar feritin serum antara kedua kelompok.
Hasil. Dari penelitian ini 30 orang penderita thalassemia 13 dewasa, laki-laki 13 orang, perempuan 17 orang, didapatkan rerata usia 25,9 tahun dengan rentang usia antara 18-38 tahun. Rerata Hb sebesar (7,5g%, SB I,4g%) dengan rentang kadar Hb antara 5,2 - 9,9 g%. Rerata kadar feritin serum sebesar (5590ng1m1, SB 4614,7 nglml) dengan rentang kadar, feritin antara 296,4 - 15900 nglml. Tidak terdapat perbedaan rerata kadar feritin antara penderita yang mengalami disfungsi diastolik dibandingkan dengan yang tidak mengalami disfungsi diastolik. Proporsi disfungsi diastolik pada thalassemia 13 dewasa pada penelitian ini sebesar 70%.
Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan rerata kadar feritin antara penderita yang mengalami disfungsi diastolik dibandingkan dengan yang tidak mengalami disfungsi diastolik. Proporsi disfungsi diastolik pada thalassemia 13 dewasa pada penelitian ini sebesar 70%.

Background. Heart failure and aritmia is the major cause of death in 3 thalassemia major. Heart dysfunction, especially diastolic dysfunction in ji thalassemia seems to be an early involvement of the heart due to iron overload. Serum ferritin level as a parameter of iron overload still widely use for evaluation in 13 thalassemia.
Objectives. To know the mean difference of serum ferritin level between adult 13 thalassemia patients who have left ventricular diastolic dysfunction and who do not have Ieft ventricular diastolic dysfunction, and to obtain the proportion of diastolic dysfunction in adult 13 thalassemia patients.
Methods. This cross-sectional study was conducted to see the mean difference of Serum ferritin. IeVel'(as a parameter of iron overload) in adult P'thalassemia who have left ventricular diastolic dysfunction and who do not have left ventricular diastolic dysfunction and to know the proportion of diastolic dysfunction among adult 13 thalassemia. The independent t-test was used to analyze the variables to obtain the mean difference of serum ferritin level between the two groups.
Results. Thirty adult P thalassemia patients, 13 were male and 17 were female had been enrolled into this study. The age of the patients ranged from 18 to 38 years old, and the average-age was 25,9 years. The Hb level ranged from 5,2 to 9,9 g% and the mean was (7,5g%, SD 1,4g°/o). The serum ferritin level ranged from 296,4 to 15900 nglml, and the mean was (5590ng/ml, SD 4614,7 nglml). There was no significance mean difference serum ferritin level in patients who had diastolic dysfunction and those who do not have diastolic dysfunction. The proportion of diastolic dysfunction in adult 13 thalassemia patients in this study was 70%.
Conclusions. There was no significannce mean difference serum ferritin level in patients who had. diastolic dysfunction and those. who. did, not have diastolic dysfunction . The proportion of diastolic dysfunction in adult thalassemia 3 patients in this study was 70%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maha Fitra Nd
"Latar belakang: Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) dan gagal jantung memiliki keterkaitan yang kuat dan luaran klinis yang satu mempengaruhi lainnya. Studi terakhir berhasil membuktikan manfaat empagliflozin, obat lini kedua pada DMT2, terhadap kardiovaskular. Mekanisme seluler yang diketahui berperan pada hewan adalah efek antifibrosis miokard, namunbelum ada studi pada manusia.Tujuan: Mengetahui efek pemberian empagliflozin terhadap fibrosis miokard pada pasien DMT2 dengan gagal jantung. Metode: Uji klinis acak tidak tersamar yang dilakukan di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dari Februari 2019 sampai Mei 2019. Pasien DMT2 dan gagal jantung diberikan empagliflozin 10 mg selama tiga bulan. Perbedaan kadar suppression of tumorigenicity-2 (ST2) serum pada kelompok kontrol dan intervensi di awal dan akhir penelitian akan dianalisis. Hasil: Terdapat 58 pasien yang menjadi subjek penelitian dan 40 (69%) pasien menyelesaikan penelitian. Terdapat perbedaan kadar ST2 yang bermakna setelah pemberian empagliflozin selama tiga bulan (median ST2 kelompok empagliflozin sebelum dan sesudah empagliflozin masing-masing 23,5(12,5 - 130,7)ng/mL dan 18,9(12,5 - 29,4) ng/mL, p=0,02). Penurunan ST2 dan persentase penurunan ST2 kelompok empagliflozin kedua kelompok tidak berbeda secara statistik (masing-masing p=0,16 dan p=0,21). Kesimpulan: Pemberian empagliflozin selama tiga bulan dapat menurunkan fibrosis miokard yang tidak terlihat pada kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan besaran penurunan fibrosis pada pemberian empagliflozin dibandingkan terapi standar.

Background: Type 2 diabetes mellitus (T2DM) and heart failure have a strong relationship; one affects each other. Recent studies have proven some cardiovascular benefits of empagliflozin. Myocardial antifibrosis is proposed to be the mechanism in many animal studies, but in humans the data is lack. Objectives: To investigate the effect of empagliflozin on myocardial fibrosis in T2DM patients and heart failure. Methods: This was an open-labeled clinical trial in National Cardiovascular Center Harapan Kita, from February 2019 to May 2019. Patients with T2DM and heart failure received empagliflozin 10 mg for three months. Differences of serum suppression of tumorigenicity-2 (ST2) levels in both control and intervention groups at the beginning and end of the study were analyzed. Results: There were 58 patients enrolled in the study and total of 40 (69%) patients completed it. There were significant differences in ST2 levels after administration of empagliflozin (median for ST2 empagliflozin group before and after empagliflozin was 23.5 (12.5 - 130.7) ng / mL and 18.9 (12, 5 - 29.4) ng / mL respectively, p = 0.02). The ST2 value difference and percent different were not different (p=0,16 and p=0,21, respectively). Conclusion: Three months Empagliflozin might reduce myocard fibrosis which was not seen in control group. The total fibrosis reduction was not significantly different compared to standard therapy"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59208
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernard As Dakhi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian yang paling sering pada pasien AR dengan laju1,5-1,6 kali lebih tinggi dari populasi non AR. Prevalensi gagal jantung pada AR dua kali lipat dibanding non AR. Karakteristik pasien AR Indonesia berbeda dibanding pasien di Negara Barat. Masih sedikit penelitian yang melihat korelasi faktor resiko non tradisional dengan disfungsi diastolik.
Tujuan: Mengetahui apakah ada korelasi faktor resiko non tradisional yaitu lama menderita penyakit, derajat aktivitas penyakit dan skor disabilitas dengan disfungsi diastolik pada wanita penderita AR
Metode: Desain penelitian adalah potong lintang pada wanita penderita AR yang berobat ke poli Rematologi RSCM dari Oktober 2015-Januari 2016.Sampel penelitian belum pernah dinyatakan menderita penyakit jantung sebelumnya.Disfungsi diastolik dinilai secara ekhokardiografi. Lama menderita sakit diperoleh dengan wawancara langsung, sementara aktivitas penyakit dan tingkat disabilitas dinilai dengan menghitung skor DAS28 dan skor HAQ-DI.
Hasil: Disfungsi diastolik dijumpai pada 30,8 % partisipan ( masing-masing 13,5% tingkat ringan dan sedang, dan berat sebesar 3,8% ). Rerata lama menderita AR 26,5 bulan (rentang 2-240), rerata DAS28-CRP 2,69±1,11 sementara DAS28-LED 3,65 (rentang 1,13-7,5), rerata skor HAQ-DI 0,29 (rentang 0-2,38). Hipertropi LV dijumpai pada 34,6% partisipan, rerata EF 66,7±5,76%. Kelainan katup dijumpai pada 34,6% partisipan. Korelasi antara lama sakit, DAS28-CRP, DAS28-LED and skor HAQDI dengan E/A secara berurutan adalah (r= - 0,065; p=0,89), (r=0,393; p=0,38), (r=0,357; p=0,43), (r=0,630; p=0,12) ; sementara dengan E/E? secara berurutan adalah (r=0,136; p=0,77), (r= - 0,536; p=0,21), (r= - 0,393; p=0,38), (r=0,374; p=0,41)
Simpulan: Lama menderita sakit, derajat aktivitas penyakit dan derajat disabilitas, tidak memiliki korelasi yang bermakna secara statistik dengan disfungsi diastolik. Angka hipertropi jantung juga cukup tinggi, dan kelainan katup yang paling sering di jumpai adalah regurgitasi ringan.Dengan tingginya angka proporsi disfungsi diastolik pada penelitian ini maka diusulkan agar dirumuskan strategi penatalaksanaan jantung pada pasien-pasien AR untuk mencegah progresifitasnya.

ABSTRACT
Background: Cardiovascular is the main cause of death in RA, with the rate of 1.5-1.6 times higher than non RA population .The prevalence of HF in RA is 2 times fold of non RA. RA patients characteristics in Indonesia is different from the ones in western. There are only few studies about correlation between non traditional risk factor and diastolic dysfunction in RA patients.
Objective: To study the correlation between each of the non traditional risk factors including disease duration,disease activity and disability score with the diastolic dysfunction in women with RA.
Methods: A cross-sectional, consecutive sampling study conducted to 52 RA women without any previous history of cardiovascular disease. All participants underwent an echocardiography to asses the diastolic dysfunction and other findings associated. Duration of disease is assesed by direct interview, while the disease activity by calculating DAS28 and disability sore by HAQ-DI.
Results: Diastolic dysfunction was found in 30.8 % of study participants ( 13.5 % for each low and moderate grade, while severe was 3.8% ). Mean of disease duration was 26.5 months (range 2-240), mean DAS28-CRP 2.69±1.11 while mean DAS28-ESR 3.65 (range 1.13-7.5), HAQ-DI score 0.29 (range 0-2.38). LV hypertrophy was found in 34.61% participants. Mean EF 66.7±5.76%. Valve abnormality was found in 34.6% study participants. Correlation between duration of disease, DAS28-CRP, DAS28-ESR and HAQDI score with E/A in sequence was (r= - 0.065; p=0.89), (r=0.393; p=0.38), (r=0.357; p=0.43), (r=0.630; p=0.12) ; while with E/E? in sequence was (r=0.136; p=0.77), (r= - 0.536; p=0.21), (r= - 0.393; p=0.38), (r=0.374; p=0.41)
Conclusions; Duration of the disease, the disease activity score and disability score in our RA study participants had no correlation with diastolic dysfunction. The most valvular abnormality findings was mild regurgitation. Since there was a big proportion of participants with diastolic dysfunction, it is encouraged to make a stepwise approach of cardiovascular management in patients with RA."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salli Fitriyanti
"Tujuan
Mengetahui korelasi antara kadar vitamin E plasma dengan kadar MDA dan CRP plasma pada penderita DM tipe 2
Tempat
Poliklinik Metabolik dan Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Fakultas Kedokteran Universitas Indanesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Metodologi
Penelitian potong lintang pads 52 orang pasien DM tipe 2. Data yang diambil meliputi data demogra5, lama menderita DM tipe 2, komplikasi DM yang ada, asupan energi, lemak, dan vitamin E dengan metode food frequency questionnaire (FFQ) semikuantitatif, data laboratorium kadar vitamin E, MDA, dan CRP plasma. Data dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Pearson.
Hasil
Subyek terdiri dari 14 orang laki-laki dan 38 orang perempuan, dengan rerata usia 49,75 ± 5,99 tahun. Rerata lama menderita DM tipe 2 adalah 64,12 ± 60,96 bulan, 53,8% berpendidikan sedang dan tinggi, 50% berada di bawah garis kemisldnan, 79,1% telah mengalami komplikasi DM tipe 2. Rerata IMT 25,89 ± 4,89 kglm2 dan 65,4% termasuk kriteria BB lebih, rerata asupan energi 1125 ± 315,13 kkal, 61,5% mengkonsumsi lemak yang berlebih, 98,1% mempunyai asupan vitamin E yang kurang. Nilai rerata kadar vitamin E plasma 25,86 ± 5,56 p.mol/L dan 98,1% subyek mempunyai kadar vitamin E normal. Rerata kadar MDA plasma 0,38 ± 0,12 unol1L dan 94,2% subyek memiliki kadar MDA normal. Rerata kadar CRP plasma 3,88 ± 3,13 mgfL dan 46,2% subyek mempunyai kadar CRP yang tinggi. Terdapat korelasi positif lemah dan tidak bermakna (p >0,05) antara asupan lemak dengan kadar vitamin E plasma, dan antara asupan vitamin E dengan kadar vitamin E dan MDA plasma, serta korelasi negatif lemah dengan CRP plasma. Terdapat korelasi positif lemah dan tidak bermakna antara kadar HbArc dengan kadar vitamin E, MDA, dan CRP plasma. Didapatkan korelasi positif lemah dan tidak bermakna (p >0,05) antara kadar vitamin E plasma dengan kadar MDA plasma, demikian pule dengan kadar CRP plasma
Kesimpulan
Antara kadar vitamin E dengan kadar MDA plasma terdapat korelasi positif derajat lemah yang tidak bermakna (p >0,05), demikian pula antara kadar vitamin E plasma dengan kadar CRP plasma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T17677
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Putra Swi Antara
"Latar Belakang. Hipertensi merupakan faktor utama penyebab gagal jantung yang saat ini sudah menjadi pandemi dunia, terutama dalam bentuk gagal jantung dengan preservasi fraksi ejeksi ventrikel. Kontrol terhadap hipertensi secara tradisional dilakukan berdasarkan pemeriksaan rutin ke fasilitas kesehatan yang diikuti dengan pengaturan terapi yang diberikan. Saat ini pengukuran tekanan darah rumah ditempatkan sebagai pemeriksaan tambahan yang dapat memberikan informasi tambahan mengenai kontrol tekanan darah sehingga mencegah terjadinya kerusakan target organ. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara nilai pengukuran tekanan darah rumah dengan derajat disfungsi diastolik sebagai indikator kerusakan target organ.
Metode. Studi potong lintang yang dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UI / RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta pada kelompok pasien hipertensi dari poliklinik rawat jalan yang telah mendapatkan terapi rutin. Pengukuran tekanan darah rumah dilakukan dengan alat yang terstandarisasi. Pemeriksaan ekokardiografi lengkap terhadap parameter diastolik dilakukan dan dikelompokkan berdasarkan derajat disfungsi diastoliknya.
Hasil. Sebanyak 56 pasien ikut dianalisa dalam penelitian ini, dengan rerata umur subyek adalah 51,2 + 7,2 thn dan sebagian besar wanita (58,9%). Didapatkan disfungsi diastolik derajat I pada 11 subyek (19,6%), derajat II pada 19 subyek (33,9%). Parameter fungsi diastolik E/A memiliki hubungan linear yang paling signifikan terhadap TD Rumah sistolik setelah dikontrol terhadap usia, jenis kelamin, IMT, dan DM (R2=0,27;p<0,01). Uji ANOVA menemukan perbedaan rerata TD Rumah Sistolik yang signifikan antara fungsi diastolik normal dan disfungsi diastolik derajat 2 (p=0,02). Uji regresi logistik menemukan perbedaan yang signifikan antara TD Rumah sistolik <127 mmHg dengan TD >135 dengan OR 12,68 (IK 2.03-79.08;p<0.01).
Kesimpulan. Pengukuran TD Rumah Sistolik memiliki hubungan signifikan terhadap derajat disfungsi diastolik. Gangguan parameter fungsi diastolik dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih rendah daripada target yang umum digunakan saat ini.

Background. Hypertension the main factor leading to heart failure which has become a world pandemic, especially in the form of heart failure with preserved ejection fraction. Traditional control for hypertension comprise of regular outpatient clinic visits followed by adjustment of the drug regimen. Recently, home blood pressure monitoring has been been accepted as an additional tool to provide more information on blood pressure control and prevent target organ damage. This study aim to evaluate the relationship between home blood pressure measurement with the degree of diastolic dysfunction as an indicator of target organ damage.
Methods. A cross-sectional study performed at Cardiology and Vascular Medicine Department FK UI / National Cardiac Centre Harapan Kita, Jakarta, on a group of hypertensive patients in the outpatient clinic currently receiving active treatment. Home blood pressure measurement are performed with a standarized device. Full echocardiography study on diastolic function parameters are performed and grouped based on the diastolic dysfunction grade criteria.
Result. Fifty six patients are enrolled in this study with average age of 51,2 + 7,2 y.o. which are mostly women (58,9%). Grade I diastolic dysfunction was found in 11 subjects (19,6%), Grade II on 19 subjects (33,9%). One parameter of diastolic dysfunction, E/A ratio, have the strongest linear correlation with systolic HBP after adjusted for age, sex, BMI, and DM (R2=0,27;p<0.01). ANOVA test found a significant difference on mean of systolic HBPM between normal and grade II diastolic dysfunction (p=0.02). Logistic regression test showed significant difference between <127 and >135 mmHg of systolic HBPM with OR 12,68 (CI 2.03-79.08;p<0.01).
Conclusion. Systolic HBPM have a significant relationship to the degree of diastolic dysfunction. A worsening of diastolic function parameter can occur on a level of blood pressure lower then the target level commonly used today.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ginanjar
"Latar Belakang : Peningkatan resistensi vaskular paru (RVP) pasien stenosis mitral (SM) disebabkan oleh proses reaktif hipertensi pulmoner (HP) sehingga mempengaruhi luaran klinis pascabedah katup mitral. Endotelin-1 (ET-1) sebagai mediator vasoaktif berperan penting pada HP reaktif. Belum ada penelitian yang menghubungkan kadar ET-1 vena pulmoner (VP) dengan RVP.
Tujuan Penelitian : Menilai korelasi kadar ET-1 VP terhadap RVP sebelum dan sesudah pembedahan katup mitral pada pasien SM dengan HP.
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada 28 pasien SM berat dengan HP sedang dan berat yang menjalani pembedahan katup mitral di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dari bulan April hingga November 2014. Dilakukan analisa statistik untuk mencari korelasi antara kadar ET-1 VP dengan RVP sebelum dan sesudah pembedahan katup mitral.
Hasil Penelitian : Terdapat korelasi antara kadar ET-1 VP dengan RVP prabedah (r=0,49, p=0,008), sedangkan dengan RVP pascabedah tidak berkorelasi bermakna (r=0,204, p=0,32). Analisa regresi linear antara kadar ET-1 VP dengan RVP prabedah setelah disesuaikan dengan variabel perancu hipertensi, diabetes melitus tipe 2, fibrilasi atrial, penggunaan penyakat beta dan diuretik didapatkan r=0,5 koefisien β 1,04 dengan interval kepercayaan (IK) 95% (0,401-1,691) p=0,003, sedangkan dengan RVP pascabedah setelah disesuaikan dengan variabel perancu hipertensi, penghambat ACE/ARB, penyakat beta, vasodilator, waktu cross clamp didapatkan r=-0,08 koefisien β -0,2 dengan IK 95 % (-0,99-0,5) p=0,5.
Kesimpulan : Terdapat korelasi positif bermakna dengan kekuatan sedang antara kadar ET-1 VP dengan RVP prabedah, Peningkatan kadar ET-1 VP sebesar 1 pg/ml, akan meningkatkan RVP prabedah sebasar 1,04 WU. Kadar ET-1 VP tidak memiliki korelasi bermakna terhadap RVP pascabedah.

Background : The increased of Pulmonary Vascular Resistance (PVR) in mitral stenosis (MS) patient occurs in reactive pulmonary hypertension, and it affects clinical outcome after mitral valve surgery. Endothelin-1 (ET-1) as vasoconstrictive agent have important role in reactive pulmonary hypertension so far there is no study that corelate pulmonary vein (PV) ET-1 with PVR in MS.
Objectives : To study the correlation of PV ET-1 level with PVR measured by echo before and after mitral valve surgery in patient MS with pulmonary hypertension.
Methods : Twenty eight MS patients with moderate and severe pulmonary hypertension who underwent mitral valve surgery at National Cardiovascular Centre Harapan Kita from April to November 2014. Statistical analysis was done to see the correlation of PV ET-1 level with PVR before and after mitral valve surgery. Blood sample was taken from VP in the operating room and analyzed with Quantikine® ELISA ET-1 Immunoassay. PVR was measured by PVR-AMS formula by echocardiography.
Result : There was a correlation between PV ET-1 and PVR pre surgery (r=0,49, p=0,008), whereas, there was no significant correlation with PVR post surgery (r=0,204, p=0,32). Linear regression analysis was performed, PV ET-1 and PVR pre surgery were adjusted to confounding variables hypertension, diabetes mellitus, atrial fibilation, use of beta blocker and diuretic; r=0,5 β coefisien level 1,04 with confidance interval (CI) 95 % (0,401-1,691), p=0,003. PVR post surgery was adjusted to confounding variables hypertension, dislipidemia, use of ACE-I/ARB, beta blocker, vasodilator, cross clamp time, r=-0,08 β coefisien level -0,2 with CI 95 % (-0,99-0,5), p=0,5.
Conclusion : There was a moderate positive correlation between PV ET-1 with PVR pre surgery, the increased of PV ET-1 level 1 pg/ml, would increase PVR level 1,04 WU. There was no significant correlation between PV ET-1 with PVR post surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>