Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63421 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Susilo Budiono Djarot
"Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara implisit maupun eksplisit menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum atau negara hukum (rechstaat) bukan negara kekuasaan (machstaat). Lebih jauh bila dikaitkan dengan ide-ide dasar yang terkandung dalam Pembukaan (preambul) UUD 1945, menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin hak dan kewajiban setiap warganegara dengan mengedepankan asas kesetaraan dihadapan hukum (equality before tha law) dan pemerintahan wajib menjunjung tinggi hukum dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dengan tidak ada pengecualian. Maka bagi yang melakukan perbuatan melanggar Peraturan Perundang-undangan akan dapat dikenakan sanksi berupa hukuman kurungan atau penjara.
Sistem pemenjaraan yang semata menekankan pada prinsip balas dendam dan penjeraan, berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem yang tidak sejalan dengan falasafah kehidupan bangsa yang menjunjung tinggi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” sebagaimana disebutkan dalam Sila Kedua, Pancasila dan penyelenggaraan Hak Asasi Manusia. Dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri sendiri, keluarga dan lingkungan masyarakat dalam rangka penegakan hukum melalui proses peradilan yang seadil-adilnya. Maka lahirlah Konsep Pemasyarakatan yang mendasarkan pada prinsip “pembinaan” yang bertujuan merehabilitasi dan reintegrasi narapidana dengan tidak meninggalkan teori pemidana yang mendasarkan pada prinsip pembalasan dan penjeraan (ritributif theory/ absolute).
Pemasyarakatan yang dimaksud dalam hal ini harus diartikan dalam konteks "memasyarakatkan" (resosialisasi) yang bertujuan mengembalikan narapidana menjadi warga biasa yang baik dan berguna (helthily re-entry into community). Pemasyarakatan adalah suatu konsep kegiatan pembinaan bagi narapidana atau Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan prinsip penanggulangan tindak pidana dan kesejahteraan bersama melalui cara-cara pembinaan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Terkait dengan Konsep Pemasyarakata di atas, Remisi atau pengurangan masa pidana mempunyai kedudukan strategis sebagai instrument pengukur atau paremeter bagi terselenggaranya tujuan Lembaga Pemasyarakatan. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44540
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abd. Gafur Sangadji
"Skripsi ini membahas pelaksanaan pengetatan remisi narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung pasca uji materiil Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan di Mahkamah Agung dan uji materiil Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di Mahkamah Konstitusi yang diajukan narapidana korupsi.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif untuk menganalisis pelaksanaan pengetatan remisi narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung pasca uji materiil di Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, pengetatan remisi narapidana korupsi yang diatur dalam PP 99 Tahun 2012 oleh narapidana korupsi dinilai bertentangan dengan hak-hak narapidana yang diatur dalam UU Pemasyarakatan. Setelah langkah uji materiil dilakukan narapidana korupsi di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ditolak, maka pelaksanaan pengetatan remisi narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung dilakukan
berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku. Dari 366 narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin, hanya 36 orang narapidana yang mendapatkan remisi. Sebanyak 30 orang mendapatkan remisi sebelum keluarnya PP 99 Tahun
2012 sehingga mereka tidak dikenai pengetatan syarat remisi. Sedangkan hanya 6 orang yang mendapatkan remisi pasca pengetatan yang diatur dalam PP. 99 Tahun 2012 yaitu memenuhi syarat menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda dan uang pengganti

This thesis discuss the implementation of the tightening of remission for corruption prisoners at Sukamiskin Prison after material review in the Supreme Court against Government Regulation Number 99 Year 2012 on the Second
Amendment of Government Regulation Number 32 Year 1999 on Conditions and Mechanisms for the Implementation of the Rights of Prisoners (PP 99 Year 2012) and another material review submitted by corruption prisoners in the
Constitutional Court against Law Number 12 Year 19995 on Correction (Correction Law). The nature of the research is normative juridical with qualitative approve to analyze the implementation of tightening remission for
remission for corruption prisoners at Sukamiskin Prison after those material reviews in the Supreme Court and the Constitutional Court. The result of this research shows that in the view of corruption prisoners the policy to tighten remission for corruption prisoners regulated in PP 99 Year 2012 contradicts with the rights of the prisoners regulated in the Correction Law. After both material reviews in the Supreme Court and in the Constitutional Court has failed, the policy of the tightening remission for corruption prisoners at Sukamiskin Prison in Bandung is implemented according to the applied rules and regulations. Out of 366 corruption prisoners at Sukamiskin Prison, there are only 36 prisoners who have received remission. However, 30 prisoners received the remission before PP 99 Year 2012 being issued so that the tightening remission policy was not applied for them. Meanwhile, only 6 prisoners were able to receive remission after the tightening policy in PP 99 Year 2012 was implemented, because they were
qualified as justice collaborators and has paid fine penalties as well as fine replacements.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Bethesda
"Mempidana terdakwa tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan hanya didasarkan atas perbuatan yang menimbulkan akibat yakni kerugian negara, akan tetapi cukup dengan apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Namun dalam prakteknya bahwa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara membutuhkan adanya kerugian negara yang nyata atau riil. Di samping itu bahwa rumusan ancaman pemidanaan dalam kedua pasal a quo memberikan kontribusi akan terjadinya disparitas pemidanaan karena selain memuat alternatif mengenai jenis-jenis pidana juga memuat ancaman pidana minimum dan maksimum. Keadaan rumusan demikian merupakan ancaman pemidanaan dalam bentuk ruang hampa yang harus dikonkretisasi dalam penjatuhan pemidanaan. Dengan begitu pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menilai efektivitas implementasi pemidanaan dalam kaitannya dengan jumlah kerugian keuangan negara. Kajian yang dilakukan juga merupakan bentuk kajian yuridis normatif melalui pendekatan undang-undang (statute approach)dan analisa putusan (decision analysis). 

Convicting the defendants of corruption in Article 2 and Article 3 of Law Number 20 of 2001 on Amendment to Law Number 20 of 2001 on Corruption Eradication is not only based on acts affecting the state financial or economic losses, but it is rather considered as despicable because it is not corresponding to the sense of justice or the norms of social life in the society. However, state financial or economic losses require real state losses. In addition, the formulation of criminal punishment in the two a quo articles contributes to the disparity of punishment as those do not only contain alternatives regarding types of crime, but also minimum and maximum criminal punishment. This situation is a criminal punishment in the form of vacuum which must be concretized in the criminal conviction. Therefore, the approach used in this research was to assess the effectiveness of implementation of criminalization in relation to the amount of state financial losses. The study conducted was also a form of normative juridical study through a statute approach and decision analysis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54998
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Farhani
"[ABSTRAK
Kekuasaan kehakiman menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah
Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang
dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruhpengaruh
lainnya. Mahkamah Agung dalam memberikan pemberatan dalam hukuman
harus sesuai dengan nilai-nilai, norma hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia. Hal-hal yang menjadi dasar Mahkamah Agung dalam
memperberat hukuman antara lain: UUD 1945 sebagai landasan hukum negara
Indonesia, asas hukum yang adil yang merupakan dasar untuk memutus suatu
perkara, dan kekuasaan kehakiman, yakni kebebasan hakim dalam memutus suatu
perkara terlepas dari pengaruh negara, pemerintah ataupun kekuasaan politik lainnya.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa, dikatakan demikian karena tindak pidana
korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakatnya,
membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat
pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak
membudayanya tindak pidana korupsi. Maka dari itu diperlukan upaya hukum yang
luar biasa pula untuk memberantas tindak pidana korupsi. Salah satunya adalah
dengan memberikan pemberatan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Pemberatan hukuman terhadap terdakwa tindak pidana korupsi tidak semata-mata
sebagai pembalasan yang tidak beralasan, pemberatan hukuman terhadap pelaku
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ini mempunyai
beberapa tujuan antara lain: untuk menegakkan hukum dan keadilan, untuk
kesejahteraan rakyat dan untuk pembaharuan hukum dan pembangunan hukum.

ABSTRACT
Judicial power by the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 is the
independent power carried by a Supreme Court and judicial bodies underneath, and
by a Constitutional Court, to organize judiciary to enforce the law and justice. The
Supreme Court is the Supreme Court of the State of all courts, which in carrying out
their duties free from the influence of government and other influences. The Supreme
Court in giving the weighing of punishment should be in accordance with the values,
norms, laws and regulations in force in Indonesia. Matters on which the Supreme
Court in aggravate the punishment include: 1945 is the legal foundation of the
Indonesian state, the legal principle of fair which is the basis for deciding a case, and
judicial authorities, namely the independence of judges in deciding a case apart from
the influence of the state, government or other political powers. Corruption is an
extraordinary crime, said that because of corruption may endanger the stability and
security of the state and society, endanger the social and economic development of
society, politics, and may even undermine democratic values and morality as they
affect the unsupported corruption. Therefore required extraordinary legal remedy
anyway to eradicate corruption. One way is to give a weighting of convictions for
corruption. Weighting the punishment of the accused of corruption is not solely in
retaliation unwarranted, weighting the punishment of perpetrators of criminal acts of
corruption committed by the Supreme Court has several objectives: to enforce the law
and justice, for the welfare of the people and for the renewal of the law and legal
development.;Judicial power by the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 is the
independent power carried by a Supreme Court and judicial bodies underneath, and
by a Constitutional Court, to organize judiciary to enforce the law and justice. The
Supreme Court is the Supreme Court of the State of all courts, which in carrying out
their duties free from the influence of government and other influences. The Supreme
Court in giving the weighing of punishment should be in accordance with the values,
norms, laws and regulations in force in Indonesia. Matters on which the Supreme
Court in aggravate the punishment include: 1945 is the legal foundation of the
Indonesian state, the legal principle of fair which is the basis for deciding a case, and
judicial authorities, namely the independence of judges in deciding a case apart from
the influence of the state, government or other political powers. Corruption is an
extraordinary crime, said that because of corruption may endanger the stability and
security of the state and society, endanger the social and economic development of
society, politics, and may even undermine democratic values and morality as they
affect the unsupported corruption. Therefore required extraordinary legal remedy
anyway to eradicate corruption. One way is to give a weighting of convictions for
corruption. Weighting the punishment of the accused of corruption is not solely in
retaliation unwarranted, weighting the punishment of perpetrators of criminal acts of
corruption committed by the Supreme Court has several objectives: to enforce the law
and justice, for the welfare of the people and for the renewal of the law and legal
development., Judicial power by the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 is the
independent power carried by a Supreme Court and judicial bodies underneath, and
by a Constitutional Court, to organize judiciary to enforce the law and justice. The
Supreme Court is the Supreme Court of the State of all courts, which in carrying out
their duties free from the influence of government and other influences. The Supreme
Court in giving the weighing of punishment should be in accordance with the values,
norms, laws and regulations in force in Indonesia. Matters on which the Supreme
Court in aggravate the punishment include: 1945 is the legal foundation of the
Indonesian state, the legal principle of fair which is the basis for deciding a case, and
judicial authorities, namely the independence of judges in deciding a case apart from
the influence of the state, government or other political powers. Corruption is an
extraordinary crime, said that because of corruption may endanger the stability and
security of the state and society, endanger the social and economic development of
society, politics, and may even undermine democratic values and morality as they
affect the unsupported corruption. Therefore required extraordinary legal remedy
anyway to eradicate corruption. One way is to give a weighting of convictions for
corruption. Weighting the punishment of the accused of corruption is not solely in
retaliation unwarranted, weighting the punishment of perpetrators of criminal acts of
corruption committed by the Supreme Court has several objectives: to enforce the law
and justice, for the welfare of the people and for the renewal of the law and legal
development.]"
2015
T43101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumi Danang Sufianto
"Penulisan Skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan mengenai pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi, yang kerap kali dinilai masih tidak
maksimal dalam pelaksanaannya, terlebih apabila terhadap harta benda tersebut dilakukan pencucian uang ke luar negeri sehingga menimbulkan permasalahan
antar jurisdiksi. Pemulihan aset tidak hanya dapat dilakukan melalui mekanisme hukum pidana saja, namun juga hukum perdata, termasuk pula kepailitan, hal mana telah diterapkan dalam beberapa kasus yang pernah terjadi di beberapa yurisdiksi,
namun belum pernah diterapkan di Indonesia. Metode penelitian pada skripsi ini adalah penelitian hukum dalam bentuk yuridis normative. Berdasarkan analisis penulis, forum kepailitan, termasuk pula kepailitan lintas batas (cross-border insolvency) dapat menjadi salah satu pilihan untuk memaksimalkan permasalahan pemulihan aset, disamping melalui penuntutan secara pidana dan gugatan perdata. Namun untuk memaksimalkan hal tersebut, Pemerintah perlu mengatur lebih lanjut mengenai kepailitan lintas batas (cross-border insolvency) serta joint bankruptcy dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia.

The writings of this thesis is motivated by issues regarding the recovery of
assets resulting from and related to corruptions, which are often considered to be not optimal in its implementation, especially when the particular assets are being
laundered overseas, and therefore arising an extra-jurisdiction problems. Asset Recovery is not only be done by criminal forfeiture, but also civil forfeiture,
including bankruptcy or insolvency proceedings as well, in which insolvency
proceedings has been applied in several cases in several jurisdictions, but have never been applied in Indonesia. The research method in this thesis is normative judicial legal research. Based on the writer’s analysis, bankruptcy and/or
insolvency proceedings, including the legal instrument of cross-border insolvency,
can be an option to aid and maximize to succeeds asset recovery. However, in order
to maximize its success, the Government should regulate about cross border
insolvency and joint bankruptcy and/or insolvency further , in the Indonesian
Bankruptcy Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prabowo Hario Tri Cahyo
"Penulisan dari tugas karya akhir ini membahas mengenai Program perlindungan yang diberikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK terhadap Justice Collaborator tindak pidana korupsi. Program tersebut dijalankan oleh LPSK sebagai upaya pemberantasan korupsi dengan melindungi Justice Collaborator agar ia dapat bersaksi di pengadilan. Melalui tahapan-tahapan perlindungan seperti pra-perlindungan, perlindungan, dan post-perlindungan, penulis menganalis menggunakan kebijakan kriminal, Sistem Peradilan Pidana, dan konsep program sebagai dasar analisa terhadap perlindungan kepada Justice Collaborator tindak pidana korupsi. Hasil yang diberikan kemudian adalah keberhasilan program perlindungan kepada Justice Collaborator tindak pidana korupsi.

This final paper writing about the Program given by Witness and Victim Protection Agency LPSK to Justice Collaborator of corruption crime. The program conducted by LPSK as an effort to eradicate corruption by protecting Justice Collaborator so that he can testify in court. Through these protection steps, pre protection, protection, and post protection, the authors analyze with criminal policy, criminal justice system, and program concept as the basis for the analysis of the protection of the Justice Collaborator of corruption. The result given later is the success of the protection program to the Justice Collaborator of corruption.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Telaumbanua, Yamofozu
"Tesis ini membahas tentang delik suap seringkali dilakukan dalam bentuk mata rantai yang panjang dengan menggunakan penghubung atau perantara sebagai penghubung dalam mewujudkan terjadinya suap yang mengakibatkan sulitnya mengkualifikasikan kedudukan perantara itu sebagai pemberi atau penerima suap. UNCAC telah mengatur tentang penyertaan dalam delik suap. Namun, konsep tersebut belum jelas untuk dapat diberlakukan dalam kasus-kasus korupsi di Indonesia. Sehingga menimbulkan permasalahan dalam pertanggungjawaban pidana terhadap perantara delik suap, khususnya mengenai pembuktian dan pemidanaan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach) untuk mengetahui konsep penyertaan delik suap pada tindak pidana korupsi di Indonesia, pengaturan penyertaan delik suap yang diatur dalam UNCAC, dan pertanggungjawaban pidana perantara delik suap dalam putusan pengadilan di Indonesia.
Hasil penelitian ini menyimpulkan perantara suap yang tidak memiliki kualitas yang dirumuskan dalam rumusan delik tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, sehingga dengan konsep penyertaan yang digunakan bersama pasal suap, perantara dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
This thesis discusses bribery offense is often done in the form of a long chain by using a liaison or intermediary as a liaison in creating the occurrence of bribery which makes it difficult to qualify the position of the intermediary as the bribe giver or receiver. UNCAC has regulated the complicity in bribery offenses. However, the concept is not yet clear to be applied in corruption cases in Indonesia. Giving rise to problems in criminal liability for intermediaries in bribery offenses, especially regarding proof and conviction.
This study uses a descriptive normative juridical research method using the statue approach and conceptual approach to determine the concept of complicity of bribery offense on corruption in Indonesia, the regulation of complicity of bribery offense regulated in UNCAC, and criminal liability intermediary offense bribery in a court decision in Indonesia.
The results of this study conclude that bribe intermediaries who do not have the quality formulated in the offense formula cannot be held liable for criminal liability, so that with the concept of inclusion used with the bribery article, intermediaries can be called for liability."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54854
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahri Hasan
"Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi melibatkan banyak lembaga penegak hukum dengan berbagai kewenangan yang dimiliki, namun dalam prosesnya masih juga timbul persoalan-persoalan serius. Persoalan tersebut banyak berkaitan dengan kewenangan mengadili yang melekat pada hakim, seringkali hakim menjatuhkan putusan pemidanaan dengan pertimbangan yang tidak relevan dengan fakta-fakta yang muncul di persidangan, terutama ketika hakim memasukan dasar atau alasan peringan pidana terhadap terdakwa sebelum menjatuhkan putusan pemidanaan. Dikeluarkannya peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2020 tentang pedoman pemidanaan terutama berkaitan dengan Pasal 2 dan 3 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pedoman pemidanaan tersebut memiliki peran penting dalam hal untuk meminimalisir kesalahan para hakim sebelum menjatuhkan putusan pemidanaan dalam perkara tindak pidana korupsi khsususnya Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang tindak pidana korupsi.

Law enforcement against corruption involves many law enforcement agencies with various authorities, but in the process serious problems still arise. These problems relate to the judicial authority inherent in judges, the judge often imposes sentencing decisions with considerations that are irrelevant to the facts that appear in court, especially when they include the basis or reason for mitigating the punishment of the defendant before passing a sentencing decision. The issuance of Supreme Court regulation number 1 of 2020 concerning sentencing guidelines is mainly related to Articles 2 and 3 of law Number 31 of 1999 as amended by law Number 20 of 2001 concerning the eradication of criminal acts of corruption. These sentencing guidelines have an important role in terms of minimizing the mistakes of judges before handing down sentencing decisions in corruption cases, especially Article 2 and Article 3 of the corruption law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Misbahul Munir
"Hingga sekarang masih ditemukan banyak masalah mengenai pembentukan undang-undang, dimana salah satunya ialah korupsi legislasi yakni proses pembentukan undang-undang yang tidak sesuai dengan prosedur yang secara normatif telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Permasalahan pokok yang dibahas dalam tesis ini mengenai pembentukan undang-undang selama “lame duck session” di Indonesia, khususnya terkait Undang-undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konfigurasi politik hukum dalam perubahan kedua undang-undang ini selama “lame duck session” bersifat represif/otoriter. Hal ini salah satunya karena unsur partisipasi dan akuntabilitas publik dalam perubahan kedua UU ini tidak dipenuhi, sehingga kedua UU ini dilakukan hanya berdasarkan preferensi politik sekelompok pihak saja. Selain itu, bila dilihat dari aspek prosedur pembentukan UU, perubahan terhadap kedua UU ini telah melanggar asas-asas pembentukan UU, khususnya asas formil sebagaimana dimaksud pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Untuk itu, guna mencegah maraknya korupsi legislasi selama “lame duck session” di Indonesia yang memang relatif lama, dibutuhkan perubahan pengaturan terhadap jarak dari masa pemilihan hingga pelantikan anggota legislatif dan eksekutif serta pembatasan kewenangan mereka, sehinga kebijakan yang bersifat strategis tanpa urgensi yang jelas selama “lame duck session” tidak muncul dan memicu kontroversi di masyarakat.

At present there are still many problems regarding the formation of laws, one of which is legislative corruption, where the process of forming laws is not in accordance with the procedures of Law Number 12 of 2011 concerning the Formation of Legislation, it was determined that the last amendment was made by Law Number 13 of 2022 concerning the Second Amendment to Law Number 12 of 2011 concerning the Formation of Legislation and its products are considered to be made only for certain purposes so that they produce bad products and violate people's rights. The problem discussed in this thesis is how the formation of laws during the "lame duck session" in Indonesia, especially related to Law Number 42 of 2014 concerning Amendments to Law Number 17 of 2014 concerning the People's Consultative Assembly, the People's Representative Council, the Regional Representatives, and the Regional People's Representative Council (MD3 Law) and Law Number 19 of 2019 concerning the Second Amendment to Law Number 30 of 2002 concerning the Corruption Eradication Commission (KPK Law). The research method used is juridical-normative with a conceptual approach, based on how the formation of laws is seen from both a legislative and political aspect, especially during the "lame duck" era. The results of the study show that the configuration of legal politics in the amendments to the KPK Law and the MD3 Law in the “lame duck session” is a repressive/authoritarian legal political configuration, this is because participatory elements that involve the community are not fulfilled so that the formation of laws is only based on the political interests of a group of people, apart from Therefore, if you look at the formation of laws, the Corruption Eradication Commission Law and the MD3 Law have carried out the principles of forming laws and the process of forming laws. This reinforces the configuration of authoritarian legal politics in the amendments to the KPK Law and the MD3 Law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonardo Krisnanta Da Silva
"Kejaksaan dalam menjalani fungsi kekuasaan yudikatif di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan, juga melakukan fungsi-fungsi yudikatif lain yang diberikan oleh undang-undang. Terutama dalam penanganan perkara korupsi yang salah satu tujuan utamanya ialah untuk memulihkan atau mengembalikan kerugian keuangan negara akibat Tindak Pidana Korupsi. Dengan mengoptimalkan kewenangan diskresi Kejaksaan yang sudah
diakui sejak pertama kali diundangkan Undang-Undang Kejaksaan Pokok Kejaksaan Nomor 15 Tahun 1961 bahwa di Indonesia Jaksa Agung berwenang mengenyampingkan perkara
pidana berdasarkan kepentingan umum. Maka seharusnya eksistensi diskresi kejaksaan dengan berlandaskan asas oportunitas dapat dijadikan acuan para jaksa untuk melawan praktik-praktik korupsi yang sudah merajalela dan banyak menimbulkan kerugian keuangan negara, agar proses pengembalian tersebut dapat dilakukan tanpa harus melewati tahapan persidangan yang begitu panjang. Untuk itu maka diperlukan adanya regulasi khusus dan pemahanan komperhensif agar dapat menemukan suatu formula yang tepat dan efektif dalam mengantisipasi berbagai bentuk kejahatan korupsi. Dengan mencari korelasi antara penerapan asas oportunitas dan asas oportunitas, serta dengan menggunakan metode perbandingan hukum terhadap peraturan-peraturan di berbagai negara di dunia.

State Attorney, in running the function of judicial power in prosecution field for law enforcement and justice, also performs other judicial functions which are given by the law. Especially in handling corruption cases that one of the main objectives (purposes) is to recover or restore state financial losses due to Corruption. By optimizing the state Attorneys discretion authority that has been recognized since it was first enacted by the Generals Attorney Law Number 15 of 1961 that in Indonesia the Attorney General has the authority to disregard criminal cases based on public interests. So the existence of a prosecutors (state attorneys) discretion based on the principle of opportunity can be used as a reference to fight corruption practices that are already rampant and cause a lot of state financial losses, so that the return process can be carried out without having to go through such a long trial. For this reason, special regulations and comprehensive understanding are needed in order to find an appropriate and effective formula in anticipating various forms of corruption. By looking for
correlations between the application of the legality of principle and the principle of opportunity, and by using the method of comparing laws against regulations in various countries in the world."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54434
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>