Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80814 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aldry P. Wikrama C.
"Berawal dari SE/121/PJ/2010 butir 6 dan S/193/PJ/2012 yang menyatakan bahwa penyerahan atas Agunan Yang diambil Alih tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang. Terutangnya pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) berupa AYDA adalah saat penyerahan lesse kepada lessor karena terjadinya default yang dilakukan lesse karena gagal bayar. Namun pengertian penyerahan AYDA ini bukan atas dasar konsumsi sesuai dengan sifat PPN tetapi karena suatu perjanjian yang dilakukan oleh lesse dengan lessor pada saat transaksi kredit dilakukan. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan kualitatif dan bertujuan untuk menganalisa ketentuan PPN atas penyerahan BKP atas penyerahan AYDA dan kesesuaiannya dengan konsep penyerahan serta menggambarkan kendala yang dihadapi oleh Perusahaan Pembiayaan dalam melaksanakan ketentuan PPN atas penyerahan AYDA.

As stated in SE/12./PJ/2010 item no 6 and in S/193/PJ/2012, which are saying that the submission of Repossessed Assets is not included in the definition of the Submission of Taxable Goods for the Collateral of Account Payable. The Payable Tax on Taxable Goods in the form of Repossessed Assets is submitted from the lesse to the lessor caused by the lesse's inability to pay by default. Nevertheless, the definition of Repossessed Assets's submission is not based on the consumption as the nature of VAT, instead because of an agreement between the lesse and the lessor when the credit transaction was being held. This research is conducted based on qualitative approach and aims to analyze the submission and to describe the obstacles that are faced by Financing Companies in conducting the terms of VAT on Repossessed Assets submission."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S44275
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Untsa Humaira Awliya Asyadda
"Tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa yang dapat merusak moral bangsa dan menurunkan kualitas hidup masyarakat serta negara. Diperlukan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, salah satunya melalui penjatuhan pidana tambahan bagi pelaku korupsi. Pidana tambahan ditujukan tidak hanya untuk menghukum pelaku korupsi, tetapi juga mencegah pelaku mengulangi perbuatan korupsi di kemudian hari. Salah satunya, dengan cara merampas seluruh hasil korupsi melalui pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Seringkali terjadi kecurangan oleh aparat penegak hukum dalam pelaksanaan eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti ini, salah satunya terkait dengan penyitaan seluruh harta benda milik Terpidana sebagai jaminan pelunasan pembayaran uang pengganti. Oleh sebab itu, penulis memandang perlu untuk melakukan tinjauan hukum terhadap pengaturan terkait penyitaan dalam mekanisme eksekusi pembayaran uang pengganti untuk ketepatan pengaturan terkait penyitaan sebagai bagian dari eksekusi pembayaran uang pengganti. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal, yakni penelitian dilakukan melalui kegiatan menganalisis aturan hukum, doktrin hukum, dan prinsip hukum yang berlaku dan hasil penelitian akan disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyitaan harta benda milik Terpidana sebagai jaminan pelunasan pembayaran uang pengganti tidak beralasan hukum yang jelas dan pasti, karena pengaturannya berbenturan dengan pengaturan terkait penyitaan di dalam KUHAP. Selain itu, penyitaan tersebut tidak memiliki urgensi dalam pelaksanaannya dan justru dikhawatirkan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum yang menyebabkan ketidakadilan bagi Terpidana. Dengan demikian, pada akhir penelitian penulis memberikan saran agar sebaiknya pengaturan terkait penyitaan harta benda milik Terpidana dalam mekanisme eksekusi pembayaran uang pengganti dihapuskan.

Corruption is an extraordinary crime that can damage the moral fabric of a nation and lower the quality of life for its people and country. Efforts to prevent and eradicate corruption are necessary, one of which is through the imposition of additional penalties on perpetrators of corruption. Additional penalties are intended not only to punish corrupt offenders but also to prevent them from repeating acts of corruption in the future. One of these measures is the confiscation of all proceeds of corruption through the additional penalty of replacement money payments. However, irregularities often occur among law enforcement officials in the execution of replacement money payments, particularly regarding the confiscation of all assets owned by convicted individuals as collateral for repayment. Therefore, the author considers it necessary to conduct a legal review of the regulations governing asset confiscation within the mechanism of executing replacement money payments, to ensure accurate regulations on this matter. This study employs a doctrinal method, analyzing legal rules, legal doctrines, and applicable legal principles, with the findings presented descriptively. The results of the research indicate that the confiscation of assets owned by convicted individuals as collateral for replacement money payments lacks clear and definitive legal justification, as its regulations overlap with those governing confiscation under the Indonesian Criminal Procedure Code (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana - KUHAP). Moreover, such confiscation lack urgency in their implementation and raise concerns about potential abuse of authority by law enforcement, leading to injustice for the convicted individuals. Therefore, this study concludes with a recommendation to abolish regulations concerning the confiscation of assets owned by convicted individuals in the mechanism for executing replacement money payments. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Kurnaedi Hidayat
"Mengacu pada ketentuan Pasal 11 UU Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN), saat terutangnya pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) adalah saat penyerahan atau saat pembayaran, mana yang lebih dahulu terjadi. Saat penyerahan BKP kemudian ditentukan dalam beberapa kategori, termasuk pada saat pengakuan pendapatan, saat pengakuan piutang atau saat pembuatan faktur penjualan. Namun penentuan saat penyerahan yang berlaku umum ini tidak berlaku untuk penyerahan BKP konsinyasi yang saat penyerahannya diatur secara khusus pada saat diserahkannya barang untuk dititipkan. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan kualitatif dan bertujuan untuk menganalisa ketentuan PPN atas penyerahan BKP dalam transaksi konsinyasi dan kesesuaiannya dengan konsep penyerahan serta menggambarkan kendala yang dihadapi oleh PKP dalam melaksanakan ketentuan PPN atas transaksi konsinyasi.

Pursuant to provision of Article 11 of prevailing Value Added Tax (VAT) Law, supply on taxable goods is due when the goods are delivered or when the payment are made, whichever occurs first. The taxable supply then determined in several catagories away other things to be in line with the revenue recognition as for accounting purpose, on receivable recognition, or when the invoice is issued. However, this general provision of time supply determination does not apply for supply of goods on consignment transaction that is normally due on delivery of consignment goods. Therefore, the purpose of research that conducted by the qualitative approach is to analyze the VAT provision of supply of goods on consignment transaction and it's conformity with taxable supply concept and describes the obstacles encountered by taxable person in implementing the provision of the VAT consignment transaction."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Teresia
"Penelitian ini membahas metode split payment dalam Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada konten digital. Ketentuan pengenaan PPN pada konten digital telah diatur melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020). Tujuan dari penelitian ini Menjelaskan identifikasi taxable person dan time of supply PPN atas penyerahan konten digital, menjelaskan mekanisme Metode Split Payment pada PPN atas penyerahan konten digital, dan menjelaskan mekanisme Metode Split Payment di negara Polandia, Italia, dan Bulgaria. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi literature mengenai kebijakan dan peraturan Pajak Pertambahan Nilai yang terkait dan jurnal terkait. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa metode split payment atas PPN atas konten digital sesuai dengan konsep taxable person dan time of supply. Mekanisme metode split payment telah diterapkan di negara Bulgaria, Polandia, dan Italia dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan pengusaha lokal yang melakukan pemungutan PPN dan pengusaha asing yang tidak melakukan pemungutan PPN atas konten digital. Skema ini dapat menjadi alternatif di Indonesia sebab Bank selaku penyedia layanan pembayaran terletak di daerah yurisdiksi akibatnya akses informasi pemungutan, penyetoran, serta pelaporan PPN menjadi lebih mudah dilakukan. Dіgіtalіѕaѕі ѕіѕtem рerрajakan harus dilakukan oleh otoritas pajak, terutama DJP meskipun memіlіkі damрak yang рosіtіf walaupun di sisi lain memiliki ƅerƅagai macam tantangan.

This research discusses the split payment method in Value Added Tax (VAT) on digital content. Provisions for the imposition of VAT on digital content have been regulated through Law No. 2 Of 2020 (Law No. 2 of 2020). The research’s objectives are to explain the identification of taxable persons and time of supply of VAT for digital content, explain the mechanism of the Split Payment Method on VAT for digital content, and explain the mechanism of the Split Payment Method in Poland, Italy, and Bulgaria. The type of research is descriptive using quantitative approach with a literature study on related Value Added Tax policies and regulations and related journals. Based on the results, the writer has found that the split payment method of VAT on digital content is in accordance with the concept of a taxable person and time of supply. The split payment method mechanism has been implemented in Bulgaria, Poland, and Italy with the aim of reducing inequality between local entrepreneurs who collect VAT and foreign entrepreneurs who do not collect VAT on digital content. This scheme can be an alternative in Indonesia because the Bank as a payment service provider is located in a jurisdictional area so that access to information on collecting VAT becomes easier. The tax authorities, especially DJP, have to carry out a solicitation issue, even though it has a рositive impact, although on the other hand it has various kinds of challenges."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaban, Nikodemus
"Kepailitan merupakan sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesennya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya Kurator memiliki permasalahan saat mengurus harta pailit (boedel) yang diduga dari hasil tindak pidana. Dalam proses penyidikan, penyidik berdasarkan KUHAP berhak untuk melaksanakan penyitaan barang bukti yang akan dibawa kedalam Pengadilan Pidana untuk dibuktikan. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai kedudukan hukum pidana atas sita umum dalam pemberesan harta (boedel) pailit dan kewenangan kurator terhadap harta pailit yang sedang disita dalam perkara pidana. Selama Pengadilan belum mejatuhkan putusan terkait harta pailit tersebut, kurator masih berwenang untuk melakukan tugas pengurusan seperti mendata dan melakukan verifikasi atas kewajiban debitor pailit, maupun melakukan penelitian terhadap aset debitor pailit yang lainnya termasuk terhadap tagihan-tagihan yang dimiliki debitor pailit. Tetapi apabila dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan menyatakan harta pailit tersebut benar adanya terbukti mengandung unsur pidana, maka kurator harus menyerahkan harta pailit tersebut kepada penyidik untuk kepentingan perkara pidana maupun untuk kepentingan Negara.

Bankruptcy is a general confiscation of property the debtor's bankruptcy, which is arranged and settlement by the receiver under the supervision of the Supervisory Judge. In carrying out its duties and responsibilities, curators have problems when taking care of bankruptcy assets that allegedly came from the proceeds of crime. In the process of the investigation, the investigator based on the Criminal Code is entitled to carry out the confiscation of evidence that will be brought into the Criminal Court to prove. Issues to be discussed in this research is about the position of a general criminal law on confiscation in bankruptcy assets settlement and curator authority on bankruptcy assets being seized in a criminal case. During the court has not yet made a decision related to the bankruptcy assets, curators are still authorized to perform arrangements tasks such as record and verify the obligations of insolvent debtors, as well as conducting research on assets of the debtor bankrupt the other includes the bills owned by the debtor bankrupt. But if the results of the examination conducted by the Court declare bankruptcy assets are true shown to contain criminal elements, then the curator must submit to the investigator of the bankruptcy assets for the sake of a criminal case or for the interest of the State."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malau, Griselda Mariana
"Konsumsi rokok yang terus meningkat dan eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari konsumsi rokok belum dapat diminimalisasi dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, yaitu kebijakan kenaikan tarif efektif Pajak Pertambahan Nilai PPN atas penyerahan hasil tembakau. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis penerapan kebijakan kenaikan tarif efektif PPN atas penyerahan hasil tembakau dari 8,7 menjadi 9,1 . Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan penelitian deskriptif dan teknik pengumpulan data studi literatur dan studi lapangan berupa wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan kebijakan kenaikan tarif efektif PPN atas penyerahan hasil tembakau dari 8,7 menjadi 9,1 dengan dikeluarkannya PMK No. 207/PMK.010/2016 belum berjalan sesuai dengan tujuan kebijakan tersebut diformulasikan, yaitu untuk meminimalisasi eksternalitas negatif dari konsumsi rokok.

The increasing cigarette consumption and the negative externalities caused by cigarette consumption can not be minimized by the government policy which is the increase Value Added Tax VAT effective rate policy on rendering tobacco product. The purpose of this study is to analyze the policy implementation of VAT effective rate increase on rendering tobacco product from 8.7 to 9.1 . This study uses a qualitative approach with descriptive research purpose and the data collection techniques through literature study and field study in the form of in depth interview. The results show that the policy implementation of VAT effective rate increase on rendering tobacco product from 8.7 to 9.1 with the issuance of PMK No. 207 PMK.010 2016 has not been implemented in accordance with the policy objectives are formulated, which is to minimize the negative externalities of cigarette consumption."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fernando Helmi
"Industri Hasil Tembakau (IHT) memiliki potensi yang tinggi dalam meningkatkan penerimaan negara, dikarenakan memiliki daya saing tinggi dalam sektor strategis domestik, dan menghasilkan kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Pada tahun 2022, pemerintah menerapkan PMK Nomor 63/PMK.03/2022, dalam peraturan tersebut, tarif efektif PPN atas penyerahan Hasil Tembakau berubah menjadi 9,9%. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak perubahan kebijakan PPN atas penyerahan Hasil Tembakau ditinjau dari asas revenue productivity dan menganalisis bagaimana strategi perusahaan rokok dalam menghadapi dampak atas perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian post-positivist dengan tujuan penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perubahan kebijakan PPN atas penyerahan Hasil Tembakau telah memenuhi asas revenue productivity, karena atas perubahan tersebut memenuhi the principle of adequacy, the principle of adaptability, dan collection cost yang dijadikan sebagai alat ukur dalam pemenuhan asas revenue productivity. Kemudian, perubahan pada tarif efektif PPN atas penyerahan Hasil Tembakau tidak menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap perusahaan rokok, dikarenakan perusahaan rokok menerapkan strategi regulatory affair dan financial review, sehingga dampak tersebut dapat dikelola dengan baik. Untuk kedepannya, pemerintah diperlukan untuk mempertimbangkan kondisi yang terjadi pada perekonomian, serta memberikan kejelasan hukum lebih lanjut mengenai kebijakan yang akan diterapkan kedepannya. Kemudian, perusahaan rokok perlu mempertimbangkan untuk menambahkan strategi dalam menghadapi segala force majeure, agar dapat lebih siap untuk menghadapi keadaan tersebut.

The Tobacco Industry (IHT) has a high potential to enhance state revenue due to its strong competitiveness in the domestic strategic sector and significant contribution to Indonesia's economy. In 2022, the government implemented Regulation PMK No. 63/PMK.03/2022, which changed the effective Value Added Tax (VAT) rate on tobacco product deliveries to 9.9%. The objective of this research is to analyze the impact of the changes in VAT policy on tobacco product deliveries from the perspective of revenue productivity principle, and to analyze the strategies employed by tobacco companies in facing the effects of the changes in the VAT rate on tobacco product deliveries. This research adopts a post-positivist research approach with a descriptive research objective. The research findings indicate that the changes in VAT policy on tobacco product deliveries have fulfilled the revenue productivity principle, as they comply with the principles of adequacy, adaptability, and collection cost, which serve as measures for fulfilling the revenue productivity principle. Moreover, the changes in the effective VAT rate on tobacco product deliveries have not significantly impacted tobacco companies, as they have implemented regulatory affairs and financial review strategies, effectively managing the associated effects. Looking ahead, it is necessary for the government to consider the prevailing economic conditions and provide further legal clarity regarding future policies. Additionally, tobacco companies need to consider adding strategies to address any force majeure events, ensuring preparedness to face such circumstances."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Erisa
"Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan (Pasal 16 D) merupakan isu PPN yang sering kali menjadi suatu problema di dalam penyelenggaraan sistem kebijakan PPN di Indonesia. Dari problema tersebut menunjukkan betapa rawannya kebijakan PPN Pasal 16 D. Adanya pengecualian pada pasal 9 ayat 8 huruf b banyak menimbulkan dispute di lapangan antara sudut pandang fiskus dengan Pengusaha Kena Pajak, munculnya skema re ekspor serta kendala teknis dalam pelaksanaan Law Enforcement di lapangan memberikan tanda bahwa kebijakan tersebut harus dilakukan penelitian.
Adapun tujuan penelitian yang menggunakan metode kualitatif deskriptif ini adalah pertama menganalisis alasan penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan menjadi obyek PPN dalam rezim UU No. 11 Tahun 1994, kedua menganalisis dasar pemikiran perubahan kebijakan PPN 16 D dalam rezim UU No. 42 Tahun 2009, ketiga, menganalisis pelaksanaan Law Enforcement kebijakan PPN 16 D pada perusahaan garment di KPP PMA Empat, dan keempat mendesain kebijakan PPN atas penyerahan aktiva yang ideal berdasar prinsip yang direkomendasikan AICPA?
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan PPN Pasal 16 D saat ini perlu didesain ulang sehingga memenuhi prinsip-prinsip Simplicity, Certainty dan Neutrality dengan syarat pemberlakuannya adalah sepanjang Pajak Masukan saat diperoleh ?telah? dikreditkan untuk menghindari adanya hidden subsidy dan perlunya dibuatkan aturan pelaksanaan atas kebijakan tersebut sehingga dispute dan agressive tax planning di lapangan dapat diminimalisir.

VAT on transfer assets which is not for sale at first time it purchased (Article 16 D) is the most frequent problem in the VAT policy system in Indonesia. It shows that VAT on transfer asset is a prone policy. The exception article 9 (8) b of VAT policy on transfer asset caused different interpretation between tax oficer and taxable person, re export scheme and technical constraint has signed that VAT on transfer asset policy must be researched.
The objective of this thesis are: first, to analyze why transfer asset is to be taxable supplies, second, what is the rationale or inside of VAT policy on transfer asset regime VAT Tax Law 42/ 2009, third, how does this policy implemented in the garment enterprises at the foreign investment tax office four, fourth, how does the good VAT policy on transfer asset design which recommended by AICPA, especially Simplicity, Certainty and Neutrality principle on which most important in making tax policy. This research is qualitative research with descriptive analysis.
The researh result shows that VAT on transfer asset which is not for sale at first time it purchased ( article 16 D) need to be redesigned by policy maker which is always keep Simplicity, Certainty and Neutrality principles with absolute requirement as long as VAT input when its purchased is allowed to be credited to avoid the hidden subsidy and need to make implementing regulation in order to minimizing dispute and agressive tax planning.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42425
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Azmi Rianto
"PT XYZ merupakan perusahaan yang memproduksi emas dan perak, yang terikat dalam Kontrak Karya Generasi IV. Kontrak Karya seharusnya bersifat mengikat dan telah memuat hak dan kewajiban kedua pihak yang bersepakat, namun yang terjadi justru PT XYZ menghadapi sengketa atas penyerahan ekspor emas batangan. Penelitian ini difokuskan untuk mendeskripsikan penyerahan emas batangan yang dilakukan PT XYZ dengan dikaitkan dengan konsep taxable supplies, kemudian mendeskripsikan kelaziman internasional penyerahan emas batangan, dan menganalisis dampak sengketa terhadap cost of collection PT XYZ. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif, dan teknik analisis data kualitatif. Hasil yang diperoleh adalah, penyerahan emas batangan PT XYZ sesuai dengan konsep taxable supplies, secara kelaziman internasional emas batangan bukan merupakan objek PPN, dan mahalnya biaya yang dikeluarkan PT XYZ untuk penyelesaian sengketa yang terjadi. Oleh karena itu perlunya Undang-undang terkait sifat khusus Kontrak Karya, lalu pembuatan kriteria emas batangan yang dikecualikan dari objek PPN di Indonesia, dan terakhir mengubah aturan khusus yang sebelumnya diterbitkan.

PT XYZ is a company that producing gold and silver, that bounded with Contract of Work Indonesia Government 4th Generation. The contract should be binding and already mention rights and obligations for both sides, but in fact PT XYZ face a dispute related to export supplies of gold bar. This research focus to describing gold bar supplies that done by PT XYZ associated to taxable supplies concept, then describing international practice supplies of gold bar, and analyzing dispute effects to compliance cost of PT XYZ This research using quantitative approach, and qualitative data analyzing technique. The results of this research is, PT XYZ gold bar supplies match with taxable supllies concept, the international practice for gold bar supplies is exempt from VAT, and the high compliance cost that paid by PT XYZ to resolve the dispute. Because of that reasons, there should be a public law that state Contract of Work is a lex specialis, then government should make criteria of gold bar that exempted from VAT, last change the private ruling that already issued."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benajati Munggaran
"Penelitian ini membahas peraturan pengajuan resititusi PPN ditinjau dari asas cost of taxation. Penelitian ini menggunakan pendekatan positivis dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ditinjau dari asas cost of taxation secara umum administrasi pengajuan restitusi PPN telah efektif khususnya dari administrative dan enforcement cost nya. Namun, ditinjau dari aspek compliance cost nya masih terdapat beberapa kekurangan yang dirasakan oleh wajib pajak. Saran dari penelitian ini adalah agar pembuatan kebijakan yang dilakukan sebaiknya memperhatikan compliance cost yang harus ditanggung oleh wajib pajak, dimana hal tersebut akan meningkatkan kesadaran kepatuhan dari wajib pajak.

This research discusses the regulation of Value Added Tax which is reviewed by cost of taxation principle. The VAT refunds mainly reviewed by administrative cost, enforcement cost and compliance cost aspect. This is a descriptive research using positivist approach. The result shows that VAT refunds regulation is progressing into a better stage and generally has been effective. Effectivity seen from administrative and enforcement cost review, however there are a few lacks from the compliance cost aspect review. Furthermore, this research suggests regulation making should consider the burden of compliance cost that taxpayers have to endured."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S47402
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>