Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147896 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budiman Widjaja
"Mutu pelayanan Rumah Sakit adalah identik dengan derajat kepuasan. Pelayanan Rumah Sakit dimulai dari sejak pasien masuk ke halaman Rumah Sakit sampai ke Iuar halaman. Sering pasien menganggap bahwa pelayanan Rumah Sakit kurang bermutu dan merasa tidak puas olch hal-hal kecil.
Salah satu tantangan utama para Profcsional Pelayanan Medis, para manajcr dan administrator untuk eflisiensi penggunaan sumbcr-sumber daya yang terbatas, mcnycdiakan kualitas tinggi, tepat waktu, berdasarkan bukti, praktek terbaik. Perangkat Integrated Care Pathway menawarkan hal tersebut. Orang dan proscs yang sempurna membuat satu Iayanan kesehatan yang berkualitas. Bagaimana Integrated Care Pathway menginformasikan dengan memperkenalkan pengetahuan, peralatan dan kerangka konseptual.
Pada penelitian diambil kasus Demam Berdarah Dengue karena dari data yang ada bahwa kasus Demam Berdarah Dengue adalah kasus yang paling terbanyak sampai dinyatakan olch Dinkes DKI sebagai Wabah sehingga setiap pasien yang didiagnosa Demam Berdaxah Dengue dan dirawat di kclas III di Rumah Sakit Umum Daerah maka biaya pengobatannya akan ditanggung olch Pemda DKI melalui Dinkes DKI.
Tujuan Penelitian disini adalah untuk mengetahui tetjadinya Integrasi dengan implementasi Integrated Care Pathway pada kasus Demam Berdarah Dengue diruangan rawat inap kclas III di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng.
Subjek penelitian adalah pasien yang dirawat di kelas I II dengan diagnosa masuk dan diagnose pulang yang ditulis oleh Doktcr Spcsialis Anak atatt Dokter Spesialis Penyakti Dalam adalah Demam Berdarah Dengue ( DBD ). Karena pasien yang dirawat di kelas 3 dcngan diagnose Demam Berdarah Dengue dijamin oleh Pemda DKI2 Pcnelitian mcnggunakan metode kualitatif secara retrospektif dengan melihat status di bagian rekam medis yang ditulis oleh Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Pcnyakit Dalam. Pasien dengan diagnose Demam Berdarah Dengue yang dirawat dikelas III yang diambil sebztgai penelitian adalah pasien yang dirawat dari bulan I Januari 2008 sampai 3| Oktober 2008.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi tingkat Koordinasi 98 %, Komunikasi 93 %, Kontinuity 54 %, Kolaborasi 93 %. Dengan data tersebut diatas maka dapat disimpulkan Implementasi Integrated Care Pathway pada kasus Demam Berdarah Dengue di RSUD Cengkareng pada dasarnya sudah beljalan cukup baik, hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa hal seperti tindakan menjadi lebih terstandar, pelayanan menjadi Iebih standar sesuai dengan SOP dan tcrintegrasi, jenis:obat obatan dan jumlahnya yang digunakan menjadi tcrstandar, jenis pemeriksaan menjadi terstandar, Iama rawat dirumah sakit menjadi jelas, biaya yang dikeluarkan pasien menjadi Iebih murah.
Saran pada penelitian ini masih perlu dicvaluasi mengenai format Integrated Care Pathway sendiri. Dcngan pcnelitian ini dapat diusulkan masih perlu revisi mengcnai format template Integrated Care Pathway, perlu adanya sosialisasi rutin kcpada setiap pegawai misalnya Dokter dan perawat karena sering terjadi pergantian atau pegawai baru seperti Dokter dan Perawat, dan hal terscbut membuat pelaksanaan Integrated Care Pathway tidak bisa benjalan dengan baik karena mercka bclum memahami pcnggunaan formulir terscbut. bila mungkin untuk kcdepannya template Integrated Care Pathway dapat melibatkan pasicn sehingga pasien _bisa mandiri, menambah pengetahuan pasicn dan mengetahui dengan benar tahapan penanganannya.
Saran untuk Dinkes DKI, perlu dikembangkan pola pclayanan penanganan pasien Dcmam Berdarah Dengue yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah secara scrcmpak mengingat pasien yang ditangani dcngan kasus tcrsebul setiap hari jumlahnya banyak dan hampir dapat dikatakan tidak berhenti dari tahun kc tahun. Dengan data seperti itu maka perlu disikapi untuk pencegahan kasus pcnanggulangan Dcmam Berdarah Dengue dilingkungan dan untuk pasicn yang dirawat di Rumah Sakit dibuat kesepakatan bersama dcngan menggunakan Integrated Care Pathway sehingga biaya yang digunakan dapnt terkontroi dan pztsien yang dapat ditangani menjadi lebih banyak dan jiwa jiwa yang tcrsclamatkan menjadi lebih banyak lagi dan mudah diaudit.
Saran untuk Asuransi, dengan menggunakan Integrated Care Pathway pada kasus ini dapat dibuktikan bahwa pelayanan yang dilakukan seperti pada kasus Dcmam Berdarah Dengue dapat etisiensi sehingga biaya yang digunakan dapat minimal dan asuransi dcngan mudahnya melihat dan melakukan konlrol. Sehingga tidak ada lagi kecurigaan over utilisasi atau Over treatment. Kedepanya dengan bertambahnya kasus yang ada scmoga dapat dibuatkan template ICP untuk kasus kasus yang lain sehingga kepercayaan Asuransi terhadap pelayanan Rumah Sakit dapat meninggakat.
Saran untuk Pasicn, dengan adanya Integrated Care pathway maka pasien dari hari kc hari dapat belajar dan lebih kooperatif scrta mengerti terttang pcnanganan penyaldtnya. Diharapkan dengan pelaksanaan pelayanan menggunakan Integrated Care Pathway pasien bisa Iebih melibatkan diri dan memahami tentang reneana tindakan dan pengobatan yang akan dilakukan untuk dirinya sehingga kcluhan mengenai malpraktek dnpat diperkccil.

The quality of I-lospital service is same with satisfication degree. The hospital services are started from the patient came into yard of hospital until outside ofthe yard. Usually the patient estimated that the hospital?s services under grade and feel unsatislied by small things.
One of the main challenger of Prol`I`essionaI Medical Services, managers and administrator for ellicient useful of limited resources, supply the high quality, on~time, based on evidence, best practice. Tool of Integrated Care Pathway provided those things. People and perfect process make one quality medical How the Integrated cate Pathway infonnea with introducing the knowledge, eqttipntent and conceptual design.
On research, we took Dengue Hemoragic Fever case because it was the majority data until was declared by DKl?s Health District as epidemic, so that every patient which is diagnosed by Dengue l-lcmoragic Fever and treated at third class in Regional General Hospital so the Regional Govemment will be responsible for the cost through DKl?s Health District.
The purpose of research here is knowing how has become the integration with Implementation of Integrated Care Pathway on Dengue Hcmoragic Fever case at III-rd class of treatment room at Ccngkarcng Regional General llospital. Subject of research is patient which is treated at ill-rd class with in diagnose and out diagnose written by Pediatrician or lnternist is Dengue Hemoragic Fever( DHI* ). Because the patient which is treated at III-rd class with Dengue Hemoragic Fever guaranteed by DKI's Regional Government. The research used Qualitative method retrospectively by looking at file in medical record, written by Pediatrician and lnternist. Patient with Dengue Ilemoragic Fever's Diagnose which is treated at 3? class, taken as research is patient were treated from January lst, 2008 until October 31, 2008. The research?s result indicates that there?s Coordination degree 98%, Communication 93 %, Continuity 54 %, Collaboration 93 %. With those data so the implementation of Integrated Care Pathway on Dengue Hemoragie Fever case at Cengkareng Regional General Hospital had already good enough, it can he proved by some things like action to be more standardization, services be more standard agree with SOP and integrated, kind of medicines and the total which is used become standardization, kind of investigation become standardization, length stay at hospital become clear, the cost must be paid by patient become cheaper.
The suggestion on this research still need be evaluated about the format of Integrated Care Pathway itseIĀ£. With this research could be sugecsted that it still need revition about the format template Integrated Care Pathway, it still need routine socialization to every employee such as Doctor and nurse because it often changes or new employee such as Doctor and nurse, and it could make the implementation of Integrated Care Pathway could not work good because they had not understood how to use the form, if possible for the future, the template of Integrated Care Pathway could involved patient so patient could be autonomous., add patient knowledge and know rightly the handling phase.
Suggestion for DKI's Health District, it need to be expanded the pattem of handling service of Dengue Hemoragic Fever patient which is treated at Regional General Hospitaialtogether, considering the total of patient with that case every day more and more and almost can not stop from year to year. With that data so it need to be attention for prevention of Dengue Hemoragic Fever at the area and for patient which is treated at Hospital, made an agreement to go together used by Integrated Care Pathway so the using cost could be controlled and patient that could be take cane could be more and more savely spirit too and easy to be audited.
Suggestion for Insurance, by using Integrated Care Pathway at this case could be proven that the service such as at Dengue Hemoragic Fever case could be efficient so the using cost could be minimal and insurance could be easier see and do the control. So there is not any suspicion over utilization or over treatment. With the additional of case ahead, hopefully it could be made the template of ICP for other cases so that the insurance realiable on l-Iospital`s Services could be increasing.
Suggestion for the patient, with Integrated Care pathway so patient from day to day could leam and more cooperative and understand about the handling of the sickness. Hopefitlly with the implementation service using the integrated Care Pathway, the patient can be more participate and understand about the action planning and medical treatment which will be done to themselves until complaint about malpractice could be smaller.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
T32087
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widia Puspa Hapsari
"

Penelitian menganalisis impelementasi Clinical Pathway (CP) Typhoid fever melalui deskripsi utilisasi pelayanan serta tagihannya pada periode sebelum dan sesudah implemenatsi CP. Studi dilakukan di RS PMI Bogor bertujuan untuk mengeksplor siklus pembuatan CP serta utilisasi pelayanan kesehatan yang diberikan sehingga menimbulkan tagihan. Metode kualitatif digunakan untuk menjelaskan tahapan dalam pembuatan CP dan metode kuantitatif digunakan untuk mengeksplor utilisasi layanan dan tagihan yang ditimbulkan serta melihat signifikansi implementasi CP terhadap utilisasi pelayanan dan billing. Simulasi INA-CBG dilakukan akibat temuan dalam penelitian. Data berasal dari sistem informasi rumah sakit, billing dan rekam medis. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada signifikansi/perubahan pada utilisasi pelayanan secara statistik p-value >0.05 antara kelompok pada periode sebelum dan sesudah implementasi CP melalui Uji T dan Uji non parametrik Mann-Whitney U dengan tingkat kepercayaan 95%. Namun secara substansi terjadi perubahan tagihan pasca implementasi clinical pathway Typhoid fever dari Rp. 4,269,051 meningkat menjadi Rp. 5,225,384. Setelah dilakukan penyesuaian obat yang berfungsi terapeutik dan simtomatik terhadap Typhoid fever, maka total tagihan menjadi Rp. 4,771,016 dan meningkat menjadi Rp. 5,959,796. Proses pencatatan diagnosis di dalam rekam medis menjadi isu di RS PMI Bogor. Adanya potensi undercode yang mempengaruhi severity level kasus INA-CBGs (A-4-14), rumah sakit berpotensi kehilangan sebesar Rp. 485,200 hingga Rp. 1,450,400.


This research elaborated Typhoid fever Clinical Pathway (CP) implementation which were described using service utilization and the incurred billing before and after the implementation of CP. Study was conducted in PMI hospital Bogor and aimed to explore CP development cycle and the later service utilization delivered and hence, the incurred billing from each period (before and after CP implementation). Qualitative method was used to explore stages in CP development and quantitative method was used to explore the significance of CP implementation to service utilization and the billing. INA-CBGs grouping simulation was conducted due to a research finding. Data were derived from hospital information system, billing, and medical records. Study resulted in no significance of service utilization before and after CP implementation and it was predicted using T-test and Mann-Whitney U test showing p-value >0.05. However, changes in billing substantially changed from IDR 4,269,000 to IDR. 5,225,384. Adjustment was done by excluding drugs other than for therapeutic and symptomatic pursposes resulting in the increment of billings (e.g. IDR. 4,771,016 before and IDR. 5,959,796 after CP implementation). Simulation through INA-CBGs grouping showed that there were potential undercoding from higher severity level of Typhoid fever case (A-4-14). Hospital might subsequently lose IDR 485,200 up to IDR.1,450,400 each case reimbursed.

"
2019
T54055
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Swesti Sari Suciati
"Integrated Care Pathway merupakan suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu berdasarkan standar pelayanan medis berbasis bukti bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan. ICP Apendiktomi dibentuk tahun 2013 di RS Awal Bros Batam. Namun belum terdapat analisa ICP terhadap Patient Outcomes dan lama rawat. Penelitian ini melalui pendekatan kuantitatif dilengkapi kualitatif berdasarkan 7 kriteria Malcolm Baldrige. Hasil penelitian ini adalah kepatuhan pelaksanaan ICP menurunkan lama rawat. Namun kepatuhan ICP tidak memiliki hubungan dengan patient outcomes. Hasil analisis berdasarkan kriteria Baldrige menyarankan adanya indikator pencapaian untuk efektifitas pelaksanaan ICP.

Integrated Care Pathway is a planning concept of integrated services based on standards of evidence based medical services aimed at improving quality of service. Apendictomy ICP was formed in 2013 at the Awal Bros Batam. Unfortunately there has been no analysis of ICP on patient outcomes and length of stay. This was a quantitative study which continued by qualitative study using Malcolm Baldrige Criteria. The results showed that the compliance of ICP lowering patient rsquo s length of stay. Meanwhile, the compliance of ICP has no relationship with patient outcomes. The analysis based on the Baldrige criteria suggested to develop performance indicators for effectiveness of ICP implementation."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diba Astried Mixmarina
"Rumah sakit sebagai salah satu institusi kesehatan harus memberikan pelayanan medis kepada seluruh pasien dengan memanfaatkan seluruh kemampuan dan fasilitas yang ada secara optimal dan dengan cara yang seefektif dan seefisien mungkin tanpa mengurangi mutu sesuai dengan standar pelayanan medis yang ada. Untuk. memastikan hal tersebut telah dilakukan perlu dibuat suatu konsep pelayanan yang mencakup seluruh aspek kegiatan yang dijalani pasien sejak awal masuk rumah sakit sarnpai keluar dari rumah sakit. Konsep pelayanan ini dapat dibuat dalam bentuk Clinical Pathway yang dengan rinci dan mendetil menggambarkan perjalanan perawatan pasien di rumah sakit.
Tujuan penelitian ini adalah untuk. mengetahui clinical pathway operasi histerektomi di Rumah Sakit Cengkareng tahun 2006. Pemilihan operasi histerektomi karena histerektomi merupakan tindakan bedah obstetri ginekologi ketiga terbanyak yang dilakukan di kamar operasi Rumah Sakit Cengkareng tahun 2006. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif observasi berdasarkan data rekam medis tahun 2006. Pendekatan dilakukan dengan wawancara mendalam kepada Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi, Manajer Keperawatan dan perawat ruangan serta telaah data.
Hasil penelitian ini menunjukkaan dapat dilakukan pembuatan clinical pathway operasi histerektomi di RS Cengkareng, serta dapat diketahui segal akegiatan pasien sejak pasien berada dalam tahapan pendaftaran, penegakan diagnose, pra operasi, operasi, post operasi dan kontrol. Diagnosis utama yang didapatkan adalah Mioma Uteri Kista Endometriosis, Prolapsus Uteri Grade III, Perdarahan Ante Partum, Adenomiosis Uteri, Kista Ovarium, Displasia Seviks, Ruputra Uteri, Agenesis Vagina, kehamilan EKtopik Terganggu, Kista Endometriosis+Adenomiosis Uteri dan Kista Ovarium + Mioma Uteri. Sedangkan ditemukan diagnosis penyerta yaitu anemia, perdarahan, hipertensi, apendisitis dan abses dinding abdomen, sementara ditemukan penyulit berupa sepsis. Adanya penyerta dan penyulit menyebabkan terjadinya tiga pengelompokan pasien berdasarkan diagnosis utama, yaitu diagnosis utama tanpa penyerta dan penyulit, diagnosis utama disertai penyerta dan diagnosis utama disertai penyerta dan penyulit. Terdapat perbedaan kegiatan pada ketiga kelompok diagnosis tersebut. Umur rata-rata pasien penelitian ini adalah di atas 40 tahun. Rata-rata hari rawat pasien secara keseluruhan adalah 7,2 hari, munnn terdapat perbedaan bila dilihat dari masing - masing kelompok diagnosis utama, peda kelompok diagnosis utama tanpa penyerta dan penyulit selama 5,5 hari, kelompok diagnosis utama disertai penyerta selama 7,8 hari, dan kelompok diagnosis utama disertai penyerta dan penyulit selama 20 hari. Standar asuhan keperawatan khusus untuk perawatan pesien operasi histerektomi belum ada dan hanya menggunakan standar asuhan keperawatan bedah obsgyn. Pada penggolongan dalam ARDRG, histerektomi telah dimasukkan sebagai kelompok diagnosis terkait dengan kode DRG N04Z, namun tidak disebutkan adanya kemungkinan penyakit penyerta dan penyulit yang akan mempengaruhi lama hari rawat dan meningkatkan variasi tindakan yang diterima pasien. Sedangkan pada operasi histerektomi di Indonesia temyata didapatkan adanya beberapa penyakit penyerta dan penyulit.
Saran dari penelitian ini kepada kepada Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologiagar selalu mengisi rekam medis secara lengkap dan jelas dan membantu melengkapi Standar Pelayanan Medik RS yang ada agar dapet dignnakan sebagai acuan dalam pembuatan clinical pathway kasus lainnya. Kepada komite keperawatan agar disusun Standar Asuhan Keperawatan untuk pasien operasi histerektomi dan melengkapi pengisian lembar asuhan kaperawatan dalam berkas rekam. Sementara kepada Manajemen Rumah Sakit disaraakan untuk melengkapi Standar Pelayansn Medik Rumah Sakit agar dapat dijadikan acuan dalam pembuatan clinical pathway, menyesun clinical pathway untuk kasus - kasus terbanyak di RS Cengkareng dan melakukan sosialisnsi kepada seluruh unit tentang penerapan clinical pathway.

Hospital as one of health institution must provide the medical service for all the patient using all of their abilities and facilities optimally with the most efective and efficien ways without decreasing the quality according to the medical service standard. To ensure that, it need a tool as a concept for integrated service which include all aspect of patient's activity start from they enter the hospital until discharge. This concept can be made as a Clinical Pathway which describing all patient's treatment in detail.
The aim of the research is to find out the clinical pathway for hysterectomy at Cengkareng hospital in 2006. The reason of choosing hysterectomy as the example case because of the rank of hysterectomy as the third most obstetric and gynaecology surgery perform at the oparating room at Cengkareng hospital in 2006. This research using the kualitative observative method based on the year 2006's medical record ? The approached is by depth interview with the Obstetric and Gynacologiest, Nursing Manager and room nurse and deta analyzing.
The result of the research showed us that the clinical pathway for hysterectomy can be made and we also can find out all patienfs activities since they were in the stage of admission, diagnosis, pre operative, operative, and follow up. The main prolapse grade III? The average age of the patients in this research are above 40 years old. The average lengths of stay in generally is 7,2 days, but there are differences lengths of stay in each category, for the main diagnosis without commorbidity and complication is 5,5 days, for the main diagnosis without commorbidity is 7,8 days and for the main diagnosis with commorbidity and complication is 20 days.Until now, there is no special nursing service standard for hysterectomy and oly using the common obsgyn surgery nursing service standard. In the grouping of ARDRO, hysterectomy is already as a diagnosis related groups with the code DRO N04Z, but there is no chance of commorbidity and complication who will affect the length of stay and increasing the variety of treatment. On the other side, hysterectomy perform in Indonesia has several commorbidities and complication.
The suggestion for the Gynaecologyst is to fill the medical record clearly and detailed and help to complete the hospital's medical service, which can be used as a tool for creating another clinical pathway. To the nursing committee, it suggest to create a special nursing service stsndard for hysterectomy patient and complete the filling of the nursing service paper in medical record. As to the hospital management, it suggest to complete the hospital medical service standard which can be used as a tool in creating clinical pathway, make clinical pathways for the most cases at Cengkareng Hospital and to socialized the clioical pathway to all units.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T20930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumiarsih Pujilaksani
"Peningkatan biaya pelayanan kesehatan merupakan permasalaban yang dihadapi oleh banyak negrua di belaban dunia. Di Indonesia, pada kurun waktu antara tahun 1995 1arnpai dengan tahun 2002, teloh teljadi kenaikan biaya pelayanan kesehatan yang !rastis. Biaya pelayanan kesehatan indonesia tahun 1995 tercatat 5.8 trilyun dan neningkat menjadi 41 ,8 tri1yun pada tahun 2002. Pengeluaran biaya pelayanan kesehatan li Amerika Serikat pada tahun 2011 nanti diperkirakan meneapai 2.8 trilyun usd, yang berarti naik dari 1.3 trilyun di tahun 2000.
Sehagai respons terhadap biaya pelayanan kesebatan yang terus meningkat, baik pemerintah ataupun perusahaan asuransi besar di berhagai negara mengembangkan berbagai upaya pengendalian biaya. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan nengembangkan sistem pembayaran prospektif sebagni altematif sistem pembayaran jasa per pelayanan (JPP).
Di Indonesia sistem pembayaran prospektif telah direrapkan oleh beberapa pihak penyelenggara jaminan pemeliharaan kesehatan seperti PT. Jamsostek (persero) yang nenerapkan sistem pembayaran paket per hari (PPH) untuk kasus rawat inap, dan Dinas Cesehatan DKI Jakarta yang menerapkan sistem pemhayaran paket per diagnosis yang lisebut sebagai paket pelayanan kesebatan esensial (PPE).
Hasil yang diharapkan dari penerapan sistem pembayaran di atas adaloh biaya kasebatan menjadi lehih efisien ibandingkan dengan sistem JPP. Apakah sistem pembayaran tersebut efektif dalam 1engendalikan biaya rawat inap dibandingkan dengan sistem JPP l belum diketahui.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan di atas. Rancangan penelitian ini ada.iah penelitian survey yang analisisnya dilakukan ecara kuantitatif. Data yang digunakan adalah data primer berupa basil penelusuran okurnen rumah sakil. Ruang lingkup penelitian dibatasi hanya illltuk kasus demam tphoid (tilus) dan demam berdarah denue (DBD) di kelas Ill RS X tahun 2005. Sampel enelitian adalah semua kasus tifus dan DBD yang dirawat di ke!as Ill yang tidak 1empunyai penyulit atau penyakit penyerta.
Penelitian ini melibatkan 437 kasus, yang terdiri dari 379 kasus DBD dan 54 asus tifus. Dari 437 kasus, ada sejumlah 298 merupakan jaminan Dinkes DKI, 92 kasus uninan PT. Jamsostek dan sisanya merupakan jaminan asuransi kesehatan atau erusahaan lain yang menerapkan sistem pembayaran JPP. Berdasarkan basil analisis cara univariat dan bivariat, didapatkan bahwa secara statistik ditemukan perbedaan ang signifikan antara lain hari rawat kasus DBD, pada kelompuk kasus yang dijumlah dengan sistem paket per hari dengan JPP. Berdasarkan hasil uji t independen antara kelompok sistem paket per diagnosis (PPE) dengan JPP, diperoleh basil adanya erbedaan yang signi:fikan antara rata-rata biaya rawat inap kelompok sistem PPE dengan PP. Hal ini berarti bahwa secara statistik terbukti sistem PPE yang diterapkan oleh tinkes DKI efektif untuk mengendalikan biaya rawat inap pada kasus tifus
Disarankan bagi universitas untuk beketjasama dengan organisasi profesi asuransi kesehatan, untuk melakukan penelitian serupa dengan ruang lingkup penelitian yang iperluas~ sebagai dasar pengembangan sistem pembayaran prospektif di Indonesia. Kepada Dinkes DKI Jakarta, disarankan agar seluruh tagihan rumah sakit dapat didokumentasikan secara lengkap dalam sistem data base sehingga dapat dimanfaatkan ntuk evaluas dan merubuat standar obat seperti yang dilaknkan oleh PT. Jamsostek sebagai tambahan usaha pengendalian biaya selain penerapan sistem pembayaran paket or diagnosis. Kepeda PT Iamsostek disarankan dapat meruperluas cakupan pelayanan kehatan dalam paket per hari, sehingga dapat lebih efektif. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T32463
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Tsurayya
"Pemantauan terapi obat merupakan salah satu pelayanan farmasi klinis yang harus dilakukan oleh apoteker klinis di RSUD Cengkareng. Pada laporan tugas khusus ini dilakukan kegiatan pemantauan terapi obat pada pasien dengan diagnosis Congestive Heart Failure (CHF) yang disertai komorbid CKD dan CAD di Ruang Rawat Inap RSUD Cengkareng. Berdasarkan hasil pengamatan dan pemantaun yang dilakukan selama kegiatan PTO pada pasien CHF dengan komorbid CKD dan CAD dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi obat pada pasien sudah cukup baik dan sesuai dengan literatur dan ketentuan pada peraturan yang berlaku. Rekomendasi yang diberikan yaitu pemberian obat untuk indikasi yang belum ada terapi, penggantian obat yang lebih efektif, dan pemberian alternatif obat yang lebih aman untuk pasien jantung, Tindak lanjut yang dapat dilakukan yaitu mengkomunikasikan kepada dokter penanggung jawab pasien (DPJP) terkait hasil identifikasi masalah terkait obat. Selain itu juga perlu dilakukan pemantauan pemantauan hasil laboratorium seperti kadar elektrolit dan fungsi ginjal, pemantauan efek samping dan interaksi obat lainnya.
Monitoring drug therapy is one of the clinical pharmacy services that must be carried out by clinical pharmacists at Cengkareng Regional Hospital. In this special assignment report, drug therapy monitoring activities were carried out in patients with a diagnosis of Congestive Heart Failure (CHF) accompanied by comorbid CKD and CAD in the Inpatient Room at Cengkareng Regional Hospital. Based on the results of observations and monitoring carried out during Monitoring drug therapy activities in CHF patients with comorbid CKD and CAD, it can be concluded that the administration of drug therapy to patients is quite good and in accordance with the literature and provisions in applicable regulations. The recommendations given are administering drugs for indications for which there is no therapy, replacing more effective drugs, and providing alternative drugs that are safer for heart patients. Follow-up that can be done is communicating to the doctor in charge of the patient regarding the results of identifying related problems. drug. Apart from that, it is also necessary to monitor laboratory results such as electrolyte levels and kidney function, monitor side effects and other drug interactions."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rohmah
"Penelitian ini membahas tentang evaluasi implementasi clinical pathway pada penyakit Dengue Hemorrhagic Fever anak di RSUP Fatmawati tahun 2016. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan evaluasi input, proses, dan outcome implementasi clinical pathway pada kasus Dengue Hemorrhagic Fever anak serta mengetahui hambatannya. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dan kualitat if dengan menggunakan operational research dengan metode observasi, wawancara mendalam dan terstruktur. Hasil penelitian didapatkan pengisian clinical pathway pada pasien DHF anak bulan Januari-Juni 2016 sebesar 55,15%. Format clinical pathway DHF anak sudah ringkas dan jelas namun belum lengkap dengan kriteria hasil. Belum optimalnya sosialisasi SPO, edukasi clinical pathway, serta imbalan dan sanksi. Formulir clinical pathway selalu tersedia di ruang rawat inap. Terdapat beberapa masalah dalam proses implementasi clinical pathway yaitu tidak adanya pengisian clinical pathway di IGD atau ruang lain, belum optimalnya kolaborasi antar tenaga kesehatan, belum adanya monitoring dan evaluasi untuk meningkatkan kepatuhan dan kelengkapan pengisian clinical pathway. Evaluasi outcome dari implementasi clinical pathway DHF anak yaitu terdapat variasi pada lama hari rawat 12%, pemeriksaan penunjang DTL, Urine, Feses 99 %, Anti Degue, IgG/IgM 6%, pemeriksaan CXR RLD 55%, gizi 35%, pengobatan parasetamol 40% dan IVFD 2%.

This research discusses the evaluation of clinical pathways implementation in children's Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) disease at RSUP Fatmawati in 2016. This research aims to get input evaluation, process, and outcomes clinical pathways implementation in children's DHF disease and the obstacle. This is a quantitat ive and qualitative research that usen operational research with observation methodology, in-depth and structured interviews. The result shows that clinical pathways admission filling with patient in children?s DHF disease 55.15% in January-June 2016. Clinical pathway's form in children?s DHF disease are concise and clear but no outcome criteria. SPO?s socialization, clinical pathways educating, reward, and punishment are not optimum. Clinical pathway's form are always available at inpatient unit. There are some problems in the process of clinical pathways implemention, there is no filling clinical pathways in the ER (Emergency Room) or the other room, the lack of collaboration among health proffesional, no monitoring and evaluation to improve compliance and completeness of clinical pathways. Outcome evaluation of clinical pathways implementation in children's DHF are variations of length of stay 12%, DTL, Urine, Feses investigation 99 %, Anti Degue, IgG/IgM 6%, CXR RLD 55%, nutrition 35%, parasetamol treatment 40% and IVFD 2%."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S66588
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Radityo Utomo
"ABSTRAK
Tesis ini membahas model Integrated Care Pathway (ICP) perawatan pasien
dengan penyalahgunaan NAPZA putus zat opioid sebagai salah satu kasus.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan koordinasi, komunikasi, kesinambungan dan kolaborasi
pelayanan pasien putus zat opioid belum berjalan optimal yang melibatkan
berbagai unsur disiplin keilmuan pada pelayanan yang diberikan. Model ICP
yang diusulkan agar dikembangkan kembali dengan melibatkan berbagai multi
disiplin ilmu yang terlibat di dalam pelayanan pasien dengan penyalahgunaan
NAPZA putus zat opioid di RSKO Jakarta melalui sebuah kegiatan FGD yang
melibatkan lebih banyak tenaga kesehatan yang terkait dengan layanan sehingga
dapat menghasilkan ICP yang sesuai dengan kebutuhan.

ABSTRACT
This thesis discusses the model of Integrated Care Pathway (ICP) treatment of
patients with drug abuse of opioid withdrawal as one case. This study is a
qualitative study with a descriptive design. The results show coordination,
communication, and collaboration continuity of patient care opioid withdrawal
has not run optimally involving various elements of scientific disciplines on the
service provided. ICP models are proposed for re-developed with the involvement
of a variety of multi-disciplines involved in the care of patients with drug abuse of
opioid withdrawal in RSKO Jakarta through an FGD activities that involve more
health workers associated with the service so that it can produce the ICP in
accordance with the requirements ."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T42804
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Sari Purbandini
"ABSTRAK
Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Pilihan terapi demam tifoid yang bisa digunakan antara lain adalah antibiotik seftriakson, siprofloksasin, dan sefoperazon. Evaluasi penggunaan obat tersebut tidak hanya dilihat secara klinis, tapi juga secara farmakoekonomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas-biaya seftriakson dan non-seftriakson dalam pengobatan demam tifoid. Metode penelitian ini menggunakan metode analisis efektivitas-biaya AEB . Data diambil secara retrospektif dan pengambilan sampel dilakukan secara total sampling dengan melihat catatan rekam medik dan sistem informasi rumah sakit. Pasien yang menjadi sampel penelitian adalah pasien murni demam tifoid dan menggunakan antibiotik seftriakson atau non-seftriakson pada tahun 2016 di RSUD Cengkareng. Sampel yang dilibatkan dalam analisis sebanyak 15 pasien, yaitu 10 pasien kelompok seftriakson dan 5 pasien kelompok non-seftriakson. Efektivitas pengobatan diukur dalam efektivitas persentase pasien dengan lama hari rawat kurang dari sama dengan 5 hari . Biaya didapatkan dari median total biaya pengobatan, meliputi biaya obat, biaya alat kesehatan, biaya obat lain, biaya cek laboratorium, biaya tindakan, biaya jasa dokter, serta biaya kamar rawat. Berdasarkan hasil penelitian, efektivitas seftriakson 66,67 lebih besar dibandingkan efektivitas non-seftriakson 33,33 . Total biaya pengobatan seftriakson lebih rendah Rp 1.929.355,00 dibandingkan non-seftriakson Rp 2.787.003,00 . Nilai rasio efektivitas-biaya REB seftriakson lebih rendah Rp 28.938,88/ efektivitas dibandingkan non-seftriakson Rp 83.618,45/ efektivitas . Hasil akhir menunjukkan bahwa seftriakson lebih cost-effective dibandingkan non-seftriakson.

ABSTRAK
Typhoid fever is caused by bacterial infection Salmonella typhi or Salmonella paratyphi. Typhoid fever treatment which can be used such as ceftriaxone, ciprofloxacin, and cefoperazone. The evaluation of drugs not only seen by clinical aspect but also from economic aspect. The study aimed to evaluate the cost effectiveness of ceftriaxone and non ceftriaxone for typhoid fever patients. Cost effectiveness analysis CEA was chosen to be the method of this study. Data were taken retrospectively and sampling was done using total sampling based on medical records and hospital information systems. Patients who become the samples are patients diagnosed typhoid fever only and use ceftriaxone or non ceftriaxone as the antibiotics. The number of samples were 15 patients, which included 10 patients used ceftriaxone and 5 patients used non ceftriaxone. The effectiveness is measured by effectiveness percentage of LOS less than or equal to 5 days . The cost is median of total cost, summed from the cost of drug, other drugs, medical devices, laboratory tests, physician, healthcare services, and hospitalization. Based on result study, the effectiveness of ceftriaxone 66.67 is greater than non ceftriaxone 33.33 . Total cost of ceftriaxone Rp 1,929,355.00 is less expensive than non ceftriaxone Rp 2,787,003.00 . Average cost effectiveness ratio ACER of ceftriaxone Rp 28,938.88 effectiveness is lower than non ceftriaxone Rp 83,618.45 effectiveness . The final result showed that ceftriaxone is more cost effective than non ceftriaxone. "
2017
S69258
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"RSUD Cengkareng sebagai rumah sakit umum daerah milik pemerintah daerah diperuntukan untuk melayani kesehatan masyarakat secara luas. Karena itu sebagian besar pasien yang datang adalah masyarakat dari golongan menengah ke bawah, Dengan kondisi demikian maka dapat diperkirakan volume pasien yang datang akan tinggi Karena itu kecepatan pelayanan menjadi tuntutan dalam menjalankan rumah sakit ini. Segmentasi masyarakat menengah ke bawah menyebabkan kebutuhan untuk kelas 3 rawat inap menjadi tinggi. Karena itu pada rumah sakit ini kapasitas kelas 3 menjadi terbesar dan penanganan kecepatan pelayanan terfokus. untuk kelas ini mengingat jumlah pasien yang besar. Permasaiahan yang timbul dalam pelayanan rawat inap tersebut adalah lamanya proses masuk rawat inap dikarenakan tidak diketahuinya secara cepat jumlah tempat yang tersedia. tidak adanya sistem antrian reservasi. dan juga proses keluarya billing pasien saat akan keluar yang membutuhkan waktu lama. Masalah tersebut dapat diatasi dengan merancang dasar sistem inforrnasi untuk proses rawat inap dengan berbasiskan jaringan komputer. Pcrancangan ini meliputi pembuatan rancangan proses dan model data. Dalam penglolahan data juga dilakukan penentuan fungsional SDM rawat inap dan perancangan penunjang proses rawat inap yang meliputi dokumen rawat inap, penomoran tempat tidur, job description, pewarnaan rekam medis rawat inap, untuk mendukung proses yang telah dirancang"
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
S49744
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>