Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127720 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nopriyati
"Diantara peneliti ada perbedaan temuan klinis hasil ASST pada urtikaria kronik idiopatik (UKI). Tanuus dkk (1996) melaporkan tidak ada perbedaan klinis bermakna pada UKI, sedangkan Sabroe dkk (1999) menemukan perbedaan bermakna dalam hal durasi dan gatal pada UKI. Prevalensi urtikaria pada Rumah Sakit Dr. Moh. Hoesin Palembang memperlihatkan peningkatan tetapi tidak ada data mengenai UKI dan derajat gambaran klinis. Tujuan penelitian untuk mencari hubungan antara hasil ASST dengan derajat gambaran klinis UKI dan membandingkan gambaran klinis UKI dengan hasil ASST positif dan ASST negatif. Penelitian ini merupakan studi analitik dengan rancangan cross sectional. Lima puluh empat subjek diikutkan dalam studi setelah diseleksi. Persetujuan etik didapatkan dari Unit Bioetik dan Humaniora FK Unsri. Anamnesis UKI berupa gambaran klinis berupa skor klinis dan data hasil pemeriksaan fisik dikumpulkan dan dianalisis menggunakan piranti lunak SPSS. Korelasi Spiermann digunakan untuk menganalisis hubungan diantara derajat gambaran klinis UKI dengan hasil ASST. Ada hubungan bermakna diantara tingkat keparahan klinis UKI dengan hasil ASST (p=0,00; 0,598). Pasien UKI dengan skor 27 (nilai cut-off) 11 kali lebih sering menderita urtikaria autoimun daripada pasien dengan nilai cut-off dibawah 27 (p=0,00).

There were differences in clinical finding among authors about autologous serum skin test/ASST result in chronic idiopathic urtikaria/CIU. Tanus et al (1996) reported there was no significant differences in clinical features of CIU, whereas Sabroe et al (1999) found significant differences in duration and itch of CIU patients. The prevalence of urticaria in General Hospital Dr. Moh. Hoesin Palembang showed increased tendency but there was no data about CIU and the severity of clinical features. The objectives of this study were to find out the significant correlation between ASST and severity of clinical features of CIU, and compared the difference of clinical features of CIU with and without positive ASST. This study was an observational analytic study, with cross sectional design. Fifty four subjects included in this study after following selection. Ethical approval was obtained from Bioethics and Humanities Unit, Faculty of Medicine Sriwijaya University and Dr. Moh. Hoesin Hospital Palembang. The clinical feature of 54 patients with CIU were evaluated. The data of physical examination and the anamnesis about clinical scores collected and analyzed using SPSS software and Spierman correlation was used to analyze the correlation between clinical severity of CIU and ASST result. Student?s t-test was used to analyze the differences in clinical severity of CIU with and without positive ASST. There was significant correlation between the severity clinical feature of CIU and ASST result (p=0,00 ; R=0,598). Patients with positif ASST results (46,3%) had more duration of illness (0,00), higher pruritus score (0,00), and angiodema score (0,024). The CIU patients with severity clinical score of 27 (cut-off point), 11 times more likely to develop autoimmune urticaria than the patients with cut-off below 27 (p=0,00)"
Lengkap +
Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Julia R.D. Nizam
"UKSA metode Sabroe dinyatakan positif bila diameter edema akibat penyuntikan serum lebih besar atau sama dengan 1,5 mm dibandingkan dengan diameter edema akibat penyuntikan satin, dan eritema akibat penyuntikan serum sewama dengan eritema akibat penyuntikan histamin. Dengan menggunakan kriteria tersebut, sensitivitas berkisar 65-71 %, dan spesifisitas mencapai 78-81 %.
RW Soebaryo (2002) dengan menggunakan metode tanpa kontrol positif (histamin), melaporkan angka kepositivan UKSA pada 31 pasien dari 127 pasien UK (24,4%). Penulis akan meneliti prevalensi kepositivan UKSA pada pasien UK dengan menggunakan pemeriksaan UKSA metode Sabroe yang dapat rnemberi hasil sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, sehingga dapat diperoleh angka morbiditas UA di antara pasien UK secara tepat.
PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
a. Penyebab UK sebagian besar (50-80 %) tidak diketahui (UKI). Sekitar 50% pasien UKI temyata memiliki etiologi autoimun. Untuk membuktikan etiologi autoimun dapat dilakukan pemeriksaan UKSA metode Sabroe yang memberikan angka sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi autoantibodi dalam serum pasien.
b. Gambaran klinis pasien yang memiliki autoantibodi fungsional cenderung lebih parah dibandingkan dengan pasien tanpa autoantibodi.
PERTANYAAN PENELITIAN
a. Berapakah angka kepositivan UKSA metode Sabroe pada pasien UK di Departemen IKKK RSCM ?
b. Apakah terdapat perbedaan keparahan klinis antara pasien UK dengan UKSA positif dan pasien UK dengan UKSA negatif ?
TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui prevalensi kepositivan UKSA metode Sabroe pada pasien UK.
2. Menilai dan membandingkan gambaran klinis antara pasien UK dengan UKSA positif dan pasien UK dengan UKSA negatif."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T 21445
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridha Rosandi
"[Latar belakang : Terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan darah dalam patogenesis urtikaria kronis. D-dimer yang merupakan produk akhir jalur pembekuan darah secara tidak langsung dapat digunakan untuk menilai trombin di darah. Trombin dapat menimbulkan edema karena dapat meningkatkan permeabilitas kapiler, dapat menstimulasi degranulasi sel mast, dan mengaktifkan komplemen C5a. Tujuan : Mengetahui rerata kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis serta korelasi antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan penyakit dan lama sakit pasien urtikaria kronis. Metode : penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, dengan subyek penelitian sebanyak 30 pasien. Dilakukan penilaian Urticaria Activity Score dan lama sakit serta pemeriksaan kadar D-dimer. Hasil: Nilai tengah kadar D-dimer pada 30 SP adalah 100 μg/L. Pada penelitian ini terdapat 5 SP (16,67%) yang terdapat peningkatan kadar D-dimer. Terdapat korelasi positif kuat antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis (r = 0,8; p = 0,0000). Terdapat korelasi positif lemah antara kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis (r = 0,05; p = 0,979). Kesimpulan: Terdapat korelasi positif kuat antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis dan korelasi positif lemah antara kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis., Background : There are some studies that show blood clotting pathways involved in the pathogenesis of chronic urticaria. D - dimer is a blood clotting pathway end products can indirectly be used to assess thrombin in the blood. Thrombin can induce edema because it can increase capillary permeability , can stimulate mast cell degranulation , and activating the complement C5a. Objective : Knowing the average levels of D - dimer in chronic urticaria patients and the correlation between D - dimer levels with severity and disease duration. Methods : This study is a cross sectional study , the study subjects were 30 chronic urticaria patients. Assessment urticaria activity score ,disease duration and D – dimer level on all patients. Results : Median of the D - dimer levels in 30 patients is 100 ug / L. In this study there were 5 patients ( 16.67 % ) with elevated levels of D - dimer. There is a strong positive correlation between D- dimer levels with severity of chronic urticaria ( r = 0.8 ; p = 0.0000 ). There is a weak positive correlation between D - dimer levels with disease duration ( r = 0.05 ; p = 0.979) . Conclusions : There is a strong positive correlation between D - dimer levels with disease severity and weak positive correlation between D - dimer levels with disease duration of chronic urticaria.]"
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Sopiyudin Dahlan
Jakarta: Sagung Seto, 2021
617.02 SOP m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Marvin Pili
"Pendahuluan: Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) bertujuan untuk menstandardisasi manajemen perioperatif dan meningkatkan luaran klinis. Implementasi ERAS pada total knee replacement (TKR) mengurangi mortalitas, transfusi, komplikasi, dan length of stay (LOS) tanpa mempengaruhi readmisi. Studi ini bertujuan mengevaluasi ERAS pada pasien TKR unilateral di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain klinis acak tersamar tunggal di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Fatmawati, Jakarta, dengan 55 pasien TKR unilateral berusia 60-70 tahun dengan OA grade III-IV sebagai subjek. Metode analisis data melibatkan SPSS dengan uji normalitas, Chi-square, T tidak berpasangan, dan Mann Whitney untuk menilai efektivitas ERAS dibandingkan dengan protokol konvensional.
Hasil: Hasil menunjukkan bahwa protokol ERAS meningkatkan skor Knee Special Score (KSS) (p=0,001, mean difference=4,09) dan Oxford Knee Score (OKS) (p<0,001, mean difference=4,98), serta mengurangi durasi rawat inap (p<0,001, mean difference=-2,15 hari) dan nyeri pascaoperasi (p<0,001, mean difference=-2,01) dibandingkan protokol konvensional. Faktor pre-operatif dan post-operatif seperti usia, komorbiditas, dan mobilisasi dini memberikan pengaruh terhadap durasi lama rawat inap. ERAS efektif menurunkan nyeri pascaoperasi dan meningkatkan skor KSS serta OKS. Integrasi edukasi praoperatif, manajemen nyeri, mobilisasi dini, dan perawatan perioperatif komprehensif meningkatkan hasil fungsional.
Kesimpulan: Program ERAS secara signifikan memperbaiki skor KSS, OKS, mengurangi durasi rawat inap, dan menurunkan nyeri pascaoperasi pada pasien TKR unilateral dibandingkan protokol konvensional.

Introduction: Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) aims to standardize perioperative management and improve clinical outcomes. ERAS implementation in total knee replacement (TKR) reduces mortality, transfusions, complications, and length of stay (LOS) without affecting readmissions. This study aims to evaluate ERAS in unilateral TKR patients in Indonesia.
Methods: This study utilized a single-blind randomized clinical trial design at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo and RS Fatmawati, Jakarta, involving 55 unilateral TKR patients aged 60-70 years with grade III-IV OA. Data analysis methods included SPSS, normality tests, Chi-square, independent T-tests, and Mann Whitney tests to evaluate the effectiveness of ERAS compared to conventional protocols.
Result: The results show that the ERAS protocol improves Knee Society Score (KSS) (p=0.001, mean difference=4.09) and Oxford Knee Score (OKS) (p<0.001, mean difference=4.98) scores, reduces length of stay (p<0.001, mean difference=-2.15 days), and decreases postoperative pain (p<0.001, mean difference=-2.01) compared to conventional protocols.
Discussion: Pre-operative and post-operative factors such as age, comorbidities, and early mobilization influence the length of stay. ERAS effectively reduces postoperative pain and improves KSS and OKS scores. Integrating preoperative education, pain management, early mobilization, and comprehensive perioperative care enhances functional outcomes.
Conclusion: The ERAS program significantly improves KSS, OKS scores, reduces length of stay, and decreases postoperative pain in unilateral TKR patients compared to conventional protocols.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Grace Nami
"Urtikaria kronik (UK) adalah urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dengan frekuensi minimal kejadian urtika sebanyak dua kali dalam 1 minggu. Urtikaria kronik merupakan penyakit yang umum dijumpai dengan insidens pada populasi umum sebesar 1-3%, serta melibatkan mekanisme patofisiologi yang kompleks. Urtikaria kronik lebih sering ditemukan pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak dan wanita dua kali lebih sering terkena daripada pria. Laporan morbiditas divisi Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta antara Januari 2001 hingga Desember 2005 menunjukkan jumlah pasien UK sebesar 26,6% dari total 4453 orang pasien baru.
Meski telah dilakukan pemeriksaan klinis maupun berbagai pemeriksaan penunjang, etiologi tidak ditemukan pada 80-90% pasien UK dan digolongkan sebagai urtikaria kronik idiopatik (UKI). Urtikaria kronik idiopatik seringkali menimbulkan masalah bagi dokter maupun pasien. Pada penelitian lebih lanjut ditemukan autoantibodi pelepas histamin pada 30-50% kasus UKI, sehingga digolongkan sebagai urtikaria autoimun (UA). Autoantibodi pada UA dapat dideteksi dengan beberapa pemeriksaan, antara lain uji kulit serum autolog (UKSA) atau disebut pula tes Greaves. Saat ini UKSA dianggap sebagai uji kiinik in vivo terbaik untuk mendeteksi aktivitas pelepasan histamin in vitro pada UA. Angka morbiditas UA di Indonesia belum pernah dilaporkan hingga saat ini. Soebaryo (2002) melaporkan angka kepositivan UKSA sebesar 24,4% pada 127 pasien UK, sedangkan Nizam (2004) memperoleh angka prevalensi kepositivan UKSA sebesar 32,1% pada 81 pasien UK.
Infeksi kuman Helicobacter pylori (Hp) merupakan infeksi bakterial kronik tersering pada manusia, mencapai 50% dari seluruh populasi dunia. Peran infeksi Hp sebagai etiologi kelainan gastrointestinal telah diterima luas. Studi lebih lanjut menemukan keterlibatan infeksi Hp pada berbagai kelainan ekstragastrointestinal, antara lain UKI.
Berbagai penelitian di Iuar negeri memperlihatkan tingginya prevalensi infeksi Hp pada pasien UKI, disertai dengan remisi klinis UKI pasca terapi eradikasi Hp. Pada penelitian-penelitian awal didapatkan angka prevalensi mencapai 80% dan remisi klinis pasta terapi eradikasi Hp terjadi pada 95-100% pasien. Pada penelitian-penelitian selanjutnya ditemukan prevalensi dan frekuensi keterkaitan yang bervariasi. Suatu studi meta-analisis mengenai infeksi Hp pada UKI menyimpulkan bahwa kemungkinan terjadinya resolusi urtika empat kali lebih besar pada pasien yang mendapat terapi eradikasi Hp dibandingkan dengan pasien yang tidak diterapi. Namun demikian, remisi total hanya terjadi pada 1/3 pasien yang mendapat terapi eradikasi. Pengamatan ini mendasari timbulnya pemikiran bahwa Hp berperan penting sebagai etiologi pada sebagian kasus UKI."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21318
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsha Bianti
"Latar belakang: Penilaian keaktifan penyakit urtikaria kronik selama ini menggunakan kuesioner Urticaria Activity Score (UAS) yang telah divalidasi namun memiliki kekurangan bersifat subjektif. Berbagai biomarker telah dilaporkan berpotensi menilai keaktifan penyakit urtikaria kronik secara objektif untuk melengkapi penilaian menggunakan kuesioner UAS tetapi belum secara rutin dan seragam digunakan pada urtikaria kronik. C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu biomarker potensial yang secara luas tersedia dengan biaya yang tidak tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian di Indonesia yang menilai apakah CRP dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menilai keaktifan penyakit urtikaria kronik.
Tujuan: Menilai korelasi antara kadar CRP dengan keaktifan penyakit urtikaria kronik yang dinilai berdasarkan UAS7.
Metode: Sebanyak 18 pasien urtikaria kronik berusia 18 – 59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan menjadi subjek penelitian. Dilakukan penilaian UAS7 dan pemeriksaan kadar CRP. Korelasi kadar CRP dan keaktifan penyakit yang dinilai dengan UAS7 dilakukan menggunakan uji Spearman.
Hasil: Lebih dari 1/3 pasien dengan urtikaria kronik memiliki kadar CRP yang meningkat di atas normal dengan nilai median 2,5 (0,1 – 8,7) mg/L. Median skor UAS7 adalah 14 (5 – 32). Berdasarkan uji Spearman didapatkan nilai koefisien korelasi (r=0,529) dengan nilai p=0,024.
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara kadar CRP dengan keaktifan penyakit urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner UAS7.

Background: Urticaria Activity Score is a questionnairres that has been use as a tool to assess disease activity. This tool is validated and of great value in the monitoring of patients with chronic urticaria, but has disadvantage of being subjective instrument. Several reports have suggested that blood parameter, such as CRP, may indicate disease activity and may be considered as potential biomarker for chronic urticaria however, it is not routinely used in daily practice in Indonesia. Therefore, research is needed to see whether CRP can be supporting examination of choice to assess disease activity.
Objective: To assess the correlation between CRP levels and disease activity measured by UAS7.
Method: Eighteen chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias are recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of CRP levels were performed. Correlation of CRP levels and diasease activity was done using Spearman analysis.
Results: CRP levels was higher in more than 1/3 patients with chronic urticaria with median 2,5 (0,1 – 8,7) mg/L. The median of UAS7 is 14 (5 – 32. Based on Spearman analysis, the coefficient of correlation is 0,529 with p value = 0,024.
Conclusion: CRP levels was significantly correlated with disease activity as measured by UAS7.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muh Tri Nugroho Fahrudhin
"Lumbar canal stenosis merupakan penyebab utama disabilitas pasien. Selective Nerve Root Block (SNRB) pada area lumbar adalah salah satu metode terapi untuk mengatasi nyeri akibat radikulopati lumbar yang bertujuan mengurangi kebutuhan operasi. Ultrasonografi (USG) muncul sebagai alternatif dengan kelebihan seperti tanpa radiasi, mobilitas tinggi, kemampuan pencitraan jaringan lunak, dan penetrasi jarum real-time jika dibandinagkan menggunakan Floroskopi. Penelitian ini merupakan studi uji klinis acak non-inferiority tersamar tunggal yang dilakukan di 2 Rumah Sakit. 52 subjek penelitian yang terdiri dari 26 subjek yang dilakukan tindakan SNRB dengan panduan fluoroskopi dan 26 subjek yang dilakukan tindakan SNRB dengan panduan USG. Tidak ada perbedaan karakteristik dasar antara kedua kelompok berdasarkan usia, jenis kelamin, IMT, durasi gejala. level lumbar VAS, maupun ODI pre operasi (p > 0,05). Penelitian ini menunjukkan penurunan signifikan pada nilai VAS di kelompok floroskopi dan USG pada 30 menit, 2 minggu, dan 12 minggu setelah tindakan dibandingkan dengan baseline (p < 0,01). Kendati demikian, tidak ada perbedaan VAS dan ODI yang signifikan antara kedua metode panduan pada setiap titik waktu (p > 0,05). Tidak terdapat perbedaan dalam pengurangan nyeri radikular lumbal, skor ODI, dan kejadian komplikasi antara tindakan SNRB dengan panduan fluoroskopi maupun USG. Penggunaan panduan USG pada SNRB terbukti lebih efisien dengan durasi yang lebih singkat dan sama efektifnya dengan fluoroskopi.

Lumbar canal stenosis is a leading cause of patient disability. Selective Nerve Root Block (SNRB) in the lumbar area is a therapeutic method aimed at alleviating pain from lumbar radiculopathy to reduce disability and surgical needs. SNRB typically employs fluoroscopy but has drawbacks such as radiation exposure. Ultrasonography (USG) has emerged as an alternative offering benefits. This was a randomized single-blind non-inferiority clinical trial conducted at 2 Hospitals. There were 52 subjects, with 26 undergoing SNRB with fluoroscopy guidance and 26 with USG guidance. No baseline characteristic differences were found between the groups in terms of age, gender, BMI, symptom duration, preoperative lumbar level VAS, or ODI (p > 0.05). The study demonstrated significant reductions in VAS scores in both fluoroscopy and USG groups at 30 minutes, 2 weeks, and 12 weeks post-procedure compared to baseline (p < 0.01). However, no significant differences in VAS and ODI were observed between the two guidance methods at any time point (p > 0.05). There was no difference in the reduction of lumbar radicular pain, ODI scores, and complication rates between SNRB procedures guided by fluoroscopy and USG. USG guidance in SNRB proves to be more efficient with shorter duration and equally effective as fluoroscopy."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pocock, Stuart J.
New York: Wiley, 1983
615.707.24 POC c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Spilker, Bert
New York: Raven Press, 1984
615.580 SPI g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>