Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15993 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Tujuan: Mempelajari perubahan tatanan miokardium ventrikel pada model hipertrofi fisiologik akibat latihan fisik jangka panjang dan detraining. Metode: Studi eksperimental in vivo menggunakan tikus galur Wistar jantan (8 minggu), berat 150-250g dan dibagi menjadi 3 kelompok utama yaitu kelompok kontrol, perlakuan erobik dan anerobik. Kelompok perlakuan terdiri dari 2 sub grup, yi. diberi latihan fisik selama 4 dan 12 minggu. Semua kelompok perlakuan dibagi menjadi 2 kelompok, satu kelompok dilakukan detraining selama 4 minggu sedang satu kelompok lagi tidak. Pada akhir minggu ke 4 dan 12 untuk kelompok kontrol dan perlakuan, dan minggu ke 8 dan 16 untuk kelompok training-detraining dilakukan pembedahan untuk mempelajari pemeriksaan morfometrik dan struktur histopatologi miokardium. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna berat jantung dan tebal ventrikel kiri pada kelompok aerobik dan anaerobik 4 minggu dibandingkan kontrol (751.0 ± 36.5 gr dan 791.1 ± 15.8 gr vs 588 ± 19.4 gr), (3.34 ± 0.12 mm dan 3.19 ± 0.1 mm vs 2.80 + 0.07 mm). Berat jantung kelompok erobik dan anerobik 12 minggu mengalami peningkatan dibandingkan kelompok kontrol (1030.8 + 82.4 gr dan 1140.4 + 0.24 gr vs 871.6 + 62.0 gr). Volume jantung kelompok erobik dan anerobik 12 minggu mengalami peningkatan perbedaan bermakna ( 3.58 + 0.31 mm dan 4.04 + 0.30 mm) dibandingkan kelompok kontrol (2.82 + 0.14 mm). Terdapat penambahan panjang bermakna pada sel otot jantung kelompok 4 minggu erobik dan anerobik (1.09 ± 0.08 µm dan 1.00 ± 0.12 µm) dibandingkan dengan kelompok kontrol (0.73 ± 0.1 µm). Lebar sel otot jantung kelompok 4 minggu erobik dan anerobik menunjukkan peningkatan bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol (5.38 ± 1.3 µm dan 5.5 ± 2.11 µm) vs (2.74 ± 0.53 µm ). Penurunan bermakna dijumpai pada panjang sel otot jantung kelompok erobik 4 minggu yang menjalani detraining (0.94 ± 0.08 µm) dibandingkan kelompok latihan (1.09 ± 0.08 µm). Didapatkan peningkatan bermakna panjang sel otot jantung kelompok 12 minggu erobik dan anerobik (1.3 ± 0.04 µm dan 1.2 ± 0.07 µm) dibandingkan dengan kelompok kontrol (0.95 ± 0.69 µm) dan pertambahan lebar sel otot jantung kelompok 12 minggu erobik dan anerobik (7.3 ± 1.01 µm dan 6.44 ± 0.08 µm) dibandingkan kontrol (4.52 + 0.91 µm). Kesimpulan: Latihan erobik dan anerobik jangka panjang pada tikus dewasa muda menimbulkan hipertrofi dinding dan pelebaran rongga ventrikel kiri, dan juga fibrosis ringan. Pada periode detraining terjadi regresi tebal dan rongga ventrikel, dan penyusutan luas daerah fibrosis ventrikel ke keadaan normal.

Abstract
Aim: To study the structural changes of the ventricular myocardium in a physiological hypertrophic heart model due to long term aerobic and anaerobic physical training and detraining. Methods: In-vivo experimental study on Wistar rats (8 weeks old), weighing 150-250 grams who were divided into 3 large groups: control group, aerobic exercise group and anaerobic exercise group. Aerobic and anaerobic training were conducted for 4 and 12 weeks. At the end of 4 and 12 weeks of exercising, half of each exercising group was sacrificed to study the morphological and histopathological changes in myocardial structure. The remaining of the groups were given a period of 4 weeks of detraining and sacrificed at the end of the 8th and 16th week. Result: Significant differences in heart weight and left ventricular wall thickness was found in the 4 weeks of aerobic and anaerobic group compared to the control group (751.0 ± 36.5 gr and 791.1 ± 15.8 gr vs 588 ± 19.4 gr ), (3.34 ± 0.12 mm and 3.19 ± 0.1 mm vs 2.80 ± 0.07 mm). An increase in heart mass weight was observed in both 12 weeks aerobic and anaerobic training group compared to the control group (1030.8 ± 82.4 gr and 1140.4 + 0.24 gr vs 871.6 ± 62.0 gr). Heart volume of the 12 weeks aerobic- anaerobic groups showed a significant increase (3.58 ± 0.31 mm and 4.04 ± 0.30 mm) compared to the control group (2.82 ± 0.14 mm). There was a significant increase in the length of the cardiac muscle cells of the 4 weeks aerobic and anaerobic group (1.09± 0.08 µm and 1.00± 0.12 µm) compared with the control group (0.73±0.1 µm). Width of heart muscle cells in the 4 weeks aerobic-anaerobic group showed a significant increase when compared to the control group (5.38± 1.3 µm and 5.5± 2.11 µm) vs (2.74± 0.53 µm). Significant reduction in the length of cardiac muscle cells in the detrained 4 weeks aerobic group (0.94± 0.08 µm) was found when compared to the treatment group (1.09± 0.08 µm). Significant differences were found between the length of cardiac muscle cells in the 12 weeks aerobic-anaerobic groups (1.3± 0.04 µm and 1.2± 0.07 µm) compared to the control group (0.95± 0.69 µm). Significant width increments of heart muscle cells was found in the 12 weeks aerobic -anaerobic groups (7.3± 1.01 µm and 6.44± 0.08 µm) compared to the control group (4.52 ± 0.91 µm). Conclusion: Long term aerobic and anaerobic training causes an increase in both wall thickness and diameter of the left ventricular cavity, as well as slight fibrosis. The increase in wall thickness, diameter, and fibrosis diminish during detraining period. "
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar belakang: Aktivitas fisik mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen. Oksigen diperlukan untuk fosforilasi oksidatif dalam rangka menghasilkan ATP. Tingginya kebutuhan oksigen selama aktivitas fisik yang tidak diikuti dengan kemampuan suplai oksigen yang cukup, mengakibatkan terjadi hipoksia di jaringan otot. Dalam kondisi hipoksia gen utama yang mengalami upregulasi adalah Hypoxia Inducible Factor-1α (HIF-1α). Melalui aktivitas HIF-1α, ekspresi sejumlah gen akan mengalami peningkatan guna mengurangi ketergantungan sel terhadap oksigen sekaligus meningkatkan pasokan oksigen ke jaringan, termasuk gen VEGF. Pada otot jantung belum diketahui apakah aktivitas fisik juga mengakibatkan hipoksia serta apakah HIF-1α dan VEGF berperan dalam mekanisme adaptasi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara HIF-1α dan VEGF dalam jaringan otot jantung tikus yang diberi aktivitas fisik aerobik dan anaerobik.
Metode: Jaringan otot jantung berasal dari tikus yang diberi aktivitas fisik aerobik dan anaerobik menggunakan treadmill selama 1, 3, 7 dan 10 hari. Kemudian dilakukan pengukuran konsentrasi HIF-1α dan konsentrasi VEGF jaringan.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan protein HIF-1α dan VEGF (p < 0,05) pada kelompok yang diberi perlakuan aktivitas fisik aerobik dan anaerobik. Peningkatan konsentrasi HIF-1α tertinggi terjadi pada hari pertama perlakuan dan konsentrasi HIF-1α kelompok anaerobik lebih tinggi dibandingkan kelompok aerobik (156,8 ± 33,1 vs 116,03 ± 5,66). Begitu pula dengan konsentrasi VEGF pada kelompok anaerobik konsentrasi tertinggi terjadi pada hari pertama (36,37 ± 2,35), sedangkan pada kelompok aerobik konsentrasi VEGF tertinggi terjadi pada hari ke-3 (40,66 ± 1,73). Terdapat korelasi antara konsentrasi HIF-1α dan konsentrasi VEGF jaringan dengan tingkat korelasi sedang (r = 0,59) pada kelompok aerobik dan korelasi yang kuat pada kelompok anaerobik (r = 0,69).
Kesimpulan: Aktivitas fisik aerobik dan anaerobik mengakibatkan peningkatan konsentrasi HIF-1α dan VEGF pada otot jantung tikus dalam pola yang spesifik. Kondisi anaerobik memicu peningkatan kebutuhan vaskularisasi lebih kuat dan lebih dini dibandingkan kelompok aerobik.

Abstract
Background: Exercise increases the need for oxygen to generate ATP through oxidative phosphorylation. If the high energy demand during exercise is not balanced by sufficient oxygen supply, hypoxia occurs in skeletal muscle tissue leading to upregulation of hypoxia inducible factor-1α (HIF-1α). The activity of HIF-1α increases the expression of various genes in order to reduce the metabolic dependence on oxygen and to increase oxygen supply to the tissue, e.g., VEGF which plays a role in angiogenesis. In myocardium, it is unlcear whether exercise leads to hypoxia and whether HIF-1α and VEGF play a role in the mechanism of hypoxic adaptation. This study aimed to investigate the correlation of HIF-1α and VEGF in heart muscle tissue of rats during aerobic and anaerobic exercise.
Methods: A rat treadmill was used with a specific exercise program for 1, 3, 7 and 10 days. The concentrations of HIF-1α and VEGF were measured the myocardium.
Results: Both, HIF-1α protein and VEGF were increased (p < 0.05) in the groups with aerobic and anaerobic exercise. Concentrations of HIF-1α were highest on the first day of activity, being higher in the anaerobic than in the aerobic group (156.8 ± 33.1 vs. 116.03 ± 5.66). Likewise, the highest concentration of VEGF in the group with anaerobic exercise occurred on the first day (36.37 ± 2:35), while in the aerobic group, VEGF concentration was highest on day 3 (40.66 ± 1.73). The correlation between the myocardial tissue consentrations of HIF-1α and VEGF is moderate (r = 0.59) in the aerobic group and strong in the anaerobic group (r = 0.69).
Conclusion: Aerobic and anaerobic exercise increase HIF-1α and VEGF concentrations in rat myocardium in specific patterns. The anaerobic condition triggers vascularization stronger and obviously earlier than aerobic exercise."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Sriwijaya. Fakultas Kedokteran], 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Wahyuni MS
"Latar Belakang: Kejadian pandemi penyakit Coronavirus disease 2019 (COVID-19) telah menyebar ke berbagai belahan dunia dengan peningkatan angka pasien terkonfirmasi dan meninggal. Cedera miokard akut merupakan salah satu manifestasi klinis yang sering timbul pada pasien terkonfirmasi COVID-19 yang mengakibatkan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas. Meskipun demikian, kejadian cedera miokard akut pada pasien COVID-19 belum banyak didokumentasikan. Penelitian ini bertujuan mengetahui kejadian cedera miokard akut pada pasien COVID-19 serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan menggunakan data rekam medis pasien COVID-19 yang dirawat di RSUP Persahabatan, Jakarta, selama periode Juni-Desember 2020. Prevalens cedera miokard akut dinilai dengan menggunakan kadar pemeriksaan high sensitivity Troponin I (hsTrop-I). Penelitian ini juga menentukan hubungan antara faktor demografi, riwayat penyakit komorbid kardiovaskular, derajat penyakit, penanda respon inflamasi serta faktor koagulasi dengan kejadian cedera miokard akut pada pasien terkonfirmasi COVID-19.
Hasil: Dari total 340 sampel yang diikutkan dalam penelitian ini didapatkan sebanyak 62 (18,2%) sampel mengalami cedera miokard akut, mayoritas berusia diatas 40 tahun (93,5%). Cedera miokard akut lebih dominan terjadi pada sampel dengan riwayat komorbid (90,3%) dan derajat penyakit berat-kritis (87,1%). Prokalsitonin dan d-Dimer secara konsisten menunjukkan hubungan yang bermakna pada uji bivariat dan multivariat dengan kejadian cedera miokard akut.
Kesimpulan: Prevalens cedera miokard akut pada pasien COVID-19 di RS Persahabatan sebesar 18,2%. Cedera miokard akut berhubungan dengan kadar prokalsitonin, d-Dimer dan komorbid kardiovaskular.

Background: The pandemic of Coronavirus disease 2019 (COVID-19) has spread worldwide with the growing number of confirmed patients and deaths. Acute myocardial injury is one of the most common clinical manifestations in COVID-19 patients, results in higher risk of morbidity and mortality. However, the prevalence of acute myocardial injury in COVID-19 patients is not well documented. This study aimed to assess the prevalence of acute myocardial injury in COVID-19 patients.
Methods: This is a cross-sectional study utilizing medical record on COVID-19 patients admitted to Persahabatan hospital, Jakarta, within the period of June to December 2020. The prevalence of acute myocardial injury was assessed through high sensitivity Troponin I (hsTrop-I) levels examination. The association of demographic factors, cardiovascular disease comorbidities, disease severity, levels of inflammatory biomarkers and coagulation factor with acute myocardial injury were also determined.
Results: From a total of 340 patients enrolled in the study, 62 (18.2%) samples experienced acute myocardial injury, in which majority (93.5%) aged >40 years. The prevalence of acute myocardial injury was more dominant in patients with the history of comorbidities (90.3%) and severe-critically ill COVID-19 patients (37.1%). Procalcitonin and d-Dimer levels consistently showed significant association with acute myocardial injury from bivariate and multivariate analysis.
Conclusion: The prevalence of acute myocardial injury in COVID-19 patients in Persahabatan Hospital was 18,2%. Acute myocardial injury was significantly associated with procalcitonin levels, d-Dimer levels and cardiovascular comorbidities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardra Christian Tana
"Latar belakang dan tujuan: Pasien transfusion dependent thalassemia (TDT) rutin mendapatkan transfusi darah untuk mencegah komplikasi anemia kronik, namun kadar besi dalam tiap kantung transfusi yang diberikan akan menumpuk pada organ-organ, dan pada jantung akan mengakibatkan iron overload cardiomyopathy (IOC). Komplikasi IOC ini merupakan penyebab mortalitas tertinggi pada pasien thalassemia, sehingga dibutuhkan modalitas untuk deteksi dini agar tatalaksana dapat diberikan lebih awal. Modalitas terpilih untuk mendeteksi kadar besi dalam jantung adalah dengan mengukur nilai T2* miokardium menggunakan MRI sekuens T2*, namun karena adanya keterbatasan modalitas maka dibutuhkan metode lain. Pada pasien dengan IOC, akan terjadi gangguan pada fungsi diastolik jantung terlebih dahulu. Oleh karena itu parameter yang dapat menilai fungsi diastolik jantung diharapkan juga dapat mendeteksi IOC lebih dini. Parameter yang diajukan pada penelitian ini adalah left atrial ejection fraction (LAEF) dan left atrial expansion index (LAEI) yang menggambarkan fungsi diastolik jantung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode pemeriksaan alternatif dari penilaian T2* untuk mendeteksi IOC serta mengetahui korelasi antara LAEF dan LAEI dengan nilai T2* jantung.
Metode: Penelitian ini merupakan uji korelasi menggunakan desain potong lintang menggunakan data sekunder yang dilakukan di RSCM pada bulan April 2018 hingga September 2018. Didapatkan 70 subjek penelitian, yang masing-masing dilakukan pengukuran nilai T2* pada miokardium serta pengukuran dimensi atrium kiri. Analisis statistik menggunakan uji pearson.
Hasil: Didapatkan korelasi negatif rendah antara LAEF dengan nilai T2* (R= - 0,12, p>0,05) dan tidak didapatkan korelasi antara LAEI dengan nilai T2* (R= - 0,09, p>0,05).
Kesimpulan: Terdapat korelasi berkebalikan rendah antara LAEF dengan nilai T2* miokardium serta tidak didapatkan korelasi antara LAEI dengan nilai T2* miokardium. Oleh karena itu tidak dianjurkan penggunaan parameter tersebut untuk memprediksi IOC pada pasien dengan TDT.

Background and objectives:Transfusion dependent thalassemia (TDT) patients routinely get blood transfusions to prevent complications of chronic anemia, but iron content in each given transfusion sac will accumulate in the organs. In the heart it will result in iron overload cardiomyopathy (IOC), which is the highest cause of mortality in thalassemia patients. Therefore, modalities for early detection are needed so that early treatment can be given. Currently, the chosen modality for detecting iron levels in the heart is by measuring the myocardial T2 * value using MRI T2 * sequences, but due to limitations in modalities another method is needed. In patients with IOC, the diastolic function of the heart will occur first. For that reason, a parameter that can assess cardiac diastolic function is also expected to detect IOC earlier. The parameters proposed in this study are left atrial ejection fraction (LAEF) and left atrial expansion index (LAEI) which define cardiac diastolic function. The purpose of this study was to obtain an alternative examination method other than T2 * assessment to detect IOC and also to find out the correlation between LAEF and LAEI with heart T2 * values.
Method: This study is a correlation test using a cross-sectional design with secondary data, conducted at RSCM in April 2018 to September 2018. T2* score and left atrial dimensions was measured from all 70 subjects. Statistical analysis was done using Pearson correlation test.
Results: There was a low negative correlation between LAEF and T2 * (R = - 0.12, p> 0.05) and there was no correlation between LAEI and T2 * (R = - 0.09, p> 0.05).
Conclusion: There is low inverse correlation between LAEF and the myocardium T2 * value and there is no correlation between LAEI and myocardium * T2 value. Therefore, it is not recommended to use these parameters to predict IOC in patients with TDT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nindita
"Latar belakang. Gagal ginjal terminal (GGT) atau penyakit ginjal kronik (PGK) stadium 5 merupakan masalah serius pada populasi anak dan dewasa, dengan insidens dan prevalensnya yang terus meningkat setiap tahun dan dapat menyebabkan komplikasi penyakit kardiovaskular. Kardiomiopati dilatasi (KMD) merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian pada anak dengan GGT. Prevalens KMD pada anak GGT cukup bervariasi, antara 2- 41%. Namun, saat ini studi tentang kejadian KMD pada anak GGT di Indonesia masih terbatas, terutama pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis. 
Tujuan. Mengetahui prevalens KMD dan faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian KMD, yaitu etiologi GGT, status nutrisi, anemia, hipertensi dan jenis dialisis pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). 
Metode. Desain studi potong lintang dilakukan di RSCM pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis selama periode 2017-2022 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data dilakukan melalui penelusuran rekam medik. 
Hasil. Terdapat 126 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan jenis kelamin lelaki lebih banyak (59,5%), mayoritas usia di atas 5 tahun (98,4%), dengan median 12 tahun (10-15). Sebanyak 95,2% subjek adalah rujukan dari rumah sakit luar datang pertama kali ke RSCM dengan kegawatdaruratan dan membutuhkan dialisis segera. Prevalens KMD pada studi ini adalah 53,2%. Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan anemia dan status nutrisi berasosiasi positif dengan kejadian KMD (OR 4,8, IK 95% 1,480-15,736, p=0,009) ; (OR 9,383, IK 95% 3,644-24,161, p=0,000). Tidak terbukti adanya hubungan etiologi PGK, hipertensi dan jenis dialisis dengan kejadian KMD. 
Kesimpulan. Prevalens KMD pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis di RSCM adalah 53,2%. Terdapat asosiasi positif antara anemia dan status nutrisi dengan kejadian KMD. Etiologi GGT, hipertensi, dan jenis dialisis tidak berasosiasi dengan kejadian KMD pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis.  

Background.  Kidney failure is a serious problem in children with the incidence and prevalence increasing every year, can cause cardiovascular disease. Dilated cardiomyopathy (DCM) is one of the cardiovascular disease can cause mortality in children with kidney failure. The prevalence varies between 2-44% and limited studies in Indonesia especially in children with kidney failure on dialysis. 
Objective. To determine the prevalence of DCM and risk factors in children with kidney failure on dialysis in Cipto Mangunkusumo hospital. The association of etiology of kidney failure, nutritional status, anemia, hypertention, and type of dialysis with DCM in children with kidney failure. 
Methods. A cross-sectional study among children with kidney failure according to the inclusion and exclusion criteria during 2017-2022 periode, in Cipto Mangunkusumo hospital. Collecting data using medical record. 
Result. There were 126 study subjects, with 59,5% male and 98,4% over 5 years old, the median is 12 years (10-15). The prevalence of DCM was 53.2%. The results of the multivariate analysis showed anemia and nutritional status were associated with the incidence of DCM, (OR 4.8, 95% CI 1.480-15.736, p=0.009); (OR 9.383, 95% CI 3.644-24.161, p= 0.000). There is no association between the etiology of kidney failure, hypertension and type of dialysis with DCM. 
Conclussion. The prevalence of DCM in children with kidney failure on dialysis was 53.2%. Anemia and nutritional status was associated with DCM in children with kidney failure on dialysis. The etiology of kidney failure, hypertension, and type of dialysis were not associated with DCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lontoh, Susy Olivia
"ABSTRAK
Latihan fisik intensif dan berkepanjangan menimbulkan adaptasi sistem kardiovaskuler
berupa hipertrofi ventrikel kiri (Left ventricle hypertrophy = LVH), yang
merupakan ciri khas respons adaptasi atau kompensasi jantung terhadap
peningkatan tekanan maupun volume berlebih pada ventrikel kiri. Hipertrofi
ventrikel kiri ini dikategorikan sebagai athlete’s heart dan dianggap sebagai
remodeling jantung yang fisiologis, tetapi beberapa penelitian menganggap
perubahan ini juga dikaitkan dengan konsep maladaptif hipertrofi jantung.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh latihan fisik anaerobik dan
detraining terhadap morfologi miokardium ventrikel kiri jantung tikus Wistar.
Penelitian ini menggunakan tikus galur Wistar jantan (8 minggu), dibagi menjadi
2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan perlakuan. Kelompok perlakuan latihan
fisik anaerobik dibagi menjadi kelompok perlakuan latihan fisik anaerobik 4
minggu, 12 minggu, 4 minggu latihan anaerobik detraining 4 minggu dan 12
minggu latihan anaerobik detraining 4 minggu. Latihan anaerobik dilakukan
selama 4 minggu dan 12 minggu dengan kecepatan kecepatan 35 m/mnt selama
15 menit dengan diberikan selang waktu istirahat selama 90 detik setiap 5 menit
berlari. Pada akhir perlakuan dilakukan pemeriksaan morfometrik dan struktur
histopatologi miokardium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa latihan anaerobik
selama 4 maupun 12 minggu serta kelompok detraining menyebabkan perubahan
morfologi miokardium ventrikel kiri tikus Wistar .

ABSTRACT
Regular physical training induces cardiovascular adaptation such as left
ventricular hypertrophy (LVH), which is a characteristic adaptive response of the
heart towards pressure or volume overload. This left ventricular hypertrophy is
called “athlete’s heart” and also determines physiologic remodelling heart, but in
a few study findings myocardial hypertrophy was maladaptive forms of
hypertrophy. The purpose of this experiment is to study the morphologic changes
of the left ventricular myocardium in anaerobic physical training and detraining.
This experiment uses young adult Wistar rats (8 weeks old) and were divided into
2 groups: control group and anaerobic exercise group. Each anaerobic exercise
group was divided into 4 weeks exercise, 4 weeks exercise followed by 4 weeks
detraining, 12 weeks exercise and 12 weeks exercise followed by detraining
respectively. The anaerobic group was exercised on a treadmill with a speed of 35
m/minutes for 15 minutes, with a 90 seconds period of rest after 5 minutes
running. The morphometric and histopathologic myocardial structures were
examined, then conclusion anaerobic physical training during 4 and 12 weeks
exercise with detrain group have caused morphologic changes of the left
ventricular myocardium"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59163
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Irawati Soeria Santoso
"Latar belakang. Latihan fisik yang dijalankan secara teratur dengan intensitas dan durasi tertentu akan merangsang remodeling jantung sebagai usaha untuk mempertahankan fungsi ventrikel terhadap peningkatan beban biomekanik pada jantung. Diperkirakan bahwa latihan fisik jangka panjang menimbulkan remodeling jantung menyerupai hipertrofi kardiomiopati, berupa hipertrofi miosit dengan kekacauan tatanan miosit, fibrosis, apoptosis dan ko-lokalisasi gap junction. Tujuan penelitian. Mengetahui dampak latihan fisik jangka panjang dan henti-latih pada remodeling kardiomiosit.
Metode penelitian. Penelitian eksperimental in vivo pada tikus Wistar ini dilakukan di Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler, Laboratorium Imunohistologi Departemen Patologi Anatomi dan Bagian Fisiologi, FKUI. Latihan fisik dengan intensitas dan jangka waktu latihan yang berbeda, serta henti latih setelah periode latihan diterapkan pada tikus Wistar jantan dewasa muda. Dilakukan analisis terhadap perubahan morfologi kardiomiosit, fibrosis, apoptosis (ekspresi Caspase-3, Bax dan Bcl-2), gap junction (ekspresi Connexin43) dan pola EKG. Perubahan morfologi kardiomiosit diamati menggunakan pulasan Hematoxylin Eosin, fibrosis diamati menggunakan pulasan Masson?s Trichrome, sedangkan ekspresi Caspase-3, Bax, Bcl-2 dan Connexin43 diamati melalui pulasan imunohistokimia. Rekaman EKG dilakukan dengan filter 100 Hz, pada kecepatan kertas 50 mm/detik dan kepekaan 1 mV = 20 mm.
Hasil dan pembahasan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latihan aerobik dan anaerobik menimbulkan hipertrofi eksentrik dengan peningkatan fibrosis dan apoptosis serta ko-lokalisasi gap junction ke arah lateral membran. Perubahan kardiomiosit, peningkatan fibrosis dan apoptosis lebih nyata pada latihan anaerobik dibandingkan latihan aerobik. Pola EKG menunjang adanya pembesaran ventrikel akibat latihan aerobik dan anaerobik disertai gangguan repolarisasi yang nyata terutama pada latihan anaerobik. Henti latih tidak mengembalikan morfologi miosit, apoptosis dan lokalisasi gap junction ke keadaan semula. Pola EKG setelah periode henti latih pada latihan aerobik tetap menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel tanpa gangguan penghataran impuls yang berarti, namun pada latihan anaerobik tetap didapatkan gangguan repolarisasi berupa pemanjangan interval QTc yang bermakna.
Kesimpulan. Remodeling kardiomiosit akibat latihan fisik jangka panjang tidak menyerupai struktur hipertrofi kardiomiopati, namun disertai peningkatan apoptosis, kolokalisasi Cx43 dan gangguan penghantaran impuls. Henti-latih tidak memulihkan remodeling jantung maupun gangguan penghantaran impuls listrik.

Background. Regular physical exercise with certain intensity and duration stimulates remodeling of the heart as an effort to preserve ventricular function against an increased biomechanical load. It is postulated that long-term exercise induces cardiac remodeling that resemble cardiomyopathy hypertrophy marked by cardiomyocyte disarray, fibrosis, apoptosis and co-localization of gap junction. Research objective. To study the effect of long-term physical exercise and detraining on cardiomyocyte remodeling.
Methodology. This in vivo experimental study was conducted at the Departement of Biochemistry and Molecular Biology, Immunohistology Laboratory of Departement of Pathological Anatomy and Departement of Physiology FMUI. Physical exercise with different intensity and periods of training was performed in groups of young adult male Wistar rats, followed by a period of detraining. Analysis of cardiomyocyte morphological changes, fibrosis, apoptosis (expression of Caspase-3, Bax and Bcl-2), gap junctions (expression Connexin43) and ECG pattern was conducted. Changes in cardiomyocyte morphology was observed using Haematoxylin Eosin staining, fibrosis was observed using Masson's Trichrome staining, whereas the expression of Caspase-3, Bax, Bcl-2 and Connexin43 was observed through immunohistochemical staining. ECG recording was done with a filter of 100 Hz, the paper speed of 50 mm/sec and the sensitivity of 1 mV = 20 mm.
Results and discussion. The results showed that aerobic and anaerobic exercises cause the development of eccentric hypertrophy, with increased fibrosis and apoptosis as well as co-localization of gap junction to the lateral site of the membrane. Cardiomyocyte remodeling, fibrosis and apoptosis were more prominent in anaerobic compared to aerobic exercise group. The ECG pattern supports enlargement of the ventricles due to aerobic and anaerobic exercises with noticeable repolarization disturbances, especially in the anaerobic group. Detraining did not return myocyte morphology, apoptosis and localization of gap junctions to its basic state. The ECG pattern after a period of detraining following aerobic exercise supports the existence of ventricular hypertrophy without significant disturbances in impulse conduction, however repolarization disturbances in the form of significant prolongation of QTc interval persist in the group with anaerobic exercise.
Conclusion. Cardiomyocyte remodeling due to long-term physical exercise did not resemble cardiomyopathy hypertrophy structure, although increased apoptosis, colocalization of Cx43 and distrbances in impuls conduction were observed. Detraining did not restore cardiac remodeling and disturbances in electrical impulse conduction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Chondro
"Latar Belakang : Komunikasi antar sel otot jantung terjadi dengan bantuan protein connexin, terutama connexin43, yang merupakan protein utama penyusun gap junction pada sel otot jantung. Pada penyakit jantung yang disertai dengan hipertrofi, adanya perubahan ukuran pada jantung ini akan mempengaruhi produksi dan distribusi protein connexin43 pada sel otot jantung. Semakin besar ukuran sel, maka ekspresi connexin akan meningkat disertai dengan peningkatan distribusi connexin ke lateral. Lateralisasi connexin ini dapat mengganggu hantaran impuls listrik antar sel otot jantung. Latihan fisik erobik juga dapat mengakibatkan timbulnya adaptasi organ jantung berupa peningkatan ukuran dan kerja ventrikel kiri dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan metabolisme tubuh yang meningkat. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh keadaan hipertrofi fisiologis yang terjadi akibat latihan fisik, dalam hal ini latihan fisik erobik, terhadap produksi dan distribusi protein connexin43.
Tujuan : Melihat bagaimana pengaruh latihan fisik erobik dan detraining terhadap ekspresi dan distribusi protein connexin43.
Desain : Penelitian ini menggunakan studi eksperimental in vivo pada tikus.
Metode : Pada jaringan jantung tikus dilakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk melihat bagaimana jumlah dan distribusi dari protein connexin43 serta dilakukan perbandingan antara tikus yang tidak diberi latihan fisik dengan tikus yang diberi latihan fisik erobik dan detraining.
Hasil : Pada perbandingan antara kelompok kasus dan perlakuan, terdapat perbedaan bermakna pada parameter total Cx43, Cx43 diskus interkalatus, Cx43 lateral, dan presentase Cx43 diskus interkalatus dan Cx43 lateral (p<0,05). Pada perbandingan antara kelompok kontrol, perbedaan bermakna hanya ditemukan pada perbandingan antara kelompok 8 dan 12 minggu untuk parameter total Cx43 dan jumlah Cx43 diskus interkalatus. Pada perbandingan antara kelompok perlakuan, ditemukan perbedaan bermakna untuk parameter total Cx43 pada kelompok latihan erobik 4 minggu dengan kelompok latihan erobik 4 minggu yang diikuti proses detraining 4 minggu.
Kesimpulan : Latihan fisik erobik memberikan perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan perlakuan. Pada perbandingan antara perlakuan, diketahui bahwa terdapat perbedaan bermakna antar kelompok latihan fisik yang disertai/tidak disertai proses detrain.

Background: Communication between cardiomyocyte happens in the gap junction located on intercalated disk. In patologically hypertrophied heart, the bigger cardiomyocyte become, the more protein expressed and distributed to lateral side of cardiomyocyte. It will cause disturbance in electrical and metabolic coupling between cardiomyocyte. Aerobic training will also cause hypertrophy, especially left ventricle, because the heart has to pump more blood that carry oxygen that is needed in the cell. This research is done in order to analyze the effect of physiologically hypertropied heart, cause by aerobic training, on the expression and distribution of connexin43.
Objective : To see the effect of aerobic training and detraining to the expression and distribution of connexin43 in heart.
Design : This research is using experimental study on rat.
Methods : Expression and distribution of connexin43 from rat's ventricle tissue is detected using immunohistochemistry then analyzed with imageJ program. The results are compared between control group and group that’s given aerobic training and detraining.
Results : Significant differences in the amount of total Cx43, Cx43 in intercalated disc, lateralized Cx43, Cx43 intercalated disc percentage, and lateralized Cx43 percentage was found in all the aerobic groups compared with controls. Comparison between control groups show significant differences of total Cx43 and Cx43 in intercalated disc only between 8 weeks control and 12 weeks control group. Comparison between aerobic groups shows significant differences in amout of total Cx43 between 4 weeks aerobic training and 4 weeks aerobic training followed by 4 weeks detraining period.
Conclusion : Aerobic training causes an increase in amount of total Cx43, Cx43 in intercalated disc, lateralized Cx43. The increase in the amount of Cx43 will diminish during detraining period.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lismaniah
"Latar belakang: Darah merupakan suspensi elemen seluler yang terlarut di dalam plasma. Darah berfungsi untuk menyalurkan oksigen dan nutrisi ke seluruh sel tubuh serta mengangkut sisa metabolisme dari seluruh tubuh. Sifat aliran darah ketika melalui pembuluh darah merupakan faktor yang berperan penting dalam pengiriman oksigen dan perfusi jaringan. Pada kondisi stres akut terjadi berbagai reaksi yang mempengaruhi kelancaran aliran darah dalam pembuluh darah. Elektroakupunktur merupakan terapi tambahan dengan efek samping minimal yang dapat membantu meningkatkan kualitas aliran darah.
Metode: Penelitian ini menilai pengaruh elektroakupunktur di titik ST36 Zusanli bilateral terhadap kadar fibrinogen plasma dan nilai Laju Endap Darah (LED) tikus Wistar model restraint stress. Delapan belas tikus Wistar jantan dibagi secara acak ke dalam tiga kelompok, kelompok kontrol (n = 6), kelompok restraint stress (n = 6), dan kelompok elektroakupunktur (n = 6). Tindakan elektroakupunktur diberikan setelah dilakukan restraint stress selama 3 jam.
Hasil: Pemeriksaan kadar fibrinogen plasma dan nilai LED memberikan hasil yang signifikan pada perbedaan rerata kadar fibrinogen plasma (p=0,048, IK 95% 0,5-109,5) antara kelompok restraint stress dengan kelompok elektroakupunktur akan tetapi tidak didapatkan perbedaan rerata yang bermakna terhadap nilai LED antara ketiga kelompok.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan elektroakupunktur pada ST36 Zusanli dapat menurunkan kadar fibrinogen plasma dan walaupun tidak bermakna, elektroakupunktur juga menurunkan nilai LED tikus Wistar model restraint stress.

Background: Blood is a suspended cellular elements that dissolved in plasma. The blood served to transport oxygen and nutrients to all body cells and carried out the metabolic waste from the whole body. The nature of blood flow through vessels is a factor that plays an important role in oxygen delivery and tissue perfusion. In acute stress conditions, various reactions can occur and affect the blood flow in the vessels. Electroacupuncture is an additional therapy with minimal side effects that can improve the quality of blood flow.
Method: This study investigates the effect of electroacupuncture at ST36 Zusanli points bilateral on plasma fibrinogen and Erythrocyte Sedimentation Rates (ESR). Eighteen male Wistar rats were divided randomly into three groups, control group (n = 6), restraint stress group (n =6), and electroacupuncture group (n = 6). Electroacupuncture was carried out after three hours of restraint stress.
Result: The plasma fibrinogen level and the LED level showed significant result in the mean difference between the level of plasma fibrinogen level (p=0,048, CI 95% 0,5-109,5) between the restraint stress and control group but there is no significant difference in meant difference on ESR between all group.
Conclusion: The results of this study showed that the action of electroacupuncture on Zusanli ST36 can lower the levels of plasma fibrinogen and although meaningless, electroacupuncture also lowers the value of Wistar rats LED model restraint stress.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wulandari
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh market timing pada Net External Financing dan Equity Ratio pada perusahaan manufaktur yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia periode 2011-2015 terhadap negatif Earnings Announcement Returns, Analyst rsquo;s Forecast Errors in Long-term Earnings Growth Rates dan Buy-and-hold Returns. Penelitian menemukan, Net External Financing dan Equity Ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap negatif Earnings Announcement Returns dan Analyst rsquo;s Forecast Errors in Long-term Earnings Growth Rates. Sedikitnya perusahaan yang membagikan dividen dan analis saham yang mempublikasikan hasil analisisnya secara bebas memungkinkan perbedaan hasil penelitian dengan jurnal acuan yang dilakukan oleh Lewis dan Tan 2016 . Net External Financing dan Equity Ratio berpengaruh signifikan terhadap Buy-and-hold Returns, namun hanya Equity Ratio yang memberikan pengaruh negatif.

ABSTRACT
This study aims to determine the effect of market tming on Net External Financing and Equity Ratio on manufacturing firms listed in Indonesia Stock Exchange for period 2011 2015 to negative Earnings Announcement Returns, Analyst 39 s Forecast Errors in Long Term Earnings Growth Rates and Buy and hold Returns. The study found, Net External Financing and Equity Ratio does not significantly influence Earnings Announcement Returns and Analyst 39 s Forecast Errors in Long Term Earnings Growth Rates. The small number of companies paying the dividends and stock analysts who publish the results of stock analysis freely, allow this results differ from the study refers to Lewis and Tan 2016 . Net External Financing and Equity Ratio significantly influence the Buy and hold Returns, but only Equity Ratio which have a negative impact."
2017
S65878
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>