Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12617 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wall, Patrick M.
Springfield, III: C.C. Thomas, 1971
363.258 WAL e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Feder, Harold A.
Boca Raton: CRC Press, Taylor & Francis Group, 2008
347.736 7 FED f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tierney, Kevin
New York: Oceana Publication, 1971
347.066 TIE h (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wall, Patrick M.
Springfield, Illinois: Charles C. Thomas, 1965
364.127 WAL e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mullegan, William G.
New York: John Wiley & Sons, 1987
347.736 7 MUL e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Zahri Kurniawan
"Konsep saksi mahkota yang dilaksanakan di peradilan Indonesia saat ini masih menimbulkan kontroversi dan perdebatan dikalangan praktisi maupun akademisi, karena memang sesungguhnya belum ada definisi normatif tentang saksi mahkota termuat dalam undang-undang. Apabila dibandingkan dengan konsep saksi mahkota di negara lain, ternyata terdapat perbedaan yang sangat mendasar yaitu pada konsep di Eropa dan Amerika sebelum diterapkan saksi mahkota harus dilakukan terlebih dahulu kesepakatan kerjasama atara penuntut umum dan saksi mahkota dalam penuntutan tindak pidana, sedangkang di Indonesia lebih mengartikan saksi mahkota sebagai kesaksian saling menyaksikan antara sesama pelaku tindak pidana penyertaan dalam tindak pidana untuk tujuan sempurnaya pembuktian. Tujuan dari penelitian ini mengkaji mengenai penerapan saksi mahkota dalam peradilan pidana dan memperbandingkanya dengan pelaksanaan saksi mahkota di Belanda dan Amerika Serikat serta melihat paradigma saksi mahkota menurut hukum acara pidana yang akan datang. Metode penelitian yang digunaka yuridis normatif. Dari hasil penelitian diperoleh suatu kenyataan konsep saksi mahkota yang dilaksanakan dalam peradilan pidana di Indonesia saat ini melanggar asas non self incrimination. Peranan saksi mahkota dibutuhkan dalam menghadapi permasalahn kurangnya alat bukti saksi pada penyertaan dalam tindak pidana. Penerapan konsep saksi mahkota dalam peradilan saat ini hanya mewujudkan suatu kepastian hukum, sehingga kurang memperhatikan cara memperoleh alat bukti (exclusionary rule), dan pentinya alat bukti yang saling menguatkan (corroborating evidence) dalam penerapan saksi mahkota. Secara subtansi dalam RUU KUHAP terjadi perubahan sangat signifikat mengenai konsep saksi mahkota dengan menyerap konsep saksi mahkota yang di kenal di Eropa dan Amerika Serikat.

The concept of crown witness implemented in Indonesian courts is still causing controversy and debates among practitioners and academicians, because actually there has been no normative definition of crown witness contained in the legislation. When compared with the concept of crown witness in other countries, there are fundamental differences. In Europe and the USA before crown witness is applied, a cooperation agreement shall be made first between the public prosecutor and the crown witness in a criminal proceeding; whereas in Indonesia what is referred to as crown witness is a witness who came from suspects or defendants and testify against other suspects/perpetrators in a crime in order to obtain perfect/complete evidence. The purpose of this research is to examine the application of crown witness in the criminal proceedings and compare it with the implementation of crown witness in the Netherlands and the United States as well as to see the crown witnesses paradigm in accordance with the law of criminal procedure which will be applicable in the future. The research method employed is judicial normative. Based on the research findings it is discovered that the concept of crown witness in criminal proceedings in Indonesia today violates the principle of non-self incrimination. The role of crown witnesses is required as a consequence of lack of evidence of witnesses in the participation (deelneming) in a crime. The application of the crown witness concept in court today is only to realize the rule of law so it does not take into consideration the manner in obtaining evidence (exclusionary rule) and the importance of corroborating evidence in the application of crown witnesses. In substance, the Draft of the Criminal Procedure Code experiences very significant changes in the concept of crown witness by absorbing the concept of crown witnesses which is known in Europe and the United States.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35481
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Iswendy Sohe
"Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini sangat merugikan keuangan negara dan menghambat keberlangsungan pembangunan nasional. Dalam kasus tindak pidana korupsi, yang melibatkan tindak kriminal dilakukan oleh banyak pelaku, dimana pelakunya telah mengembangkan ikatan yang satu sama lainnya selama jangka waktu tertentu, baik melalui koneksi pribadi, koneksi bisnis ataupun melalui perkumpulan berdasarkan profesi dan kelembagaan. Ikatan seperti inilah yang seringkali menguntungkan posisi dan kepentingan si pelaku tersebut hal ini akan menyebabkan pelaku selalu bersatu padu dalam menghadapi penyidikan atau kemungkinan adanya sebuah tuntutan pidana. Untuk membongkar jaringan pelaku korupsi sangatlah sulit karena apabila koruptor tersebut terjerat hukuman maka orang-orang yang membantunya akan ikut terseret. Kondisi seperti inilah yang selalu di hadapi oleh aparat penegak hukum di Indonesia.
Oleh karena itu perlu dibuat sebuah mekanisme hukum yang mampu menerobos dan memecahkan problem sehingga aparat hukum di Indonesia dapat terbantu dari kerjasama yang berasal dari "orang dalam", dan mereka yang memiliki pengetahuan langsung mengenai kejahatan ini atau keterlibatan di dalamnya. Kadangkala, "orang dalam" ini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan dengan caranya tersendiri. Mereka ini dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa yang terlibat, apa saja peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan dan dimana bukti lainnya bisa ditemukan.
Selain memberikan petunjuk bagi para penyidik, orang dalam ini kadangkala berpartisipasi juga dalam penyidikan dengan menyamar, merekam bukti suara atau video sebagai bukti penting dalam penuntutan. Akhirnya, orang dalam ini dapat menjadi saksi yang penting sewaktu persidangan, memberi bukti sebagai orang pertama, saksi mata dan kejahatan dan atas kegiatan para terdakwa. Dengan demikian diperlukan suatu bentuk perlindungan bagi saksi yang terlibat tindak pidana korupsi dari segala bentuk ancaman fisik dan tuntutan hukuman dari jaringan pelaku korupsi. Namun, hingga kini belum ada peraturan khusus yang dibuat untuk menjadi payung hukum bagi perlindungan saksi tindak pidana korupsi."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Indraputra
"Upaya aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu kejahatan tentunya akan berbicara mengenai pembuktian yang dimiliki oleh penyidik atau penuntut umum. Permasalahan seputar kekurangan atau minimnya saksi selalu menjadi permasalahan yang klasik apabila berhadapan dengan kasus-kasus yang melibatkan organisasi kejahatan yang terorganisir. Peranan “orang dalam” dalam organisasi tersebut dinilai mempunyai potensi yang cukup signifikan untuk membuka lebih jauh tabir kejahatan yang terjadi. Konsep whistleblower dan justice collaborator diyakini merupakan salah satu terobosan dalam pengungkapan suatu kejahatan yang bersifat sistematis dan terorganisir. Whistleblower dan justice collaborator pada dasarnya merupakan konsep protection of witness dalam UNCAC yang melibatkan seorang pelapor atau saksi yang juga terlibat dalam suatu tindak pidana. Permasalahan menjadi kompleks bilamana mereka tidak bersedia untuk memberikan informasi atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana yang bersangkutan, mengingat potensi ancaman dan intimidasi yang rentan diterima oleh mereka. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan whistleblower dan justice collaborator dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, mengetahui fungsi pemberian perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya mengungkap kejahatan, dan mengetahui bentuk perlindungan yang dilaksanakan oleh LPSK. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa konsep whistleblower dan justice collaborator tidak diadopsi secara utuh oleh Undang- Undang Perlindungan Saksi dan Korban, namun tetap mengakui kedudukan whistleblower sebagai pelapor dan justice collaborator sebagai saksi pelaku yang bekerjasama yang harus dilindungi. Fungsi pemberian perlindungan ini adalah sebagai strategi agar mereka bersedia mengungkap lebih jauh suatu kejahatan. Sedangkan bentuk perlindungan yang diberikan adalah perlindungan fisik, psikis, perlindungan hukum dan penanganan secara khusus. Pemberian perlindungan ini diharapkan sebagai upaya dalam pemenuhan hak-hak whistleblower dan justice collaborator yang berpartisipasi dalam proses penegakan hukum.

The efforts of law enforcement authorities in revealing offences will certainly address about evidentiary held by investigators and prosecutors. Issues around lacks of witnesses have always been classic issues when dealing cases of organized crime. The role of “insider” is considered has significant potential for revealing further about the offences. Concept of whistleblower and justice collaborator is considered as one of the breakthroughs in revealing organized offences. Whistleblower and justice collaborator are basically a protection of witness concept in UNCAC that involves a reporting person or witnesses involved in crimes. The problem becomes complex when they are not willing to give testimonies or information related to the offences, considering potential and intimidation threats that are vulnerable accepted by them. The objectives of this research are to find out the standing of whistleblower and justice collaborator in Witness Protection Act of 2006, to find out the function of providing protection for whistleblower and justice collaborator to reveal offences, and to find out forms of protection carried by LPSK. The method used in this research is normative legal. The results of this research is that concept of whistleblower and justice collaborator are not fully adopted by Witness Protection Act of 2006, but still acknowledged the standing of whistleblower as a reporting person and justice collaborator as cooperative offenders who should be protected. The function of providing protection is as a strategy that they are willing to reveal further a crime. While the forms of the protection provided are protection of physical, psychological, legal protection and special measures. This protection is expected as an effort to fulfill whistleblower and justice collaborator rights who participated in law enforcement process.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilbert, James N.
Columbus: Merril Publishing, 1990
363.2 GIL c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>