Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9517 dokumen yang sesuai dengan query
cover
T. Youn-ja Shim
New York: Peter Lang, 2008
303.482 519 YOU c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Samovar, Larry A.
California: Wadsworth, 1991
303.48 SAM c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Scollon, Ronald
Oxforf: Blackwell Publishing, 2001
306.44 SCO i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Martin, Judith N.
Boston: McGraw-Hill, 2008
303.4 MAR e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Martin, Judith N.
Boston: McGraw-Hill, 2001
303.482 MAR e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Samovar, Larry A.
Singapore : Wadsworth and Cengage Learning, 2012
301.14 SAM i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nofella Nanda Auliya
"Komunikasi antarbudaya merupakan interaksi yang terjadi di antara anggota-anggota budaya yang berbeda, misalnya antara suku bangsa, etnik, ras, maupun kelas sosial. Artikel berjudul Komunikasi Antarbudaya dalam Film L'Intouchable ini membahas penggambaran dua budaya yang sangat berbeda, yaitu budaya imigran berkulit hitam dan budaya orang kulit putih di Prancis. Selain itu, artikel ini juga membahas interaksi antar tokoh khususnya dua tokoh utama yang ada dalam film dan tindakan mereka dalam menyikapi perbedaan di antara mereka. Penggambaran budaya dan interaksi antar tokoh dilihat melalui aspek naratif dan aspek sinematografis yang ada dalam film melalui sebuah penelitian dengan metode kualitatif. Hasilnya, komunikasi antarbudaya dalam film ini dapat dikatakan berhasil atau berjalan dengan baik karena adanya toleransi satu sama lain.

The Intercultural communication is an interaction that occurs between members of different cultures, such as between tribes, ethnic, racial, and social classes. The article entitled Intercultural Communication in The Film L'Intouchable discusses two different cultures, specifically the culture of black immigrant and white people in France in modern era. This article also discusses the interaction between characters, especially the two main characters in the film and their way to manage the differences between them. The cultures and interaction between characters seen through narrative aspects and cinematographic aspects in the film with a qualitative research method. As a result, the intercultural communication in this film is successful and goes properly because of the tolerance of each other.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Lukita Wijaya
"Kehidupan multikultural di Indonesia membuat kerukunan beragama menjadi penting untuk dijaga dengan baik. Kerukunan antar umat beragama dapat dicapai dengan mengadopsi konsep-konsep komunikasi antarbudaya dan peran dari culture broker untuk meminimalisir terjadinya konflik. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan atau standpoint culture broker umat Buddha keturunan Tionghoa mengenai kerukunan beragama di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus, penelitian ini melakukan wawancara terhadap dua subjek penelitian yang merupakan culture broker. Informan S adalah Penyelenggara Agama Buddha di X yang berlokasi di salah satu kabupaten di Indonesia yang bertugas untuk membina, menaungi, membimbing dan bertanggunjawab atas semua kegiatan keagamaan agama Buddha di kabupaten tersebut. Informan RA merupakan akademisi dan Ketua Umum Organisasi Buddha Y. Hasil penelitian menyoroti peran culture broker dalam menjembatani konflik antarbudaya dan kesalahpahaman komunikasi di tengah dinamika sosial Indonesia yang kompleks. Mereka mengadopsi nilai-nilai Buddha seperti Interdependent Origination, Non-Violence Communication (NVC), dan Mindfulness dalam upaya mereka untuk memfasilitasi dialog yang harmonis dan mengurangi konflik. Namun demikian, standpoint dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa kerukunan antarbudaya di Indonesia merupakan hal yang semu. Meskipun beberapa kelompok minoritas tidak merasakan perlakuan diskriminatif secara langsung, tetapi masih terdapat insiden yang tidak adil dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan umat Buddha.

Multicultural life in Indonesia makes it important to maintain religious harmony. Harmony between religious communities can be achieved by adopting the concepts of intercultural communication and the role of culture brokers to minimize conflict. This research aims to explain the views or cultural viewpoints of Buddhists of Chinese descent regarding religious harmony in Indonesia. Using a qualitative approach with a case study research strategy, this research conducted interviews with two research subjects who were culture brokers. Informant S is a Buddhist Religion Organizer in Informant RA is an academic and General Chair of the Buddhist Y Organization. The research results highlight the role of culture brokers in bridging intercultural conflicts and communication misunderstandings amidst Indonesia's complex social dynamics. They adopt Buddhist values ​​such as Interdependent Origination, Non-Violence Communication (NVC), and Mindfulness in their efforts to facilitate harmonious dialogue and reduce conflict. However, the viewpoint of this research also shows that intercultural harmony in Indonesia is a false thing. Although some minority groups do not experience direct discriminatory treatment, there are still incidents of injustice and difficulties in meeting the needs of Buddhists."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rayi Inkang Arnik
"Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis adanya aspek-aspek komunikasi antarbudaya yang digambarkan melalui salah satu film Indonesia yang berjudul Ngenest. Analisis dilakukan dengan mengkaitkan lima aspek berbeda yang terdapat di dalam komunikasi antarbudaya, yaitu komunikasi verbal, komunikasi non-verbal, stereotip, etnosentrisme, culture shock, dan adaptasi budaya. Penulis menganalisis dengan memaparkan adegan-adegan pada film Ngenest yang dapat menjelaskan bentuk dari kelima aspek tersebut. Film ini dapat menjelaskan aspek etnosentrisme, stereotip, culture shock, dan adaptasi budaya. Aspek komunikasi verbal dan komunikasi non verbal yang terjadi di dalam film ini tidak menunjukan adanya masalah spesifik terkait komunikasi antarbudaya. Komunikasi di antara dua budaya yang berbeda akan seringkali terjadi di kehidupan sehari-hari, sehingga mempelajari komunikasi antarbudaya dapat memberikan banyak manfaat kepada masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai negara multikultural.

The purpose of this paper is to analyze the aspects of intercultural communication which is represented through one of Indonesian movie Ngenest. The analysis is conducted by relating five different intercultural communication aspects, those are verbal communication, non-verbal communication, stereotype, ethnocentrism, culture shock and cultural adaptation. Writer’s analysis is within enlighten any scenes of Ngenest movie those are able to explain the form of all of five aspects. This movie can define ethnocentrism, stereotype, culture shock and cultural adaptation in one time. Verbal communication and non verbal communication aspects that ensued in this movie do not indicate any intercultural communication specific issue. The communication between two different cultures are often occurred in daily life, so that learning intercultural communication can give many advantages for Indonesian society that is acknowledged as multicultural country."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Tarsisius Florentinus Sio Sewa
"Interaksi antaretnis dan antarbudaya adalah realitas sosial yang tidak dapat dihindari terlebih di era globalisasi dewasa ini. Interaksi yang tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan konflik dan ketidakseimbangan relasi. Interaksi yang tidak sehat dapat saja terjadi oleh karena stereotype, prejudice dan sikap etnosentrisme. Padahal interaksi yang baik menuntut adanya saling keterbukaan, saling pengertian dan upaya untuk masuk dan beradaptasi dengan budaya lain.
Hal yang sama dapat saja terjadi dalam interaksi antara etnis Ende dan Lio dengan etnis Cina dan Padang di Kota Ende, yang menjadi subyek penelitian Tesis ini. Dengan menggunakan paradigma konstruktivis dan pendekatan komunikasi antarbudaya, penulis menjelajahi realitas "communicative-style" ke-empat kelompok etnis yang saling berinteraksi, termasuk latarbelakang sosio-budaya, sosio-ekonomi dan sosio-religius yang mempengaruhinya.
Untuk memahami pola komunikasi dari mereka yang berinteraksi, penelitian tersebut secara khusus menyoroti enam ( 6 ) elemen Communicative-style Barnlund yang relevant 1) tema pembicaraan, 2) bentuk interaksi, 3) tatacara berkomunikasi, 4) cara merespons, 5) penyingkapan diri, dan 6) emphaty.
Etnis Ende, dengan karakter ekstrovert: banyak berbicara, bicara dengan suara keras dan emosi yang kadang tak terkendali, tidak sulit berinteraksi terutama dengan etnis Padang dan Lio. Mereka cenderung lebih dekat dengan etnis Padang karena kesamaan agama dan etnis Lio karena hubungan darah dan adat serta bahasa dan budaya yang relatif hampir sama. Berhadapan dengan Etnis Lio dan Padang, mereka dapat berbicara apa saja, mulai dari obrolan santai, obrolan serius, penyingkapan diri dan bahkan dengan etnis Lio sampai kepada tingkat emphaty. Sementara itu, interaksinya dengan etnis Cina masih sebatas tegur-sapa dan transaksi jual-beli. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh medan interaksi yang terbatas antara keduanya.
Dengan karakter yang relatif lebih tenang, santun, ramah dan terbuka, etnis Lio dengan mudah dapat berinteraksi dengan etnis Padang, Cina dan Ende. Dalam interaksi di antara mereka, tampak bahwa etnis Cina cenderung lebih dekat dengan etnis Lio karena kesamaan agama dan karena medan interaksi yang cukup luas. Walaupun jarang ada emphaty dan penyingkapan diri; namun tegur-sapa, basa-basi, obrolan santai dan kadangkala obrolan serius, sering menjadi bagian dari komunikasi dan interaksi di antara mereka.
Meminjam istilah Norton dengan sembilan (9) "Communication characteristic"-nya, etnis Ende lebih banyak memperlihatkan perilaku: dominant, dramatic, contentious dan animated; dibandingkan dengan etnis Lio yang cenderung bersikap: relaxed, attentive, open dan Friendly. Sementara itu, etnis Cina cenderung berperilaku: Relaxed, Friendly, attentive khusus dengan etnis Lio dan dramatic, khusus dalam mempromosi barang dagangannya. Sedangkan etnis Padang sering menunjukkan perilaku yang Relaxed, Friendly dan kadangkala attentive khusus dalam interaksinya dengan etnis Ende.
Pemahaman yang baik tentang communicative-style akan membantu mereka yang berinteraksi untuk dapat "menempatkan diri" sebagai subyek yang trampil dan kompeten dalam berkomunikasi antarbudaya. Dengan demikian, keanekaan budaya yang tampak dalam keanekaan cara orang berkomunikasi, tidak menjadi halangan bagi terciptanya iklim komunikasi yang baik; tetapi sebaliknya, menyadarkan orang menerima perbedaan yang ada sebagai "kondisi terberi" guna saling melengkapi dan menyempurnakan demi "bonum commune" (kebaikan bersama). Karena kebaikan bersama adalah impian semua manusia, siapapun dia dan dari mana asalnya!

Interethnic and intercultural interaction is a social reality which can not be avoided, especially at the era of globalization, nowadays. Unmanaged interaction will bring conflict and unbalanced relation. Unhealthy interaction would be caused by stereotype, prejudice and ethnocentrism among communication participants. It could be concluded that a pleasant interethnic and intercultural interaction required openness, a deep insight and require effort to put our self in the other culture and also to adapt with that culture.
The same assumption may apply in communication and interaction between Endenese, Lionese and Chinese, Padangnesse in Ende, which is the subject of this Thesis research. By using Constructivism paradigm and intercultural communication approach, the researcher try to explore "communicative-style" of those four ethnics in their interaction including the influence of social-cultural, social-economic and social-religious background.
To understand the behavior of the communication participants, this research reflects six (6) elements of Barnlund's Communicative-Style: The Topics people prefer to discuss, their favorite forms of interaction ritual, repartee, self disclosure and the depth of involvement they demand of each other.
Endenese with their extrovert characters: speaks frequently, interrupts and un-controls conversations, speaks in a loud voice, have no difficulties to interact with the Padangnese and Lionese. They tend go closer with the Padangnese because of similarities in social-religious factor; and with the Lionese because of family and customary relationships, resembling in similar language and culture. With them, Endenese can cover various topics of conversation, beginning with a short conversation, serious-talk, self-disclosure and than empathy. Their interaction with the Chinese still restricted to small-talks and subjects related to trading. This fact is influenced by their restricted interactions-setting.
Lionese with their relaxed character: calm, simple, modest, friendly and open, can interact with Padangnese, Chinese and Endenese, easily. The Chinese tends go closer with the Lionese because of similarities in social religious factors and their interactions-setting is broad enough. Although, in daily interaction they seldom display empathy and self disclosure; but small-talks, a short conversation and serious-talk occasionally, often can be a part of their communication and interaction.
Based on Nortons technical-term and his nine (9) communication-characteristics, Endenese much more display these communication traits: dominant, dramatic, contentious and animated; comparing with Lionese which is relaxed, attentive, open and friendly. The Chinese tend to be relaxed, friendly, attentive, especially with the Lionese and dramatic especially in promoting their trading goods. Padangnese often are relaxed, friendly and sometimes attentive, especially with the Endenese.
A good understanding about communicative-style and its influencing factors would help the communication participants: Endenese, Lionese, Chinese and Padangnese, to "put themselves" as "competent-subject" in intercultural communication and interaction. Therefore, the variety of cultures that appear on the diversity communicative-styles, should not become a constraint to develop a good communication-climate; but on the other hand should make someone more aware of the importance of accepting differences with honesty and sincerity, to reach "bonumcommune". Because "bonum-commune" is a vision of all mankind, whoever and wherever they come!
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>