Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37410 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Jakarta: Eka jaya, 2004
352.02 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Topo Santoso
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2008
352 TOP a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sayman Peten Sili
"Tema tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah sengaja diangkat oleh penulis, karena kedua lembaga pemerintahan di daerah ini sesungguhnya memegang peranan penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Berbicara tentang DPRD dan Kepala Daerah tentu tidak akan terlepas dari pembi.caraan mengenai otonomi daerah, begitu pula sebaliknya, berbicara tentang otonomi daerah tidak akan sempurna jika tidak dikaitkan dengan pembicaraan mengenai DPRD dan Kepala Daerah.
Hubungan antara kedua lembaga pemerintahan di daerah ini selalu bergeser dan mengalami pasang surut sepanjang sejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemerintahan daerah yang pernah berlaku di Indonesia, di mana dominasi antara kedua lembaga pemerintahan daerah ini saling bergantian, di mana DPRD pernah begitu dominan atas lembaga eksekutif di daerah, begitupun sebaliknya, lembaga eksekutif daerahpun pernah begitu dominan atas DPRD.
Penelitian ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa dengan beriakunya tindang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-uridang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan Kepala Daerah telah mengalami pergeseran. Lembaga perwakilan rakyat daerah yang pernah memiliki kedudukan yang sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, namun dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar dengan mengembalikan kedudukan DPRD pada keadaan di masa masih berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Pemerintahan di Daerah. Dalam Pasal 3 ayat (1) ini disebutkan bahwa "Pemerintah daerah adalah: a. pemerintah daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi, b. pemerintah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Selanjutnya, dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dikatakan bahwa DPRD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Di sini, penulis dapat mengatakan bahwa dengan adanya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, hak DPRD telah banyak yang dipangkas atau dipreteli.
D
alam kondisi seperti ini, dibutuhkan lembaga perwakilan rakyat di daerah yang memiliki kedudukan yang kuat dalam mewakili kepentingan rakyat di daerah. Kedudukan yang kuat ini, hanya dapat terlaksana apabila diimbangi dengan kedudukan kepala daerah yang kuat pula. Harapan ini kiranya dapat terpenuhi, apabila kedua lembaga pemerintaha di daerah ini sama-sama menyadari bahwa mereka adalah samasama memegang kedaulatan rakyat di daerah, karena sama-sama dipilih secara langsung melalui pemilihan (umum).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, ditemukan beberapa fakta sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan kepala daerah, seperti faktor pendidikan yang masih rendah dari anggota DPRD, faktor pengalaman sebagai anggota DPRD dan faktor rekruitmen awal yang dilakukan oleh partai politik, sementara di sisi lain pihak eksekutif memiliki sumber daya manusia (SDM) yang lebih baik.
Faktor-faktor tersebut akan sangat mempengaruhi pelaksanaan hubungan antara DPRD dengan kepala daerah sebagai wakil pihak eksekutif daerah, terlebih dalam pelaksanaan fungsi DPRD yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawaman atau fungsi kontrol, di mana dalam melaksanakan fungsi-fungsi tersebut DPRD akan selalu berhadapan dengan pihak eksekutif Dalam kedudukannya yang sama-sama sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah ini, perlu dikembangkan suatu etika yang dapat merefleksikan bahwa sesungguhnya antara kedua lembaga pemerintaha di daerah ini tidak ada yang paling dominan satu di antara yang lainnya, karena keduanya sama-sama bekerja untuk kepentingan rakyat.
Hubungan yang dibangun antara kedua lembaga pemerintahan di daerah ini secara realistik dapat dikembangkan dalam 3 (tiga) bentuk, antara lain: 1. bentuk komunikasi dan tukar menukar informasi; 2. bentuk kerjasama atas beberapa subyek, program, masalah dan pengembangan regulsai, dan 3.klarifikasi atas beberapa permasalahan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19130
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Yogaswara
"ABSTRAK
Didalam bentuk negara kesatuan dikenal dua asas
pemerintahan yaitu sentralisasi dan desentralisasi,
sentralisasi menciptakan keseragaman sedangkan
desentralisasi menciptakan keberagaman, sehingga daerah
dapat menentukan pilihan kebijakan apa yang sesuai
keinginan daerah masing-masing. Dengan diberlakukannya
desentralisasi, maka tiap-tiap daerah mempunyai kewenangan
untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
Pengimplementasian dari otonomi daerah terkadang membuat
sebagian masyarakat di daerah merasa kurang puas terhadap
kinerja dan pelayanan pemerintah daerah. Hal tersebut
mendorong sebagian masyarakat untuk membentuk daerah otonom
baru. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang berlaku saat ini
mengatur mengenai persyaratan dan prosedur Pembentukan dan
pemekaran. Ada dua pokok permasalahan yang menjadi telaahan
dalam tesis ini, yaitu persyaratan dan prosedur Pembentukan
dan pemekaran daerah menurut hukum positif, dan persyaratan
dan proses pembentukan Kota Tangerang Selatan dalam
perspektif hukum positif di Indonesia. Dalam penelitian ini
dibahas juga mengenai perkembangan pemekaran daerah di
Indonesia.Dalam penelitian ini digunakan metode hukum
normatif, dengan titik berat kepada materi peraturan
perundang-undangan yang mengatur pembentukan daerah. Data
di kumpulkan melalui studi kepustakaan dan wawancara, jenis
data tersedia adalah data primer dan data sekunder yang
didapat dari Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia dan
Pemerintah Kabupaten Tangerang. Pendekatan penelitian
dengan mengunakan deskriptif analisis dengan analisis yang
bersifat kuantitatif, terakhir penarikan kesimpulan dengan
metode induktif. Persyaratan dan prosedur pembentukan
daerah diatur dalam Pasal 5 Undang-undang No. 32 Tahun 2004
dimana terdapat syarat administratif, teknis dan fisik
kewilayahan. Hasil dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa
untuk persyaratan administratif, terdapat beberapa
persyaratan yang belum dipenuhi oleh Kabupaten Tangerang
untuk pembentukan Kota Tangerang Selatan. Kemudian untuk
persyaratan teknis masih dinyatakan lulus bersyarat. Untuk
persyaratan fisik calon Kota Tangerang Selatan telah
memenuhi persyaratannya."
2007
T36843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Citra Umbara, 2008
352.02 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hani Adhani
"Pasca Amandemen UUD 1945, Proses pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan melalui pemilihan langsung. Hal mengenai mekanisme pemilihan Kepala Daerah tersebut selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah.
Pelaksanaan demokrasi dalam Pilkada langsung ini menimbulkan konsekuensi yang besar terhadap kelangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia. Proses pelaksanaan Pilkada yang syarat dengan berbagai kepentingan akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan selalu berujung dengan sengketa. Lembaga peradilan yang merupakan benteng terakhir untuk menyelesaikan sengketa Pilkada harus selalu dituntut untuk mengedepankan putusan yang menjunjung rasa keadilan bagi semua kepentingan yang terkait dengan sengketa Pilkada.
Adanya konflik yang berkepanjangan pasca putusan sengketa Pilkada oleh Mahkamah Agung menimbulkan kegamangan yang berujung dengan pengalihan kewenangan untuk mengadili sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak secara jelas mengatur tentang mekanisme pengalihan kewenangan mengadili sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, hal tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda terkait tenggat waktu pelimpahan kewenangan tersebut, meskipun pada akhirnya permasalahan tersebut berakhir setelah ditandatanganinya Berita Acara Pelimpahan Kewenangan Mengadili Sengketa Pilkada dari Mahkamah agung ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 29 Oktober 2008.
Proses penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi tidaklah jauh berbeda dengan penyelesian sengketa di Mahkamah Agung, adanya tenggat waktu 14 (empat belas) hari untuk menyelesaikan sengketa tersebut, menyebabkan proses penyelesaian sengketa tersebut harus dilaksanakan secara cepat dengan acuan yang menjadi dasar pertimbangan hakim adalah hal mengenai hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Adanya upaya hukum berupa kasasi dan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Mahkamah Agung pasca putusan yang bersifat final dan mengikat, menyebabkan upaya menyelesaikan sengketa Pilkada berlarut-larut sehingga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Hal tersebut yang menjadi salah satu pembeda antara proses penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25202
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Afdhal Mahatta
"Konsep Pemerintahan Nagari sebagai pemerintahan terendah dan wilayah hukum adat di Sumatera Barat mengalami degradasi dengan munculnya Undangundang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pemerintahan Nagari yang bersifat otonom dan demokratis telah diganti menjadi pemerintahan desa yang bersifat sentralistik. Pemerintahan Nagari hanya semata-mata merupakan kesatuan masyarakat hukum adat. Munculnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana menggantikan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan kesempatan kepada Pemerintahan Nagari untuk kembali menunjukkan eksistensi nya. Kembali ke pemerintahan nagari diharapkan mampu menjadi solusi terhadap permasalahan yang terjadi dan untuk menggali lagi potensi dan peran serta masyarakat dalam upaya mempercepat pembangunan di daerah sebagaimana dulunya.

The government concept of Nagari as the lowest administration and as the region of customary law suffered from degradation with the emergence of 1979 Law Number 5 about Village Government. The autonomous and democratic Nagari Government has been replaced with a centralistic village governemnt. As a result, the Nagari government plays the role only as a unity of customary law society. The emergence of 2004 Law number 32 about Local Government as a replacement of 1999 Law number 22 gives the chance to the Nagari Government to represent its existence. The return to Nagari Administration is expected to be able to become the solution to the problem that happened and to explore again the potency and role of the society in the effort of quickening the development in the area as before now."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29447
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>