Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118154 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tjip Ismail
Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2005
336.2 TJI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tjip Ismail
Jakarta: Yellow Printing, 2007
336.2 TJI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Based on statutes and regulation above the enactment of local taxation were decentralization pattern, even though both the system are use the same time. The local regulation have function as legal base for imposition the local tax, to fulfill the formal and materiil standard that have been determined by law and regulation upon him."
JHUII 13:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Panca Kurniawan
Malang: Bayumedia Publishing, 2004
336.2 PAN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Daffa Zulfa Yudhanto
"Indonesia kembali menempati posisi tiga teratas dalam daftar negara yang rentan terhadap dampak climate shocks. Intensitas resiko atas fenomena ini diperkirakan akan terus meningkat jika tidak diikuti dengan perubahan perilaku dari masyarakat. Merujuk pada Undang-Undang Pengelolaan Perlindungan Lingkungan Hidup, salah satu langkah yang dapat diambil untuk mengatur perilaku tersebut ialah dengan instrumen ekonomi, seperti green tax. Namun, efektivitas green tax akan menjadi sulit dicapai ketika hal ini tidak didukung oleh kerangka pengaturan yang selaras dan kemauan politik dari para stakeholders. Penelitian ini mencoba untuk mengungkap indikasi ketidakselarasan pengaturan green tax di tingkat daerah serta kesenjangan dalam praktiknya di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi lapangan berupa wawancara mendalam serta studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan green tax pada Pajak Kendaraan Bermotor maupun Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor secara garis besar sudah selaras. Akan tetapi, perlu digaris bawahi bahwa perolehan dasar pengenaan atas kedua pajak tersebut belum mencerminkan keseluruhan eksternalitas negatif. Temuan lain dari penelitian ini juga memperlihatkan terdapat gap pada penerapan PKB dan PBBKB dengan konsep green tax, diantaranya yaitu pengenaan tarif yang belum optimal, praktik earmarking yang kurang jelas, serta minimnya kesadaran pemerintah daerah dalam memanfaatkan green tax ini. Penelitian ini memberikan rekomendasi bahwa pemerintah perlu segera mengoptimalkan penggunaan jenis pajak daerah dengan esensi green tax yang sudah ada, merestrukturisasi jenis green tax yang belum memasukan biaya lingkungan, serta memastikan belanja daerah yang berasal dari green tax telah dialokasikan untuk perbaikan lingkungan.

Indonesia once again ranks among the top three countries most vulnerable to the impacts of climate shocks. The intensity of these risks is expected to escalate unless accompanied by behavioral changes from the society. According to the Environmental Protection and Management Law, one of the measures that can be taken to regulate such behavior is through economic instruments, such as green tax.. However, the effectiveness of green taxes can be challenging to achieve without the support of a coherent regulatory framework and the political will from stakeholders. This study aims to reveal indications of regulatory misalignment of green tax at the local government level and the gaps in its practices in Indonesia. The study employs a qualitative approach with data collection techniques including field studies through in-depth interviews. The findings indicate that the regulation of green tax on Vehicle Tax and Fuel Tax is broadly aligned. However, it should be emphasized that the basis for determining these two taxes does not fully reflect the overall negative externalities. Furthermore, the research identifies gaps in the implementation of vehicle tax and fuel tax with the green tax concept, such as suboptimal tariff imposition, unclear earmarking practices, and a lack of awareness among local governments in utilizing green taxes effectively. This research recommends that the government optimize the use of existing local taxes with green tax essence, restructure types of green tax that have not yet incorporated environmental costs, and ensure that regional expenditures derived from green taxes are earmarked for environmental improvement."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isma Afifah Romani
"Seiring bergulirnya reformasi dan guna mengantisipasi keinginan daerah untuk mengurus daerahnya sendiri maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 19S9 Tentang Pemerintahan Daerah yang memberi wewenang kepada daerah untuk mengatur seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan tertentu yang menjadi wewenang pemerintah pusat. Guna memfasilitasinya, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah yang mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan desentralisasi maka penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dibiayai antara lain oleh pendapatan asli daerah. Sumber pendapatan asli daerah terutama berasal dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah yang pemungutannya harus didasarkan pada Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1997 juncto Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah.
Berdasarkan penelitian kepustakaan yang dilakukan ternyata pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah seringkali menghambat pertumbuhan sektor usaha dan tidak mendukung perkembangan daerah sebagaimana diharapkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Hal ini umumnya disebabkan karena semangat otonomi yang berlebihan dari daerah sehingga daerah memungut pajak daerah dan retribusi daerah secara membabi buta. Selain itu, tidak adanya sistem kontrol yang tegas guna menindak pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang merugikan semakin memperburuk keadaan. Oleh karena itu disarankan agar pemerintah pusat mencegah pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang merugikan. Sedangkan pemerintah daerah disarankan untuk lebih selektif dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T36328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ateng Syafrudin
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993
352 ATE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tjip Ismail
"Sejalan dengan perkembangan ekonorni saat ini, peran penerimaan dalam negeri bagi APBN dalam rangka pembiayaan kegiatan pemerintah maupun kaitannya dangan pelaksanaan kebijakan fiskal semakin penting. Sementara itu, sumber utama penerimaan dalam negri masih didominasi oleh penerimaan perpajakan yang dari tahun ke tahun peranannya menunjukkan kenaikan.
Sistem pemerintahan di Indonesia berubah sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang efektif berlaku pada tanggal 1 Januari 2001 yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Perubahan yang mendasar adalah bahwa segala urusan pamerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama menjadi kewenangan daerah. UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 merupakan tonggak sejarah beralihnya sistem pemerintahan dari sentralistik ke desantralistik, sesuai dengan kehendak founding fathers Indonesia dan Konstitusi UUD 1945.
Esensi otonomi adalah kemandirian, yaitu kebebasan untuk berinisiatif dan bertanggungjawab sendiri dalam mengatur dan menyusun pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya yang selama ini merupakan urusan pmerintah pusat, termasuk pelayanan kepada warga masyarakat. Idealnya otonomi tersebut harus dibiayai dari sumber-sumber pendapatan dari daerah itu sendiri (PAD), khususnya dari pajak daerah, karena peranan pajak daerah terhadap PAD masih dominan, yaitu 83,09% di Provinsi dan 37,72% untuk Kabupaten Kota.
Berkenaan dengan hal tersebut, banyak daerah mengambil jalan pintas dengan mengoptimalkan pajak daerah sebagai satu-satunya sumber pembiayaan daerah. Apabila tidak diimbangi dengan palayanan kepada sektor pajak barsangkutan, pungutan pajak daerah akan manjadi kontraproduktif karena hanya akan dirasakan sabagai beban. Hal itu tidak sejalan dengan otonorni daarah yang bertujuan untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Perkembangan demokrasi saat ini menghendaki adanya wujud pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Masyarakat kian kritis dalarn menyikapi setiap kebijakan pemerintah, apalagi berkenaan dengan suatu pungutan, khususnya pajak daerah. Rasio kenaikan penerimaan ratribusi daerah lebih tinggi dari pada pajak daerah, menunjukkan bahwa terdapat tuntutan masyarakat yang menginginkan adanya kontraprestasi (pelayanan) dari suatu pungutan. Disamping itu dari hasil penelitian daerah di Indonesia menunjukkan bahwa pada kenyataannya daerah-daerah telah berinisiatif melakukan pergeseran paradigma pajak daerah dengan memprioritaskan peruntukkan penerimaan pajak daerah untuk pelayanan kepada pajak yang bersangkutan. Sedangkan penelitian di nagara lain pun menunjukkan bahwa penerimaan pajak daerah, dioptimalkan pemanfaatannya untuk pelayanan kepada sektor pajak yang bersangkutan.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa paradigma pajak daarah yang semula merupakan iuran yang dapat dipaksakan tanpa adanya imbalan kontraprestasi harus diubah, dengan penegasan mangenai adanya imbalan kontraprestasi yang diprioritaskan untuk membiayai pelayanan terhadap sektor pajak daerah yang bersangkutan.

In line with current economic development, the role of domestic revenue in State Budget in relation to the financing of govemment activities and fiscal policy implementation has grown more important. Meanwhile, a larger part of domestic revenue comes from tax revenue which has been increasing over the years.
The governmental system of Indonesia has changed since the stipulation of Law Number 22 Year 1999 and Law Number 25 Year 1999 that came into implementation on January 1?, 2001 which was later on amended by Law Number 32 Year 2004 and Law Number 33 Year 2004 respectively. One of the fundamental changes is the delegation of authority from central government to local government in all areas except for those in foreign policy, defense, national security, justice, national monetary and fiscal matters, and religious affairs. Law Number 22 Year 1999 on Regional Governance and Law Number 25 Year 1999 on Fiscal Balance between Central and Local Govemment have become a historical milestone in terms of the shift from centralized government to a more decentralized one as warranted by lndonesia's founding fathers and constitution.
The fundamental nature of autonomy in unitary country is discretionary, which in this case refers to discretion to have initiative and self responsibility in managing their region?s governmental affairs which prior to the stipulation of Law Number 22 Year 1999 were the domain of central government, including public service. Ideally, regional autonomy should be financed by the region?s own revenue sources (Pendapatan Asli Daerah, PAD), especially by local taxes because they make up a significant portion of PAD, i.e. 83,09% in Provincial level and 37,72% in District/Municipal level.
It is because of the above reason that many local governments resort to optimizing local taxes as the only source of regional financing. lf such measure is taken without giving something in return, e.g. improvement of services, to sectors taxed, regional taxes will not yield the desired result because they will only be viewed as additional burden, which of course is against the spirit of regional autonomy whose purpose is to bring services closer to public.
The development of democracy demands a clearer manifestation of government's services to public as they grow more knowledgeable about government's policies, particularly when it comes to levies, especially local taxes. The fact that local charges shows more significant increase rate compared those of local taxes reflects public?s demand for some sort of compensation for every kind of tax/charges levied. In addition, the results of researches conducted in Indonesia indicate the shifting of local tax paradigm. Currently, local governments tend to allocate tax revenue obtained from a certain sector to measures designed to improve services in that sector. Meanwhile, similar research conducted in other countries also shows similar result.
In conclusion, it can be stated that the earlier paradigm that consider local tax as something that can be coerced by government without compensation should be changed by giving more emphasis on fonns of compensation that can be used to finance services in the sector being taxed."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
D695
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Riza Fahlevi
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas tentang pengaturan pemungutan pajak penghasilan di Indonesia, studi ats peraturan di bawah undang-undang tahun 1984-2006. Ada prinsip yang berlaku universal yakni, tidak ada pajak tanpa perwakilan, atau pajak tanpa perwakilan adalah perampokan. Di In donesia, dasar pemungutan pajak tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 (naskah asli), yang kemudian dalam perubahan ketiga UUD 1945 diatur dalam asal 23A. Pada dasarnya pemungutan pajak harus di atur dngan undang-undang. Praktiknya, banyak peraturan-peraturan di bawah undang-undang yang mengatur pemungutan pajak penghasilan. Dengan pendekatan teori Economic analysis of law, penulis mencoba mencari jawaban mengapa banyak pengaturan pemungutan pajak penghasilan diatur melalui peraturan di bawahundangundang. Teori ini mengedepankan konsep efesiensi. Efisiensi dalam pengaturan pemajakan, terhadi bila peraturan dibuat dengan memperhatikan bahwa atas kegiatan ekonomiyang mempunyai elastisitas tinggi dikenakan trif pajak rendah, begitu pula sebaliknya, atas kegiatan ekoomi yang mempunyai eleastisitas rendah dikenakan dengan tarif tinggi."
Depok: 2009
D1016
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>