Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146900 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Devy Flora Riftriani
"Setelah era desentralisasi, pembangunan bidang kesehatan menjadi kewenangan wajib yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota, Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan menyelenggarakan pembangunan kesehatan di daerah diperlukan kecukupan alokasi pendanaan kesehatan dalam anggaran pemerintah baik pusat maupaun daerah, hal ini merupakan faktor pcnting keberhasilan desentralisasi bidang kesehatan.
Berdasarkan alokasi anggaran bidang kesehatan tahun 2005, pemerintah daemh telah mengalokasikan dana sebesar 12,55% dari total APBD Kabupaten untuk pendanaan bidang kesehatan. alokasi anggaran ini sudah mendekati apa yang tercantum dalam Sistcm Kesehatan Nasional. Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon sudah berupaya mengakomodir ketentuan dari pusat tentang bcsamya dana yang hams dialokasikan untuk bidang kesehatan, hal ini terbukti dengan meningkatnya anggaran untuk bidang kesehatan dari tahun ke tahun. Dilihat dari alokasi anggaran kesehatan di Kabupaten Cirebon sudah mendekati ketentuan dalam Sistem Kesehatan Nasional tetapi biia dilihat dari anggaran kesehatan pcrkapita penduduk tahun 2005 sebesar Rp.52.650 masih sangat jauh dari ketentuan yang dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebesar Rp.l20.000 (US $ 12) per kapita penduduk pcrtahun.
Faktor~faktor yang mempengaruhi pendanaan kesehatan pada tahun 2006 serta pemanfaatan alokasi APBD terhadap pendanaan bidang kesehatan yang dimulai dari sumber-sumber pembiayaan sampai bagaimana dana tersebut djgunakan dan kepada siapa dana tersebut dipemntukan masih belum diketahui. Maka sangat panting dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pendanaan kesehatan di Kabupaten Cirebon dan menganalisis pemanfaatan alokasi pendanaan bidang kesehatan bersumber pemerintah pada tahun anggaran 2006 dan untuk mengetahui sejauh mana komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon terhadap pembangunan kesehatan.
Penelitian ini mcnggunakan metodc penelitian kualitatifl bertujuan untuk menganalisis pemanfaatan pendanaan bidang kesehatan bersumber pemerintah, pola pendanaan, faktor-faktor yang mempengaruhi pendanaan kesehatan di Kabupaten Cirebon. Tahapan yang dilakukan adalah dengan cara menganalisis dokumen keuangan pada instansi yang menerima pendanaan bidang kesehatan, dan melaksanakan wawancara mendalam dengan pejabat terkait untuk mendapatkan konirmasi komitmen stakeholders dalarn pendanaan lcesehatan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Pernerintah Daerah Kabupaten Cirebon sudah mempunyai komitmen yang baik tentang pola pendanaan kesehatan terbukti pemerintah daerah sudah merelisasikan dana untuk bidang kesehatan sebesar l3,20% dari total APBD, pendanaan kesehatan merupakan bidang yang perlu diprioritaskan untuk menunjang pembangunan manusia utamanya untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Cirebon, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendanaan kesehatan adalah besamya dana APBD, kemampuan advokasi, negosiasi, kemampuan penyusunan anggaran dan masukan berupa usulan/aspirasi dari masyarakat.
Belanja Kesehatan Perkapita Penduduk Kabupaten Cirebon pada tahun 2005 disertai dengan gaji pegawai adalah sebesar Rp. 52.650. Belanja Kesehatan Perkapita Penduduk Kabupaten Cirebon pada tahun 2006 disertai dengan gaji pegawai adalah sebesar Rp.83.6I l. Belanja Kesehatan Perkapita Penduduk Kabupatcn Cirebon pada tahun 2005 tanpa disertai dengan gaji pegawai adalah sebesar Rp.43.l54. Belanja Kesehatan Perkapita Penduduk Kabupaten Cirebon pada tahun 2006 tanpa disertai mcnunjang kegiatan UKM. Pola Belanja di BRSUD Axjawinangun dan BRSUD Waled sudah baik dimana BOP sudah lebih besar dari BAU.
Disarankan untuk Dinas Kesehatan memanfaatkan dana APBD Kabupaten lebih banyak untuk kegiatan UKM (BOP) dibanding BAU dan BM sehingga kegiatan program kesehatan lebih langsung kepada kegiatan UKM , perlunya keterbukaan dalam dana bersumber PLN/BLN kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Cinebon. SIM RS agar dimanfaatkan di BRSUD Arjawinangun dan _BRSUD Waled.dengan gaji pegawaj adalah sebesar Rp.77.743. Terlihat adanya peningkatan pendanaan dengan peningkatan pencapaian target program, pola belanja di Dinas Kesehatan belum menunjukkan Pola Belanja yang ideal, BAU di Dinas Kesehatan lebih besar dari BOP dimana BOP sangat diperlukan untuk mcnunjang kegiatan UKM. Pola Belanja di BRSUD Arjawinangun dan BRSUD Waled sudah baik dimana BOP sudah lebih besar dari BAU.
Disarankan untuk Dinas Kesehatan memanfaatkan dana APBD Kabupaten lebih banyak untuk kegiatan UKM (BOP) dibanding BAU dan BM sehingga kegiatan program kesehatan lebih langsung kepada kegiatan UKM , perlunya keterbukaan dalam dana bersumber PLN/BLN kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Cinebon. SIM RS agar dimanfaatkan di BRSUD Arjawinangun dan _BRSUD Waled. "
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T32076
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Sunarjadi
"Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang menyeluruh, bermutu, terjangkau oleh masyarakat dan sebagai motor pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Mutu pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dirasakan masih belum memadai. Banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain standar pelayanan dan pembiayaan. Sampai saat ini biaya pelayanan kesehatan terutama di Puskesmas sangat min:m sehingga op rasional Puskesmas masih banyak mendapat subsidi baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran kecukupan pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah di Puskesmas Baradatu Kabupaten Way Kanan pada tahun 2006. Ruang lingkup penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Baradatu Kabupaten Way Kanan dengan membatasi area penclitian pada pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah dari berbagai tingkatan yang dialokasikan dan dikelola oleh Puskesmas Baradatu yang ditelusuri pada tahw1 anggaran 2006. Desain penelitian yang dipergunakan adalah penelitian operasional. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang berasal dari alokasi anggaran tahun 2006 dan diambil dari doktllllen di masing•masing instansi pengelola serta data sasaran dan cakupan program di Puskesmas Baradatu. Analisis pencapaian program pelayanan kesehatan di Puskesmas Baradatu dilakukan dengan mengacu pada indikator Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan. Pencapaian program pelayanan kesehatan Puskesmas Baradatu rendah yaitu baru 57,8% indikator program prioritas SPM yang sudah dijalankan sesuai dan melebihi target.
Pembiayaan kesehatan pemerintah tahun 2006 sebesar Rp.l.292.814.897,­dimana 85,57% dari APBD Kabupnten Way Kanan dan 14,43% dari APBN. Anggaran APBD Kabupaten Way Kanan 84,49% berasal dari DASK Puskesmas Baradatu sedangkan 15,51% berasal dari DASK Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan. Estimasi pembiayaan kesehatan sebesar Rp. 35.316,- atau US$ 3,85 per kapita pertahun. Perkiraan kebutuhan biaya operasional pelayanan kesehatan berdasarkan pencapaian program prioritas SPM Puskesmas Baradatu tahun 2006, sebesar Rp.377.427.084,-. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar dan obat membutuhkan biaya operasional t rbesar. Total kebutuhan pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah sebesar Rp.1.410.507.627,- Kesenjangan yang terjadi sebesar Rp.l17.692.730,- disebabkan kekurangan biaya operasional anggaran bersurnber APBD Kabupaten Way Kanan sebesar 10,64%. Keadaan ini menyebabkan rendahnya pencapaian program prioritas SPM Puskesrnas Baradatu tahun 2006.
Disarankan agar penyusunan perencanaan anggaran berdasarkan Standar Pelayanan Minimal, dengan mengalokasikan pembiayaan secara efektif dan efisien. Untuk mengatasi keterbatasan anggaran pernerintah dilakukan upaya rnenaikkan anggaran secara bertahap dari tahun ke tahun disesuaikan dengan kecenderungan kenaikan pemerintah hingga kebutuhan tersebut masih dapat ditanggung oleh daerah.

The Community Health Center (CHC)/Puskesmas have a main task to conduct the basic health services comprehensively, qualified, and affordable by the community, and act as the motor of the health development of its work area. However, the quality of the basic health services is still far from expectation. There are a lot of factors that affected, such as: the standard of the services and its cost Until this day, the cost for health services, especially at puskesmas is very low. Therefore, the operational cost of the puskesmas still have subsidized from the central and provincial government.
The study has a purpose on describing the appropriate health cost that resourced from the government, at Baradatu Puskesmas of the District of Way Kanan in the year of 2006. The study is carried out in the area of working of the puskesmas with a limitation of The analysis of target program achievement of the health services at Baradatu Puskesmas is obtaining by referring the indicators of Minimum Standard of Health Services (MSHS). It is found that the coverage of health services program at Baradatu Puskesmas is still low, i.e. only 57.8%, but indicators on priority program of MSHS that have been applied are appropriate and over the target.
Government health cost in 2006 is about 1,292,814,817,00 rupiah (one billion and two hundred ninety two million eight hundred fourteen thousand and eight hundred seventeen rupiah), where 85.5% of it is from the Provincial Budget and Expenditure (APBD) and 14.43% is from the Central Budget and Expenditure (APBN). The APBD of the District of Way Kanan is 84.49% from the DASK Puskesmas Baradatu, and its 15.51% is from the DASK of the District Health Authority of Way Kanan. It is estimated that the health cost at the District of Way Kanan is about 35,316 rupiah or$ 3.85 per-capita per­ year. Estimation for cost health services operational need based on program achievement on MSHS priority of Baradatu Puskesmas in the year of 2006 is around 377,427,084 rupiah. The implementation of the basic health services and medication need a considerable operational cost. The total needed on health services that resourced from the government is 1,410,507,627 rupiah. The disparity produced is 117,692,730 rupiah, caused by 10.46% of the shortage of operational budget from APBD resourced from the District of Way Kanan. The situation that lead to the low on target achieved by program priority of MSHS at Baradatu Puskesmas in 2006.
It is suggested that planning arrangement for budget based on MSHS, should be allocated efficiently and effectively. To deal with the limitation of the government budget, an increasing the budget year by year should be attempted in corresponds with the elevation on government budget Therefore, the cost needed can be managed by the district.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T29180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Sunarjat
"Dalarn era desentralisasi, bidang kesehatan menjadi sepenuhnya kewenangan dan tanggung jawab Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pembangunannya untuk mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat di wilayahnya. Sebagai konsekwensinya pemerintah Kabupaten/Kota harus menyusun kebijakan dalam upaya pembangunan kesehatan, termasuk di dalamnya kebijakan pembiayaan kesehatan yang bersurnber dari pemerintah. Sistem pembiayaan kesehatan di daerah perlu dikembangkan agar isu pokok dalam pembiayaan kesehatan daerah, yaitu mobilisasi, alokasi dan efisiensi pembiayaan dapat terselenggara dengan baik sehingga menjamin pemerataan. mutu, efisiensi dan kesinambungan pembangunan kesehatan daerah. Tersedianya data tentang pembiayaan kesehatan menjadi sangat penting karena sangat mempengaruhi proses pembuatan keputusan untuk penentuan kebijakan dan strategi pembiayaan kesehatan daerah.
Sampai saat ini belum pernah dilakukan analisis pembiayaan kesehatan yang bersumber pemerintah di Kota Sukabumi sceura lengkap. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar alokasi pembiayaan kesehatan dalam satu tahun, secara total maupun per kapita, sumber pernbiayaan, dan bagaimana peruntukannya dilihat dari jenis belanja, line item, mata anggaran, sub mata anggaran, unit pengelola, unit pengguna, program dan jenis biaya serta alokasi pembiayaan untuk program-program essensial. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Sukabumi pada Dinas Kesehatan, RSUD dan instansi terkait yang menjadi pengelola pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah. Studi ini menggunakan pendekatan District Health Account (DHA). Analisis pembiayaan kesehatan menggunakan data alokasi pembiayaan tahun anggaran 2006.
Hasil analisis menunjukkan bahwa total pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah di Kota Sukabumi adalah sebesar Rp 71410_033,100,- dan Rp 58.866.442.000,- (78,04%) bersumber dari APBD. Pembiayaan kesehatan per kapita (gaji/tunjangan, investasi, dan pemeliharaan tidak dihitung) adalah sebesar Rp 155.920,- Dilihat dari peruntukannya, alokasi pernbiayaan di Kota Sukabumi, Dinas Kesehatan dan RSUD, proporsi belanja publik lebih besar dari belanja aparatur, kecuali di RSUD antara belanja aparatur dan publik hampir seimbang, sebagian besar dialokasikan untuk belanja operasional Proporsi belanja investasi lebih besar dari belanja pemeliharaan. Proporsi pembiayaan kesehatan bersumber APED mencapai 17,00% dari total APED Kota Sukabumi.
Dengan menggunakan angka estimasi Bank Dunia (biaya kesehatan Rp 41.17 / kapita/tahun), maka alokasi pembiayaan kesehatan di Kota Sukabumi sudah memenuhi ketentuan tersebut. Sementara itu untuk membiayai program-program essensial di Dinas Kesehatan, baru mencapai 6,74% dari total annum Dinas Kesehatan atau 15,74 % dari kebutuhan sesuai estimasi Bank Dunia. Untuk memenuhi laiteria pemerataan, mutu, efi.siensi dart kesinambungan pembangunan kesehatan di Kota Sukabumi, diperlukan analisis lebih lanjut terutama untuk mengetahui alokasi pada mata anggaran dan sub mata anggaran apa saja, agar indikator outcome, benefit, impact program dapat tercapai.

In decentralization era, health department becomes an authority and responsible for district/city fully in implementing development to improve public health level in their area. As consequence, district/city government must arrange a policy to develop health, included health cost policy which comes from government. Health cost system at district mast be developed in order main issue on health cost of district, such as mobilization, allocation, and cost efficiency can implement well so it can guarantee a generalization, quality, efficiency, and continuity of district health development. Applying data of health cost becomes a most important thing because it can affect a policy making process to determine policy and cost strategy of district health program.
Until now, it has not been conducted a health cost analysis yet which comes from government of Sukabumi completely. Therefore, this study is conducted to know how much health cost allocation for one year totally or each capita, cost resource, and how its function if it is seen from outcome type, line item, budget, sub budget, organizer unit, user unit, program and cost type and cost allocation for essential programs. This study was conducted at Health Service, RSUD and related instance in Sukabumi which became a health cost organizer which came from government. This study used a District Health Account (DHA) method. Health cost analysis used a cost allocation data on budget period of 2006.
Analysis result indicated that health cost totally which comes from government of Sukabumi are 75.410.033.100 rupiah and 58.866442.000 rupiahs (78,04%) come from APED. Health cost every capita are 155.920,- rupiahs (salary/subsidy, infestation and conservancy are not accounted). If it was seen from its function, cost allocation at Health Service and RSUD of Sukabumi, proportion of public outcome is bigger than government officer outcome, except proportion of government officer outcome and public outcome at RSUD are balance, most of them is allocated for operational outcome. Proportion of infestation outcome is bigger than conservancy outcome. Proportion of health cost which comes from 'APBD is 17,00% of APED in Sukabumi totally.
By using an estimation rate of World Bank (health cost is 41.171 every capita/every year), so health cost allocation of Sukabumi is out of rule. While for essential programs cost at Health Service, there are 6,74% of total budget at Health Service or 15,74% of the needs based on World Bank estimation. It is important a further analysis to fulfil/ criterion of generalization, quality, efficiency and health development continuity in Sukabumi especially for knowing budget and sub budget allocation so program indicators of outcome, benefit, and their impact can reach.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T34354
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsi Risalma Puteri
"Sebagian besar upaya pelayanan kesehatan menggunakan obat dan biaya obat bagian yang cukup besar dari seluruh biaya kesehatan. Sumber Pembiayaan obat di Kabupaten Lima Puluh Kota berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten, Pemerintah pusat dan Propinsi. Penghitungan alokasi DAK bukan berdasarkan pada rencana kebutuhan obat yang rill, tetapi dengan biaya minimal obat perkapita seluruh penduduk ditambah jumlah penduduk miskin. Dari Pemerintah Pusat dan Propinsi alokasi anggaran tersebut tidak dirinci. Penelitian ini bertujuan menganalisis pembiayaan obat Pelayanan Kesehatan Dasar dan obat program di Kabupaten Lima Puluh Kota. Jenis penelitian merupakan penelitian operasional dengan pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif dengan wawancara pada Instalasi Farmasi Kabupaten dan Dinas Kesehatan. Hasil penelitian dari data tahun 2011 -2013 bahwa tren pembiayaan obat dan penggunaan obat meningkat seiring dengan meningkatnya jenis penggunaan obat dan kategori pasien yang memiliki Jaminan Kesehatan. Kenaikan biaya penggunaan obat dari tahun 2011 ? 2013 sebesar 11,82% menjadi 47,76%. Metode penghitungan estimasi biaya rencana kebutuhan obat PKD dan Program berdasarkan metode konsumsi.

Mostly the efforts health services using the drugs and the cost of drugs sizeable portion of all healthcare costs. Sources of financing medicines i Lima Puluh Kota Regency comes from the Special Allocation Fund (DAK), budget income and Expenditure the District (APBD), the Central Government and provinces Government. Calculating the allocation of DAK is not based on the needs of the drug plan rill, but with a minimal fee per-capita drug the whole population plus the number of poor population. From the Central Government and the province Government of the budget allocation is not specified. This research aims to analyze the financing of Basic health care drugs and medication program in Lima Puluh Kota Regency. This type of research is operational research with quantitative and qualitative data collection with interviews on the installation Pharmacy and health service District. The result of the research of the data of year 2011-2013 that the trend financing that drugs and drug use increase along with the increasing use of drugs and categories of patients who have health insurance. Rising costs of drugs use from 2011 to 2013 amounting to 11,82% to becomes 47,76%. Method of calculating the estimasted cost of the plan need drugs PKD and drugs program based n the consumption method.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T41680
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diding Sarifudin
"Cakupan kegiatan keperawatan komunitas di Kabupaten Cirebon masih rendah, sedangkan perawat sebagai peiaksananya merupakan tenaga kesehatan terbanyak dibandingkan dengan tenaga kesehatan lainnya Perawat melakukan asuhan keperawatan komunitas seharusnya dengan pendokummentasian atau pencatatan yang merupakan panduan sehingga kegiatannya terarah dan terpadu sesuai dengan masalah yang ditemukan. Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui kualitas pencatatan asuhan keperawatan komunitas di Kabupaten Cirebon tahun 2006 dan faktor-:fuktor yang mempengaruhinya.
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan cross-sectionaL Data dikumpulkan dari 7I perawat puskesmas dengan menggunakan perhitungan besar sampel Lot quality assurance sampling (I:QAS-Lot) secara sistematic random sampling, selain dilak:ukan wawancara juga dilakukan pemerik:saan catatan asuhan keperawatan masing-masing responden 5 dokumen. Penelitian dilakukan pada bulan September 2006 dengan menggunakan analisis univariat dan analisis jalur (path analysis).
Dari data yang dikumpulkan diperoleh kualitas pencatatan dengan baik sebesar 59,2 %. Hasil pemodelan dengan analisis jalur temyata kepemimpinan merupakan variabel utama yang mempunyai pengaruh sebesar 46,8 % terhadap kualitas pencatatan asuhan keperawatan, variabel lain yang mempunyai pengaruh terhadap kualitas pencatatan asuhan keperawatan adalah pengetahuan sebesar 3 I %, sikap sebesar 17,6 %, imhalan sebesar 11,6 %, dan variabe1 masa kelja melalui sikap sebesar 4%.
Kepemimpinan kepala puskesmas mampu meningkatkan lrualitas pencatatan asuhan keperawatan yang dilakukan karyawannya, selain itu kepemimpinan dapat meningkatkan pengetahuan, mengatur imbalan yang diberikan, dan dapat merubah sikap karyawannya. Bagi Dinas Kesehatan yang mempunyai kewajiban membina : kepala puskesmas maka harus selalu membina dan mengevaluasi kinelja kepala puskesmas.

Scope of community nursing activity in district of Cirebon has undervalued. In fact, number of nurse resources there larger than another medical profession. They to be organized in community nursing activity and nursing activity record-keeping as principal guide, they will working in systematic way and well integrated according to the problem raised from public health service. This research aim to determine the quality of community nursing activity record-keeping in district of Cirebon for year of 2006 and the influencing factors within.
Research belong to quantitative research with cross-sectional design. Data collecting using Lot quality assurance sampling (LQAS-Lot) with systematic random sampling method by surveying and interviewing 71 nurse from local public health services, including checking of 5 document from each respondent's nursing record.' Research taken during september 2006 and using univariat analysis and path analysis.
The result shows the quality of record-keeping which noticed as good are 52,2 % in value. Modelling result from path analysis put leadership as main variable which influence the quality of nursing record-keeping at 46,8%. Another variable which having influence on quality of nursing record-keeping are nurse's knowledge at 31%, nurse's attitude at 17,6%, rewards at 11,6% and working period at 4%.
Leadership skills of local public service's head can improve the quality of record-keeping of community nursing activity by its employees (nurses). Besides,and change in attitude. District public health service which has responsibility in training and developing officer to become head of local public health service should control and monitor their working performance continuously leaderships skills direct to improvement of knowledge, remuneration management, and change in attitude. District public health service which has responsibility in training and developing officer to become head of local public health service should control and monitor their working performance continuously.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T29167
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ella Marlena
"ABSTRAK
Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bekasi menimbulkan perubahan penggunaan tanah. Adanya kawasan industri membuat penggunaan tanah disekitarnya mengalami perubahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan penggunaan tanah pada tahun 1996-2006 dan 2006-2016 dan perubahan penggunaan tanah bagian utara dan selatan berdasarkan jarak jalan tol. Metode yang digunakan yakni buffer. Berdasarkan jarak dari jalan tol bagian utara dan selatan memiliki persentase perubahan area terbangun paling besar pada tahun 1996-2006 yakni pada jarak < 2 Km dan paling kecil >5 Km. Sedangkan pada tahun 2006-2016 persentase perubahan penggunaan tanah area terbangun terbesar pada jarak 2-5 Km dan persentase terkecil pada jarak >5 Km. Pada tahun 1996-2006 perubahan penggunaan tanah area terbangun lebih banyak pada bagian utara yang terdapat kawasan Industri Gobel dan Jababeka. Sedangkan pada tahun 2006-2016 perubahan penggunaan tanah area terbangun lebih banyak pada bagian selatan yang terdapat kawasan industri Lippo, Hyundai, EJIP, MM2100 dan GIIC.

ABSTRAK
Population growth in Bekasi Regency caused a change of land use. The existence of an industrial area makes use of the surrounding land undergoing changes. This study aims to analyze changes in land use in 1996 2006 and 2006 2016 and changes in land use in the north and south based on toll road distances. The method used is a buffer. Based on the distance from the northern and southern toll roads has the largest percentage change area of built in 1996 2006 ie at a distance 5 Km. While in 2006 2016 the percentage of land use change in the largest built area at a distance of 2 5 Km and the smallest percentage at a distance 5 Km. In 1996 2006 the change in land use was built on the northern part of the Gobel and Jababeka industrial areas. While in 2006 2016 changes in land use area built more in the southern part of which there are industrial areas Lippo, Hyundai, EJIP, MM2100 and GIIC."
2017
S69606
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tisa Harmana
"Kebijakan otonomi khususnya desentralisasi kesehatan menuntut adanya perbaikan sistem pembiayaan dan manajemen keuangan daerah dimana masalah pembiayaan kesehatan daerah selalu menjadi hambatan utama dalam mewujudkan perbangunan kesehatan. Pembiayaan kesehatan belum dapat memperbaiki indikator kesehatan masyarakat secara umum hal ini bisa disebabkan oleh pembiayaan yang tidak cukup dan kualitas dari pelayanan kesehatan selain itu masih banyak faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi pembiayaan kesehatan daerah.
Penelitian di bidang pembiayaan kesehatan telah banyak dilakukan, dimana penelitian tersebut menunjukkan bahwa sumber pembiayaan kesehatan daerah terbesar adalah dari dana APBD, namun penelitian yang mencoba mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan kesehatan daerah yang bersumber pada APBD masih sangat terhatas, sehingga penelitian ini menjadi penting untuk dilaksanakan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan teknik wawancara mendalam untuk mendapatkan data primer dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ditelaah dan dioiah menggunakan software komputer.
Penelitian ini menghasilkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan kesehatan daerah Kabupaten Pontianak tahun 2006 antara lain: Komitmen Daerah, kemampuan Advokasi, kemampuan Perencanaan, Prioritas Masalah Kesehatan, pemilihan Intervensi Program, kemampuan Perencanaan, Dana Perimbangan. Lain-lain
Pendapatan yang Sah, Informasi Alur Pembiayaan, dan Keseimbangan antara Mata Anggaran, sedangkan PAD belum mempengaruhi pembiayaan kesehatan daerah Kabupaten Pontianak. Hasil penelitian dari telaahan dan olahan dokumen menunjukkan bahwa total anggaran untuk pembiayaan kesehatan bersumber pada APBD Kabupaten Pontianak lahun anggaran 2006 adalah Rp 47,542,542,000; atau 8,99% dari total APBD. Pembiayaan kesehatan per kapita per tahun di Kabupaten Pontianak tahun 2006 berdasarkan belanja publik adalah sebesar Rp. 34,579.60 per kapita per tahun, nilai ini masih jauh dari nilai standar yang ditetapkan oleh World Bank sebesar Rp. 51,000,- per kapita per tahun.
Pihak instansi pengusul baik Dinas Kesehatan Kabupaten Pontianak dan RSLTD dr.Rubini hendaknya dapat membuat informasi alur pembiayaan dengan menggunakan format dan pedoman DHA beserta analisisnya setiap tahun secara berkesinambungan, agar dapat dijadikan pedoman dan bahan advokasi kepada para pengambil kebijakan di daerah. Pemerintah Kabupaten Pontianak diharapkan tetap konsisten dalam memegang komitmennya terhadap sektor kesehatan yang merupakan salah satu prioritas pembangunan melalui peningkatan jumlah alokasi anggaran walaupun secara bertahap sehingga dapat mencapai 15% dari total APBD sesuai kesepakatan Bupati/ Walikota se-Indonesia. Penelitian lIanjutan dengan desain dan metode berbeda terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan kesehatan daerah sangat diperlukan untuk mengetahui apakah faktor-faktor tersebut juga bisa mempengaruhi pembiayaan kesehatan di tempat yang berbeda.

Autonomy policy especially health decentralization demand expenses system improvement and district finance management where district health expenses problem always become the major obstacle in creating health development. Health expense have not improve public health indicator. Generally, these things caused by insufficient cost and health service quality, beside there are still other factor that can affect district health expense.
Researches on health expense field have been done a lot, where these researches shows that the biggest of district health expense source is APBD fund, but the research that try to reveal factors which influence district health expense which based on APBD is still limited, therefore this research is important to be done. This research use qualitative research design with in depth interview technique to get primary data and documents which related to the research that been studied and processed by using computer software.
This research result factors which influence district health expense on Pontianak District year 2006, such as: Commitment from decision maker, Advocacy, Planning ability, Health problem Priority, choosing program intervention, allocation fund, other legal income, expense flow information and balancing foi budget alocation, while PAD have not influence district health expense on Pontianak District. Research result from document research and study shows that total budget for health finance which based on APED Pontianak District year 2006 is Rp.47.542.542.000,- or 8,99% from total APBD. I-lealth expense per capita per year, if it based on public services is Rp. 34.579,60 per capita per year. This value still lower from World Bank standart, the standart is Rp,51.000,- per capita per year.
Proposed institution especially Health Institution or Pontianak District and RSUD dr.Rubini should have ability to make information about expense flow by using DHA format and guideline with analysis continuously every year, thus it can be use as guideline and advocate material to policy maker on Pontianak District. Pontianak District government is expected to be consistence in holding its commitment on health sector which is one of development priority through increase of budget sum allocational though its gradually until it reach 15% from total APBD along with Agreement among Mayors in Indonesia. Afterward research conducted with different method and design toward factors which influence health expense at different place."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T 19019
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Satiasari
"Berdasarkan SK Gub DKI Jakarta No. 2086 tahun 2006, 44 Puskesmas di Provinsi DK] Jakarta ditetapkan menjadi unit yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daelah ( PPK BLUD ) secara bertahap.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gamharan realisasi anggaran kesehatan bersumber pemerintah provinsi di 42 puskesmas DKI Jakarta untuk periode tahun 2007-2009 paska menerapkan PPK BLUD. Desain penelitian adalah deskriptif. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang berasal dari laporan keuangan puskesmas tahun 2007- 2009.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa realisasi anggaran di Puskesmas DKI Jakarta dari tahun 2007 sampai dengan 2009 cenderung meningkat yaitu Rp l7b.l66.506.28l (2007) , Rp 242.295.485.|2l (2008) dan Rp 247.076.8l0.111 (2009). Biaya perkapita berkisar dari USS 2 ( Jakarta Barat ) - USS 4,6 ( Jakarta Pusat ). Total pendapatan BLUD Puskesmasjuga menunjukkan peningkatan yaitu Rp 57.24l.949.0l7,- (2007), Rp 59.779.032.965 ,- (2008) dan Rp 65.745.497.256,- (2009). Realisasi anggaran rata-rata pertahun pada periode 2007-2009 untuk : upaya wajib 80%, program pzioritas 8l,08%. Berdasarkan sifat plogram : Kuratif 58%, preventif 2l%, promotif 0.98%. Berdasarkan jenis kegiatan : UK? 58%, UKM sebesar 22 %, Manajemen 13% dan investasi 6%. Berdasarkan kelompok belanja : BOP 85%. adum 8,56% , modal 5,76%. CRR 46,97%.

Under Decree of the Governor of DKI Jakarta Province No. 2086 ln 2006, 44 health centers in Jakarta Province enacted into units that implement the Financial Management Pattems Regional Public Service Board gradually.
This research aims to reveal the health budget comcs in 42 health centers of the provincial govemment of DKI Jakarta for the period 2007-2009 afler applying Financial Management Panems Regional Public Service Board. The study design is descriptive. Data collected is secondary data derived from the consolidated financial health centers in 2007-2009.
The results showed that the realization of budget in Jakarta Health Center from 2007 to 2009 tended to increase the l76,l66,506,28l IDR (2007), 242,295,481 121 IDR (2008) and 247,076,8l0,l ll IDR (2009). Per capita costs ranged fiom U.S. S 2 (West Jakarta) - U.S. S 4.6 (Central Jakarta). Total revenues Regional Public Service Board PHC also showed an increase of 57,24I,949,0l7 IDR (2007), 59,779,032,965 IDR (2008) and 6S,745,497,256 IDR (2009). Total expenditure per year on average for the period 2007-2009: the effort required 80% 8l.08% priority programs. Based on the nature of the program : Curative 58%, 21% preventive, promotive 0.98%. Based on the types of activities: UKP 58%, 22% SME, investment Management l3% and 6%. Based on expenditure groups: BOP 85%, ADUM 8.56%, 5.76% of capital. CRR 46.97% .
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
T34405
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Naniek Isnaini Lestari
"Pembiayaan kesehatan dalam era otonomi sangat tergantung pada komitmen daerah, khususnya pembiayaan yang bersumber dari pemerintah. Sistem pembiayaan kesehatan di daerah perlu dikembangkan agar isu pokok dalam pembiayaan kesehatan daerah, yaitu mobilisasi, alokasi dan efisiensi pembiayaan dapat terselenggara dengan baik sehingga menjamin pemerataan, mutu dan kesinambungan pembangunan kesehatan daerah.
Tersedianya data pembiayaan kesehatan menjadi sangat penting dengan adanya kebijakan desentralisasi pelayanan kesehatan yang diperlukan untuk penentuan kebijakan dan strategi pembiayaan program kesehatan di daerah.
Sampai saat ini belum pernah dilakukan analisis pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah di Kabupaten Tangerang, oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar alokasi biaya kesehatan dalam satu tahun, secara total maupun perkapita, sumber pembiayaan, bagaimana peruntukan dilihat dari jenis belanja, line item, mata anggaran dan antar program, serta diketahuinya resource gap dalam pembiayaan program prioritas.
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Tangerang pada Dinas Kesehatan dan instansi terkait yang menjadi Finance Intermediares pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah. Studi ini menggunakan pendekatan District Health Account (DHA).
Analisis pembiayaan kesehatan menggunakan data alokasi tahun anggaran 2003, hasil analisis menunjukan bahwa total pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah alokasi tahun anggaran 2003 adalah Rp. 80.960.838.900 dan 64.17% nya bersumber dari APBD, sedangkan pembiayaan kesehatan perkapita adalah Rp. 26.744/kapital tahun.
Dilihat dari peruntukannva, balk pembiayaan di Kabupaten, Dinas Kesehatan dan RSU, proporsi belanja publik lebih besar dari belanja aparatur dan sebagian besar dialokasikan untuk belanja operasional. Proporsi belanja investasi dan pemeliharaan di Kabupaten maupun di Dinas Kesehatan hampir berimbang, sedangkan di RSU alokasi belanja pemeliharaan sangat kecil, bahkan pemeliharaan gedung dan pelatihan tidak dianggarkan.
Dengan menggunakan angka estimasi Bank Dunia (biaya kesehatan Rp. 41.174/ kapital tahun) maka dibandingkan alokasi dana yang tersedia terdapat resource gap sebesar Rp. 43.683.563.300.
Disamping itu dari perhitungan input cost untuk 2 program prioritas, tidak didapatkan resource gap untuk P2TB Paru dan terdapat resource gap sebesar Rp. 11.180.000 untuk penanggulangan DBD (Demam Berdarah Dengue). Namun, bila biaya personel, gaji dan investasi dimasukkan dalam perhitungan, resource gap ternyata cukup tinggi. Kesulitan dalam perhitungan resource gap adalah dalam upaya mencocokkan Komponen Biaya dari dana yang tersedia dibandingkan kebutuhan dana.
Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan kesehatan perkapita bagi penduduk Tangerang dan memperkecil resource gap perlu dipertimbangkan efisiensi internal, realokasi antar unit pengguna dan program atau mobilisasi dana dengan mekanisme penyesuaian tarif pelayanan di Instansi Pemerintah dengan melihat kemampuan masyarakat membayar (ATP).
Daftar Bacaan : 30 (1990 - 2003)

Analysis of The Government Expenditures for Health in Tangerang District, Fiscal Year 2003. (A District Health Account Approach)Health financing in the era of regional autonomy strongly depends on the commitment of regional governments, in particular the government resources. The regional health financing system needs to be evaluated and developed so that the main issues concerning regional health financing, such as mobilization of funds, allocation of funds, and financial efficiency, could be well implemented to ensure the equity, quality and sustainability of the region's health development.
The availability of health financing data becomes very important with the decentralization of health services, to facilitate the process of policy making and strategic planning of regional health financing.
The analysis of the government expenditures for Health in Tangerang District has never been analyzed before, this research is a mean to find out the budget allocation for Health in one fiscal year totally and per capita, the sources of funds, the proportion of uses of fund within health programs, uses of fund by type of expenditures and line items, and to identify the resource gaps in the financing of priority health programs.
This research is carried out in the District Health Office of Tangerang District and other related institution, as finance intermediaries for government contribution for health. This study used a District Health Account approach.
Analysis of health financing is carried out from the data of fiscal year 2003. Analysis shows that the total source of government health expenditure in fiscal year 2003 amounts to Rp. 80.960.838.900,- with 64.17 % originating from the regional budget of Tangerang District, whilst the per capita health expenditure is Rp. 26.744,-per capita per year.
As judged by the usage of funds allocated to the District Health Office and the Regional Public Hospital, the proportion of funds used for public service exceeds that used for staff needs, with the greatest proportion of funds allocated for operational expenses. The proportion of funds for investment and maintenance in the Regional Health Service is almost equal, whilst the allocation of funds for maintenance in the Regional Public Hospital is minimal, even funds for the maintenance of buildings and training programs are not allocated.
Compared to World Bank estimated figure (health expenditure should be Rp.41.174 per capita per year) there is a resource gap of Rp. 43.683.563.300 per year.
Besides, from the calculation of input cost of two priority programs, there is no resource gap for the Tuberculosis Eradication Program and Rp. 11.180.000 for the Control of Dengue Hemorrhagic Fever Program. However, if we include the investment and salary, the resource gap will be quite high. We found difficulties in matching the line item of the fund available (DHA) and fund needed (input cost).
To fulfill the total requirement of per capita health needs of the population of Tangerang District and to minimize the resource gaps, the author suggests the need to improve internal efficiency financing, inter-program reallocation of funds, the reassessment of health services costs and tariffs, and the improvement of health services quality.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12928
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triyanti
"Peralihan Tutupan lahan dan perubahan kerapatan vegetasi yang cukup luas terjadi di Kota Semarang akan berdampak pada pola Suhu permukaannya. Penelitian pola suhu permukaan Kota Semarang tahun 2001 dan 2006 bertujuan untuk mengetahui pola spatial suhu permukaan Kota Semarang pada tahun 2001 dan 2006 serta hubungannya dengan perubahan kerapatan vegetasi dan tutupan lahan berdasarkan hasil interpretasi citra. Langkah analisis dilakukan dengan teknik superimposed peta untuk masing-masing variabel dan analisis statistik dengan regresi linier berganda.
Hasil penelitian menunjukan rata-rata suhu permukaan di Kota Semarang pada tahun 2006 lebih tinggi (22,76°C) dibandingkan pada tahun 2001 (19,39°C). Pola spatial suhu permukaan terpanas (>25°C) pada tahun 2001 maupun 2006 menunjukan pola spatial yang sama sesuai dengan perkembangan daerah urban di bagian timur Kota Semarang (kearah selatan dan barat wilayah urban). Secara keseluruhan, variasi spatial dari suhu permukaan di Kota Semarang dipengaruhi signifikan oleh kerapatan vegetasi dan tutupan lahan dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 53,1 % (tahun 2001) dan 54,7% (tahun 2006). Sementara variasi spatial dari suhu permukaan pada kerapatan vegetasi dan tutupan lahan yang sama dipengaruhi jenis penggunaan tanahnya. Selain itu dengan menggunakan persamaan regresi berganda tahun 2001 dan 2006 dapat memperkirakan suhu permukaan yang akan datang.

The land surface transition and the change of vegetation density that have a wide range was happened in Semarang city, will be impact to the condition of land surface temperature it self. This research intent on knowing the related of land surface temperature and the change of vegetation density and also from land cover it self based on landsat image interpretation. The method of this research is by sumperimposed the map for each variable and doing multiple linear regression analysis.
The result of this research is indicate the average of land surface temperature in Semarang city in year 2006 (22,76°C) is higher than year 2001 (19,39°C). The warmest temperature of the land surface temperature pattern (>25°C) either in year 2001 or 2006 is showing that there are sameness between the spatial pattern and the development of urban area on the east side of Semarang (direction to south and west from urban area). As a whole, the variant pattern of land surface temperature in Semarang city significantly influenced by vegetation density and land cover it self with coefficient (R2) approximatelly 53,1% (2001) and 54,7% (2006). Meanwhile the variant pattern of the land surface temperature from same vegetation density and land cover will be influenced by the land used. Estimating land surface temperature in the forthcoming future can be approximate using the multiple regression that used in this research.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S34088
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>