Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 212993 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. A. Budhy Prabowo
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman seksualitas anak jalanan perempuan Kampung Rambutan dan implikasinya pada kesehatan reproduksi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif sehingga pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengamatan terlibat. Kasus yang diteliti adalah anak jalanan perempuan yang beraktivitas pada malam hari di Kampung Rambutan. Pengamatan terlibat difokuskan pada aktivitas anak jalanan perempuan dalam upaya mengatasi berbagai ancaman tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual dan stigma yang merugikannya, sekaligus untuk menemukan pola hubungan sosial anak jalanan perempuan. Subjek utama penelitian ditentukan berdasarkan gejala, bukan berdasarkan kedekatan peneliti dengan anak jalanan perempuan. Penelitian ini memperlihatkan, seiring datangnya kesadaran untuk tampil lebih feminin, usia 12-14 tahun merupakan masa yang sangat rawan bagi anakjalanan perempuan, karena mulai terlibat dalam perilaku berisiko dan menjadi objek tindak kekerasan seksual yang dapat mengakibatkan terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD). Dalam hal perilaku seksual, anak jalanan perempuan tidak mempunyai posisi tawar, sehingga menjadi objek kekerasan seksual pacamya. Namun demikian, anak jalanan perempuan bukanlah Jab/ay meskipun beraktivitas pada malam hari. Bagi anak jalanan perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki, akan disikapi dengan pindah lokasi mengamen, dan setelah anaknya lahir semuanya akan difokuskan untuk membesarkan anaknya, karena tidak ada kepedulian dari suamilpacamya. Oleh karena itu anak jalanan perempuan yang mempunyai anak, beranggapan bahwa
masa depannya sudah habis.

ABSTRACT
This thesis is aiming to perceive understanding of street children's sexuality of Rambutan Village Women and the implication on reproduction health. This research using qualitative method so that data gathering is carried out by observation technique involved. The case investigated is street children, woman whose activities in the night days in Rambutan Village. The involved observation focused on street children of women in an effort to solve various threatens of violence actions including sexual harassment and adverse stigma, at one time to find social relation pattern of street women-children. Main subject of the research is specified based on symptom, not based on the researchers proximity to street women-children. This research show, in line with come to realization to appear more feminine, 12 - 14 years old is a very sensitive age for street women­ children, since it start to involved in a risky behavior and to be sexual harassment object act that can result in unintended pregnancy. In term of sexual behavior, street women-children don't have bargaining position, so that to be sexual harassment object of her boyfriend. However, street women-children are not Courtesan though has activity in night day. For street women-children who have an unintended pregnancy, will be posed by moving a location to sing around for money, and after the baby is born all of them will be focused to grow their children, because there is no concern from husband or her boyfriend. Therefore street women-children who have child, assumed that their future has finished.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T32415
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Salman Rafi Alifiansyah
"Segregasi jenis kelamin dalam pendidikan memberikan dampak positif seperti berkembangnya peran gender yang progresif serta meminimalisir pelecehan seksual yang dialami murid perempuan di sekolah campuran. Akan tetapi, diketahui pula bahwa segregasi jenis kelamin mengurangi kualitas dan frekuensi interaksi dengan lawan jenis. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman seksualitas pada laki-laki dan perempuan yang pernah bersekolah dengan sistem segregasi jenis kelamin. Penelitian ini mengambil 8 (delapan) orang responden dewasa muda, yang terdiri dari empat laki-laki dan empat perempuan. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara, kemudian hasilnya dianalis secara fenomenologis. Hasil penelitian menemukan bahwa minimnya interaksi dengan lawan jenis selama sekolah menyebabkan permasalahan, seperti kesulitan dalam berinteraksi dengan lawan jenis, serta hubungan romantis yang terlambat. Dalam hubungan pertemanan, seluruh partisipan membutuhkan paling lama 3 bulan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang menggabungkan jenis kelamin. Meskipun begitu, diketahui bahwa tiga partisipan tidak memiliki hubungan pertemanan yang personal dengan lawan jenis. Dalam hubungan romantis, hanya tiga partisipan yang pernah atau sedang menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis. Dua partisipan kesulitan untuk mengidentifikasi aspek negatif dari pasangan. Sedangkan itu, satu partisipan lainnya merasa tidak nyaman untuk melakukan kontak fisik yang berlebihan dengan pasangannya, seperti berpelukan atau berciuman.

Gender segregation in education has positive impacts, such as the development of progressive gender roles and the minimization of sexual harassment experienced by female students in coeducational schools. However, it is also known that gender segregation reduces the quality and frequency of interactions with the opposite sex. Therefore, this study aims to understand sexuality among men and women who have attended gender-segregated schools. The study involved 8 young adult respondents, comprising four men and four women. Data collection was done through interviews, and the results were analyzed phenomenologically. The study found that the lack of interaction with the opposite sex during school leads to issues such as difficulty in communicating with the opposite sex and delayed romantic relationships. In terms of friendships, all participants took a maximum of 3 months to adapt to a mixed-gender environment. However, it was revealed that three participants did not have personal friendships with the opposite sex. In romantic relationships, only three participants had been or were currently in romantic relationships with the opposite sex. Two participants had difficulty identifying negative aspects of their partners. Meanwhile, another participant felt uncomfortable engaging in excessive physical contact with their partner, such as hugging or kissing."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deltani Nuzuli Ramadhina
"ABSTRAK
Studi terdahulu belum banyak yang memaparkan bagaimana proses seksualitas
direproduksi lewat dunia maya walaupun internet menjadi sarana baru dalam
mengekspresikan seksualitas. Internet berperan penting dalam mengubah interasi
antaraindividu dan membawa dinamika dalam seksualitas perempuan. Penelitian
ini memaparkan reproduksi seksualitas perempuan di situs 9GAG. 9GAG
memiliki forum NSFW yang berisi gambar perempuan seksi dan meme yang
bersifat seksis. Penelitian ini membahas bagimana seksualitas perempuan
direproduksi dalam unggahan NSFW agar lebih dapat memahami dinamika dunia
maya yang bekerja secara spesifik. Penelitian ini menggunakan metode
wawancara mendalam dan analisis unggahan gambar NSFW dan meme berbau
seksis. Penelitian ini menunjukkan bahwa internet tidak membawa pengaruh
berarti terhadap seksualitas perempuan yang kaku. Internet mengadopsi nilai dan
norma yang ada di masyarakat dan tidak membawa banyak perubahan terhadap
liberasi seksual perempuan.

ABSTRACT
The preceding studies have not much to explain how the process of sexuality is
reproduced through cyberspace even though the Internet became a new tool of
expressing sexuality. Internet plays an important role in changing the interaction
between the individual and bring dynamism in female sexuality. This study
describes the reproductive female sexuality in 9GAG site. 9GAG has NSFW
forum that contains pictures of sexy women and sexist meme. This study
discusses how women's sexuality that NSFW has been reproduced to better
understand the dynamics of the virtual world that works specifically. This study
uses in-depth interviews and analysis of NSFW images and sexist meme. This
study shows that the Internet does not carry any influences against starched
female sexuality. Internet adopts the values and norms that exist in society and
does not bring much change to the sexual liberation of women."
2017
S65827
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Anisa
"ABSTRAK
Resiko seksual merupakan masalah yang kurang disadari oleh para remaja. Penelitian ini mencoba melihat bagaimana pengaruh tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksualitas terhadap tingkat kesadaran remaja dalam menghindari resiko seksual. Penelitian ini menggunakan metode survei di dua sekolah, yakni penerima program PKRS (SMK WANUS, 46 siswa) dan dibandingkan dengan bukan penerima program (SMK YPR, 59 siswa). Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh antara tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksualitas terhadap tingkat kesadaran remaja dalam menghindari resiko seksual meskipun hubungannya lemah. Menariknya hal ini berlaku di dua sekolah, baik penerima program maupun bukan penerima. Artinya, keberadaan program PKRS tidak berpengaruh secara positif.

ABSTRACT
Sexual risk is neglected topic yet very crusial to teenagers. This study observe the effect of reproductive health and sexuality knowledge to level of teenagers consciousness in sexual risk prevention. By using quantitative survey, this study compare two school theay are SMK WANUS (46 students) as receiver of reproductive health and sexuality education programme and SMK YPR (59 students) as non-receiver of the programme mention above. This study show the linked connection between level of reproductive health and sexuality knowledge to level of teenagers cousciousness in sexual risk prevention both in receiver and non-receiver programme. Therefore, this sexual education programme has no positive effect.
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S62487
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Numberi, Yuliana Yacomina
"ABSTRAK
Fokus tesis ini pada kekuasaan terhadap tubuh anak perempuan akibat konstruksi patriarki yang mendominasi kehidupan masyarakat dalam adat dan budaya suku Arfak. Pertanyaan penelitian adalah "bagaimana budaya perjodohan perkawinan anak perempuan di perdesaan dan implikasinya terhadap kesehatan reproduksi perempuan". Pertanyaan turunan adalah 1) bagaimana anak perempuan diposisikan dalam adat dan budaya suku Arfak di Perdesaan; 2) bagaimana anak perempuan diposisikan dalam prosesi perkawinan di suku Arfak di perdesaan; 3) bagaimana pengalaman anak perempuan korban perjodohan perkawinan anak suku Arfak di wilayah perdesaan menjalankan fungsi reproduksinya; dan 4) bagaimana anak perempuan suku Arfak korban perjodohan perkawinan anak bertahan di dalam perkawinan adat mereka. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus di Distrik Nenei, Kabupaten Manokwari Selatan. Penelitian ini menggunakan teori feminis radikal oleh Jaggar tentang otoritas tubuh perempuan dan politik sekusal oleh Millet sebagai pisau analisis untuk membedah masalah perkawinan anak karena perjodohan membuat anak perempuan tidak mempunyai otoritas atas tubuhnya. Temuan penelitian ini adalah : 1) anak perempuan yang dikawinkan pada usia anak tidak memiliki kuasa atas tubunya; 2) perjodohan yang terjadi pada masyarakat suku Arfak diakibatkan karena keinginan mendapatkan harta dan status sosial; 3) perempuan korban perkawinan anak tidak memahami kesehatan reproduksi; 4) perempuan Arfak menjalani fungsi reproduksi masih mengikuti tradisi; 5) perkawinan anak menghadirkan ketidakadilan gender bagi perempuan Arfak. Berdasarkan temuan lapangan dapat disimpulkan bahwa konstruksi sosial mayarakat melalui budaya patriaki masih kuat di masyarakat suku Arfak. Anak perempuan suku Arfak tidak berkuasa atas dirinya karena budaya perjodohan. Anak perempuan suku Arfak sebagai objek pada budaya perjodohan dan perjodohan menjadi faktor pendukung banyaknya praktik perkawinan anak di Distrik Nenei.

ABSTRACT
The focus of this thesis is on the power over girl's body due to patriarchal construction dominates the life of the community in the customs and culture of the Arfak tribe. The research question is "How the marriage culture of girls in rural areas and their implications on women reproductive health". The questions derived are 1) How girls are positioned in the customs and culture of the Arfak tribe in the rural areas; 2) How girls are positioned in the marriage procession in the Arfak tribe in rural areas; 3) How the experience of the young girl of the Arfak tribe marriage victim in a rural area performs its reproductive function; and 4) How the Arfak girl of child marriage matchmaking victim survives in their customary marriages. This study uses a qualitative approach with case study in Nenei District, South Manokwari District. This research uses radical feminist theory by Jaggar on women's body and political authority as well as Millet as a tool to analyze the child marriage problem due to matchmaking, while matchmaking makes girls have no authority over their bodies. The findings of this study are: 1) girls who are married at underage have no power over their bodies; 2) matchmaking that occurred in the community of Arfak tribe caused by the desire to get property and social status; 3) women victims of child marriage do not understand about reproductive health; 4) Arfak women undergoing reproductive functions still follow the tradition; 5) child marriage presents gender inequality for Arfak women. Based on the findings it can be concluded that social construction through patriarchy culture is still robust in the people of Arfak tribe. The girls of the Arfak tribe do not have power over theirselves because of the matchmaking culture and they serve as objects. Matchmaking itself has contributed to the number of child marriage practices at Nenei District."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2018
T51305
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Yuanita Aprilandini
"Penelitian bertujuan untuk melihat bagaimana proses reproduksi patriarki berjalan melalui penguatan identitas perempuan peranakan Arab, interseksi identitas, gender dan etnik pada perempuan peranakan Arab menghasilkan keragaman derajat oppresi, serta strategi perempuan peranakan Arab untuk melawan derajat keragaman oppresi terhadap dirinya dengan beragam latar. Penelitian ini akan menggunakan 2 kerangka teori utama, yakni teori interseksi dan identitas. Serta, menggunakan 2 konsep tambahan yakni gender interseksi dan patriarki.
Penelitian desertasi ini menggunakan metodologi kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam, observasi terlibat dan data sekunder. Informan di dalam penelitian ini berjumlah 26 orang dengan beragam karaktersitik dan kategori, yakni 17 perempuan peranakan Arab dan 9 orang laki-laki Arab. Pemilihan perempuan Arab berdasarkan keragaman umur (lintas generasi), orientasi pernikahan (endogami/eksogami), keragaman profesi, lokasi tempat tinggal (kampung Arab Condet dan Empang Bogor), serta faktor ketokohan. Kesembilan laki-laki Arab yang dijadikan informan merupakan data pelengkap sekaligus sebagai triangulasi data.
Temuan penting penelitian ini adalah semakin menguatnya identitas perempuan peranakan Arab mengakibatkan reproduksi patriarki. Peran perempuan (Ummi) menjadi sentral karena fungsi perempuan tidak hanya sebatas reproduksi biologis tetapi juga reproduksi sosio-kultural. Hal tersebut berkaitan dengan pemurnian darah leluhur (purityness) dari garis keturunan Alawiyyin. Kedua, Perbedaan narasi sejarah dan narasi keagamaan kelompok Alawiyyin dan Al-Irsyad disebabkan oleh faktor ideologi organisasi. Pergerakan dan ketokohan kaum perempuan Al-Irsyad yang beraliran Islam pembaharuan (modernis) lebih terlihat dibandingkan Rabithah.
Berdasarkan temuan ini maka penulis menggunakan teori interseksi untuk melihat irisan antara identitas, etnisitas dan gender. Penguatan identitas kaum perempuan Arab Alawiyyin dengan penikahan sekufu (endogami) melanggengkan budaya patriarki. Bentuk reproduksi patriarki tradisional masih tetap dipertahankan dan betransformasi menjadi neopatriarki berbasis media sosial digital. Interseksi etnik dan agama menjadi double oppression bagi kaum perempuan Alawiyyin namun menjadi social prestige bagi kaum laki-laki Arab Alawiyyin. Strategi yang dilakukan oleh kaum perempuan Arab di dalam mengubah kultur patriarki adalah melakukan protes secara frontal, semi frontal, dan moderat (negosiasi). Perempuan yang dapat melakukan ketiga bentuk strategi tersebut memiliki karakteristik perempuan Arab terdidik, menikah eksogami, serta berafiliasi dengan organisasi yang beraliran pembaharuan.

The purpose of this study described the process of patriarchal reproduction through peranakan Arab women, how the intersection of identity, sex and ethnicity in peranakan Arab women produced on diversified level of oppression, and how they defined strategies for negotiating their culture in different fields. This study using 2 major theoretical backgorund , the theory of intersection and identity theories, and 2 additional concepts namely gender intersection and patriarchy.
This research used qualitative research by collecting in-depth interview data, involved observation and secondary data. The informant in this study consists of 26 people with various characteristics : 17 person peranakan Arab women and 9 person Arab men. The selection of Arab women based on age diversity (across generations), marriage typology (endogamy / exogamy), professional backgorud, and residencial areas (Arabian Condet and Empang Bogor). Finally, The nine Arab men who were being interviewed also in order to get validity and triangulation datas.
The main findings of this research that strengthening identity on peranakan Arab women produced patriarchal cultures. The role of women (ummi) is central because women's functions are not only limited to biological reproduction but also socio-cultural reproduction. This is connected to the purityness issues from the Alawiyyin family. Second, the differences in historical narratives of the Alawiyyin and Al-Irshad religious groups are influenced by organizational ideology. The women movement from Al-Irsyad women are more visible than Rabithah.
Based on these findings, the authors used intersection theory to see the fields between identity, ethnicity and gender. Strengthening the identity of Alawiyyin Arab women by sekufu married (endogamy) produced patriarchal culture. Traditional patriarchy still consist but also transform into neopatriarchy on digital social media. Ethnic and religious intersection became a double oppression for Alawiyyin women but produce social prestige for Alawiyyin men. The strategy of Arab women to contesting patriarchal culture through frontal, semi-frontal protest and moderate negotiation. The Arab women who use these strategies characterized by higher educated women, married to non Arab men, and affiliated in modernist organizations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D2557
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seniti Prawira
"Penelitian ini mempelajari posisi perempuan petani kopi dalam menjalankan kerja reproduksi sosial dan produksi kopi. Studi ini bertujuan untuk memperlihatkan kerja perempuan yang seringkali tidak terlihat dan dihargai. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dan menggunakan kerangka teori ekonomi politik feminis, dan teori akses dengan perspektif feminis sebagai lensa analisis. Hasil penelitian menujukan kehidupan perempuan petani kopi di Desa Tribudisyukur tidak dapat dilepaskan dari kesehariannya melakukan kerja reproduksi sosial dan produksi kopi. Kerja perempuan dalam reproduksi sosial di ranah keluarga inti, keluarga besar dan komunitas memiliki kontribusi yang signifikan bagi keberlangsungan dan keberlanjutan sistem produksi kopi. Untuk menjalankan kerja tersebut, relasi perempuan petani kopi dengan sesama perempuan serta keanggotannya dalam organisasi membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan reproduksi sosial. Selain itu, perempuan memiliki strategi dan negosiasinya untuk menjalankan kerja reproduksi sosial di keseharian mereka. Dalam menjalankan sistem produksi kopi, perempuan membutuhkan akses atas lahan, modal, dan pasar. Akan tetapi, akses mereka atas sistem produksi kopi sangat dipengaruhi oleh dinamika relasi kuasa dari berbagai lapisan relasi sosial. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukan produksi kopi tidak dapat berjalan tanpa kerja reproduksi sosial yang dikerjakan perempuan petani kopi di keseharian mereka. Penelitian ini merekomendasikan agar perempuan petani kopi diposisikan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan dalam kebijakan terkait produksi kopi.

This research examines how women farmers do social work and coffee production. This research aims to show the work of women who are often not seen and appreciated. This study uses a qualitative approach and uses a feminist political economy theory framework and access theory with a feminist perspective as the lens of analysis. The results showed that the lives of the women coffee farmers in Tribudisyukur Village were inseparable from their daily social reproduction and coffee production activities. The role of women in social groups in the realm of the nuclear family, extended family, and society has a significant contribution to the coffee production systems sustainability. The relations of women coffee farmers with other women and their membership in organizations help them meet social reproduction needs to carry out this work. Also, women have strategies and negotiations to carry out social reproduction work in everyday life. In running a coffee production system, women need access to land, capital, and markets. However, their access to the coffee production system is very reliable by the dynamics of power relations from various layers of social relations. This studys conclusions indicate that coffee production cannot be carried out without women coffee farmers social reproduction work in their daily lives. This study aims to position women, coffee farmers, as subjects in making decisions related to coffee production."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Dewi
"Paktik perkawinan anak adalah fenomena sosial yang dialami oleh banyak perempuan di berbagai belahan dunia. Temuan Unicef mencatat pada tahun 2014 lebih dari 700 juta perempuan menikah dibawah usia 18 tahun, sementara Indonesia berada di urutan kedua tertinggi di ASEAN. Disertasi ini di tulis untuk mengungkap dan memaparkan proses reproduksi budaya praktik perkawinan anak yang berkelindan dengan beragam aspek dan konteks serta pengalaman dan negosiasi perempuan dalam menjalani perkawinan anak pada orang Kaili di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Suatu kajian etnografi feminis yang meggunakan teori habitus dan practice, Pierre Bourdieu untuk mengungkap relasi antara gagasan budaya dan aspek sejarah dengan praktik perkawinan anak. Teori intersectionality dari patricia Hill Collins untuk menganalisis posisi subyek dengan rangkaian persinggungan relasi kuasa yang mempengaruhi pengalaman hidup subyek perkawinan anak serta teori agency dan
resistance dari Saba Mahmood untuk menguraikan upaya perempuan dalam membangun subyektivitasnya. Penelitian dilakukan bulan Juli 2016 - Maret 2019 melaui observasi dan wawancara mendalam serta metode life history dan genealogi. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah 1). Bagaimana praktik perkawinan anak menjadi bagian dari sistem sosial orang Kaili dari masa ke masa? 2). Bagaimana reproduksi kultural praktik perkawinan anak dimaknai oleh subyek dari berbagai latar belakang sosial dalam generasi yang berbeda? 3). Bagaimana perempuan Kaili membangun subjektivitasnya selama menjalani praktik perkawinan anak dan menggunakan subyektifitas tersebut untuk menegosiasikan posisinya? Temuan penelitian menujukan bahwa praktik perkawinan anak merupakan disposisi atas berbagai masalah terutama yang menyangkut kehormatan dan martabat perempuan yang membentuk habitus. Praktik tidak selalu identik dengan usaha untuk meneguhkan dominasi seperti yang dikemukakan oleh Bourdieu. Pada kondisi tertentu praktik sosial terkadang mengekspresikan ketulusan dalam menjalin relasi yang intim antara manusia seperti relasi antara orang tua dan anak. Pada masa lampau perkawinan anak menjadi pilihan paling rasional saat itu, untuk menjaga kehormatan dan harga diri perempuan. Pada generasi masa kini perkawinan anak ditafsir kembali sebagai strategi mengatasi dinamika kontekstual dalam kehidupan sosial, baik pribadi maupun kelompok. Selanjutnya tidak semua perempuan subyek perkawinan anak kemudian menjadi powerless. Berbagai cara dan mekanisme yang dikembangkan oleh para subyek menegaskan bahwa praktik ini bukan fenomena tunggal dengan
reason yang tunggal pula, akan tetapi didalamnya terdapat para individu dengan beragam kepentingan (self interest) lalu mengembangkan berbagai mekanisme sesuai dengan kondisi diri dan keluarga yang melingkupinya.

The practice of child marriage is a social phenomenon experienced by many women in various parts of the world. Unicef's findings noted that in 2014 more than 700 million women were married under the age of 18, while Indonesia was the second highest in ASEAN. This dissertation was written to reveal and describe the cultural reproduction process of child marriage practices that are intertwined with various aspects and contexts as well as experiences and negotiations of women in undergoing child marriage to Kaili people in Donggala Regency, Central Sulawesi. A feminist ethnographic study that uses habitus and practice theory, Pierre Bourdieu is used to reveal the relationship between cultural ideas and historical aspects and the practice of child marriage. The intersectionality theory from Patricia Hill Collins is used to analyze the subject's position with a series of power relations that affect the life experience of the subject of child marriage and the theory of agency and resistance from Saba Mahmood is used to describe women's efforts in building their subjectivity. The research was conducted in July 2016 - March 2019 through observation and in-depth interviews as well as methods of life history and genealogy. The research questions posed are 1). How has the practice of child marriage been part of the Kaili social system from time to time? 2). How can the cultural reproduction of child marriage practices be interpreted by subjects from various social backgrounds in different generations? 3). How did Kaili women develop their subjectivity during the practice of child marriage and use this subjectivity to negotiate their positions? The research findings show that the practice of child marriage is a disposition to various problems, especially those concerning the honor and dignity of women who form the habitus. The practice is not always in line with efforts to assert domination as argued by Bourdieu. In certain conditions social practice sometimes expresses sincerity in forging intimate relationships between humans such as relationships between parents and children. In the past, child marriage was the most rational choice at that time, to protect women's honor and dignity. In the current generation, child marriage is reinterpreted as a strategy to overcome contextual dynamics in social life, both individually and in groups. Furthermore, not all women who are subject to child marriage become powerless. The various ways and mechanisms developed by the subjects emphasize that this practice is not a single phenomenon with a single reason, but there exist individuals with various interests (self-interest) then develop various mechanisms according to their own conditions and the family conditions that surrounds it."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahmi Kasmanely
"Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana konstruksi seksualitas perempuan terutama pada pengalaman ibu saat dirinya baru menjadi ibu melalui praktik digital di komunitas virtual. Studi-studi terdahulu menyatakan bahwa perempuan yang baru menjadi ibu mengalami sejumlah perubahan besar dalam memposisikan identitas dirinya yang berdampak pada pemaknaan kehidupan seksual perempuan. Definisi yang sempit mengenai seksualitas perempuan telah membatasi perempuan mengakses informasi dan mencari dukungan mengenai masalah seksual yang dihadapi. Namun, terdapat studi yang menunjukkan bahwa komunitas virtual yang terbentuk dalam ruang digital mampu memberikan wadah untuk mendiskusikan hal-hal yang tabu, seperti seksualitas perempuan. Dengan demikian, peneliti berargumen bahwa komunitas virtual dapat menjadi ruang baru untuk mendiskusikan dan mencari informasi seputar isu perempuan yang tabu dibicarakan, seperti seksualitas, sehingga memungkinkan terjadinya proses konstruksi seksualitas perempuan pada perempuan saat mereka baru menjadi ibu. Pengumpulan data dilakukan secara kualitatif yang mencakup proses wawancara mendalam dan observasi terhadap interaksi yang ada di dalam media sosial dan grup Whatsapp komunitas Halo Ibu. Informan dalam penelitian ini adalah (1) informan merupakan perempuan yang memiliki anak untuk pertama kalinya dalam kurun waktu 1-2 tahun setelah menikah; (2) informan merupakan perempuan yang termasuk ke dalam anggota Komunitas Halo Ibu; (3) informan merupakan perempuan yang memiliki pengalaman melahirkan sebelumnya yang menunjukkan adanya pengalaman seksual berbeda dari satu anak ke anak lainnya; (4) informan merupakan perempuan yang memiliki anak berusia 0-5 tahun; (5) informan merupakan perempuan yang bertempat tinggal di Indonesia. Temuan dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa karakteristik komunitas virtual telah menyediakan ruang terbuka dan aman untuk membahas isu-isu tabu mampu mengintervensi perempuan dalam memaknai seksualitas mereka. Pemaknaan seksualitas perempuan ditinjau dari pengalaman kehidupan seksual yang meliputi pola hubungan dengan pasangan, perilaku seksual, praktik seksual, yang sejalan dengan konsep sexuality in gender framework Dixon Mueller.

This study aims to understand how the construction of women's sexuality, especially in the experience of new mothers through digital practices in virtual communities. Previous studies suggest that women who have just become mothers experience a number of major changes in the positioning of their identity, which has an impact on the meaning of women's sexual lives. Narrow definitions of women's sexuality have restricted women from accessing information and seeking support about their sexual problems. However, there are studies that show that virtual communities formed in digital spaces are able to provide a platform to discuss taboo subjects, such as women's sexuality. Thus, the researcher argues that virtual communities can be a new space to discuss and seek information about taboo women's issues, such as sexuality, thus enabling the process of constructing women's sexuality in women when they are new mothers. Data collection was conducted qualitatively, including in-depth interviews and observations of interactions within the social media and Whatsapp groups of the Halo Ibu community. The informants in this study are (1) women who have children for the first time within 1-2 years after marriage; (2) informants are women who are members of the Halo Ibu Community; (3) informants are women who have previous childbirth experiences that show different sexual experiences from one child to another; (4) informants are women who have children aged 0-5 years; (5) informants are women who live in Indonesia. The findings in this study show that the characteristics of virtual communities have provided an open and safe space to discuss taboo issues that can intervene women in interpreting their sexuality. The meaning of women's sexuality is reviewed from the experience of sexual life which includes patterns of relationships with partners, sexual behavior, sexual practices, which are in line with the concept of sexuality in gender framework Dixon Mueller."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ninip Hanifah Kadir
"Penafsiran tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam masih menjadi wacana yang sering diperdebatkan karena termasuk wilayah khilafiyah dan ijtihadiyah. Penafsiran yang ada masih memperlihatkan bias gender. Pemahaman penafsiran ini berpengaruh pada etika sosial di kalangan umat Islam khususnya dan masyarakat luas umumnya sehingga berdampak pada peran dan kedudukan perempuan, Agar penafsiran tentang kepemimpinan tidak bias gender, perlu diadakan pemberdayaan perempuan melalui para mubaligah. Merekalah penyampai ajaran-ajaran Islam kepada umatnya. Oleh sebab itu, perlu diadakan penelitian tentang mubaligah untuk mengetahui pemahaman mereka tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif berperspektif perempuan. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam, kemudian dianalisis dengan perspektif gender untuk memperlihatkan pemahaman mubaligah tentang relasi perempuan dan laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman mubaligah tentang kepemimpinan perempuan bervariasi karena latar belakang pendidikan agama yang berbeda. Hanya sebagian menyetujui kepemimpinan perempuan dalam rumah tangga dan dalam negara (sebagai presiden). Namun seluruhnya menyetujui kepemimpinan perempuan dalam masyarakat pada tatanan yang lebih rendah (bukan sebagai presiden). Mereka yang mengikuti feminisme modern mengakui kesetaraan gender, sedangkan yang dipengaruhi mufasir tradisional tidak mengakuinya.

The interpretation of women's leadership in Islam often becomes a debate. It is regarded as a polemic and an exercise of judgment on the basis of the Qur'an and the sunnah. Today's interpretation tends to be gender biased. The understanding of the interpretation influences social ethics, especially for Moslems, and generally for the whole society. It gives an impact on the role and status of women. To decrease the gender bias, women empowerment via mubaligahs (women preachers) is badly needed. It is due to the fact that mubaligahs are persons in charge of transferring Islam teaching to their followers. Consequently, we need a research about the mubaligahs. The research was conducted by using qualitative approach with women's perspective. The data were collected with in-depth interview. Gender-based analysis was used to probe mubaligah's understanding into the relation of women and men. The result reveals that the understanding of mubaligahs is varied because their religious educational background is different. Only some of them acknowledged and the other disagreed with the women's leadership in the family as well as in the society (as president). On the contrary, all of them legitimized with the women's leadership in the society on the lower level (not as president). Some of them approved gender equality (following the concept of modern-Islamic feminism), and the other disapproved (being influenced by the traditional-Islamic interpreter)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T14630
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>