Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133551 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mafrawi
"Pelayanan Kesehatan Bernuansa Islami (PKNI) telah dicanangkan oleh Gubernur Provinsi NAD pada tanggal 25 April 1998 yang merupakan tindak lanjut dari hasil Muzakarrah anlara Majelis Ulama Indonesia dengan Dinas Kesehalan Provinsi NAD. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang no. 44 tahun 2002 tentang Keistimewaan Nanggroe Aceh Darussalam., maka luntutan akan rnulu pelayanan Kesehatan yang spesifik daerah merupakan hal yang harus dilakukan dan hal ini juga mempakan salah satu hal yang dihasilkan pada Rapat Kerja Kesehatan Daerah Provinsi NAD tahun 2002 yang merekomendasikan bahwa "Pelayanan Kesehatan yang Bernuansa Islami" selanjutnya menjadi "Pelayanan Kesehatan yang lslami" yang sesuai dengan visi Dinas Kesehatan Provinsi NAD yaitu "Aceh Sehat 1010 yang Islami". Hasil penelitian pada Puskesmas Syiah Kuala Banda Aceh tahun 2001 diperoleh hasil bahwa 85% responden menghendaki agar pelayanan Kesehatan bernuansa Islami dapat diterapkan dimanapun petugas bekerja. Oleh sebab itu diperlukan suatu konsep tentang pelayanan Kesehatan yang Islami yang selanjutnya akan menjadi model pelayanan Kesehatan yang Islami dan instrumen yang dapat digunakan untuk mengevaluasi serta hasil evalusi terhadap penerapan budaya Islami dalam pelayanan Kesehatan dengan menggunakan instrumen yang ada.
Tujuan dari penelitian ini adalah diperolehnya gambaran konsep yang akan menjadi model pelayanan Kesehatan Islami dan diperolehnya instrumen serta hasil evaluasi tentang penerapan budaya Islami dalam pelayanan Kesehatan dengan menggunakan instrumen yang ada. Desain penelitian adalah cross sectional yang bersifat kualitatif dan kuantitatiif Proses yang dilakukan terdiri dari 2 tahap yaitu proses mencari konsep pelayanan Kesehatan yang Islami melalui studi literature dan indepth interview (dengan pakar/praktisi agama, adat, sosial budaya, Kesehatan, pengguna pelayanan Kesehatan, akademisi sebanyak I5 orang) dan proses pengembangan instrumen budaya lslami dalam pelayanan Kesehatan melalui studi literature, kuesioner pendahuluan sebanyak 40 orang, Fokus Group Diskusi sebanyak 15 orang dan Uji Coba Kuesioner (pada petugas dan masyarakat masing-masing 510 orang) yang dilakukan dalam wilayah Provinsi NAD baik( pada Dinas Kesehatan (Provinsi dan Kabupaten) maupun institusi pelayanan (Rumah Sakit dan Puskesmas). Waktu penelitian mulai bulan September - November 2003.
Dari penelitian ini didapatkan hasil adalah : melalui indepth interview diketahui bahwa pelayanan Kesehatan yang diterapkan pada saat ini tidak memuaskan dan sama sekali belum sesuai dengan syariat Islam dan keinginan dari informan agar pelayanan kesehatan harus sesuai dengan syanat Islam secara menyeluruh. Adapun konsep yang ditemukan dalam pelayanan Kesehalan yang Islami adalah meneakup 5 aspek yaim : sikap/perilaku petugas yang Islami, fasililas/sarana pelayanan Kesehalan yang Islami, prosedurftata cara/mekanisme pelayanan kesehatan yang Islami, suasana pelayanan Kesehatan yang Islami dan pembiayaan pclayanan Kcsehalan yang Islami. Namun aspek yang terpenting dilaksanakan terlehih dahulu adalah sikap/perilaku pelugas dan prosedurftatacara yang pelayanan Kesehatan yang Islami. Pengembangan instmmen budaya Islami dalam pclayanan Kesehatan sebagai pencenninan dari budaya organisasi Islami dalam pelayanan Kesehalan yang terdiri dari 3 dimensi yaitu nilai dan pcrilaku individu (36 variabcl), nilai dan perilaku antar individu (14 variabel), serta nilai dan perilaku kepemimpinan (15 variabel). Keseluruhan kuesioner akhir mencakup 65 variabel dan terdiri dari 269 pemyataan.
Perhimngan validiras konstruk kedua kuesioner (bagi pelugas dan masyarakat) mcnunjukkan bahwa validitas tiap butir pernyataan berada pada kategori cukup dan dan agak rendah menurut klasifikasi Praseryo (2000). Analisis Anova dan T-test independent pada kuesioner petugas menunjukkan bahwa ada pcrbedaan bermakna rata-rata skor beberapa variable budaya Islami pada kelompok jenis kelamin, umur, institusi, lama bekelja, tingkat pendidikan dan jabatan . Pada kuesioner masyarakat diperoleh bahwa ada perbedaan berrnakna rata-rata skor bebempa variable dengan kelompok masyarakat berdasarkan institusi yang dikunjungi, status bekerja, tingkat pendidikan, dan umur tetapi jenis kelamin tidak mempunyai hubungan bermakna.
Perhitungan reabihras kedua kuesioner (petugas dan masyarakat) menunjukkan bahwa reabilitas tiap variable dalam kuesioner ini seluruhnya berada dalam kategori tinggi menurut klasilikasi Danim (2001). Analisis korelasi pada kedua kuesioner menunjukkan hubungan yang sangat kuat antar 3 dimensi budaya organisasi Islami diatas. Analisis regresif pada kedua kuesioner menunjukkan 3 dimensi budaya (Perilaku individu, perilaku antar individu dan perilaku kepemimpinan) benar-benar dapat menjelaskan terjadinya variasi budaya Islami dengan sangat baik. Hasil regresi juga menunjukkan bahwa skor perilaku individu paling baik digunakan untuk meramalkan budaya organisasi Islami dari suatu institusi Kesehatan. Persepsi petugas dan masyarakat berada pada titik yang sama yaitu tidak sesuai atau pada kategori sedang. Artinya pelayanan Kesehatan di Provinsi NAD tidak/belum sesuai dengan budaya Islami. Variabel yang tidak sesuai menurut petugas dan masyarakat adalah : tawadhlu, harga diri, berpenampilan sederhana, sopan, Ufah, istikharah dan muthmainah.
Dari penelitian ini dapat disarankan dan direkomendasikan perlu dilibatkannya para pakar organisasi dan pakar bahasa untuk dapat merumuskan konstruksi yang lebih sempurna tentang budaya organisasi Islami. Intervensi yang dilakukan diutamakan pada perilaku individu petugas, karena terbukti perilaku mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam menentukan/meramalkan budaya Islami dalam pelayanan Kesehatan Para pimpinan melalui pertemuan berkala, memotivasi pegawai agar dapat berprilaku sesuai dengan budaya Islami. Perlu dilakukan evaluasi penerapan budaya Islami dalam pelayanan Kesehalan di semua institusi Kesehatan. Perlu disusun buku panduan sebagai pegangan pegawai dalam berperilaku dan perlu diterapkannya muatan local budaya Islami di institusi pendidikan Kesehatan dalam provinsi NAD. Selanjutnya disarannkan agar dilakukan penelitian lanjutan untuk mengembangkan konsep dan instrumen pelayanan kesehatan Islami.

Islamic nuance health service (PKNI) was declared by the governor NAD province on 25 April 1998 as a continuation action of results of muzakarrah meeting between MUI (Indonesian Council of Religious Scholars) and provincial health Office of NAD. It is along with regulation no. 44 year 2002 on peculiarity of NAD province. Therefore, the demand of health service quality according to local medical cases is needed to be released. It is along with results of meeting forum of regional health of NAD province 2002, which consists of a recommendation of Islamic nuance health service (Pelayanan Kcsehatan yang Islami) to'lslamic Health Service (Pclayanann Kesehatan Islami) suit to visions of provincial health office of NAD province; Islamic Healthy Aceh 2010. Based on results of research at Syiah Kuala Banda Aceh health center, 85 % of respondents demand medical employees to implement Islamic health service at any health facilities they visiting. Therefore, it is needed a concept of Islamic health service and instrument to be used for evaluation results of implementing Islamic culture in health service which using available instrument.
Objectives of the research is to obtain a concept to be a model of Islamic health service, to obtain instrument and evaluation results On implementation of Islamic eulturc in health service using available instrument. Research design is qualitative and quantitative with cross sectional approach. The research went through two processes; firstly, searching for concepts of Islamic health service using literature study and in-depth interview to religious scholars, custom, social-culture and experts, health provider and 15 academicians. Secondly, developing of Islamic culture instrument in health service refer to literature study and introduction questionnaire to 40 respondents, Focus Group Discussion to 15 respondents and try out questionnaire to 510 respondents of provider and patient who come to health facilities members in NAD Province. The research started in September and ended in November 2003.
The results obtained are; through in-depth interview, it is found that the service implemented is not satisfying. The' respondents demanded to have health service an Islamic nuance. The concepts found for Islamic health service covers five aspects: Attitude of health provider, health facilities, health services procedure, environtment and health budgeting. But, the most important aspect to be implemented is attitude of health provider and lslamic procedure of the service. The development of Islamic culture instrument in the service is a reflection of Islamic culture organization. The Islamic culture organization consists of three dimensions; value and individual attitude ( 36 variables), value and inter individual attitude (I4 variables), and value and leadership attitude (15 variables).
The questionnaire, which consists of 269 questions, covers.65 variables. Based on construct validity test of the two questionnaire to health provider and patient , the data shows that the validity of each question is placed on fair low category,(Prasetyo classification;2000). Applying Anova analysis and independent T-test to provider’s questionnaire, the data shows that there is significant different average score at some variables on group of sex, age, institutions, length of working, educational background and positions. An there is also significant different average score of some variables with group of patients who had visited health facilities, working status, educational background and age. Reability test to the two questionnaires shows that every available is at 'high category (Danim classilication 2001).
Correlation analysis to the questionnaires shows strong relations among the three dimensions of Islamic culture organization. While Regression analysis shows that the three dimensions could describe well Islamic culture variation. The regression results shows that best individual attitude is used to predict Islamic culture organization of health facilities. Responses of health provider and patient are placed at average category. It means that health service in the province have not reffer to Islamic culture yet. Variable, which according to provider and patient have not been along yet with lslam are humble, self respect, simple appearance, polite, iffah, istikharah, and muthmainnah:
It is suggested to involve organization and language experts to formulate a more complex construct on culture of Islamic organization. The intervention should be focused on individual attitude of provider, because the attitudes are proved to determine Islamic culture in the service. Through periodically meeting, leaders support and motivate the health provider to works in Islamic behavior. It is needed to evaluate the implementing of Islamic culture in health service at any health facilities. And it is also needed to reward those provider applying the service such as becoming TKHI ( Indonesian Hajj Official), having further education, ete. Then, compiling a guidance book as guides for' the provider and subscribing Islamic culture subject at any health educational institution in NAD province are considered important.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T32865
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mafrawi
"Pelayanan Kesehatan Bernuansa Islami (PKNI) telah dicanangkan oleh Gubernur Provinsi NAD pada tanggal 25 April 1998 yang merupakan tindak lanjut dari hasil Muzakarrah antara Majelis Ulama Indonesia dengan Dinas Kesehatan Provinsi NAD. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang no. 44 tahun 2002 tentang Keistimewaan Nanggroe Aceh Darussalam, maka tuntutan akan mutu pelayanan Kesehatan yang spesifik daerah merupakan hal yang harus dilakukan dan hal ini juga merupakan salah satu hal yang dihasilkan pada Rapat Kerja Kesehatan Daerah Provinsi NAD tahun 2002 yang merekomendasikan bahwa "Pelayanan Kesehatan yang Bernuansa Islami " selanjutnya menjadi "Pelayanan Kesehatan yang Islami" yang sesuai dengan visi Dinas Kesehatan Provinsi NAD yaitu "Aceh Sehat 1010 yang Islami". Hasil penelitian pada Puskesmas Syiah Kuala Banda Aceh tahun 2001 diperoleh hasil bahwa 85% responden menghendaki agar pelayanan Kesehatan bernuansa Islami dapat diterapkan dimanapun petugas bekerja. Oleh sebab itu diperlukan suatu konsep tentang pelayanan Kesehatan yang Islami yang selanjutnya akan menjadi model pelayanan Kesehatan yang Islami dan instrumen yang dapat digunakan untuk mengevaluasi serta hasil evalusi terhadap penerapan budaya Islami dalam pelayanan Kesehatan dengan menggunakan instrumen yang ada.
Tujuan dari penelitian ini adalah diperolehnya gambaran konsep yang akan menjadi model pelayanan Kesehatan Islami dan diperolehnya instrumen serta hasil evaluasi tentang penerapan budaya Islami dalam pelayanan Kesehatan dengan menggunakan instrumen yang ada. Desain penelitian adalah cross sectional yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Proses yang dilakukan terdiri dari 2 tahap yaitu proses mencari konsep pelayanan Kesehatan yang Islami melalui studi literature dan indepth interview (dengan pakar/praktisi agama, adat, sosial budaya, Kesehatan, pengguna pelayanan Kesehatan, akademisi sebanyak 15 orang) dan proses pengembangan instrumen budaya Islami dalam pelayanan Kesehatan melalui studi literature, kuesioner pendahuluan sebanyak 40 orang, Fokus Group Diskusi sebanyak 15 orang dan Uji Coba Kuesioner (pada petugas dan masyarakat masing-masing 510 orang) yang dilakukan dalam wilayah Provinsi NAD baik pada Dinas Kesehatan (Provinsi dan Kabupaten) maupun institusi pelayanan (Rumah Sakit dan Puskesmas). Waktu penelitian mulai bulan September - November 2003.
Dari penelitian ini didapatkan hasil adalah : melalui indepth interview diketahui bahwa pelayanan Kesehatan yang diterapkan pada saat ini tidak memuaskan dan sama sekali belum sesuai dengan syariat Islam dan keinginan dan informan agar pelayanan kesehatan harus sesuai dengan syariat Islam secara menyeluruh. Adapun konsep yang ditemukan dalam pelayanan Kesehatan yang Islami adalah mencakup 5 aspek yaitu : sikap/perilaku petugas yang Islami, fasilitas/sarana pelayanan Kesehatan yang Islami, prosedur/tata cara/mekanisme pelayanan kesehatan yang Islami, suasana pelayanan Kesehatan yang Islami dan pembiayaan pelayanan Kesehatan yang Islami. Namun aspek yang terpenting dilaksanakan terlebih dahulu adalah sikap/perilaku petugas dan prosedur/tatacara yang pelayanan Kesehatan yang Islami. Pengembangan instrumen budaya Islami dalam pelayanan Kesehatan sebagai pencerminan dari budaya organisasi Islami dalam pelayanan Kesehatan yang terdiri dari 3 dimensi yaitu nilai dan perilaku individu (36 variabel), nilai dan perilaku antar individu (14 variabel) , serta nilai dan perilaku kepemimpinan (15 variabel). Keseluruhan kuesioner akhir mencakup 65 variabel dan terdiri dari 269 pernyataan.
Perhitungan validitas konstruk kedua kuesioner (bagi petugas dan masyarakat) menunjukkan bahwa validitas tiap butir pernyataan berada pada kategori cukup dan dan agak rendah menurut klasifikasi Prasetyo (2000). Analisis Anova dan T-test independent pada kuesioner petugas menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna rata-rata skor beberapa variable budaya Islami pada kelompok jenis kelamin, umur, institusi, lama bekerja, tingkat pendidikan dan jabatan . Pada kuesioner masyarakat diperoleh bahwa ada perbedaan bermakna rata-rata skor beberapa variable dengan kelompok masyarakat berdasarkan institusi yang dikunjungi, status bekerja, tingkat pendidikan, dan umur tetapi jenis kelamin tidak mempunyai hubungan bermakna. Perhitungan reabilitas kedua kuesioner (petugas dan masyarakat) menunjukkan bahwa reabilitas tiap variabel dalam kuesioner ini seluruhnya berada dalam kategori tinggi menurut klasifikasi Danim (2001). Analisis korelasi pada kedua kuesioner menunjukkan hubungan yang sangat kuat antar 3 dimensi budaya organisasi Islami diatas. Analisis regresi pada kedua kuesioner menunjukkan 3 dimensi budaya (Perilaku individu, perilaku antar individu dan perilaku kepemimpinan) benar-benar dapat menjelaskan terjadinya variasi budaya Islami dengan sangat baik. Hasil regresi juga menunjukkan bahwa skor perilaku individu paling baik digunakan untuk meramalkan budaya organisasi Islami dari suatu institusi Kesehatan. Persepsi petugas dan masyarakat berada pada titik yang sama yaitu tidak sesuai atau pada kategori sedang. Artinya pelayanan Kesehatan di Provinsi NAD tidak/belum sesuai dengan budaya Islami. Variabel yang tidak sesuai menurut petugas dan masyarakat adalah : tawadhlu, harga diri, berpenampilan sederhana, sopan, iffah, istikharah dan i nulnnai,rah.
Dari penelitian ini dapat disarankan dan direkomendasikan perlu dilibatkannya para pakar organisasi dan pakar bahasa untuk dapat merumuskan konstruk yang lebih sempurna tentang budaya organisasi Islami. Intervensi yang dilakukan diutamakan pada perilaku individu petugas, karena terbukti perilaku mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam menentukan/meramaikan budaya Islami dalam pelayanan Kesehatan. Para pimpinan melalui pertemuan berkala, memotivasi pegawai agar dapat berprilaku sesuai dengan budaya Islami. Perlu dilakukan evaluasi penerapan budaya Islami dalam pelayanan Kesehatan di semua institusi Kesehatan. Perlu disusun buku panduan sebagai pegangan pegawai dalam berperilaku dan perlu diterapkannya muatan lokal budaya Islami di institusi pendidikan Kesehatan dalam provinsi NAD. Selanjutnya disarannkan agar dilakukan penelitian lanjutan untuk mengembangkan konsep dan instrumen pelayanan kesehatan Islami.

The Development of Islamic Nuance Instrument in Health Service in Nanggroe Aceh Darussalam ProvinceIslamic nuance health service (PKNI) was declared by the governor NAD province on 25 April 1998 as a continuation action of results of muzakarrah meeting between MUI (Indonesian Council of Religious Scholars) and provincial health office of NAD. It is along with regulation no. 44 year 2002 on peculiarity of NAD province. Therefore, the demand of health service quality according to local medical cases is needed to be released. It is along with results of meeting forum of regional health of NAD province 2002, which consists of a recommendation of Islamic nuance health service (Pelayanan Kesehatan yang Islami) to Islamic Health Service (Pelayanann Kesehatan Islami) suit to visions of provincial health office of NAD province; Islamic Healthy Aceh 2010. Based on results of research at Syiah Kuala Banda Aceh health center, 85 % of respondents demand medical employees to implement Islamic health service at any health facilities they visiting. Therefore, it is needed a concept of Islamic health service and instrument to be used for evaluation results of implementing Islamic culture in health service which using available instrument.
Objectives of the research is to obtain a concept to be a model of Islamic health service, to obtain instrument and evaluation results on implementation of Islamic culture in health service using available instrument. Research design is qualitative and quantitative with cross sectional approach. The research went through two processes; firstly, searching for concepts of Islamic health service using literature study and indepth interview to religions scholars, custom, social-culture and experts, health provider and 15 academicians. Secondly, developing of Islamic culture instrument in health service refer to literature study and introduction questionnaire to 40 respondents, Focus Group Discussion to 15 respondents and try out questionnaire to 510 respondents of provider and patient who come to health facilities members in NAD Province. The research started in September and ended in November 2003.
The results obtained are; through indepth interview, it is found that the service implemented is not satisfying. The' respondents demanded to have health service an Islamic nuance. The concepts found for Islamic health service covers five aspects: Attitude of health provider, health facilities, health services procedure, environment and health budgeting. But, the most important aspect to be implemented is attitude of health provider and Islamic procedure of the service. The development of Islamic culture instrument in the service is a reflection of Islamic culture organization. The Islamic culture organization consists of three dimensions; value and individual attitude (36 variables), value and inter individual attitude (14 variables), and value and leadership attitude (15 variables). The questionnaire, which consists of 269 questions, covers_65 variables.
Based on construct validity test of the two questionnaire to health provider and patient , the data shows that the validity of each question is placed on fair low category,(Prasetyo classification;2000). Applying Anova analysis and independent T-test to provider's questionnaire, the data shows that there is significant different average score at some variables on group of sex, age, institutions, length of working, educational background and positions. An there is also significant different average score of some variables with group of patients who had visited health facilities, working status, educational background and age. Reability test to the two questionnaires shows that every available. Is at 'high category (Danim classification 2001). Correlation analysis to the questionnaires shows strong relations among the three dimensions of Islamic culture organization. While Regression analysis shows that the three dimensions could describe well Islamic culture variation. The regression results shows that best individual attitude is used to predict Islamic culture organization of health facilities. Responces of health provider and patient are placed at average category. It means that health service in the province have not reffer to Islamic culture yet. Variable, .which according to provider and patient have not been along yet with Islam are humble, self respect, simple appearance, polite, iffah, istikharah, and muthmainnah.
It is suggested to involve organization aria language experts to formulate a more complex construct on culture of Islamic organization. The intervention should be focused on individual attitude of provider, because the attitudes are proved to determine Islamic culture in the service. Through periodically meeting, leaders support and motivate the health provider to works in Islamic behavior. It is needed to evaluate the implementing of Islamic culture in health service at any health facilities. And it is also needed to reward those provider applying the service such as becoming TKHI ( Indonesian Hajj Official), having further education, etc. Then, compiling a guidance book as guides for' the provider and subscribing Islamic culture subject at any health educational institution in NAD province are considered important.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T12882
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatma S.
"Remaja merupakan generasi penerus bangsa sejak dini harus disiapkan secara utuh baik( fisik maupun psikologisnya. Kesehatan reproduksi remaja merupakan salah satu program yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan dibidang usaha kesehatan sekolah dan remaja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dwiprahasto (1993) diketahui 3,6% kelompok umur 13-15 tahun dan (5,4%) kelompok umur 16-20 tahun telah melakukan hubungan seksual, begitu juga beberapa peneliti lain, yang melakukan penelitian tentang remaja diberbagai kota di Indonesia menemukan tingginya angka perilaku berisiko bagi remaja. Sedangkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam khususnya kota Banda Aceh belum ada dilakukan penelitian tentang perilaku remaja.
Penelitian ini dilaksanakan di kota Banda Aceh, bertujuan untuk mendapatkan informasi faktor- faktor yang berhubungan dengan perilaku kesehatan reproduksi remaja diantara siswa SMUN di kota Banda Aceh, dengan menggunakan desain cross sectional, populasi terdiri dari siswa SMUN dengan status marital belum menikah, serta jumlah sampel 180 responden. Analisis yang digunakan adalah univariat, bivariat dengan uji chi square dan multivariat dengan uji regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 180 responden ditemukan 12,8% responden termasuk kategori perilaku berisiko ringan seperti berciuman pipi 1,1% dan berpelukan, 0,5% dengan lawan jenisnya, meskipun tahapan ini bila ditinjau dari teori (Kinsey) belum tergolong perilaku berisiko. Namun karena kondisi dan budaya daerah/lokasi penelitian yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, dan juga mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan kehidupan adat, sehingga segala aktifitas sehari hari juga dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. Maka dengan alasan tersebut, perilaku demikian tergolong pada kategori berisiko ringan, dan perlu diwaspadai agar tidak berlanjut ketahap perilaku berisiko berat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pengetahuan, pendidikan tambahan, dan pendidikan ayah, berhubungan dan bermakna secara statistik. Adapun faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku siswa SMUN tentang kesehatan reproduksi adalah pendidikan ayah, dimana ayah dengan pendidikan tinggi (minimal SMU) cenderung anak berperilaku 9,4 kali lebih baik, jika dibanding ayah berpendidikan rendah.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perilaku siswa SMUN di kota Banda Aceh tentang kesehatan reproduksi termasuk kategori perilaku berisiko ringan. Untuk mencegah perilaku ini meningkat menjadi perilaku berisiko berat disarankan, penambahan materi kesehatan reproduksi disekolah, agar meningkatkan pengetahuan siswa tentang kesehatan reproduksi khususnya. Pada orang tua juga diharapkan dapat memberikan bimbingan kesehatan reproduksi sedini mungkin. Bagi remaja sendiri agar selalu berperilaku positif sesuai ajaran agama, menjaga budaya dan adat serta mencari informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi.

Teenagers are the future generation of the Nations since they have to be prepared early physically and psychologically. Teenage health reproduction is one of The Health Department Program that held for teenagers and school health. Based on pwiprahasto (1993), research known that 3,6% of 13 -15 age group and 5,4% of 16-20 age group have done sexual relationship so did by other researchers who studied about teenagers on every kind of city in Indonesia which found risk value of teenage behavior. While in Province of Nanggroe Aceh Darussalam especially on Banda Aceh City there haven't been studied about Health Reproduction behavior teenagers.
This study was conducted in Banda Aceh City, aims to get the information about some factors which related with teenager health reproduction among High School students which used cross sectional design, population consist of High School students whom unmarried status, and take 180 respondent, The analysis use univarite, bivariate with chi-square, and multivariate analysis with logistic regression test.
The result of this study shows that of 180 respondent, there are 12,8% of them found low risk of behavior category i.e. kissing 1,1% and holding each other 0,5%, although this stage has not been the criteria of risk behavior based on Kinsey theory. Because of the whole activities of Nanggroe Aceh Darussalam people was based on Islamic rules. Ttherefore teenagers behavior was classified as low risk category and it should be awared to anticipate them becoming the severe risker. Because of the whole activities of Nanggroe Aceh Darussalam people was based on Islamic rules. Therefore teenagers behavior was classifified as low risk catergory and it should be awared to anticipate them becoming the severe risker.
This study shows that statistically, knowledge, additional education, and father's education variables were related significantly. The most dominant factor was High School student behavior about health reproduction which were father's education, father with high education prefer to have good behavior children 9,4 times than father with low education.
It is concluded that High School students behavior about health reproduction on Banda Aceh City was low risk behavior category. To prevent this behavior increase to high risk it is recommended to add health reproduction mater at school especially to increase the student's knowledge. To the parents it is hoped that they could teach health reproduction as early as possible. To the teenagers itself, it is hoped to keep culture and religion based on religion line.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T1860
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dardir Abdullah
"Keberadaan partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu terobosan yang signifikan dalam upaya memperkuat partisipasi masyarakat dalam berpolitik dan berdemokrasi. Partai politik lokal bisa menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah kebuntuan politik yang dialami masyarakat, pembangunan dan penguatan potensi politik di tingkat lokal. Oleh karena itu "Keberadaan Partai Politik Lokal Dalam Meraih Dukungan Masyarakat di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)" diharapkan dapat menjadi pintu solusi ketika negara dirasakan belum atau tidak mampu memberikan rasa keadilan secara merata, artinya pembangunan belum berhasil menyentuh keseluruh wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tanggapan dan sambutan masyarakat terhadap keberadaan partai politik lokal di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta komitmennya dalam rangka membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Metode penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Partai politik lokal adalah sebuah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan citacita yang sama untuk memperjuangkan dan mewujudkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum secara damai, sejahtera, adil dan makmur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Partai politik lokal merupakan harapan baru rakyat Aceh, dan merupakan salah satu alternatif pilihan politik masyarakat dalam menyalurkan segala aspirasinya. Masyarakat Aceh saat ini bebas memilih dan menentukan pemimpinnya. Walaupun umurnya masih masih tergolong baru, Dukungan masyarakat Aceh terhadap keberadaan partai politik lokal sangat besar. Kehadiran partai politik lokal di Aceh sebagai salah satu kekuatan baru dalam rangka memperkokoh dan meningkatkan rasa Nasionalisme, memperkuat integrasi dan Ketahanan Nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang datang dari dalam dan luar, secara langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan bangsa mencapai tujuan nasional.

The existence of local political parties in Aceh is one of the significant breakthrough in efforts to strengthen public participation in politics and democracy. Local political parties could be one of the alternative solutions to problems experienced by the people of political deadlock, the development and strengthening of the political potential at the local level. Therefore, 'The existence of Local Political Parties In Achieving Community Support in the province Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)" is expected to be a door solution when the country felt not to or are unable to provide a sense of justice evenly, meaning that the development has not managed to touch throughout the region. This study aimed to describe the response and public response to the existence of a local political party in the province of Aceh, and its commitment in order to build and improve the welfare of the people in the province of Nanggroe Aceh Darussalam. The research method used in this study is qualitative.
From the results of this study concluded that local political party is a political organization formed by a group of Indonesian citizens who reside in Aceh will voluntarily on the basis of equality and the same ideals to strive for and realize the interests of its members, the community, the nation, and the state through general elections were peaceful, prosperous, just and prosperous in the frame of the Republic of Indonesia. Local political parties are the new hope of the people of Aceh, and is one of the alternative options in channeling all their political aspirations. The people of Aceh is now free to choose and determine their leaders. Although age is still relatively new, the people of Aceh to support the existence of a local political party is very large. The presence of local political parties in Aceh as one of the new powers in order to strengthen and increase the sense of nationalism, strengthen integration and National Security, in the face and overcome all threats, harassment, obstacles and challenges that come from inside and outside, directly or indirectly harm integrity, identity, survival of the nation and the state and the nation's struggle to achieve national goals.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar
"Kantor Kesehatan Pelabuhan adalah salah satu institusi panting dalam wilayah pelabuhan. Tugasnya adalah mencegah masuk dan keluarnya penyakit karantina dan penyakit menular tertentu melalui kapal laut/pesawat udara, memelihara dan meningkatkan sanitasi lingkungan di pelabuhan/bandara, di kapal laut/pesawat udara dan pelabuhan lintas batas. Tugas lainnya adalah memberikan pelayanan kesehatan terbatas di pelabuhan laut/bandara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Beban kerja Kantor Kesehatan pelabuhan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dirasakan amat tinggi untuk dilaksanakan oleh jumlah pegawai yang tersedia. Faktor keamanan adalah kendala utama dalam pelaksanaan tugas. Kedisiplinan sangat diperlukan dalam penyelesaian tugas tanpa mengeyampingkan Standard Operational Procedure (SOP) yang telah ditetapkan.
Penelitian ini dilakasanakan untuk mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja pegawai Kantor Kesehatan Pelabuhan di Banda Aceh dan Lhokseumawe. Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Jumlah sampel terdiri atas 42 orang. Variabel yang diteliti adalah faktor individu yang meliputi umur, jenis kelamin, status perkawinan, masa kerja, pendidikan dan tingkat pengetahuan. Faktor organisasi mencakup kepemimpinan, imbalan, struktur, dan supervisi serta faktor psikologis yang meliputi persepsi dan motivasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja pegawai Kantor Kesehatan Pelabuhan sebesar 81,0% berkategori baik. Hasil analisis bivariat memperlihatkan bahwa faktor individu signifikan yang berhubungan dengan kinerja adalah variabel status perkawinan, dengan nilai p = 0,029, OR 2,00 (95% CI: 1,44-2,77). Faktor organisasi dengan variable struktur organisasi memiliki nilai p= 0,029, OR 5,20 (95% CI : 1,36-19,77), sedangkan faktor psikologis adalah variabel persepsi dengan nilai p =0,04I, OR 4,71 (CI: 1,25-17,71).
Dari hasil penelitian ini, disarankan kepada pihak Pemerintahan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melalui Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk memperhatikan dan mengambil langkah-langkah pembinaan, pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan kepada pegawai Kantor Kesehatan Pelabuhan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pimpinan Kantor Kesehatan Pelabuhan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disarankan untuk menekankan tugas dan tanggungjawab terhadap pekerjaan kekarantinaan kepada pegawai melalui pertemuan berkala. Pegawai Kantor Kesehatan Pelabuhan disarankan untuk terus mempertahankan kerja sama dalam pelaksanaan tugas.
Penulis menyadari keterbatasan dalam rancangan penelitian dan variabel penelitian ini, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan yang meliputi variabel yang lebih lengkap serta instrumen pengukuran kinerja yang lebih spesifik dan akurat di masa akan datang.

The works of Port Health Office in the Province of Nanggroe Aceh Darussalam is overloaded to carry by the number of available staffs. Security factors is one of the main constraints in carrying out the work. Discipline is really necessary in completing the task, without putting Standard Operational Procedure (SOP) aside.
This research is conducted in order to know the determinant factors to the work performance of Port Health Office staffs in Banda Aceh and Lhokseumawe. The design of the research is cross sectional study. Samples are 42 respondents. The variable observed are individual factor (age, sex, marriage status, work period, education and level of knowledge), organizational factor (leadership, reward, structure, and supervision), and psychological factor (perception and motivation).
The result of the study showed that the performance of the Port Health Office staffs, as much 81.0 % is in good category. The result of bivariat analysis showed that individual factor which is significantly related to the work performance is marriage status variable, with p value = 0.029, OR 2,00 (95 % CI: 1,44-2,77). Organizational factor is significantly related to the work performance is the organization structure variable, with p value = 0,029, OR 5,20 (95 % CI: 1,36-19,77), while psychological factor is perception variable with p value= 4,041, OR 4,71 (CI: 1,25-17,71)
From the result of the study, it is suggested to the Provincial Government of Nanggroe Aceh Darussalam through Provincial Health Authority to pay attention and take certain measures in continual guidance, education, and training to the staffs of Port Health Office staffs. The Head of Provincial Health Authority of Nanggroe Aceh Darussalam is suggested to emphasize the responsibility and quarantine works to the staffs in periodical meeting. The staffs of Port Health Office are suggested to preserve the corporation among the staffs in carrying the work.
The writer, however, feels there are limitations in the research?s methodology and variables. Therefore, it is necessary to conduct further studies that have more complete variables and more specific and accurate measure instrument of work performance.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
T. Aznal Zahri
"Untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia FISIP-UI, penulis meakkukan penelitian dengan judul tersebut di atas dengan tujuan untuk mengetahui dan membahas: Kebijakan Penataan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kebijakan Daerah Dalam Pelaksanaan Syariat Islam, Penyelenggaraan Pendidikan dan Penyelenggaraan Kehidupan Adat.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berdasarkan analisis pada data primer dan sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan. Teknik pemilihan informan dilakukan dengan purposive sampling dan snow ball technique .
Kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: terdapat sejumlah Bagian dan Sub Bagian pada organisasi Sekretariat Daerah serta Badan dan Dinas Daerah yang perlu ditiadakan, digabung dan atau disesuaikan. Peniadaan, penggabungan dan atau penyesuaian pada struktur perangkat daerah tersebut merupakan alternatif untuk membangun suatu struktur organisasi perangkat daerah yang ramping, efektif dan mengurangi proses birokrasi yang tumpang tindih, berbelit-belit dan tidak efisien. Oleh sebab itu diperlukan penataan ulang atas struktur organisasi perangkat daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Terdapat kontradiksi kebijakan perundang-undangan yang menyebabkan penyelenggaraan otonomi daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengandung sejumlah masalah, kendala dan konsekuensi yang perlu disikapi secara cermat dan bijaksana.
Dalam dimensi kontradiksi kebijakan perundang-undangan tersebut, penyelenggaraan keistimewaan Aceh menjadi kurang efektif dan cenderung melahirkan dualisme, karena pengorganisasian dan manajemen pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota masih berpedoman pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999; sedangkan pengorganisasian dan manajemen pemerintahan Daerah Provinsi yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001.
Diperlukan suatu Konsep Jalan Tengah yang dapat mengintegrasikan dan tetap mengefektifkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Konsep Jalan Tengah dimaksud ditetapkan dengan Qanun yang disusun secara bersama-sama oleh perwakilan pemerintahan Provinsi dan perwakilan dari seluruh Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Implementasi Konsep Jalan Tengah tersebut meliputi pelaksanaan otonomi khusus oleh Pemerintah Daerah Provinsi yang meliputi pelaksanaan syariat Islam, penyelenggaraan pendidikan yang berbasis Islam dan penyelenggaraan kehidupan adat yang bernafaskan Islam. Dengan demikian penyelenggaraan keistimewaan Aceh dapat dipandang sebagai faktor perekat dan penguat integritas masyarakat Aceh, tanpa harus terjebak pada permasalahan kontradiksi kebijakan perundang-undangan.
Penyusunan Qanun tersebut di atas perlu didasarkan pada kejelasan dan pengaturan hal-hal sebagai berikut: urusan dan kewenangan yang diintegrasikan; struktur kelembagaan perangkat daerah untuk pelaksanaan urusan tersebut; status kepegawaian pada struktur kelembagaan tersebut; pola pembiayaan untuk melaksanakan urusan tersebut; adanya komisi-komisi khusus pada lembaga legislatif yang membidangi keistimewaan Aceh sebagai mitra kerja lembaga-lembaga perangkat daerah tersebut; adanya kejelasan mengenai tugas pokok dan fungsi pada setiap tingkatan lembaga yang menjamin terlaksananya manajemen pelayanan publik yang efektif, efisien dan akuntabel; pelaksanaan fungsi pengawasan, monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan urusan tersebut.
Pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang meliputi berbagai aspek kehidupan Islam secara kaffah melibatkan seluruh potensi dan partisipasi seluruh pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, serta menuntut toleransi pihak pihak non muslim, baik yang berdomisili dan atau yang datang dari luar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Toleransi ini penting sekali karena terdapat sejumlah konsekuensi sosial psikologis yang harus diperhatikan oleh semua pihak.
Penyelenggaraan Pendidikan yang dilaksanakan di Aceh secara umum sudah mewakili prinsip-prinsip pelaksanaan syariat Islam. Hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan dengan pendidikan berjenjang yang menggunakan pengajaran, kurikulum dan aturan-aturan Islam sebagai dasar bagi pelaksanaan pendidikan.
Penyelenggaraan kehidupan adat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan dengan berpedoman pads Syariat Islam. Dalam pelaksanaan kehidupan adat, lembaga-lembaga adat tetap dipertahankan, dimanfaatkan, diberdayakan dan dipelihara. Peran pimpinan daerah sebagai Pemangku dan Pembina adat dan dalam melaksanakan kegiatannya dibantu oleh Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10491
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusinah Hanum
"Tujuan penelitian ini untuk mengoptimalkan peranan museum di kalangan masyarakat terutama sekali kalangan pendidikan sebagai penunjang sarana pendidikan dan pembelajaran di sekolah-sekolah. Museum berfungsi sebagai sarana pendidikan, terutama pendidikan budaya yang harus ditransformasikan kepada masyarakat luas termasuk kalangan pendidikan, namun pemanfaatannya sebagai sarana pendidikan itu belum maksimal digunakan. Belum maksimalnya pemanfaatan itu terlihat dari tingkat kunjungan kalangan pendidikan ke museum.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berkenaan dengan pengelolaan koleksi museum dalam tata pamernya sebagai sarana informasi dan pemanfaatan museum sebagai sarana pendidikan. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan keterangan tentang museum dan permasalahan-permasalahannya, sehingga akan memudahkan menemukan solusi yang perlu dilakukan untuk menarik minat masyarakat untuk berkunjung dan mengoptimalkan peranan museum sebagai sarana pendidikan.
Penelitian ini mencoba menawarkan pendekatan deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif, terhadap pengelolaan koleksi museum Nanggroe Aceh Darussalam terutama dalam hal penataan koleksinya dalam pameran yang dirancang museum. Pameran yang dibuat museum sebagai sarana informasi dan sarana komunikasi dengan pengunjung dapat membantu pengunjung dalam mendapatkan pengetahuan, terutama pengetahuan budaya. Dalam hal ini dilakukan wawancara kepada petugas museum dan juga mengumpulkan data dari pengunjung museum dan dari guru-guru sekolah yang ada di sekitar museum yang memanfaatkan museum sebagai sarana pendidikan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini ialah museum belum mampu memposisikan dirinya sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat umum terutama kalangan pendidikan. Hal ini terlihat dari 323 Sekolah Dasar yang ada di Kotamadya Banda Aceh dan Aceh Besar hanya 18 kelompok Sekolah Dasar saja yang berkunjung ke museum, kunjungan ini pun dilakukan hanya satu kali dalam satu tahun.
Pemanfaatan museum yang tidak optimal ini disebabkan lembaga pendidikan tersebut tidak memahami dengan jelas manfaat museum dalam proses belajar mengajar. Di pihak lain museum dalam melaksanakan kegiatannya belum menyadari sepenuhnya tentang kebutuhan pendidikan, karena itu para siswa kurang tertarik pada pameran yang disajikan museum. Promosi atau sosialisasi kegiatan museum belum sepenuhnya menjangkau masyarakat umum, khususnya kalangan pendidikan. Akibatnya hubungan antara pihak museum dengan pihak lembaga pendidikan tidak terjalin dengan baik. Kalangan pendidikan menganggap museum hanya sebagai tempat menyimpan benda-benda kuno.
Kenyatan tersebut menunjukkan bahwa museum harus berbenah diri agar tercapai tujuan dan fungsi museum sebagai lembaga penunjang dalam penelitian, pendidikan dan juga tempat rekreasi bagi masyrakat. Pembenahan ini bukan hanya dilakukan terhadap pengelolaan koleksi museum saja tetapi juga penyebaran informasi kegiatan-kegiatan museum kepada masyarakat melalui penyebaran brosur-brosur museum."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11819
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Awaluddin
"Permasalahan Undang-undang Otonomi Khusus di Nanggroe Aceh Darusalam merupakan suatu permasalahan rumit, dilematis dan bahkan dapat menimbulkan pemasalahan lainnya, terutama yang menyangkut dengan proses pembuatan qanun dan juga realisasi dari qanun itu sendiri. Upaya sosialisasi dan implementasi sudah dilakukan namun sampai saat ini masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, sehingga masih saja terjadi perdebatan dikalangan masyarakat termasuk eksekutif dan legeslatif. Disamping itu juga ada beberapa permasalahan dan pasal-pasal dalam UU No. 18/2001 yang diangap masih kontradiksi dengan UU No 22/1999. terutama yang menyangkut dengan pembagian kewenangan antara Bupati dan Gubernur dimana UU No. 22/1999 Otonomi terletak pada daerah tingkat II sedangkan dalam UU No.18/2001 Otonomi terletak pada daerah tingkat I yaitu Provinsi, semua permasalahan tersebut telah menimbulkan konflik pada tingkat wacana dan juga realisasi dari UU No.18/2001 sehingga tingkat efektifitas Undang Otonomi Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, dengan menggunakan data primer dan juga data skunder, jadi analisis yang dilakukan adalah analisis kepustakaan dan juga analisis lapangan dimana data yang diperoleh dan pengamatan langsung dan juga informasi dan beberapa informan akan dapat memperkuat penelitian ini untuk mengkaji kondisi ril yang terjadi di anggroe Aceh Darussalam dalam status otonomi Khsus.
Berkenaan dengan berbagai kemungkinan perubahan dan reaksi yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat dan juga struktur masyarakat, dan sejauhmana tingkat partisipasi dan kemampuan masyarakat lokal, dalam hal ini penulis menggunakan teori fungsionalisme Talcott Parson dan Robert K.Merton. namun penulis melihat teorinya Robert k.Merton lebih cocok untuk kasus Aceh karena asumsi dasar dan teorinya menyatakan masyarakat terdiri dari sejumlah komponen struktural yang membentuk satu kesatuan yang sating berhubungan dan ketergantungan, dimana masing-masing komponen ada yang berfungsi dan ada yang disfungsi kondisi ini sesuai dengan realita yang terjadi di Aceh, dimana beberapa elemen masyarakat tidak berfungsi dalam memberikan kontribusi dan solidaritasm dalam sistem perjalanan Otonomi Khusus.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan masih terdapat banyak kekurangan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus baik dalam bentuk kebijakan hukum maupun realita dilapangan, sehingga hal tersebut telah membuat Otonomi Khusus belum dapat berjalan efektif sebagaimana yang diharapkan.
Penulis menganggap penelitian ini mempunyai signifikansi tersendiri yaitu dapat membuat sebuah perbandingan antara teori dan realita empirik yang terjadi serta menemuka berbagai macam titik lemah dari.pemberlakuan UU No.18/2001.
Dari hasil pengamatan dilapangan dan juga informasi dari informan penulis menemukan beberapa persoalan yang kiranya menjadi penghambat terhadap pelaksanaan otonomi Khusus secara maksimal. pertama, adanya ketimpangan dan benturan kebijakan antara UU no.18/2001 dengan UU no.22/1999. terutama yang menyangkut kewenangan antara Bupati dan Gubernur. Kedua, terlambatnya proses pembuatan qanun, sehingga kebijakan yang digunakan cendrung mengunakan kebijakan yang lama. Ketiga, tidak adanya keterlibatan unsur masyarakat dalam menentukan kebijakan qanun yang akan dilahirkan sehingga qanun yang dihasilkan belum mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat. Keempat, masih adanya perdebatan terhadap pemberlakuan Syriat Islam yaitu terhadap & Brad yang digunakan. Kelima, tidak adanya ketentuan yang tegas dalam undang-undang Otonomi Khusus bahwa untuk Aceh hanya diberlakukan UU No.1812001. keenam, terlambatnya sosialisasi terhadap qanun-qanun yang telah dihasilkan khususnya menyangkut qanun Syari'at Islam dan Mahkamah Syari'ah
Dari berbagai persoalan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa masih dibutuhkan revisi secara lebih konprehensif terhadap UU No.18/2001 sehingga tidak ada aturan lain yang menghambat pemberlakuan Undang-undang Otonomi Khusus secara komplit yang dihasilkan melalui qanun, kemudian dengan berbagai macam persoalan dan kelemahan yang penulis kemukakan diatas telah membuat UU No.18/2001 belum bisa berjalan secara maksimal dan efektif, untuk ini dibutuhkan keterpaduan dan kerjasama seluruh elemen masyarakat dalam memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan Otonomi Khusus masyarakat Aceh."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14382
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zul Husni
"Penelitian dengan judul tersebut di atas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi kesehatan ibu dan anak pada periode konflik, serta bagaimana dampak konflik dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kecamatan Ulee Kareng.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berdasarkan analisis pada data primer dan sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam dengan 5 informan yang terdiri dari 2 informan petugas kesehatan dan pejabat pemerintahan, serta 3 informan dari tokoh masyarakat. Teknik pemilihan informan ini dilakukan dengan purposive sampling.
Dari temuan lapangan dan ungkapan-ungkapan 5 orang Informan Penelitian diketahui bahwa, kondisi kesehatan ibu dan anak, arah kebijakan pembangunan kesehatan ibu dan anak, program pelayanan kesehatan ibu dan anak, penyediaan obat dan sarana kesehatan ibu dan anak, peran petugas dalam pelaksanaan program kesehatan ibu dan anak, partisipasi warga masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan ibu dan anak, diperoleh kesimpulan bahwa kondisi kesehatan ibu dan anak di Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh belurn sepenuhnya mencapai sasaran pelayanan kesehatan. Teknis pelayanan kesehatan pun belum optimal karena terbatasnya tenaga kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan di Kecamatan Ulee Kareng. Disamping itu, belum optimalnya kondisi kesehatan ibu dan anak di Kecamatan Ulee Kareng diketahui dari data masalah kesehatan di sebagai berikut :
Pertama, Masih tingginya angka ibu hamil resiko tinggi yang mencapai 73 ibu atau melebihi dari sasaran awal yang ditetapkan sebanyak 36 ibu hamil ; Kedua, Capaian imunisasi balita dan anak usia sekolah rata-rata tidak mencapai 75 persen dari populasi sasaran pelayanan imunisasi ; Ketiga, Hanya ada 3 Puskesmas Pembantu di 9 desa yang ada di wilayah Kecamatan Ulee Kareng, dan hanya ada 2 orang dokter di Kecamatan Ulee Kareng ; Keempat, Jumlah kematian kasar pada tahun 2001 mencapai 0,40 persen dari populasi 14.759 penduduk, dan pada tahun 2001 jumlah kematian kasar mengalami peningkatan hingga mencapai 0,44 persen dari populasi 15.891 penduduk.
Menurunnya intensitas pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kecamatan Utee Kareng pada pasca konflik tidak hanya disebabkan oleh rendahnya partisipasi masyarakat, keterbatasan pembiayaan, keterbatasan sarana dan prasarana pelayanan, dan keterbatasan tenaga kesehatan, namun disebabkan juga oleh dampak konflik yang terjadi di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Situasi konflik ini diketahui dari ungkapan-ungkapan 5 orang Informan Penetitian mengenai hubungan lembaga masyarakat dengan lembaga pemerintah, situasi kehidupan sosial masyarakat, pandangan dan harapan masyarakat terhadap konflik. Situasi konflik ini tercermin dari adanya perasaan kurang aman di kalangan petugas kesehatan, kurang harmonisnya kerjasama lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat, dan besarnya harapan masyarakat agar konflik tidak ada lagi.
Situasi konflik tidak sampai menghambat pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan ibu dan anak, karena terbukti berbagai program pelayanan kesehatan ibu dan anak tetap terlaksana. Keadaan ini berlangsung karena kesehatan ibu dan anak dipandang sebagai kepentingan dan kebutuhan semua pihak, terutama kebutuhan warga masyarakat Kecamatan Ulee Kareng itu sendiri."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T2517
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>