Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137518 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nico L. Kana
"ABSTRAK
Orang dan kebudayaan Sawu adalah kelompok penduduk serta lingkungan kebudayaan dari orang-orang yang mendiami dua pulau di Propinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu pulau Sawu dan pulau Raijua.
Studi ini dilakukan untuk mengidentifikasikan asas-asas penataan yang berlaku dan hidup dalam masyarakat orang Sawu di mahara. Studi ini berusaha melalui penelaahan terhadap berbagai segi hidup dari orang-orang Sawu di mahara memahami dunia mereka dari sudut pandangan para partisipan kebudayaan itu sendiri. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1978
D160
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Seperti telah dipaparkan di depan, tujuan studi ini adalah untuk dentifikasikan azas-azas penataan yang berlaku dan hidup dalam ma akat orang Sawu di Mahara. Studi ini berusaha melalui penelaahan adap berbagai segi hidup dari orang-orang Sawu di Mahara memahan::i mereka dari sudut pandangan para partisipan kebudayaan itu sendi Daerah tempat penelitian, yaitu tanah Mahara, adalah suatu daeyang relative rpencil, namun dianggap mewakili masyarakat Sawu"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1978
D1805
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nico L. Kana
Jakarta: Universitas Indonesia, 1978
306.4 NIC d (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Apa yang dimaksudkan dengan orang dan kebudayaan Sawu adalah kelompok penduduk serta lingkungan kebudayaan dari orang-orang yang mendiami dua pulau di Propinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu pulau Sawu dan phlau Raijua. Sebelum terjadi perubahan administrasi pemerintahan, maka kebudayaan Sawu tersebut termasuk suatu lingkungan kebudayaan yang dapat digolongkan sebagai suatu lapangan penelitian ethnologis yang cukup homogin namun juga mengandung keanekaragaman budaya ( Josselin de Jong, 1977 ) Di dalam lingkungan kebudayaan tersebut tersebar sejumlah kelpmpok bahasa. Bahasa Sawu termasuk ke dalam salah satu dari kelompok bahasa di wilayah ini, yaitu kelompok bahasa Sumba-Bima. C Esser, 1933 = 9b )"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1978
D1049
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nico L. Kana
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1983
306.4 NIC d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
A. Tarimana
"ABSTRAK
Sukubangsa Tolaki berdiam di wilayah kabupaten hendari dan kabupaten Kolaka dalam lingkungan Propinsi Sulawesi tenggara. Mereka yang mendiami wilayah kabupaten Kendari menamakan dirinya orang Konawe, dan mereka yang mendiami wilayah kabupaten Kolaka menamakan dirinya orang Mekongga. Kedua wilayah kabupaten tersebut jauh sebelumnya adalah masing-masing bekas wilayah kerajaan Konawe dan kerajaan Mekongga.
Dalam berbagai aspek kehidupannya, orang Tolaki memakai dan menggunakan kalo sebagai simbol yang mengekspresikan unsur-unsur manusia, unsur-unsur alam, unsur-unsur masyarakat, dan unsur-unsur nilai budayanya. Kalo juga mengekspresikan hubungan timbal balik antara unsur-unsur tersebut, yang tampak baik dalam konteks upacara maupun di luar upacara.
Saya mengkaji kalo orang Tolaki dengan memperhatikan
sistem klasifikasi simbolik yang ada dalam kebudayaan Tolaki dan jugs memperhatikan struktur berpikir elementer orang Tolaki. Sistem klasifikasi simbolik dalam kebudayaan Tolaki menunjukkan adanya ciri-ciri klasifikasi dua, tiga dan lima. Ciri klasifikasi dua dan tiga ini merupakan perwujudan dari struktur berpikir orang Tolaki yang melihat segala sesuatu yang ada dalam lingkungannya sebagai terdiri atas dua kategori yang saling berlawanan, dan kategori ketiga yang bertindak sebagai aspek penengah antara dua kategori yang berlawanan tersebut. Sistem klasifikasi atas kategori dua dan tiga, serta cara berpikir elementer dalam wujud semacam ini di mana-mana terdapat pada semua sukubangsa di dunia
Penelitian saya terpusat pada delapan desa di kedua kabupaten tersebut di atas. Tiga desa terletak di dalam wilayah kota, masing-masing dua desa di kota Kendari, dan satu desa di kota Kolaka, dan lima desa terletak di pedalaman, masing-masing tiga desa di pedalaman kabupaten Kendari dan dua desa di pedalaman kabupaten Kolaka. Desa-desa itu adalah Kemaraya, Wua-Wua (keduanya di kota), Tawanga, Meraka, dan Sambeani (ketiganya di pedalaman) di kabupaten Kendari; dan Watuliandu (di kota), Wundulako dan Mowewe (keduanya di pedalaman) di kabupaten Kolaka."
1985
D398
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hartono
"ABSTRAK
Pulau Kera awalnya sebagai pulau yang tidak berpenghuni, kemudian pada tahun 1911 datang orang Bajo yang terkenal sebagai pelaut. Walaupun dalam keterbatasan mulai dari akses air bersih, listrik, pendidikan, pelayanan kantor pemerintah yang belum diperoleh, tidak mampu menggoyahkan masyarakat untuk tetap bertahan di pulau ini. Orang Baju menetap dan bertahan karena keindahan pantai dan kekayaan lautnya. Mereka sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan dengan kehidupan sosial yang sederhana. Kedekatan emosional masyarakat Bajo dengan sumberdaya laut memunculkan tradisi mamia kadialo. Tradisi mamia kadialo berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut jangka waktu tertentu dan perahu yang digunakan. Ada tiga kelompok tradisi, yaitu palilibu, bapongka, dan sasakai. Hal ini merupakan perilaku yang positif yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya laut untuk tetap hidup harmonis menjaga kelestarian lingkungan."
Denpasar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, 2017
902 JPSNT 24:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Daud D. Talo
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan di desa Limaggu kecamatan Sawu Timur, Kabupaten Kupang -- Nusa Tenggara Timur (NTT). Fokus perhatiannya adalah tentang pergeseran kebudayaan orang Sawu pada fungsi kain tenun ikatnya.
Kain tenun ikat orang Sawu, dibuat oleh masyarakat setempat dengan memakai bahan baku dan teknologi yang mereka ciptakan sendiri. Bahan baku yang mereka gunakan adalah kapas dan zat pewarna, yakni terbuat dari akar mengkudu dan nila, yang mereka tanam di kebun dan/atau di pekarangan rumah. Bahan baku itu diolah melalui proses yang panjang, yakni mulai dari pemau wangngu, kui wangngu, mengeri wanggu, kepali wangngu, wuhu wangngu, poro wangngu, menyaru wangngu, lore wangngu, kedia wangngu, mane wangngu, tali wangngu, pallo wangngu, dan akhirnya sampai kepada menanu, sehingga terbentuklah kain tenun ikat yang siap mereka gunakan. Tenaga kerja yang terlibat dalam proses pembuatan kain tenun ikat adalah tenaga wanita. Pada tahap-tahap tertentu dalam proses pembuatan kain itu dikenal adanya spesialisasi kerja. Hal ini tampak pada tahap mane wangngu, tali wangngu, pallo wangngu, dan menanu. Hal ini tidak saja karena jenis-jenis pekerjaan itu memerlukan ketrampilan yang khusus, tetapi juga berlandaskan kepada kepercayaan tertentu sehingga tidak sembarang orang bisa melakukannya. Keterampilan membuat tenun ikat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, lewat sosialisasi primer pada lingkungan keluarga.
hubungan ini motif ai ledo dan motif ai wokelakku berhubungan dengan kelompok wanita, sedangkan motif higi wo happi dan motif higi wo kekama baba berhungan dengan kelompok laki-laki. Selanjutnya motif ai ledo berkaitan dengan kelompok wanita yang berasal dari hubi iki dan motif ai wo kelakku berkaitan dengan kelompok wanita yang berasal dari hubi ae. Begitu pula motif higi wo hapi untuk kelompok laki-laki yang berasal dari hubi iki, dan motif higi wo kekama baba untuk laki-laki yang berasal dari kelompok hubi a e. Keseluruhan motif asli pada hakekatnya bersumber dari dasar yang sama, yakni rahim yang kemudian distilir sehingga melahirkan keragaman bentuk luar. Pemanfaatan rahim sebagai motif adalah lambang.kesuburan, keselamatan, kehidupan, kesehatan, dan kebahagiaan. Kain tenun ikat itu tidak saja digunakan untuk pakaian sehari-hari tetapi digunakan pula sebagai perlengkapan ritual daur hidup seperti upacara lakku ru kalli, upacara metana anti, upacara daba, upacara peloko nga'a dan upacara made yang terdiri dari dua tahap, yakni upacara pedana do made dan upacara pemau do made. Di samping itu, kain tenun ikat juga digunakan dalam upacara-uapacara yang lain, seperti upacara peiu manu dan upacara pasca panen. Pemakaian kain tenun ikat pada upacara-upacara tersebut harus sesuai dengan hubu seseorang. Pengembangan NTT sebagai salah satu daerah tujuan wisata, maka kain tenun ikat Sawu mengalami perubahan fungsi yakni berfungsi pula sebagai bahan cenderamata. Proses pembuatannyapun diperbaharui yakni dengan memanfatkan hasil teknologi moderen. Kain tenun ikat yang dipakai sebagai cenderamata tidak semata-mata dalam bentuk kain, tetapi diolah lebih lanjut dalam bentuk dompet, tas, sepatu, baju, dll. Motifnyapun bertambah kaya, yakni dengan mengambil dari binatang dan tumbuh-tumbuhan. Bahkan masyarakat setempat tidak hanya berperan sebagai penenun tetapi ikut juga terlibat dalam kegiatan pariwisata, yakni sebagai penjual barang cenderamata. Masyarakat setempat menerima perubahan ini tidak saja karena mereka memperoleh keuntungan ekonomis, tetapi juga karena kegiatan pariwisata berkaitan langsung atau memperkuat ketrampilan yang mereka miliki."
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bediona Philipus
"Birokrasi dan kebijakan pemerintahan merupakan dua pranata masyarakat modern yang semakin rnendominasi kehidupan masyarakat di Indonesia. Keberadaan dan peran birokrasi pemerintahan berkembang sejalan dengan peran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Keberhasilan pembangunan ekonomi telah menempatkan birokrasi pada posisi yang dominan. Dominasi birokrasi pemerintahan terwujud dan terekspresi terutama dalam kebijakan yang dihasilkannya. Kebijakan merupakan instrumen yang digunakan secara luas dan intensif oleh birokrasi pemerintahan dalam melakukan pengaturan-pengaturan atas berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sifat pengaturanpengaturan tersebut bervariasi sesuai dengan visi, pandangan yang dianut, dan missi yang diemban oleh birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Bervariasinya bentuk dan sifat pengaturan-pengaturan yang dikeluarkan birokrasi melahirkan akibat dan risiko yang juga bervariasi pada masyarakat.
Eratnya kaitan antara birokrasi dan kebijakan yang dihasilkannya memberikan inspirasi pada penelitian ini, bahwa kebijakan dapat dijadakan ?jendela? untuk memandang, mempelajari organisasi birokrasi. Kajian terhadap substansi dan proses kebijakan dapat mengungkapkan apa dan bagaimana kebudayaan birokrasi. Kebudayaan birokrasi dimaksudkan sebagai nilai, visi, pandangan dan persepsi yang melandasi praktik-praktik birokrasi, hubungan kekuasaan, kontrol dan kompetisi antara birokrasi dengan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia.
Kebijakan pengelolaan Cendana di NTT merupakan suatu bentuk kebijakan di bidang pengelolaan sumberdaya hutan yang melahirkan dampak sosial ekonomi yang tidak menguntungkan kehidupan masyarakat lokal di Timor, dan dampak ekologis yang mengancam kelestarian Cendana Kebijakan pengelolaan Cendana menempatkan masyarakat lokal sekedar sebagai pekerja upahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan Cendana Satu-satunya hak masyarakat lokal yang diakui adalah hak atas upah, danlatau bagi basil. Sebaliknya Birokrasi Pemerintahan Daerah NTT diberi kewenangan yang lugs, baik sebagai penguasa dan pemilik tunggal atas Cendana, maupun sebagai satu-satunya pengusaha dalam proses produksi dan distribusi Cendana.
Kecenderungan ke arah monopoli pengelolaan Cendana dilatari oleh pertirnbangan ekonomi-politik dan sosial. Penempakan diri Pemda sebagai penguasa dan pengusaha tunggal dalam pengelolaan Cendana, di samping berakar pada sejarah pengelolaan cendana masa raja-raja Timor dan pemerintah kolonial Belanda, juga digerakkan oleh keinginan Birokrasi Pemda untuk mendapatkan sumber keuangan tetap bagi pembiayaan pembangunan daerah. Keterbatasan sumber dan potensi keuangan Birokrasi dalam membiayai pembangunan daerah pada satu sisi, dan besarnya pemasukan daerah yang bersumber dari Cendana pada sisi lain melahirkan keengganan birokrasi menanggalkan "priveleze" ekonomi politik atas Cendana. Ketidakpercayaan Birokrasi terhadap kemampuan masyarakat lokal mengembangkan pengelolaan Cendana secara lestari merupakan alasan lain mengapa Birokrasi tetap mempertahankan monopoli pengelolaan dan pemanfaatan Cendana.
Model pengelolaan Cendana ini memberikan gambaran hipotetis tentang nilai-nilai yang melandasi praktik-praktik hubungan kekuasaan antara birokrasi pemerintah dan masyarakat, serta nisi, pandangan, dan persepsi Birokrat tentang masyarakat lokal, sumberdaya hutan (Cendana) dan hubungan antara masyarakat dengan sumberdaya hutan. Pertama, masih kuatnya pola hubungan "atasan dan bavvahan", atau "patron dan klien" antara birokrat dengan masyarakat. Birokrat cenderung memposisikan dirinya sebagai "atasan" atau "patron" yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan penuh pada masyarakat. Sebaliknya, masyarakat lokal ditempatkan dalam posisi sebagai "bawahan" atau "Klien", yang secara mullah dapat dikendalikan, dirnobilisasi, dan dimanfaatkan demi kepentingan birokrasi. Pola hubungan seperti seperti ini menggambarkan hubungan kekuasaan yang tidak berimbang antara birokrasi pemerintahan daerah dan masyarakat. Sentrainya kedudukan Birokrasi dalam proses pengambilan keputusan memberikan peluang kepada Birokrat melahirkan kebijakan pengelolaan Cendana yang menjawabi aspirasi dan kepentingan birokrat. Kontrol Birokrasi Pusat melalui mekanisme Peraturan Daerah tidak efektif. Terjadi semacam negosiasi implisit. Birokrasi Pusat membiarkan berlangsungnya praktik monopoli Cendana sebagai "politik jaian damai" untuk mengamankan sumber-sumber penerimaannya sendiri yang menyebar di daerah.
Kedua, Kuatnya inkrementalisme dan konservatisme dalam birokrasi kebijakan pengelolaan Cendana. Hampir tidak terjadi perubahan kebijakan yang berarti dalam 40-an tahun sejarah kebijakan pengelolaan Cendana di NTT. Birokrat enggan untuk melakukan perubahan serta pambaruan terhadap kebijakan yang telah mapan secara ekonomi dan politik. Orientasi kepada kemapanan inilah yang ikut melemahkan keinginan Birokrat melakukan pembaruan kebijakan. Kondisi ini menjadi petunjuk tentang cenderung diabaikannya dampak serta implikasi ekologis, sosial dan ekonomis dari kebijakan pengelolaan Cendana, dan rendahnya komitanen birokrasi daerah terhadap konservasi dan pelestarian Cendana, serta kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal.
Ketiga, Inkonsistensi Birokrasi dalam mengembangkan manajemen pengelolaan Cendana yang efisien dan lestari. Kepentingan Birokrasi menjadikan Cendana sebagai summer keuangan daerah masih berorientasi ke masa kini (terbatas pads ekstraksi Cendana slam) dan kurang berorientasi ke masa depan (menjadikan Cendana sebagai sumber penerimaan yang lestari). Inkonsistensi sikap Birokrasi dalam mengembangkan efisiensi pengelolaan Cendana terlihat dalam prioritas-prioritas yang dibuat Birokrasi. Birokrasi cenderung lebih mengutamakan eksploiitasi daripada konservasi. Kepentingan konservasi sering dikalahkan oleh kepentingan eksploitasi. Penetapan jatah tebang tahunan sering lebih mengacu kepada target penerimaan daerah (PAD) daripada mengacu kepada data basil inventarisasi Cendana. Demikianpun monopoli birokrasi dalam pengelolaan Cendana, meskipun berdampak disinsentif terhadap pengembangan Cendana secara lestari Birokrasi tetap enggan untuk meninggalkannya."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>