Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202353 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yaya Kusumajaya
"Saat ini Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi lcurang dan masalah gizi lebih. Dampalc dari masalah gzii lcurang atau buruk akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan fisik dan mental seseorang, sedangkan dampak yang texjadi dari masalah gizi lebih adalah meningkatnya penyakjt degeneratitl seperti jantung koroner, diabetes mellitus, hipertensi, dll. Penyebab masalah gizi kurang adalah kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, buruknya sanitasi, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan. Sebaliknta masalah gizi lebih disebabkan oleh kcmajuan ekonomi. kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, mcnu seimbang dan kesehatan. Pengukuran status gizi pada remaja yang lebih sederhana dan umum digunakan, yaitu menggunakan indeks BB/TB2 yang dikenal dengan Indeks Massa Tubuh berdasarlcan umur (BMI jar age) yang dinilai berdasarkan baku WHO-NCHS dalam bentuk persentil.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran dan faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi remaja (SLTP dan SLTA) di wilayah DKI Jakarta. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 22 Nopember- 6 Desember 2005. Disain penelitian adalah cross-sectional dan cara pemilihan sekolah menggunakan sampel klaster, sampel dipilih secara acak sistematis, dengan jumlah sampel 4.793 orang. Status gizi diukur dalam IMT sebagai variabcl dependen dan variabel-variabel umur, jenis kelamin, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pola, kebiasaan nonton televisi, kebiasaan olahraga, kebiasaan sampan pagi, kebiasaan ngemil, frekuensi makan sehari, frekuensi makan sayuran, frekuensi makan buah, frekuensi makan makanan siap saji, frekuensi makanan berlemak, frekuensi makan daging, ii-ekuensi malcan gorengan, frekuensi minum minuman ringan/soitdrink dan kebiasaan merokok sebagai variabel independen. Analisis data dilakukan meliputi analisis univariat, bivariat (multinomial lpgistic regretion) dan multivariat (regresi Iogistik ganda) dengan program Sojhvare SPSS.
Hasil penelitian didapatkan status gizi kurang sebanyak 10,3 %, normal 81,3 % dan lebih 7,9 %. Hasil uji bivaziat menunjukkan ada hubungan antara umur, jenis kelamin, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekenjaan ibu, pekexjaan ayah, kebiasaan olahraga, kebiasaan ngemil, ftekuensi makan makana siap saji, itekuerlsi rnakan malcanan berlemak dan iiekuensi makan gorengan dengan status gizi (p<0,05). Tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan nonton televisi, kebiasaan sarapan pagi, &ekuensi makan sehani, iickuensi makan sayuran, &ekuensi makan buah, iickuensi makan buah, fi-ekuensi minum minuman ringan/soffdrink dan kebiasaan merokok dengan IMT (p> 0,005), Hasil analisis multivaziat tujuh variabel indepcnden yang diprediksi secara bermakna berhubungan dengan gizi lebih yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan ibu, kebiasaan nonton TV, kebiasaan olah raga, kebiasaaan ngemil, frekuensi makanan berlemak, variabel yang paling dominan dan berepngaruh adalah kebiasaan ngemil (OR=2,000) artinya remaja yang biasa ngemil mempunyai risiko gemuk 2 kali dibandingkan yang tidak biasa ngemil.
Anak sekolah tingkat SLTP dan SLTA di wilayah DKI Jakarta mengalami masalah gizi ganda. yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Untuk itu bagi Depertemen Kesehatan c.q. Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pemda DKI Jakarta c.q. Dinas Kesehatan perlu Iebih intensif untuk mensosialisasikan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) melalui media massa (T V dab Radio) maupun melalui UKS, baik dalam bentuk penyuluhan, spanduk, poster maupun leaflet. Selain itu perlu ada pemantauan status gizi pada anak sekolah tingkat SLTP (minimal 2 kali setahun) dan tingkat SLTA (minimal 1 kali setahun) melalui UKS. Bagi masyarakat khususnya orang tua agar memperhatikan kebiasaan makan anaknya.

Now, Indonesia deals with double nutrition problems, which are under nutrition and over nutrition. Impact hom under nutrition problems affecting negatively toward physical development and mentally of an individual, while impact over nutrition problems is increasing of degenerative disease, such as coronary, diabetes mellitus, hypertension, etc. Under nutrition problems were cause by poverty, lack of food supply, bad sanitation, public lack of knowledge toward nutrition, balance menu and health. A more general and simple nutrition status assessment in teenager is using index BB/I'B2 that known as Body Mass Index for age (BMI for age) assessed base on WHO-NCHS in percentile.
Research objective is identifying description and factors that related with adolescent nutritional status (SLTP and SLTA) in DKI Jakarta area. Research performed in 22 November - 6 December 2005. Research design is cross sectional and school selection is using cluster sample, sample selected systematic randomly, with total sample of 4,793 people. Nutritional status measured in IMT as dependent variable and variables of age, gender, family education, family occupation, pattem, watching television habit, exercising habit, breakfast habit, eating snacks habit, frequency of eating in one day, frequency of fatty food, frequency of consuming meat, frequency of consuming fried food, frequency of drinking soft drink and smoking habit as independent variable. Data analysis performed through analysis of university, vicariate (multinomial Logistic Regression) and multivariate (double logistic regression) with SPSS program.
Research result obtained under nutrition status as much as 10.3%, normal 81.3% and over nutrition 7.9%. Vicariate test result shows a relation of age, gender, mother education, father education, mother occupation, father occupation, exercising habit, eating snacks habit, trequency of eating fast-food, Hequency of consuming fatty food and frequency of eating fried food with nutrition status (p<0.05). There is no significant relation between watching television, breakfast habit, Hequency of eating in one day, frequency of eating vegetables, frequency of eating fruit, frequency of drinking soii drink and smoking habit with IMT (p>0.005). Multivariate analysis result of seven independent variables that predicted as significantly related with excessive nutrition, which are age, gender, mother education, watching television habit, exercising habit, eating snacks habit, frequency of fatty food. The most dominant variable and afecting is eating snacks habit (OR = 2.000) that means teenager who oiten eating snacks has risk of 2 times compared to the one who do not eating snacks.
Adolescent of SLTP and SLTA in DKI Jakarta are experiencing double nutrition problems, which are lack of nutrition and excessive nutrition. Therefore, Health Department in this case Public Nutrition Development Directorate and Pemda DKI Jakarta in this case Health Department necessary be more intensively socializing General Guidance of Balanced Nutrition (PUGS) whether through mass media (TV and radio) or UKS, in the fomi of counseling, banner, poster and leaflet. Besides it is necessary to have nutrition status in adolescent of SLTP (minimally 2 times a year) and SLTA (minimally once per year) through UKS. For public especially parents to concem their children eating habit.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T34445
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djasmidar A.T.
"Salah satu upaya agar memperoleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas di masa datang dengan memperhatikan keadaan gizi balita umumnya dan anak usia 6-17 bulan khususnya. Kemiskinan erat hubungannya dengan keadaan gizi balita, karena keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan dasar antara lain makanan. Umumnya anak yang hidup di dalam keluarga miskin menderita gangguan pertumbuhan dan kurang gizi, tetapi kenyataannya dalam keadaan sosial ekonomi miskin masih terdapat anak-anak dengan status gizi baik, sehingga timbul pertanyaan faktor-faktor apakah yang menyebabkan anak keluarga miskin mempunyai status gizi baik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi baik anak usia 6-17 bulan pada keluarga miskin di Jakarta Utara, kabupaten Bogor dan kabupaten Lombok Barat.
Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang (cross sectional) dengan jumlah sampel yang diolah 479 orang anak dari 540 orang anak yang ada pada studi penyimpangan positif masalah KEP di Jakarta Utara, kabupaten Bogor dan kabupaten Lombok Timur.
Hasil penelitian melaporkan proporsi gizi baik pada anak usia 6-17 bulan di Jakarta Utara 64,7%,kabupaten Bogor 63,1%, kabupten Lombok Timur 59,3% dan secara keseluruhannya 62,4%. Hasil uji chi-square menunjukkan ada hubungan yang bermakna (p<0,05) asupan energi dan asupan protein dengan status gizi baik anak usia 6-1.7 bulan di Jakarta Utara, ada hubungan yang bermakna pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi baik anak usia 6-17 bulan di kabupaten Bogor, ada hubungan yang bermakna pola asuh anak dengan status gizi baik anak usia 6-17 bulan di kabupaten Lombok Timur dan ada hubungan yang bermakna pengetahuan ibu tentang gizi dan keadaan rumah dengan status gizi basi anak usia 6-17 bulan pada total di tiga lokasi penelitian.
Hasil analisis multivariat regresi logistik ganda juga menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan berhubungan dengan status gizi baik anak usia 6-17 bulan adalah asupan protein di Jakarta Utara, pengetahuan ibu tentang gizi di kabupaten Bogor, pola asuh anak di kabupaten Lombok Timur dan keadaan rumah pada total di tiga lokasi penelitian.
Dan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa proporsi gizi baik masih rendah dan adanya variasi faktor dominan yang berhubungan dengan status gizi baik anak usia 6-17 bulan di daerah miskin. Untuk itu Dinas Kesehatan kabupaten/kota dalam perencanaan perbaikan status gizi anak usia 6-17 bulan di daerah miskin tidak disamakan di semua lokasi tetapi dibedakan dengan melihat faktor dominan dimasing-masing lokasi dan perlunya perbaikan lingkungan perumahan yang disertai dengan penyuluhan perilaku hidup sehat. Untuk Puskemas perlu meningkatkan pengetahuan ibu tentang gizi melalui program promosi gizi seimbang di masyarakat.

Factors Related to Good Nutritional Status of Children Age 6-17 Months Old Among Poor Families in Northern Jakarta, Bogor District, and Eastern Lombok District in 1999. (Secondary Data Analysis)Among others, concern on under five nutritional status in general and children age 6-17 months old in particular is one important effort to improve the quality of human resource in the future. Poverty is closely related to the nutritional status of under five due to limitation to fulfill basic needs including food In general, children live within poor families suffered from growth retardation and under nutrition. However, within the poor socioeconomic environment, children with good nutritional status still can be found. This raises questions on what factors contribute to good nutritional status among poor families. The aim of this study is to investigate factors related to good nutritional status of children age 6-17 months old among poor families in Northern Jakarta, Bogor district, and Eastern Lombok district in 1999.
Design of this study is cross sectional with number of sample of analysis 479 out of 540 children who were included in the positive deviance study on protein energy malnutrition in Northern Jakarta, Bogor district, and Eastern Lombok district.
The study shows the proportion of children age 6-17 months old with good nutritional status are 64.7% in Northern Jakarta, 63.1% Bogor district, 59.3% in Eastern Lombok and the overall proportion is 62A%. The chi square test exhibits. significant association (p<0.45) between energy and protein intakes with good nutritional status among children age 6-17 months old in Northern Jakarta, significant association between mother's nutrition knowledge with good nutritional status among children age 6-17 months old in Bogor district, significant association between child care practices and good nutritional status among children age 6-17 months old in Eastern Lombok district, and significant association between mother's nutrition knowledge and house condition with good nutritional status among children age 6-17 months old.
Multiple logistic regression analysis shows that the most dominant factors for good nutritional status among children age 6-17 months old are protein intake in Northern Jakarta, mother's nutrition knowledge in Bogor district, child care practices in Eastern Lombok district, and house condition for overall places.
The study result concludes that the proportion of good nutritional status is still low and there is variation of dominant factors related to good nutritional status among children age 6-17 months old in poor areas. District Health Service have to consider the variation of determinant by making the planning of improvement of nutritional status not similar to the other districts. The planning has to be based on the real situation and the determinants which have been identified as main caused of nutritional status in each districts. There is a need to improve mother's nutrition knowledge through promotion of balance of nutrition and through promotion of nutrition in Posyandu as well as innovation of affordable nutrition balance.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T1514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edmon
"Kemajuan dalam bidang ekonomi telah memberikan dampak pada terjadinya proses transisi epidemiologi termasuk dalam bidang gizi. Indonesia saat ini dan pada dekade yang akan datang diperkirakan akan menghadapi 2 jenis masalah gizi. Disatu sisi Indonesia masih menghadapi masalah gizi kurang, sementara disisi lain terjadi peningkatan prevalensi penderita gizi lebih terutama di perkotaan. Keadaan gizi kurang atau lebih terjadi karena kegagalan mencapai gizi seimbang. Ditinjau dari konsumsi makanan ternyata keadaan gizi tidak hanya ditentukan oleh total konsumsi energi saja tetapi juga ditentukan oleh komposisi zat gizi yang dikonsumsi sehari-hari.
Beberapa pengukuran dapat digunakan untuk mengetahui keadaan gizi seseorang. Khusus untuk pemantauan keadaan gizi orang dewasa, salah satu cara yang dikenal dan sering digunakan adalah dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). Dengan mengetahui IMT dapat dinilai apakah keadaan gizi seseorang kekurangan berat badan (kurus), normal atau kelebihan berat badan (gemuk). Dalam rangka mengetahui masalah gizi pada orang dewasa, dan menemukan alternatif penanggulangannya terutama di daerah perkotaan, Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI bekerjasama dengan FKM-UI telah melakukan penelitian di 12 kota di Indonesia. Sedangkan data yang dianalisa dalam rangka pembuatan tesis ini adalah merupakan bagian dad penelitian diatas yang mencakup 10 kota di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang lebih berperanan dari berbagai variabel yang diteliti terhadap Status Gizi orang dewasa dengan desain penelitian potong lintang (Cross Sectional). Sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah orang dewasa yang berumur 18 tahun atau lebih.
Penelitian ini melibatkan 11 variabel Independen yaitu faktor-faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan status gizi (IMT) pada orang dewasa, variabel tersebut adalah sebagai berikut: umur dan jenis kelamin, status perkawinan, konsumsi makanan, aktifitas fisik , status sosio ekonomi, kebiasaan makan, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan gizi, etnik, dan kebiasaan merokok.
Dari seluruh hasil analisa ternyata umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, kebiasaan makan, % konsumsi lemak dari energi, % konsumsi karbohidrat dan energi, status perkawinan, dan tingkat pendidikan, berhubungan secara statistik dengan Status Gizi orang dewasa di 10 kota di Indonesia.
Dari variabel yang bermakna ternyata umur, jenis kelamin, % lemak dari energi, dan pola kebiasaan makan mempunyai peranan yang dominan dibanding variabel lainya., Hasil analisis multivariat telah menghasilkan sebuah model yang dapat dipergunakan sebagai peramal status gizi dalam hal ini digambarkan oleh Indeks Massa Tubuh seseorang.
Dari hasil yang diperoleh dapat disampaikan saran bahwa dalam rangka penanggulangan masalah gizi, ada dua faktor yang harus menjadi titik perhatian di dalam penanggulangan masalah gizi lebih yaitu faktor kebiasaan makan dan komposisi konsumsi zat gizi , terutama % lemak dari energi.
Kepustakaan : 50 (1971-1996)

Factors Connected with the Nutritional Status of Adults in 10 Cities in Indonesia in 1996The advancement in economics have given the impact in the transition process of the epidemiologist including in nutrition problem. In Indonesia, today and the coming decade, was estimated to have two kinds of problems in nutrition. In one side Indonesian is still having the under nutrition, while in another side the increase of the over nutrition prevalence occurs especially in the city areas. The under nutrition or over nutrition occurs does to the failure in balancing the nutrition. From the food consumption point of view, it is clear that the nutritional status is not determined by total energy only, but also the composition of the nutrition substance consumed daily.
Several measurements could be used to identify the nutritional status. For a special evaluation of adult the nutritional status, the Body Mass Index (BMI) is one known and commonly used. Using in adults the BMI could estimate under nutrition, normal, or over nutrition. In the frame of identifying the nutrition problems and for finding alternative solutions especially in the city areas. The Directorate of the Community Nutrition and Faculty of Public Health University of Indonesia has done a research in 12 cities in Indonesia. The data analyzed for this thesis was part of the above research mainly the ten cities in Indonesia.
This research was intended to see the more significant factors from different variables observed, designed using a Cross Sectional method. The sample in this observation were the 18 years old adults or older.
This research involved 11 variables independents possibly related to the nutrition status (BMI) for adults, those variable as follows : age and sex, marital status, food consumption , physical activities, level of social economics, level of education, food habits, level of nutrition knowledge and health, ethnics, and smoking habits.
This study found out that the age, sex, food habits, percentage of the fat consumption in energy, percentage of carbohydrates from energy, marital status, and level of education are statistically related to the status of nutrition of adults in ten cities in Indonesia.
From the meaningful variables are seen that sex, percentage of fat from the energy, and food habits have dominant roles compared with other variables. The multivariate analysis produced a model, which could be used as a prediction of nutrition status.
It could be suggested for of overcoming the problems of the nutrition, it should be focused in two factors, mainly food habits and the percentage of fat from energy.
References: 50 ( 9971-1996)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Era Oktalina
"Salah satu masalah kekurangan gizi pada balita yang menjadi prioritas utama adalahstunting. Stunting pada balita diakibatkan oleh kekurangan gizi kronis mulai dari awalperkembangan dimana konsekuensinya bersifat permanen. Permasalahan stunting dapat menimbulkan efek jangka panjang pada individu dan masyarakat, termasuk berkurangnya perkembangan kognitif, fisik, kemampuan produktif dan kesehatan yang buruk, serta peningkatan risiko penyakit degeneratif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Provinsi Sumatera Barat tahun 2017. Penelitian ini menggunakan data sekunder Pemantauan Status Gizi Provinsi Sumatera Barat dengan desain penelitian cross sectional dan jumlah sampel 6421 balita. Pengolahan dan analisis data menggunakan uji chi-square bivariat dan uji regresi logistik ganda model prediksi multivariat.
Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara umur balita, jenis kelamin, tinggi badan ibu, pendidikan ibu, jumlah anggota rumah tangga dan wilayah tempat tinggal dengan stunting pada balita. Umur balita merupakan faktor yang paling dominan dengan kejadian stunting pada balita.
Disarankan adanya dukungan kebijakan peningkatan anggaran program perbaikan gizi masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah stunting dan menyusun kegiatan program sesuai dengan kebutuhan di lapangan serta memperhatikan kebutuhan gizi anak sesuai dengan tahapan umur.

One of the nutritional problems in children under five is the main priority is stunting.Stunting in toddlers is caused by chronic malnutrition from the beginning ofdevelopment where the consequences are permanent. Stunting problems can have longtermeffects on individuals and communities, including reduced cognitive, physical, productive and poor health, and an increased risk of degenerative diseases.
The purpose of this study was to determine factors related to stunting incidence in toddlers in West Sumatera Province in 2017. This study uses secondary data Monitoring Nutrition Statusof West Sumatera Province with cross sectional study design and 6421 children underfive years old. Processing and data analysis using chi square test bivariate andmultiple logistic regression test prediction model multivariate.
The result of statistical test shows that there is a significant relationship between toddler age, sex, mother 39 sheight, mother education, number of household member and residence area withstunting in children. Toddler age is the most dominant factor with stunting incidence intoddlers.
It is recommended to support the improvement of public nutrition improvement program budget in the effort to overcome the problem of stunting andarrange the program activity according to the need in the field and pay attention to the nutritional requirement of children according to the age stage.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T49807
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uki Basuki
"Prevalensi gizi kurang bawah dua tahun (6-23 bulan) diasumsikan meningkat seiring dengan meningkatnya prevalensi gizi kurang pada bawah lima tahun (balita) di Kota Bandar Lampung dari 2,1% pada tahun 1997 menjadi 4,69% pada tahun 1999. Sejak pertengahan tahun 1997 sampai sekarang krisis ekonomi masih dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia dan mengakibatkan bertambahnya penduduk miskin. Bawah dua tahun merupakan periode growth spurt dimana growth failure sering terjadi pada periode ini. Sebagai salah satu sumber daya manusia pembangunan, maka faktor-faktor yang berhubungan dengan kesehatan dan gizi baduta (bawah dua, tahun) perlu dikaji sehingga keadaan yang lebih parah dapat ditekan seminimal mungkin.
Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi baduta di Kota Bandar Lampung. Desain yang digunakan cross sectional, populasi adalah keluarga miskin dan keluarga tidak miskin punya baduta dengan unit analisis baduta umur 6-23 bulan. Pengambilan sampel dilakukan metode cluster, dan besar sampel minimal masing-masing tipe keluarga 94 sampel. Variabel yang diteliti meliputi jenis kelamin, umur, tingkat konsumsi (energi dan protein), status imunisasi, pemberian ASI, tingkat pendidikan. ibu, kejadian diare, sumber air minum dan persepsi mengalami krisis ekonomi. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara menggunakan kuesioner, pengukuran dan penimbangan berat dan panjang badan baduta. Hasil recall l x 24 jam dihitung nilai gizinya menggunakan soft ware Nutrisoft dan status gizi baduta dilihat berdasarkan nilai Z-Skor. Pengolahan data dilakukan dengan analisis univariat, bivariat dan multivariat.
Hasil uji beda antara keluarga miskin dan keluarga tidak miskin, ditemukan bermakna (p<0,05) pada status gizi indeks PB U, tingkat pendidikan ibu, dan status imunisasi. Adapun hasil uji beda nilai mean Z-Skor variabel bebas pada keluarga miskin ditemukan bermakna (p<0,05) pada variabel jenis kelamin dan umur (BB U), umur (PB U), jenis kelamin, umur dan sumber air bersih (BB PB). Sedangkan pada keluarga tidak miskin ditemukan kemaknaan pada variabel umur, tingkat pendidikan ibu dan status imunisasi (BB U), umur (PB U) dan umur dan status imunisasi (BB PB). Faktor dominan yang mempengaruhi status gizi (tanpa interaksi) indeks BB U adalah umur 6-11 bulan (OR = 0,3), indeks PB U adalah keluarga miskin (OR = 3,9), dan indeks BB PB adalah sumber air minum kualitas buruk (OR = 0,2).
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masalah gangguan pertumbuhan baduta di Kota Bandar Lampung bukan karena penyebab langsung melainkan oleh penyebab tidak langsung yaitu umur baduta, tingkat ekonomi keluarga dan sumber air minum keluarga. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan langkah-langkah strategis dari instansi terkait dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarga dan pengawasan serta pengendalian sumber air minum yang baik.
Daftar bacaan : 92 (1977- 2002)

Under weight prevalent of under-two child {6-23 months) is assumed to increase to gether with the under weight prevalent of under-five in Bandar .Lampung city from 2,1% (1997) to 4,69% (1999). From the middle of 1997 up to now economic crisis impact still be felt by Indonesian citizens and increased poor population. Under-two is a growth spurt period where the growth failure often happened. As one of human resources development, every factor related to health and nutrition of under-two need to be studied, to prevent more severe condition.
This study objective is to find out prevalent description and factors related to nutritional status of under-two in Bandar Lampung city. Using design cross sectional, population are poor family and non-poor family which have under-two with analysis unit under-two age 6-23 months. Sampling taken by cluster, minimum sample size each family is 94 samples.
Variables studied including sex, age, consumption level of energy and protein, immunization status, breast feeding, mother education, water resource, and perception to economic crisis. Data collection conducted by interview using questionnaire, measuring and weighing to body weight and height. Result of recall 24 hours calculating nutrition intake by Nutrisoft and nutritional status based on z score value. Data procession using univariate, bivariate and multivariate analysis.
Significantly test results of poor and non-poor family showed difference for Height to age, mother education level and immunization status (p<0,05). From t test mean value Z-Score in underclass family are sex and age (Weight to age), age (Height to age), and sex, age, and clean water source (Weight to height). While in non-poor family are age, mother education level, and immunization status (Weight to age), age (Height to age), age, and immunization status (Weight to height). Dominant factors that influence nutritional status (without interaction) for Weight to age index is age 6-11 month (OR = 0,3), Height to age index is poor family category (OR = 3,9), and for Weight to height index is bad water source (OR = 0,2).
This study conclude that growth problem among under-two in Bandar Lampung city not primarily caused by nutrition impact but by indirect factors such as, economy and environment (water source). It should be taking some strategies from linked institution in order to improve family income and monitoring and controlling good water sources for consumption.
Bibliography: 92 (1977 - 2002)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12985
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Orisinal
"Kekurangan Energi Protein (KEP) pada balita merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih menjadi beban bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. KEP pada balita merupakan akibat langsung dari kurangnya asupan zat gizi dan status kesehatan yang buruk karena penyakit infeksi, dan akibat tidak langsung dari ketahanan pangan keluarga, pola asuh anak, pelayanan kesehatan, lingkungan dan faktor yang terdapat pada balita sendiri. Prevalensi KEP di Sumatera Barat menunjukkan trend negatif. Sejak tahun 1995 sampai 2000 terjadi peningkatan prevalensi KEP dari 15,26% menjadi 23%, kondisi aman bertambah berat dengan adanya krisis ekonomi.
Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di Sumatera Barat tahun 2001. Desain yang digunakan adalah cross sectional. Data merupakan hasil Studi Pengembangan Metode Identifikasi Kelompok Masyarakat Miskin di Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia oleh Puslitbang Gizi dan Bappenas. Populasi adalah keluarga yang memiliki balita di wilayah penelitian Sumatera Barat. Sampel adalah keluarga yang memiliki balita, terpilih sebanyak 821 keluarga yang memiliki balita dan selanjutnya 802 responden yang layak dianalisis. Status gizi dihitung berdasarkan indeks BBJ baku rujukan WHO-NCHS, konsumsi zat gizi dihitung dengan metode semi quantitative food frequency.
Variabel dependen adalah status gizi sedangkan variabel independent adalah sosio ekonomi (konsumsi energi per kapita, konsumsi protein per kapita, pendapatan per kapita, persen pengeluaran pangan, kemampuan berobat, kategori miskin), sosio demografi (umur anak, jenis kelamin anak, umur ibu, jumlah anggota keluarga, jumlah balita dalam keluarga), dan lingkungan (kondisi fisik rumah, sarana jamban keluarga dan sarana air minum). Analisis data meliputi univariat dengan distribusi frekuensi dan mean, median, standar deviasi, minimum-maksimum, analisis bivariat dengan chi-square dan analisis multivariat dengan regresi logistik ganda.
Ditemukan prevalensi KEP sebesar 25,9% (18,8% gizi kurang, 7,1% gizi buruk). Variabel yang berhubungan bermakna dengan status gizi balita adalah konsumsi energi per kapita, konsumsi protein per kapita, pendapatan per kapita, umur anak, jenis kelamin anak, dan kondisi fisik rumah. Selanjutnya analisis multivariat menunjukkan variable yang secara bersama-sama berhubungan dengan status gizi balita adalah konsumsi protein per kapita, pendapatan per kapita, umur anak dan jenis kelamin anak. Anak umur 37-59 bulan cenderung menderita KEP 8,34 kali anak umur 0-6 bulan, anak umur 13-36 bulan cenderung menderita KEP 10,23 kali anak 0-6 bulan, dan anak umur 7-12 bulan cenderung menderita KEP 3,82 kali anak 0-6 bulan, setelah dikontrol variabel konsumsi protein per kapita, pendapatan per kapita dan jenis kelamin anak.
Perlu sosialisasi masalah KEP kepada pengambil kebijakan di lokasi penelitian agar penanggulangannya diprioritaskan; perlu penyuluhan tentang cars mempersiapkan penyapihan, perlu pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan memotivasi beternak (ayamlitik), perlu penyuluhan kepada pemuka masyarakat agar anak perempuan lebih diperhatikan (sesuai dengan matrilineal).

Factors Related to Under Five Years Children's Nutritional Status in West Sumatera in 2001 (Secondary Data Analysis)Protein Energy Malnutrition (PEM) among under five years children has been one of health problems burdening the developing countries, including Indonesia. PEM among under five years children is a direct consequence of lack of nutrient intake and poor health status due to infectious diseases, and an indirect consequence of family sustenance, child rearing pattern, health care service, the environment, and under five years children's internal factors. Prevalence of PEM in West Sumatera showed negative trend. From 1995 to 2000 the PEM prevalence increased from 15.26% to 23%, and worsened with the economic crisis.
This research aimed to find out what factors were related to under five years children's nutritional status in West Sumatera in 2001. The research design used was cross sectional. The data were results from the Study of Method Development of Impoverished Communities Identification in Urban and Rural Areas in Indonesia (Study Pengembangan Metode Identifikasi Kelompok Masyarakat Miskin di Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia) conducted by Nutrition Research and Development Center (Puslitbang Gizi) and National Development Planning Board (Bappenas). The population was families with under five years children in the researched area in West Sumatera. The sample was families with under five years children, numbering to 821 families, 802 of whom were fit to be analyzed. The nutritional status was calculated based on WFA index standard reference from WHO-NCHS, and the nutrient intake was calculated using semi quantitative food frequency method.
The dependent variable was the nutritional status, while the independent variables were socioeconomic (energy intake per capita, protein intake per capita, income per capita, percentage of expenses on food, ability to afford medical assistance, poverty line), sociodemographic (child's age, child's sex, mother's age, number of family members, number of under five years children in the family), and environmental (physical condition of the house, family toilet facilities, and drinking water facilities). The data analysis comprised univariate analysis with frequency distribution, mean, median, deviation standard, minimum-maximum; bivariate analysis with chi-square; and multivariate analysis with multiple logistic regression.
The prevalence of PEM was found at 25.9% (18.8% moderately malnourished, 7.1% severely malnourished). Variables significantly related to under five years children nutritional status were energy intake per capita, protein intake per capita, income per capita, child's age, child's sex, and physical condition of the house. Furthermore, multivariate analysis showed that variables correlatively related to under five years children's nutritional status were protein intake per capita, income per capita, child's age, and child's sex.
After being controlled with variables of protein intake per capita, income per capita, and child's sex, the risk of suffering from PEM among under five years children aged 37-59 months was 8.34 times higher than that among babies aged 0-6 months; among under five years children aged 13-36 months it was 10.23 times higher than that among babies aged 0-6 months; and among babies aged 7-12 months it was 182 times higher than that among babies aged 0-6 months.
The followings need to be done in dealing with PEM: first, socializing PEM issue to decision makers in the researched area so that its management is prioritized; second, educating mothers about proper weaning; third, empowering the people's economy by encouraging them to raise chickens or ducks; and fourth, educating the local leaders to pay more attention to little girls welfare (which is in accordance with the local matriarchal custom).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11364
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Yani Suryana
"Suksesnya pembangunan kesehatan dan gizi yang dilaksanakan Indonesia telah dapat menurunkan masalah gizi yang dihadapi secara bermakna. Tetapi suksesnya pembangunan tersebut mengakibatkan pula perubahan pola penyakit yang ada di Indonesia. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi terlihat berkurang, sebaliknya penyakit degenaratif dan penyakit kanker meningkat. Peningkatan kemakmuran ternyata diikuti oleh perubahan gaya hidup. Pola makan terutama di kota-kota besar bergeser dari pola makan tradisional yang banyak mengkonsumsi karbohidrat, sayuran dan serat ke pola makanan masyarakat barat yang komposisinya terlalu banyak mengandung lemak, protein, gula dan garam tetapi miskin serat. Sejalan dengan itu pada beberapa tahun terakhir ini mulai terlihat peningkatan angka prevalerisi kegemukan/obesitas pada sebagian penduduk Indonesia terutama di kota-kota besar, yang diikuti pula pada akhir-akhir ini di pedesaan.
Kelebihan gizi dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi dan penyakit batu kandung empedu. Salah satu faktor yang berperan adalah adanya kebiasaan makan-makanan trendi, makan-makan berlemak. Disamping itu faktor aktivitas fisik juga berperan dalam mengatur kebutuhan energi, dalam hal ini menyangkut aktivitas pekerjaan dan aktivitas olah raga. Selain itu faktor-faktor lain yang berperan adalah umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya masalah status gizi lebih dan faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lebih pada orang dewasa di Kota Bogor.
Desain penelitian ini adalah "cross sectional" dengan memanfaatkan data sekunder hasil pengumpulan data status gizi pada orang dewasa yang dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Bogor tahun 1997. Kemudian data yang diperoleh dianalisa baik secara bivariat maupun multivariat dengan menggunakan regresi logistik antara faktor risiko (kebiasaan makan-makanan trendi. kebiasaan makan-makanan berlemak, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan olah raga) dengan status gizi lebih pada orang dewasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi status gizi lebih orang dewasa di Kota Bogor adalah sebesar 23,88% (klasifikasi Depkes).
Berdasarkan hasil analisis bivariat faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna antara lain : kebiasaan makan-makanan trendi. kebiasaan makan-makanan berlemak, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan.
Dari hasil analisis model multivariat dengan memasukkan secara bersama-sama semua faktor risiko yang diduga mempunyai hubungan dengan status gizi lebih pada orang dewasa. dapat diketahui ada tiga faktor risiko yang berhubungan dengan status gizi lebih pada orang dewasa yaitu, kebiasaan makan-makanan trendi, umur dan jenis kelamin.
Selanjutnya dari analisis model regresi menunjukkan bahwa proporsi status gizi lebih orang dewasa di Kota Bogor pada kelompok orang dewasa yang berumur 30-39 tahun kejadiannya 2,96 kali lebih tinggi, 40-49 tahun kejadiannya 5,01 kali lebih tinggi, 50-59 tahun kejadiannya 3,91 kali lebih tinggi, 60-65 tahun kejadiannya 2,73 kali lebih tinggi. dibandingkan kelompok umur < 30 tahun. Selain itu juga dapat diketahui hasil dari analisis model regresi bahwa proporsi status gizi lebih orang dewasa di Kota Bogor pada kelompok yang jarang mengkonsumsi makan-makanan trendi 1,31 kali lebih tinggi dan yang sering mengkonsumsi makan-makanan trendi kejadiannya 2,97 kali lebih tinggi, dibandingkan dengan kelompok yang tidak pernah mengkonsumsinya. Sementara itu proporsi status gizi lebih orang dewasa pada kelompok orang dewasa yang berjenis kelamin perempuan 2,29 kali lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
Terdapat interaksi faktor kebiasaan makan-makanan trendi dengan jenis kelamin dalam kaitannya dengan status gizi lebih pada orang dewasa di Kota Bogor . Dimana pada kelompok perempuan yang jarang(1-4 kali/bulan) mengkonsumsi makan-makanan trendi proporsi status gizi lebilmya kemungkinannya 0,73 kali dari kelompok laki-laki yang jarang mengkonsumsinya. Demikian pula proporsi status gizi lebih orang dewasa pada kelompok perempuan yang sering mengkonsumsi makan-makanan trendi kemungkinannya 0,32 kali dari kelompok laki-laki yang sering mengkonsumsinya.

Factors Related to the Status of Excess of Nutrition on Adults in Bogor in 1997 (Analysis of Secondary Data)The success on health and nutrition development program carried out has been able to decrease nutritious problem that is faced by Indonesian significantly. However, the development also results in changing disease pattern that exists in Indonesia. Infectious disease and malnutrition seems decreased, on the contrary the generative and cancer diseases increased. The increasing of prosperity is followed by the changing of life style. The pattern of having food especially in the big cities moves from a traditional food pattern that consumes a lot of carbohydrate, vegetables and fiber into having a western food pattern that consumes a lot of fat, protein, sugar and salt but consumes less fiber. As consequences, the increase of over weight prevalent value can be seen in recent years in many part of Indonesia, especially in the big cities and also followed by the villages recently.
Excess in nutrition can cause various health problems such as coronary heart, diabetes, hypertension, and gall stone. One factor which plays role is a habit of consuming trend food and fat food. Moreover, physical activity factor also plays role in regulating energy need which includes work and exercise activity. Besides that, other factors that plays role are age, gender and education level.
The purpose of this research is to know the problems of excess of nutrition status and its related factors on the adults in Bogor.
This research design is "cross sectional" by utilizing secundary data on nutritional status of adults. This data collected by Directorate for the Establishment of Nutrition for Community (Direktorat Bina Gizi Masyarakat), Health Department (Departemen Kesehatan) Republic of Indonesia and Health Service Bogor in 1997. The collected data was analyzed by either ` bivariat" or "multivariat" using "Logistic Regression" between risk factors (habit of having trend food, habit of having fat food, age, gender, education level, type of jobs and exercise) and excess of nutrition status of the adults.
The result shows that the excess of nutrition status prevalent of adults in Bogor is 23,88% (Depkes' classification). According to the analysis of "Bivariat" model, the risk factors which have significant relation are: habit of having trend food, habit of having fat food, ages, gender, education levels, and type of jobs.
From the analysis of "multivariat" model using all of the risk factors that are assumed has =elation with the excess of nutrition status of adults, found that there are three risk factors related to the excess of nutrition status of the adults. The three risk factors are habit of having trend food, ages and gender.
Further more, regression analysis model shows that the proportion of excess of nutrition status of the adults in Bogor compare to the group of people with less than 30 years old are as follows:
- Group with the age between 30 and 39 is 2.96 higher,
- Group with the age between 40 and 49 is 5.01 higher,
- Group with the age between 50 and 59 is 3.91 higher, and
- Group with the age between 60 and 69 is 2,73 higher.
Besides that, the regression analysis model also shows that:
- the proportion of excess to nutrition status of the adults in Bogor for a group of people that seldom consumed trend food is 1.31 higher compare to that of group that never consumed trend food, and The group that often consumed trend food is 2.97 higher compare to that of group that never consumed trend food.
Meanwhile the proportion of excess of nutrition status of the female adults is 2.29 higher than male adults.
There is interaction between the habit of having trend food factor and gender that is related to excess of nutrition status of the adults in Bogor. The female group that seldom (1-4 times/month) consumed trend food; the proportion of their excess of nutrition status is 0.73 more than the male group that seldom consumed it. The proportion of excess of nutrition status of the female adults that often consumed trend food is 0.32 higher than the male group that often consumed trend food.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T8370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azrimaidaliza
"Hasil pemantauan gizi dan kesehatan (Nutrition and Health Surveillance System/NSS) tahun I999-2003 menunjukkan tingginya prevalensi gizi kurang (berat badan menurut umur <-2 SD dari median NCHS), yaitu di atas 30% (klasifikasi WHO) pada balita di daerah kumuh perkotaan maupun pedesaan. Prevalensi gizi kurang tersebut lebih tinggi di daerah kumuh perkotaan dibandingkan daerah kumuh pedesaan. Kota Jakarta merupakan salah satu daerah kumuh perkotaan yang terrnasuk dalam daerah pengumpulan data NSS. Di daerah ini, prevalensi gizi kurang tinggi pada anak usia 12-23 bulan (Juni-September 2003), yaitu 42% dan prevalensi ASI eksklusif paling rendah dibandingkan dengan ketiga daerah kumuh perkotaan lainnya (Surabaya, Semarang dan Makassar), yaitu hanya 1%.
Penelitian ini merupakan penelitian survei menggunakan data sekunder NSS yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi anak umur 6-24 bulan daerah kumuh perkotaan di Jakarta tahun 2003. Jumlah sampel sebanyak 1031 anak dan analisis data meliputi univariat, bivariat dan multivariat. Analisis multivariat menggunakan analisis Regresi Logistik Ganda.
Hasil penelitian menunjukkan anak umur 18-24 bulan berisiko mengalami gizi kurang 3,041 kali dan anak umur 12-17 bulan berisiko mengalami gizi kurang 2,443 kali dibanding anak umur 6-11 bulan. Kemudian anak dengan berat badan lahir < 2,5 kg berisiko mengalami gizi kurang 3,018 kali dibanding anak dengan berat badan lahir > 2,5 kg. Selanjutnya ibu dengan IMT S 18,5 berisiko mempunyai anak gizi kurang sebesar 1,828 kali dibanding ibu dengan IMT > 18,5. Adapun keluarga dengan jumlah balita > 2 orang berisiko mempunyai anak gizi kurang 1,407 kali dibanding keluarga dengan jumlah balita 1 orang. Faktor paling dominan berhubungan dengan status gizi anak adalah umur bayi/anak berikutnya berat badan lahir, IMT ibu dan jumlah balita. Umur bayi/anak terutama umur 18-24 bulan berisiko lebih besar menderita gizi kurang karena pada umur tersebut anak mulai mengalarni gangguan pertumbuhan akibat efek kurnulatif dani faktor ASI dan makanan yang tidal( diberikan secara adekuat pada umur sebelumnya. Di samping itu, anak mempunyai riwayat berat badan lahir rendah sehingga sulit mengejar ketinggalan pertumbuhannya, status gizi ibu yang kurang balk dan banyaknya balita dalam keluarga berdampak pada pertumbuhan anak. Oleh karena itu, perlu pemantauan status gizi anak, status gizi ibu prahamil, selama hamil dan pasta hamil. Selain itu, perlu penyuluhan mengenai pemberian MP-ASI umur 4-6 bulan dan pemberian makanan tambahan pada anak serta suplementasi vitamin pada ibu.

Nutrition and Health Surveillance System (NSS) year 1999-2003 shows prevalence of underweight (weight for age < -2 SD from NCHS median) is very high , that is above 30% (WHO classification) on infant at rural and urban slum areas. An underweight prevalence at urban slum areas is higher than rural slum areas. Jakarta is the one of slum area that include in NSS data collection area. In this area, prevalence of underweight children 12-23 months of age (June-September 2003), is 42% and prevalence of exclusive breastfeeding is the lowest compared with other three urban slum areas (Surabaya, Semarang and Makassar), is only 1%.
This research is a survey research using NSS secondary data that aimed to identify factors that related with nutrient status of children 6-24 months of age in urban slum of Jakarta year 2003. Total sample are 1031 children and data analysis consist of univariate, bivariate and multivariate. Multivariate analysis use double logistic regression analysis.
Research result show child 18-24 months of age have risk in having underweight 3,041 times and child 12-17 months of age have risk in having underweight 2,443 times compared with child 6-11 months of age. Moreover, child with birth weight < 2,5 kilo have risk in having underweight 3,018 times compared with child with birth weight >. 2,5 kilo. While mother with Body Mass Index (BMI)
BMI > 18,5. Meanwhile family with under-five child member > 2 have risk 1,407 times in having underweight child compared to family with one under-five child member. The most dominant factor related to child nutrient status is child age, after that birth weight, mother's BMI and under-five child member. Child 18-24 months of age have bigger risk in having underweight because, at that age, the child begin to have growth problem result from cumulative effect from breastfeeding factor and not enough food given at previous age. Besides that, child with low birth weight record is difficult to catch up their growth, mother nutrient status and the amount of under-five child impact to child growth. Thus, the need of children nutrient status surveillance, mother nutrient status of before pregnancy, during pregnancy and after pregnancy. Besides that, the need of health promotion about complementary feeding 4-6 month age and extra food distribution to child and vitamin supplement to mother."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T20084
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunaedi Pradja
"Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) merupakan salah satu upaya pemerintah dalam bidang kesehatan untuk mengatasi dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun 1997. Dalam rangka merespon krisis ekonomi tersebut UNICEF melalui program JPSBK melakukan kegiatan revitalisasi posyandu dengan memberikan makanan tambahan vitadele untuk balita di posyandu sebanyak lebih dari 150.000 balita.
Untuk mengetahui dampak efektivitas revitalisasi posyandu dan pemberian vitadele terhadap status gizi balita maka Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (PPK-UI) bekerjasama dengan UNICEF melakukan penelitian di 4 propinsi yaitu Sumatera Barat (Sumbar), Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim), yang dilakukan pada bulan Juni dan Juli tahun 2002. Data yang di analisis untuk pembuatan tesis ini adalah bagian dari penelitian yang dilaksanakan oleh PPK-UI.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita yaitu karakteristik balita, karakteristik orang tua, Nitadele dan penyakit infeksi. Desain yang digunakan dalam penelitian ini cross sectional. Sampel adalah ibu balita yang mempunyai balita berumur 10-60 bulan.
Dari hasil analisis dengan menggunakan indikator BB/U dan TB/U, ditemukan balita gizi kurang masing-masing sebanyak 30,7% dan 29,0%. Faktor-faktor yang mempunyai hubungan dengan status gizi balita berdasarkan indeks TB/U adalah pendidikan ibu balita (p=0,001), pendidikan bapak balita (p=0,003), pekerjaan bapak balita (p),001), pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan balita (p=0.411) untuk TB/U. Sedangkan menurut status gizi indeks BBIU adalah pendidikan ibu balita (p=0.004) dan penyakit ISPA (p=4.001), Hasil analisis multivariat diperoleh faktor yang paling dorninan untuk terjadinya status gizi kurang berdasarkan indeks TB/U adalah pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan balita dan menurut status gizi kurang berdasarkan indeks BB/U adalah penyakit ISPA.
Ada dua Cara ibu balita untuk mendapatkan vitadele yaitu membeli dan gratis, kemudian sebanyak 19.6% ibu balita menerima vitadele tidak rutin. Persentase jumlah vitadele yang diterima selama program tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan status gizi balita, tetapi mempunyai kecenderungan persentase jumlah vitadele yang diterima semakin sedikit, maka jumlah balita status gizi kurang meningkat. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa anggota keluarga yang ikut mengkonsumsi vitadele adalah (1) balita bukan sasaran, (2) ibu, (3) bapak, dan (4) anggota keluarga lainnya. Konsumsi vitadele terbanyak adalah balita bukan sasaran (72,5%), kemudian dua anggota keluarga (16,4%), tiga anggota keluarga (7,3%) dan semua anggota keluarga ikut mengkonsumsi (3,8%). Jarak akhir menerima vitadele sarnpai dengan saat penelitian tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna. tetapi mempunyai kecenderungan balita status gizi kurang meningkat dengan jarak akhir yang semakin melebar.

Social Security Net (JPS BK) is one of efforts by government in health area to reduce impact of economic crisis since 1997. in order to response this crisis, UNICEF through JPSBK program conduct the revitali7a-ion program of posyandu by giving food supplement vitadele for 150.000 under fives.
To find out effectiveness posyandu revitalization and vitadele distribution to nutritional status of under five, Center of Health Research University of Indonesia (PPKUI) by cooperation with UNICEF conducting research in 4 provinces such as, West Sumatra. West Java, Center of Java and East Java, which carried out at June and July 2002. Data which analyzed by this study is part of that research.
This study objective is to find out factors that related to nutritional status of under-five such as under-five's characteristics, parent's characteristics, vitadele and infectious disease. This study used cross sectional design. Sample is mothers who have under-five aged 10-60 month.
Results of the analysis using indicator BB/U and TB/U, found there are under-fives under nutrition 30.7% and 29,0%. Factors which have relation with nutritional status of under-five based on TB/U index is mother education (p=0,041), Father Education (p=0,003), Father Occupation (p =0,401), mother knowledge about monitoring under-five's growth (p O,011). While based on index BBIU are mother education (p-0,04) and acuter respiratory disease (p=0,001), from multivariate analysis the most dominant factor of under nutrition based on index TB/U is mother knowledge and based on index BB/U is acute respiratory disease.
Mother could get vitadele free or buying, 19,6% under-fives not received vitadele routinely. Percent number vitadele accepted during program has no significant relation with under-five's nutritional status, but tend fewer accepted percent vitadele could increase under-fives with under nutrition. Result of this study showed that there are non target which consume vitadele such as, non target under-five, mother, father, and other family member. The most consumed vitadele is non target under-five (72.5%). Two family member (16.4%), three family member (7.3%) and all family member (3.8%). time range from end for accepting vitadele to starting time of this study have no significant relation, but there is increasing in under-five's nutritional status if more range of time.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Imannuel
"Status gizi baik anak baduta keluarga miskin merupakan suatu keadaan bahwa diantara anak baduta yang hidup di lingkungan dan kondisi dengan sosial ekonomi yang rendah terdapat anak baduta dengan status gizi baik (63,9%). Dalam situasi dan tekanan ekonomi yang terjadi mereka dapat beradaptasi untuk bertahan dan mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik dibandingkan dengan anak-anak lainya. Faktor-¬faktor yang berhubungan dengan status gizi baik anak baduta gakin antara lain karakteristik ibu (pengetahuan gizi, pendidikan, pekerjaan), karakteristik anak (berat lahir, umur awal pemberian MP-ASI), karakteristik keluarga (jumlah anggota keluarga, keadaan rumah tinggal, jumlah balita dalam keluarga, urutan anak, biaya pengeluaran pangan rumah tangga), pola makan (konsumsi energi, konsumsi protein, status pemberian ASI), riwayat penyakit infeksi (ISPA, diare), pola asuh (gizi, kesehatan).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui garnbaran status gizi anak baduta keluarga miskin di wilayah Puskesmas Sambas dan faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi baik anak baduta tersebut.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan jumlah sampel 190 orang (total sampel) dan untuk melengkapi informasi dilakukan pendekatan kualitatif melalui Focus Group Discussion (FGD) pada kelompok ibu dengan anak status gizi baik dan kelompok ibu dengan anak status gizi kurang. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis univariat, bivariat dengan uji chi square dan multivariat dengan uji regresi logistik dan tingkat kemaknaan p≥0,05.
Hasil penelitian ini menunjukkan proporsi gizi baik anak baduta gakin 48,4%, pada analisis bivariat hubungan variabel pengetahuan gizi ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, berat lahir anak, umur awal pemberian MP-ASI, jumlah anggota keluarga, jumlah balita dalam keluarga, status pemberian ASI, riwayat penyakit infeksi, perilaku gizi dan kesehatan ibu dengan status gizi anak baduta secara staistik terbukti bermakna dengan (p<0,05), sedangkan hubungan keadaan rumah tinggal, urutan anak, konsumsi energi protein dengan status gizi anak baduta tidak terbukti bermakna dengan (p>0,O5). Hasil analisis multivariat menunjukkan variabel yang paling menonjol (dominan) adalah umur awal pemberian MP¬ASI setelah dikontrol oleh variabel pengetahuan gizi ibu, jumlah balita dalam keluarga, berat tahir anak dart penyakit infeksi.
Berdasarkan basil penelitian ini disimpulkan bahwa proporsi gizi baik makin menurun dan adanya beberapa faktor dominan yang berperan terhadap status gizi baik anak baduta di daerah miskin. Oleh karena itu maka saran lebih ditujukan pada usaha-usaha promosi gizi dan kesehatan terutama menyangkut faktor-faktor tersebut oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sambas.Untuk Puskesmas perlu dipikirkan berbagai cara pendekatan dalam rangka penjangkauan kelompok berisiko seperti bumil, ibu menyusui, WUS sehingga informasi mengenai gizi dan kesehatan akan dapat dengan mudah disebarkan dan diserap antara lain dengan menambah frekuensi penyuluhan terutama kelompok rawan gizi di daerah miskin.

Good nutrient status of under two years old children of poor families is a condition that among under two years old children living in an environment and low social economic condition there are under two years old children possessing good nutrient status (63.9%). In the situation with such economical pressure, they can adapt to survive and having good ability to grow and develop compared to other children. Factors related to the good nutrient status of this under two years old children are characteristic of mother ( nutrient knowledge, education, occupation), children's characteristic (born weight, age of first complementary food consumption), family's characteristic ( number of family member, situation of the house, number of children under five years old in the family, order of children, spending budget for food), food pattern (energy consumption, protein consumption, status of mother's milk consumption), history of infectious disease (respiratory tract infection, diarrhea), caring pattern (nutrition, health).
The purposes of the research were to describe the nutrient status of under two years old children of the poor families in the local area of Sambas Public Health Centre and to determine factors related with good nutrient status of the under two years old children.
The research used cross sectional design with totally 190 persons as sample and for completion of information, qualitative approach through Focus Group Discussion in the. group of mother possessing children with good nutrition status and with bad nutrition status was performed. The obtained data were analyzed using univariate, bivariate analysis with chi-square test and multivariate with regression logistic test using degree of significance p ?0,05.
The research results showed that proportion of under two years children possessing good nutrient was 48.4%. Based on bivariate analysis, statistically there is significant correlation of nutrient knowledge of mother, mother education, mother occupation, children born weight, age of first complementary food consumption - mother' milk, number of family member, number of children under five years old in the family, status of mother's milk consumption, history of infectious disease, nutrient behavior and mother's health with the nutrient status of under two year old children (p<0,05). However, there is not significant correlation of house situation, order of children, energy consumption, protein consumption with the nutrient status of under two years old children (p>0,05). Multivariate analysis showed that the most dominant variable was age of first complementary food consumption-mother's milk) after controlled by variable of nutrient knowledge of mother, number of children under five years old in the family, children born weight and infectious disease.
Based on the research's results, it is concluded that the proportion of good nutrient get lower and someof dominant factors contributing to good nutrient status of under two years children in poor area were observed. Therefore, the Public Health Service of the city of Sambas is suggested to carry out promotion of nutrition and health, approach ways to reach the risk groups such as pregnant women, breast feeding mother and women in productive age, so that information about nutrition and health is spread and absorbed easily by adding the frequency of illumination especially to the nutrition disturbed groups in the poor area.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T20071
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>