Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187620 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aris Wijayanto
"PW10 adalah salah satu indikator pencemaran udara yang lazim digunakan saat ini. Pencemaran udara oleh PK° di luar ruangan terjadi akibat kegiatan industri, polusi kendaraan bermotor, pembukaan hutan dengan cara dibakar, letusan gunung berapi dan instalasi pembangkit tenaga listrik. Pabrik batako sebagai salah satu industri kecil, berpotensi menyumbang PM10 di lingkungan kerja, yang jika tidak diwaspadai dapat merugikan kesehatan pekerja, diantaranya gejala infeksi saluran penafasan akut (ISPA).
Desain study cross sectional digunakan dalam penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui hubungan pajanan PM10 pabrik batako dengan gejala ISPA pada pekerja pabrik batako di Kabupaten Banyuasin. Sebanyak 165 pekerja dari 30 pabrik batako menjadi responden dalam penelitian ini. Pengukuran konsentrasi PM1o pabrik dan parameter lain, seperti kelembaban udara, kepadatan rumah, luas ventilasi, karakteristik responden, seperti umur, status gizi dan kebiasaan merokok serta gejala ISPA diukur dalam penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bemakna antara PK10 dan gejala ISPA pekerja pabrik batako (p=000, OR=7,60). Juga ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok dengan gejala ISPA (p=0,002, 0R=4,42) dan kelembaban rumah dengan gejala ISPA (p=0,009, OR.=3,18). Pemerintah dan pihak terkait perlu melakukan pernantauan terhadap kualitas udara pabrik batako dan melakukan penyuluhan untuk mencegah atau meminimalkan darnpak kesehatan yang mungkin terjadi akibat pencemaran udara pada pabrik batako.

PM10 is air pollution indicator which often used for ambient particulate. Air pollution caused by PM10 in out of room is able to be caused by industry activities, vehicle pollution, forest for burning, mountains eruption and generator instalation. A brick factory has a great chance to contribute PIN/110 on its environment. It would have a bad health impact, among other thing is symptom of ARI (Accute Respiratory Infection).
Cross sectional study used in this research aims to know about relationship between PK° exposure of brick factory with ART symptom on its worker in Banyuasin Regency. 165 workers from 30 brick factory became respondent in this research. Besides, PMID concentration measuring of brick factory and others parameter was tested, such as air humidity, house density, large of ventilation, including respondent characteristic ( ages, nutrient status, smoking habit).
The result of this research indicates that Pivlio has strong relationship with ART symptom of brick factory workers (p=000, OR=7,60), then smoking habit variable (p=0,002, OR=4,42) and house humidity (p-- 1,009, OR=3,18). Brick factory workers with standard PMio concentration has a great chance to have ART symptom 7,6 times higher than a factory with low PK') concentration. Smoking habit of the workers will have chance 4,5 times higher to have ARI symptom than un-smoking workers. And for the workers who live in un-fulfill humidity area have a big chance to have ARI symptom 3 times higher than they who live in standard humidity house. In this research, hope the government and related instances are monitoring to the air quality of brick factory and giving much information to avoid and minimize bad health impact which might be caused by air pollution in brick factory.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T34333
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Mutika
"Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di negara berkembang masih merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi dan balita. Di Indonesia proporsi kematian bayi dan balita oleh ISPA terutama pnemonia masih sangat besar yaitu 38,1% dan 38,8%, sekitar 150.000 balita meninggal oleh pnemonia pertahun. Upaya menurunkan kematian karena ISPA dilakukan dengan meningkatkan pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan kasus ISPA secara benar dan tepat waktu. Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di Indonesia diharapkan memiliki kemampuan manajemen yang baik, sehingga berbagai masalah kesehatan dalam wilayah kerjanya dapat diatasi secara paripuma mandiri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui informasi tentang sistem manajemen puskesmas yang berkaitan dengan cakupan Program P2 ISPA di Kabupaten Musi Banyuasin tahun 2000. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dengan analisis deskriptif kuantitatif dengan unit analisis adalah puskesmas. Sampel adalah total populasi yaitu 40 puskesmas di Kabupaten Musi Banyuasin.
Variabel-variabel yang diteliti meliputi variabel independen yaitu input yang terdiri dari tenaga pelaksanan program, buku pedoman, Standard Operating Procedure (SOP), Sarana dan Prasarana serta dana dan process terdiri dari Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP), Mini Lokakarya, Supervisi dan Bimbingan teknik serta Pencatatan dan Pelaporan. Sedangkan variabel dependen adalah cakupan Program P2 ISPA. Dengan uji statistik Chi-Square didapatkan ada hubungan yang bermakna antara variabel Buku Pedoman, SOP, Sarana dan Prasarana, PTP, MinIok, serta Supervisi dan Bimbingan Teknis dengan cakupan Program P2 ISPA. Secara keseluruhan input dan process mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan Program P2 ISPA. Selanjumya uji regresi logistik menunjukkan bahwa variabel yang memberikan pengaruh yang paling besar terhadap cakupan Program P2 ISPA adalah SOP serta Supervisi dan Bimbingan Teknis.
Disarankan agar Petugas pelaksana Program P2 ISPA di Puskesmas bekerja dengan menggunakan Standard Operating Procedure (SOP) dan Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Banyuasin harus melaksanakan supervisi Program P2 1SPA secara terjadwal dan adekuat.

In a number of developing countries, acute respiratory infection (ISPA) is still the first cause of death of infants and toddlers. In Indonesia the death proportion of infants and toddlers caused by ISPA and pneumonia in particular is large, about 38.1% and 38.8% or approximately 150,000 infants die annually due to pneumonia. Efforts to lower the death rate caused by ISPA have been taken by means of improving health treatment and the treatment of ISPA cases properly and in timely manner. Puskesmas (community health center) as spearhead of health service in Indonesia is expected to have good management so that it can solve and overcome various health issues within its work completely and area autonomously.
This study was aimed at obtaining information on the management system of puskesmas relating to the scope of P2 ISPA program in Musi Banyasin district in 2000. This study employed a cross sectional research design with quantitative descriptive analysis. Puskesmas was the unit of analysis. The sample consisted of total population of 40 puskesmas in Musi Banyuasin district.
The study variables were of two types. The first was independent variable consisting of program executor, guideline book, Standar Operating Procedure (SOP), facilities and infrastructure and processes (puskesmas-level planning, mini workshop, supervision, technical guidance and recording as well as reporting. While the dependent variable consisted of scope of P2 ISPA Program. By employing Chi-Square statistic test, it was revealed that there was a significant correlation between guideline book, Standar Operating Procedure (SOP), facilities, infrastructure, puskesmas-level planning, mini workshop, supervision and technical guidance and scope of P2 ISPA Program. Throughly the input and process have a significant correlation with scope of P2 ISPA Program .In addition the logistic regression test also indicated that the most affecting variables on the scope of P2 ISPA Program were SOP, supervision and technical guidance.
A recommendation is made for program executor of P2 ISPA Program in puskesmas work by using Standar Operating Procedure (SOP) and Health Departement in Musi Banyuasin district have to implement the supervision and technical guidance scheduledly and adequatly.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T4562
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Watimena, Calvin S.
"Penyakit ISPA pada balita di Puskesmas Curug Kabupaten Tangerang selama 3 tahun berturut-turut selalu menempati posisi 3 besar penyakit dan berdasarkan laporan Puskesmas Curug tahun 2003 menempati urutan pertama (26,8%) dari 10 besar penyakit yang ada. Hal ini diduga karena kondisi fisik rumah, PM10 dan status gizi yang menyebabkan tingginya penyakit ISPA. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian faktor lingkungan rumah yang mempengaruhi hubungan kadar PM10 dan gizi dengan kejadian ISPA.
Desain penelitian menggunakan cross sectional, dirnana data dikumpulkan secara bersamaan dengan jumlah sampel sebanyak 120 rumah tangga yang ada balitanya (14 hari 59 bulan) secara proporsional berdasar jumlah balita yang ada di wilayah Puskesmas Curug Kabupaten Tangerang.
Faktor-faktor yang diteliti adalah PM10, status gizi dan faktor lingkungan rumah (jenis lantai, pencahayaan, ventilasi, kepadatan hunian rumah, kepadatan hunian kamar, penggunaan obat nyamuk, asap rokok dan bahan bakar) yang merupakan confounding PM10 dengan kejadian ISPA pada balita.
Hasil analisis bivariat dengan derajat kepercayaan 95% menunjukkan 8 variabel yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita, yaitu PM10 dengan nilai p = 0,000 (26,047; 3,362-201,783), status gizi p = 0,001 (5,980; 2,090-17,110), pencahayaan p = 0,001 (0,841; 0,756-0,9937), ventilasi p = 0,019 (2,565; I,225-5,361), kepadatan huni kamar p = 0004 (4,930; 1,682-14,451), penggunaan obat nyamuk p = 0,000 (7,115; 1,142-16,114), asap rokok p = 0,000 (4,241; 1,172-15347), bahan bakar p = 0,027 (4,680; 1,259-17397).
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa PM10, kepadatan hunian kamar, penggunaan obat nyamuk, asap rokok, dan status gi i mempunyai nilai p C 0,05. Pemodelan lengkap antara variabel utama (PM10) dan confounding (kepadatan hunian kamar, penggunaan obat nyamuk, asap rokok) termasuk interaksi, menunjukkan tidak ada interaksi di antara variabel-variabel tersebut.
Penilaian confounding menunjukkan bahwa variabel kepadatan human kamar dan obat nyamuk merupakan confounding terhadap PMI0 dengan kejadian ISPA ppada balita (indexs confounding > 10%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar PM10 berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita setelah variabel kepadatan hunian kamar dan obat nyamuk dikendalikan.
Dari penelitian ini disarankan untuk menghindari pemakaian obat nyamuk bakar dan rumah tidak padat murni sehingga mengurangi kadar PMIO. Risiko kejadian ISPA dapat dikutangi dengan membuka jendela membuka jendela setiap hari, luas ventilasi rumah minimal 10% luas lantai, tidak merokok dalam rumah, membuat lubang asap dapur, dan pemantauan tumbuh kembang anak dengan melakukan penimbangan secara rutin setiap bulan.

House Environmental Factors that Influence the Corellation between the Level of PM10 with the Incedence of Acute Respiratory Infections in Toddlers in Curug Public Health Center Area, Tangerang District, in 2004The incidence of Acute Respiratory Infections (ART) ini toddlers in Curug public health centre, Tangerang District, in 3 consecutive years HAS always BEEN Ranked in the TOP three of all cases of diseases. The report from Curug public Health Centre in 2004 shows that ARI was ranked first (26,8%) out of to diseases in that particular public health centre. It is suspected that physical condition or the house, the level of PM10, and nutritional status are the factors causing the high incidence or ART.
Design of study is cross sectional, where data were colleted simultaneously. The number of samples is 120 house holds that have toddlers (14 day-59 months old). The number of toddlers was proportional to the number of toddlers living in the area surrounding Curug public health centre.
Factors being studied werf PM10, nutritional status, in house environmental factors (type of floor, the amount of light ini the house, ventilation, density of house occupants, density of occupants in a room, the use of mosquito repellent, cigarette smoke, and fuel), which are the confounding factors of PMIO with the incidence of ari in toddlers.
The result of bivariate analysis with degree of confidence of 95% show that there are & variables that correlate with incidence or ari in toddlers, namely PMI0 with pvalue = 0,000 (26.047,3,362-201.78). Nutritional status p value = 0,001 (5,980 ; 2,090-17,110), Ventilation p value = 0,019 (2,565 ; 1,225 - 5,36!). Density of occupants in a form p value = 0,004 (4,920 ; 1,682 - 14,451), the use of mosquito repellent p value - 0,000 (7,115 ; 1,142 - 16,114), Cigarette smoke p value = 0,000 (4,241 ; 1,172 - 15,347) fuel p value = 0,027 (4,680 ; 1,259-17.397).
The results of multivariate analysis show that PM10, density of occupant in a room, and the use of mosquito repellent, cigarette smoke, and nutritional status have p value <0,05, complete mode lung between the main variable (PM10) and confounding factors (density of occupants in a room, /the use of mosquito repellent, and cigarette smoke), as well as the interaction, shows that there is no interactions between those variables.
Confounding show that the variables such as density of occupants in the a room and the use of cigarette smoke are the confounding factors to PM10 with the incidence of ari in toddlers (confounding index >10%). This it can be concluded that the level of PM10 correlates with the incedence of ari in toddlers , when the two confounding factors are under control.
It can be recommended from this study that the use of mosquito repellent should be avoided and the density of occupants in the house is reduced, as to decrease the level of PM1Q. The risks of ari can be minimized by opening windows daily, making a hole for smoke to escape from the kitchen, ensuring that the ventilation in the house is at least 10% of total house area, not smoking inside the house, and routinely maintain the toddlers health each month for example is routine body weighing).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T12820
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Parulian
"Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) termasuk pneumonia masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, dimana angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) penyakit ISPA pada balita cukup tinggi. Oleh karena itu pemberantasan penyakit ISPA merupakan program nasional, untuk mendukung terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas di masa mendatang. Meningkatnya kejadian penyakit ISPA dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor lingkungan. Sebagian besar (80%-90%) waktu balita setiap harinya berada dalam rumah, dimana terdapat pajanan polusi udara dalam rumah yang diantaranya adalah PM10, Strategi yang paling tepat dilakukan dalam program pemberantasan penyakit ISPA adalah peningkatan kualitas udara indoor rumah tinggal.
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Cakung Timur Kota Jakarta Timur, untuk mengetahui kejadian penyakit ISPA pada balita, kondisi lingkungan yang berkaitan dengan kejadian penyakit ISPA, dan hubungan antara partikulat debu PMIO rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita. Penelitian ini menggunakan disain studi kasus kontrol. Sebanyak lima puluh kasus dipilih dan daftar kasus ISPA terjadi di Puskesmas pada 2 bulan terakhir, sedangkan lima puluh balita yang sehat menjadi kelompok kontrol diambil dan tetangga terdekat kasus. Beberapa variabel yang berhubungan dengan kejadian ISPA adalah kelembaban, suhu, kepadatan hunian ruang tidur, ventilasi, bahan bakar memasak, asap rokok, pencahayaan, status gizi balita, riwayat imunisasi, dan jenis lantai. Data primer dikumpulkan dan pengukuran parameter kualitas udara indoor, lingkungan perumahan, dan karakteristik balita. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari pencatatan dan pelaporan Puskesmas Kelurahan Cakung Timur.
Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan dibantu oleh staf puskesmas, teknis laboratorium dari BTKL Jakarta, dan staf Kelurahan Cakung Timur, melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan observasi terhadap lingkungan rumah tinggal. Kejadian ISPA pada balita dipengaruhi oleh beberapa factor yang meliputi faktor lingkungan rumah, kondisi social, dan pelayanan kesehatan. Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara PM10 dan kejadian penyakit ISPA pada balita. Risiko untuk menjadi ISPA pada balita yang tinggal dalam rumah dengan konsentrasi PM10 lebih dari 70 μg/m3 adalah 6,1 kali dibanding balita yang tinggal dalam rumah dengan PM10 kurang atau sama dengan 70 μg/m3. Dengan mengontrol factor ventilasi rumah dan status gizi balita maka angka risiko tersebut akan berkurang menjadi 4,25 kali.
Beberapa variabel yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian penyakit ISPA pada balita dalam penelitian ini adalah PM10, ventilasi, status gizi balita, kelemababan. Sedangkan variabel lain seperti kepadatan hunian ruang tidur, bahan bakar memasak, asap rokok, pencahayaan, riwayat imunisasi, suhu, dan jenis lantai tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada balita. Didapatkan bahwa PM10 merupakan predictor utama terhadap kejadian ISPA pada balita. Sebagai factor risiko utama pada ISPA, pajanan PM10 di udara dapat terhirup melalui pernapasan sehingga menyebabkan iritasi pada system saluran pernapasan yang selanjutnya menyebabkan ISPA. Penelitian ini menganjurkan agar setiap rumah dapat memiliki ventilasi yang cukup sehingga dapat menetetralisir sirkulasi PM10 di dalam rumah. Hal yang lain yang juga dianjurkan adalah dengan peningkatan status gizi akan dapat mencegah/menurunkan risiko balita terkena ISPA.

An Acute Respiratory Infection (ARI) including pneumonia is still becoming one of the public health problems in Indonesia because it causes high morbidity and mortality among children under-five year of age. Therefore, ARI has been included in the national program for prevention and control of ARI which goal is to achieve human resources quality of life, The increase of occurrence of ARI is influenced by many factors including environmental factors. Everyday, most of the time, 80-90% children under-five live in the house, which are exposed with indoor pollution including PM10. The main strategy of the national prevention and control program for ARI is to improve air quality of housing.
This study is carried out in the working areas of Community Health Center in the sub-district of East Cakung, East Jakarta Municipality. The purposes of the study were to identify the occurrence of ARI among children under-five, environmental conditions related to ART, and the relationships between PM10 and the occurrence of ART among children under-five. A case-control study design was employed in the study. A total of fifty cases of children under-five were randomly selected from the Community Health Center and fifty control groups were randomly selected from the field of neighboring household of the cases. The cases and control groups were drawn from a similar population in the working areas of East Cakung. Data on ART were based on the recall period of 2 months. In addition, several variables including humidity, temperature, beds, ventilation, cooking woods, cigarette smoking, lighting, nutritional status of children, morbidity, immunization and type of floors were involved to control its relationships.
The primary data was collected from several sources including the measurement of indoor air quality, housing environment, and children under-five characteristics. The secondary data was collected from the recording and reporting of the Health Center in East Cakung. Data were collected by the researcher with the help of Health Center staff, laboratory technician of CDC Laboratory in Jakarta, and local staff of East Cakung through interviews using a administered questionnaires and observation its housing environment. The occurrence of ARI among children under-five is influenced by many factors including its housing environment, social conditions, and health services. There is a significant relationship between PM10 and the occurrence of ART among children under-five, The risk of having ART for children under-five living in the housing with PM10 more than 70 ug/m3 was 6.1 times more than those living in the housing with PMI0 70 uglm3 or less. With the control of ventilation and nutritional status, the relationships reduce to 4,25 times.
Of the total variables involved in the study, only several variables including particulate matter (PM10), ventilation, nutritional status of children, and relative humidity having significant relationship with the occurrence of the diseases. The other variables including beds, cooking woods, cigarette smoking, lighting, immunization, temperature, and the kind of floor do not indicate significant relationship with ARI. PM10 is considered as the predictor of the occurrence of ARI among children under-five. The main risk factor of ARI is PM10; its exposure in the air will be inhaled through respiratory system, which causes irritation of respiratory system, which leads to the occurrence of ARI. It is suggested that every house should have proper and adequate ventilation so as to prevent and neutralize PMI0 circulating indoors. It is also suggested that improving of nutritional status could prevent children under-five to ART.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
T12930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gertrudis T.
"ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada balita. Di wilayah Puskesmas Citeureup yang berada di sekitar pabrik semen PT Indocement, ISPA masih menempati urutan teratas dari data 10 besar penyakit di Kecamatan Citeureup. Emisi partikel debu ke udara oleh pabrik semen dalam proses produksi maupun transportasinya merupakan pencemaran terhadap lingkungan yang perlu diwaspadai, yang diperparah oleh meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik yang mengeluarkan buangan bahanbahan pencemar lingkungan. Bahan-bahan pencemar ini bisa masuk ke dalam rumah melalui ventilasi maupun pintu yang terbuka.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar partikulat (PM10) udara rumah tinggal dengan kejadian ISPA pada balita. Penelitian ini menggunakan rancangan studi crosssectional dan teknik sampling yang digunakan adalah systematic random sampling dengan jumlah sampel 303 balita. Data tentang kondisi fisik rumah dikumpulkan melalui pengukuran, variabel lainnya melalui observasi dan interview menggunakan kuisioner.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada balita adalah PM10 dalam rumah (OR = 3,1; 95% CI: 1,79-5,20), asap rokok (OR = 2,1; 95% CI: 1,20-3,72), penderita ISPA serumah (OR = 10,9; 95% CI: 4,73-25,01) dan status gizi (OR = 2,6; 95% CI: 1,22-5,56).
Disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara PM10 dengan kejadian ISPA pada balita dimana balita yang tinggal dalam rumah dengan kadar PM10 tidakmemenuhi syarat (> 70% μg/m3) berisiko 3,1 kali untuk mengalami ISPA dibanding balita yang tinggal dalam rumah dengan kadar PM10 memenuhi syarat (≤70% μg/m3) setelah dikontrol oleh asap rokok, penderita ISPA serumah dan status gizi.

ARI (Acute Respiratory Infection) is a disease that often occurs in infants. In the area of Citeureup Health Center around the cement factory of PT Indocement, ARI is still occupying the top 10 major diseases of the data in the Sub District of Citeureup. Emissions of dust particles into the air by a cement factory in the production and transportation process is pollution to the environment that need to be watched, aggravated by an increasing number of motor vehicles and factories that secrete waste polluting materials. These pollutants materials get into the house through vents or open doors.
This study aims to determine the relationship between levels of particulate matter (PM10) house air for children with ARI occurrence. This study uses cross-sectional study design and sampling technique used is systematic random sampling with a sample of 303 infants. Data of house conditions were collected through measurements and other variables were collected through observations and interview using questionnaires.
The results showed that variables significantly associated with the occurrence of ARI among children under five were PM10 in the house (OR = 3.1; 95% CI: 1.79 - 5.20), smoke cigarettes (OR = 2.1; 95% CI: 1.20 - 3.72), patients with ARI household (OR = 10.9; 95% CI: 4.73 - 25.01) and nutritional status (OR = 2.6; 95% CI: 1.22 -5.56).
Concluded that significant relationship between PM10 and the occurrence of ARI among children under five where children who live in homes with levels of PM10 are not eligible (> 70% μg/m3) have a risk to experience upper respiratory tract infection 3.1 times compared to children who live in homes with qualified PM10 levels (≤ 70% μg/m3) after being controlled by smoke cigarettes, people with ARI household and nutritional status.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T31721
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Ayu Eka Permatasari
"Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di negara berkembang dan di negara maju. Di Indonesia, ISPA masih merupakan salah satu maslah kesehatan masyarakat yang utama terutama pada bayi (0-11 bulan) dan balita (1-4 tahun). Berdasarkan data Profil Puskesmas Rangkapan Jaya Baru Tahun 2008, Menunjukkan bahwa ISPA merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh masyarakat Pancoran Mas Depok khususnya baduta. ISPA menempati urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi di Wilayah Kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok dengan persentase sebesar 40,68%.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko kejadian gejala ISPA ringan pada baduta di Kelurahan Rangkapan Jaya Baru Tahun 2008. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan desain studi cross sectional dengan jumlah sampel 230 baduta. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari hasil laporan Prakesmas tahun 2008 yang dilakukan selama 3 bulan, dari bulan Februari sampai April 2008 di Kelurahan Rangkapan Jaya Baru. Pengumpulan data untuk variabel independen terdiri atas karakteristik baduta (umur, jenis kelamin, berat lahir, status gizi, asupan gizi, pola asuh), karakteristik keluarga (pengetahuan gizi ibu dan anggota keluarga yang merokok) dan lingkungan fisik rumah (cara pembuangan sampah, ventilasi udara, kebersihan lantai, jamban, kamar mandi dan pekarangan).
Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa baduta yang tidak mengalami gejala ISPA ringan sebesar 55,7%, sedangkan yang mengalami gejala ISPA ringan sebesar 44,3. Hasil uji Chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna (p<0,005) antara jenis kelamin dengan gejala ISPA ringan."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yoedi Ariyanto
"Derajat kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar dan merupakan indikator status kesehatan di suatu negara sehingga sccara terus menurus perlu mendapat perhatian melalui upaya yang berkesinambungan. Salah sam indikator peming dalam menilai derajat kesehatan adalab Angka Kematian Balita (AKBa). Hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 200l, Angka Kematian Balita akibat penyakit Sistim pemapasan adalah 4,9 per l.000 yang berarti ada sekitar 5 dari 1.000 balita yang meninggal setiap tahun akibat ISPA, atau rata-rata 1 anak Balita Indonesia akibat meninggal akibat ISPA setiap 5 menimya.
Pengetahuan ibu dan keluarga tentang pengetahuan Infeksi Saluran Pemapasan Almt (ISPA) merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap upaya penurunan kesakitan dan kematian Balita, yaitu dengan mengetahui faktor risiko yang mempengaruhi kondisi kesehatannya Balita serta meningkatkan akses pada pelayanan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Citeureup Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor tahun 2008.
Penelitian ini menggunakan data primer yang berasal daxi pcnelitian yang dilakukan oieh peneliti pada bulan April tahun 2008 di Puskesmas Citeureup Kecamatan Ci1eureup Kabupaten Bogor tahun 2008. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah crass seclional (potong lintang). Populasi adalah scluruh ibu Balita yang terpilih menjadi subyek penelitian berdasarkan hasil survey di Puskesmas Citeureup Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor iahun 2008.
Hasil analisis diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita, pada ibu yang berpengetahuan rendah mempunyai resiko sebesar 3,673 kali Lmtuk menderita ISPA pada balitanya dibandingkan dengan ibu yang berpengetahuan tinggi. Variabel lainnya yang mempengaruhi hubungan pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita adalah variabel pendidikan (0R= 3,037 nilai p= 0,000 dan 95 % CI: l,738-5,309). Riwayat imunisasi campak (0R= 1,814 nilai p= 0,037 dan 95 % CI: 1,036-3,l77) dan status gizi balitanya (OR= 1.807 nilai p= 0,039 dan 95 % CI: 1,030-3,l69) serta status sosial ekonomi keluarga (0R= 1.323 nilai p= 0,333 dan 95 % Cl: 0,750-2,335).
Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan rcsponden dengan kejadian ISPA pada balita setelah dikontrol oleh variabcl pendidikan. Responden yang berpengetahuan rendah mempunyai kemungldnan 3,673 kali untuk meningkatkan resiko kejadian ISPA pada balitanya diban dingkan dengan responden yang berpengetahuan tinggi. Dampak pengetahuan terhadap kejadian ISPA pada balita cukup besar yaitu sebesar 72,4%, untuk itu perlu dilakukan penyuluhan yang lebih intensif dengan melibatlcan kader, tokoh masyarakat, tokoh agama dan ibu-ibu penggerak PKK untuk rnaningkatkan pengetahuan ibu tentang faktor risiko kejadian ISPA pada balita dalam memberikan penyuluhan, meningkatkan kctrampilan petugas kesehatan dcngan membcrikan pelatihan konseling dan mempermudah akses masyarakat ke pelayanan kcsehatan.

The degree of health is one of the basic needs and an indicator of health status in a country such that it requires constant attention through a continuous effon. One ofthe important indicator when evaluating the degree of health if Child Mortality Rate (CMR). Findings from a domestic health survei “SKR'l"’ in the year of 2001 stated that the CMR due to diseases ofthe respiratory system was 4,9 per 1000, which means there is 5 deaths out of 1000 children under 5 years old attributed to URTI, or an average of 1 child’s death every 5 minutes.
Mothers’ and families’ knowledge on Upper Respiratory Tract Infection (URTI) is the most influential factor in the effort to decrease morbidity and mortality of children under 5 years, that is by knowing the risk factors which influence the health conditions of children under 5 years and by increasing the accessibility to health services. The objective of this research was to determine the association between mothers’ knowledge on Upper Respiratory Tract Infection (URTI) and events of URTI in children under tive years in Citeureup Public Health Centre, Citeureup distrcit of Bogor region in the year of 2008.
This study used primary data which originated from a study conducted by the researcher in April 2008 in Citeureup Public Health Centre, Citeureup distrcit of Bogor region The study design used was cross sectional. The population was all mothers having children under 5 years old who were selected to be study subjects based on a survey in Citeureup Public Health Centre, Citeureup distrcit of Bogor region in the year of 2008.
Results from analysis fotmd that there were four variables which were significantly associated with URTI namely knowledge (OR= 3,673 nilai p= 0,000 dan 95 % Cl: 1,970-6,848), education (OR= 3,037 nilai p= 0,000 dan 95 % Cl: l,738- 5,309), measles variable (OR= l,8l4 nilai p= 0,037 dan 95 % Cl: l,036~3,l77) as well as nutrition (OR= l.807 nilai p= 0,039 dan 95 % Cl: 1,030-3,l69). Other variables namely occupation, social economy, birth weight, crowded residency, and presence of a smoker in one’s house, were not significantly associated with URTI events in children under 5 years.
It can be concluded that there was a significant association between the subjects’ knowledge and URTI events in children under 5 years after controlling for education variable. Subjects with lower knowledge had a probability of 3,673 times of increasing the risk of URTI events in their children under 5 years when compared to subjects with higher knowledge. Impact on knowledge on URTI events in children under 5 years was quite huge, which was 72,4%. 'Therefore health education and promotion need to be conducted more intensively by involving "kader”, public figures, religious figures, and PKK ladies in order to increase mothers’ knowledge on risk factors of URTI events in children \mder 5 years. This was done through giving heath education and increasing health personals’ skills by conducting counseling training and making the publichan easier access to health services.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T34276
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Kurniasari
"Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama penyakit akut di seluruh dunia. Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat dengan kasus ISPA yang tinggi. Desa Wanaherang, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor merupakan lokasi 25 industri pemotongan keramik dan granit. Proses produksi di industri pemotongan keramik dan granit menghasilkan partikulat debu yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan pekerja.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pajanan faktor lingkungan dengan kejadian ISPA pada pekerja di industri pemotongan keramik dan granit Desa Wanaherang, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 103 pekerja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada pekerja adalah PM10 dalam ruang kerja (2,90; 1,08-7,77). Faktor yang paling dominan hubungannya dengan kejadian ISPA pada pekerja adalah PM10 dalam ruang kerja (2,90; 1,08-7,77). Himbauan penggunaan APD perlu diterapkan pada pekerja industri pemotongan keramik dan granit.

Acute Respiratory Infection (ARI) is a major cause of acute illness in the worldwide. Bogor district is one of region in West Java with high ARI case. There is 25 ceramic and granite cutting industry location located in Wanaherang Village that can affect worker’s health.
This study aims to analyze the relationship between environmental factors and the incidence of respiratory infection in ceramic and granite cutting industry workers at Wanaherang village, Gunung Putri, Bogor. This study uses cross sectional study design with sample of 103 workers.
Result shows that environmental factors which significantly associated with ARI among workers is indoor PM10 concentration (2,90; 1,08-7,77). The most dominant factor associated with the occurrence of ARI among workers is indoor PM10 concentration (2,90; 1,08-7,77). PPE usage should be applied by ceramic and granite cutter workers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S54988
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deswita
"Obat merupakan salah satu sumber daya yang panting dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas. Dalam praktek pelayanan pengobatan sering dijumpai adalah penggunaan obat yang tidak sesuai dengan pedoman pengobatan dasar di Puskesmas. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar penderita ISPA non-pnemonia mendapatkan terapi antibiotika yang seharusnya tidak perlu.
Penggunaan obat yang tidak rasional akan menimbulkan dampak buruk baik dari segi ekonomi yang berupa pemborosan anggaran daerah, segi kesehatan yaitu berupa meningkatnya resiko efek samping dan resistensi serta dari segi psikososial berupa ketergantungan masyarakat kepada obat tertentu misalnya antibiotika.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat proporsi penggunaan obat yang tidak sesuai pada ISPA non-pnemonia dan faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan ketidaksesuaian penggunaan obat pada ISPA non-pnemonia di Puskesmas di Kabupaten Tanggamus.
Total sampel dalam penelitian ini berjumlah 96 orang petugas BPI petugas penulis resep di sembilan Puskesmas yaitu Puskesmas Wonosobo, Kotaagung, Gisting, Rantau Tijang, Pulau Panggung, Sukoharjo, Adiluwih, Gading Rejo dan Pardasuka. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada keterwakilan wilayah. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan dilaksanakan pada bulan Pebruari sampai Maret 2004.
Sebagai variabel terikat adalah ketidaksesuaian penggunaan obat pada ISPA non-pnemonia dengan buku pedoman pengobatan dasar dan sebagai variabel bebas adalah variabel individu berupa pendidikan, pelatihan, pengetahuan dan lama masa kerja, variabel psikologis berupa sikap terhadap pengobatan ISPA non-pnemonia dan sikap terhadap buku pedoman pengobatan, dan variabel organisasi berupa ketersediaan buku pedoman pengobatan dasar, ketersediaan obat setiap bulan, monitoring, evaluasi dan supervisi.
Hasil penelitian menunjukkan proporsi penggunaan obat yang tidak sesuai dengan buku pedoman pengobatan sebesar 33,3%. Pelayanan pengobatan sebagian besar dilakukan oleh perawat yaitu 85,4%. Dari analisa bivariat diketahui beberapa variabel yang memiliki hubungan bermakna dengan ketidaksesuaian penggunaan obat pada ISPA non-pnemonia yaitu pendidikan (p= 0,030), sikap terhadap pengobatan ISPA nonpnemonia (p=0,000), sikap terhadap buku pedoman pengobatan (p= 0,001) dan monitoring (p=0,011).
Pada hasil analisa multivariat didapat faktor yang paling behubungan dengan ketidaksesuaian penggunaan obat pada ISPA non-pnemonia adalah sikap terhadap pengobatan ISPA non-pnemonia dan sikap terhadap buku pedoman pengobatan (p=3,001).
Saran dari penelitian ini adalah optimalisasi peran dokter sebagai tenaga medis yang berkompeten dalam melakukan pelayanan pengobatan di Puskesmas. Transfer ilmu dari dokter kepada perawat juga amat diperlukan. Peran Dinas Kesehatan sebagai instansi pembina juga harus lebih ditingkatkan misalnya dengan memberikan pelatihan yang lebih aplikatif untuk Puskesmas. Kepala cabang divas yang sekarang dijabat oleh tenaga yang kurang tepat sebaiknya diganti dengan tenaga yang lebih baik dan lebih berpengalaman.

Drug represents one of the important resources in providing primary health service in Health Center. The medication service that often met is inappropriate usage of drug with the guidance of basic medication for Health Center. From previous some studies showed that most of Non-pneumonia Respiratory Infection patient got unnecessary antibiotic therapy.
Usage of irrational drug will result negative effect either from economic side such as wastefulness of district budget, health side that is the increase of side effects risk and of resistance, and also psychosocial side such as depended society to the certain drug i.e. antibiotic.
This study aimed to get the proportion of inappropriate drug usage for non-pneumonia respiratory infection and factors related to it at Health Center in the District of Tanggamus. Total sample in this study was 96 BP officers/prescription writers from nine Health Centers namely Wonosobo Health Center, Kotaagung Health Center, Gisting Health Center, Rantau Tijang Health Center, Pulau Panggung Health Center, Sukoharjo Health Center, Adiluwih Health Center, Gading Rejo Health Center, and Pardasuka Health Center. The choice location of study relied on the representative of region. This study used cross sectional design and conducted during February until March 2004.
Dependent variable in the study was inappropriateness of drug usage for non-pneumonia respiratory infection with the guidance book for basic medication, while as independent variable consisted of individual variables (education, training, knowledge, and duration of work span), and psychological variables (attitude to the medication of Non-pneumonia respiratory infection and attitude to the guidance book for medication), and organizational variables (availability of guidance book for basic medication, availability of drugs in each month, monitoring, supervision and evaluation).
Dependent variable in the study was inappropriateness of drug usage for non-pneumonia respiratory infection with the guidance book for basic medication, while as independent variable consisted of individual variables (education, training, knowledge, and duration of work span), and psychological variables (attitude to the medication of non-pneumonia respiratory infection and attitude to the guidance book for medication), and organizational variables (availability of guidance book for basic medication, availability of drugs in each month, monitoring, supervision and evaluation).
The study showed that proportion of drug usage in which inappropriate with the book guidance for medication equal to 33.3%. The most of medication service was conducted by nurse (85.4%). Bivariate analysis showed variables that had significant relationship with the inappropriateness of drug usage for non-pneumonia respiratory infection were education (p'.03), attitude to the medication of non-pneumonia respiratory infection (p=0.001), attitude to the guidance book for medication (p=0.001), and monitoring as well (p=1.011).
Multivariate analysis showed the most dominant factors in the study about the inappropriateness of drug usage for non-pneumonia were attitude to the medication of non-pneumonia respiratory infection and attitude to the guidance book for medication (p=0.001).
Recommendation from this study was to increase the role of doctor optimally as competent medical staff in conducting the medication service in health center. Transfer of knowledge from doctor to nurse also very needed. Role of Health Office as an assistance institution also should be improved, for example by giving more applicative training for the Health Center's staffs. The head of branch of Health Office in which now taken hold by unqualified person should be changed by qualified and experienced one.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T 12796
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Pramono
"Buruknya udara Jakarta terutama karena transportasi, diikuti industri, pemukiman dan sampah. Adanya bahan pencemar yang selalu di buang ke udara akan mempengaruhi kualitas udara di DKI Jakarta dan unsur pengelolaan lingkungan, maka di butuhkan data secara terus menerus. Gambaran jumlah kasus penyakit di Puskesmas Kecamatan Kembangan Jakarta Barat pada tahun 2001 adalah 7.020 kasus.
Tujuan penelitian adalah mengetahui hubungan antara kualitas udara ambien, faktor meteorologi dengan kejadian penyakit ISPA selama 9 bulan mulai bulan September 2001 sampai dengan bulan Mei 2002 di wilayah Puskesmas Kecamatan Kembangan Jakarta Barat.
Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang (Cross Sectional). Data kualitas udara ambien dan faktor meteorologi kejadian ISPA harian dikelompokkan dalam 5 harian, selama 9 bulan mulai bulan September 2001 sampai dengan bulan Mei 2002.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata 27,63°C, kelembaban relatif rata-rata 81,9%, arah angin rata-rata 185,77°, kecepatan anginn rata-rata 1,35 mis, PMso rata-rata 71,52ug/m3, SO2 rata-rata 26,72 pgfm3 , CO rata-rata 1,62 ug/m3 , 03 rata-rata 41,74 ug/m3 , NO2 rata-rata 42,26 ug/m3 dan jumlah kasus ISPA rata-rata 180,34.
Dan uji korelasi di ketahui adanya hubungan antara suhu udara dengan S02, 03 dan NO2, , kelembaban relatif dengan 03, kesehatan angin dengan PM 10 dan CO, arah angin dengan PM14, 502, CO, 03, dan NO2, SO2 dengan ISPA, dan 03 dengan ISPA.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa jumlah kasus ISPA tidak berhubungan dengan suhu udara dan kelembaban relatif, tetapi berhubungan dengan 502 dan 03.
Di sarankan agar instansi-instansi yang terkait dengan program pengendalian pencemaran udara hendaknya mengadakan kerjasama dengan Dinas Kesehatan untuk mengadakan lebih banyak penelitian tentang kualitas udara dan dampaknya terhadap kesehatan dengan memanfaatkan data kualitas udara atau data ISPA yang telah ada.

Ambient Air Quality Analysis and Meteorological Factor on Infection Respiratory Acute Incidence at Kembangan Sub district Health Centre, West Jakarta, September 2001 - Mei 2002.The bad air quality in Jakarta is caused by transportation, industry, residential and garbage. Pollutant that is always throw away to the air will to influence air quality in Jakarta and environmental management, so we need a continuity data. As an illustration, the number of Infection Respiratory Acute case in Kembangan Sub Districts Health Centre, West Jakarta in 2001 are 7.020 case.
The purpose of this study is to know the association between ambient air quality, meteorology factor with Infection Respiratory Acute incidence for 9 months, since September 2001 until May 2002 in Kembangan Sub district Health Centre, West Jakarta.
The design of tens study is Cross Sectional. Ambient air quality data, meteorological factor and Infection Respiratory Acute incidence will be grouped in 5 days, for 9 months since September 2001 until May 2002.
The result of the study shows that the mean temperature is 27,63 °C, relative humidity 81,97 %, wind direction 185,77°, a wind velocity 1,35 m/s, PM10 71,52 ug/m3, SO2 26,72 ug/m3, CO 1,62 mglm3, 03 41,74 µg/m', NO2 42,26 ug/m3 and infection Respiratory Acute case is 180,34.
Correlation analysis shows a correlation between temperature and S02, 03 and NO2, relative humidity with 03, wind velocity with PKo and CO, wind direction with PMto, SO2, CO, 03 and NO2, SO2 with Infection Respiratory Infection, and 03 with Infection Respiratory Acute.
The conclusion of this study is the number of Infection Respiratory Acute case is not associated to temperature and relative humidity, but is associated with SO2 and 03.
Recommendation for the institutions that is related to air pollution control program is to work together with health service to do more research to air quality and the health impact by using air quality data on Infection Respiratory Acute data, that is already collected.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T 5826
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>