Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40854 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ina Marta Fauzia
"Anak tunarungu mengalami kererbatasan pendengaran yang dapat
berpengaruh pada berbagaiaspek kehidupannya. Sa!ah satunya adalah aspek sosial-emosional. Aspek sosial emosional antara lain mencakup sosialisasi, pemahaman diri, dan perkembangan emosi. Hambatan dalam pendengaran mempengaruhi
kemampuan dalam berkomunikasi. terutama secara lisan. Adanya keterbatasan komunikasi ini dapat membuat anak enggan berinteraksi dengan orang lain karcna
takut tidak diterima dan dipahami. Anak dapat menjadi kesepian dan terisolasi.
Kemurunguan anak juga dapat mempengaruhi penilaian anak terhadap dirinya
Apabila ia merasa kelunarnnguannya sebagai suatu kekurangan, maka ini dapat mengembangkan pemahaman diri yang cenderung negatif. Sebaliknya apabila anak tidak menganggap ketunarunguannya sebagai kekurangan diri, maka ia dapat memiliki pemahaman diri yang lebih positif. Dalam aspek emosi. anak tunarungu
dapat menjadi mudah cemas karena ingin selalu berada di dckal ibu dan kurang mandiri karena pengasuhan yang operproactive dari orangtua. Salah satu alay yang dapat menggali kondisi sosial-emosional adalah HFDs. Adanya berbagai
kemungkinan kondisi sosial-emosional tersebut mendorong peneliti untuk melihat
gambnran kondisi sosial-emosional anak tunarungu usi 8 tahun berdasarkan HF Ds.
Penelitian ini menggunakan penclekaran kualilalif karena dapat memberikan informasi yang lebih mendalam mengenai kondisi sosial emoslonal anak tunarungu
yang diteliti. Tes HFDS akan dilengkapi clengan anamnesis. Pcngambilan data
dilakukan di SDLB pada anak tunarungu yang bcrusia 8 tahun. ketunaruuguan
tergolong parah dan bert. serta mcmiliki inteligensi rata-rata. Subjek penelitian
berjumlah empat orang.
Hasil pcnclitian menunjukkan bahwa sebagian besar mengalami kesulitan
berintcraksi dengnn orang yang baru dikenal Sebagian besar subjek memiliki
kecenderungan bersikap kaku dan pemalu. Namun demikian mereka tidak memiliki masalah dalam berinteraksl dengan orang-orang di iingklulgan sekitar rumah.
Pemal1tian diri subjek ada yang positif dan ada juga yang cenderung negatif.
Umumnya subjek masih belum matang secara emosional dan berusaha melindungi
diri dari hal-hal yung dapat menimbulkan kecemasan.Beberapa subjek mcnunjukkan
kecendcrungan agresif`. Selain itu ada beberapa kondisi emosi yang adn panda masing-masing subjck. seperti kurnng percaya diri membutuhkan dukungan orang lain dan
orientusi ke dalam diri. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38772
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairina HS
"Salah satu fungsi dari bermain adalah dapat meningkatkan kemampuan bahasa dan komunikasi anak (Papalia & Olds, 1993). Untuk dapat bermain dengan baik bersama orang lain, anak harus bisa mengerti dan dimengerti oleh temantemannya. Hal ini mendorong anak untuk belajar bagaimana berkomunikasi dengan baik, bagaimana membentuk hubungan sosial, bagaimana menghadapi dan memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam hubungan tersebut. Untuk mempelajari itu semua sulit dilakukan oleh anak tunarungu. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuannya dalam berkomunikasi.
Ketidakmampuannya untuk berkomunikasi berdampak luas dari segi kemampuan bahasa, membaca, menulis maupun penyesuaian sosial serta prestasi sekolahnya. Tetapi sekarang banyak anak-anak dengan gangguan pendengaran atau tuli dapat diidentifikasi pada usia kanak-kanak awal. Mereka sering dibantu melalui operasi atau penggunaan alat bantu dengar. Mereka belajar- untuk berkomunikasi dengan keluarga dan teman-teman mereka dengan menggunakan bicara, membaca ujaran, bahasa isyarat atau teknik-teknik lainnnva. Banyak dari orang-orang yang menderita gangguan pendengaran atau tuli dapat mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mampu memasuki bidang-bidang professional dan dapat mencapai keberhasilan individual/personal.
Jalur pendidikan formal (sekolah) merupakan satu upaya yang banyak dilakukan untuk membantu anak-anak tunarungu (Mangunsong dkk. 1998). Untuk anak-anak tunarungu yang berada di Taman Latihan Santi Rama, kegiatan belajar sehari-harinya adalah belajar berkomunikasi khususnya belajar berbicara. Tetapi dalam proses belajar berkomunikasi itu tidak terlepas dari kegiatan bermain. Kegiatan bermain merupakan bagian penting dalam program pendidikan prasekolah. Dalam kegiatan bermain dimasukkan juga dengan kegiatan belajar berkomunikasi di kelas melalui latihan mendengar dan penggunaan metode oralisin.
Dengan memperhatikan kekhususan pada tingkat perkembangan usia prasekolah dan kegiatan bermain anak tunarungu, dalam penelitian ini ingin diperoleh gambaran bermain pada anak tunarungu dilihat dari materi bermain, bimbingan yang diperoleh, dan peran orang tua, guru, saudara, dan teman yang sangat membantu pada perkembangan komunikasi anak tunarungu. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S3001
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1973
S2128
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johana Aprilia
"Anak tunarungu seringkali didapati mengalami keterlambatan fungsi kognitif yang berakibat pada keterlambatan pencapaian akademis, namun keterlambatan tidak terjadi pada visual-spatial working memory, yang biasa digunakan dalam pemecahan soal matematika. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa visual-spatial working memory pada anak tunarungu berbeda akibat metode komunikasi anak tunarungu yang mengandalkan penglihatan. Sedikit penelitian yang memperlihatkan gambaran kapasitas visual-spatial working memory secara utuh pada anak tunarungu dengan metode komunikasi oral, total, dan bahasa isyarat. Penelitian ini memperlihatkan gambaran tersebut yang didapat melalui pengisian kuesioner mengenai penggunaan metode komunikasi dan pengukuran visual-spatial working memory pada 30 anak tunarungu kelas 3-6 SD. Pengisian kuesioner dilakukan oleh orang tua, dan pengukuran visual-spatial working memory dilakukan dengan anak memainkan Lion Game melalui Zoom call.
Hasil penelitian menunjukkan mean proporsi skor kapasitas visual-spatial working memory anak tunarungu dengan metode komunikasi oral sebesar 0,432 (SD=0,151) dengan level 2,55. Mean proporsi skor kapasitas visual-spatial working memory anak tunarungu metode komunikasi total sebesar 0,453 (SD=0,153) dengan level 2,53. Terakhir, mean proporsi skor kapasitas visual-spatial working memory anak tunarungu metode komunikasi bahasa isyarat sebesar 0,397 (SD=0,128) dengan level 3,25. Dari hasil penelitian ini diketahui kapasitas visual-spatial working memory pada anak tunarungu dengan metode komunikasi oral, total, dan bahasa isyarat belum maksimal.

Children with hearing impairment or deaf usually experience cognitive function delays, but not in visual-spatial working memory which commonly used in mathematical problems. Previous studies discovered that the visual or spatial working memory in deaf children is different due to the communication methods that rely on vision. This study describes deaf childrens visual-spatial working memory by measuring the visual-spatial working memory of 30 deaf children in grade 3-6 elementary school and identifying their communication methods through questionnaires. Questionnaires are filled in by the parents of deaf children. The visual-spatial working memory measurement utilizes the Lion Games through Zoom meetings.
This study shows that the mean score of the visual-spatial working memory of deaf children with oral communication is 0.432 (SD=0.151) with average maximum level 2.55. Furthermore, the mean score of the visual-spatial working memory of deaf children with total communication is 0.453 (SD=0.153) with average maximum level 2.53, and the mean score of the visual-spatial working memory of deaf children in sign language is 0.397 (SD=0.128) with average maximum level 3.25. To conclude the result, it can be argued that deaf children visual-spatial working memory span with oral, total, and sign language communication methods still not reach the maximum point."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Rahmiyati Putri
"

Kemampuan bahasa semantik adalah kemampuan pemahaman bahasa yang seringkali berkaitan dengan pemahaman mengenai kosakata. Kemampuan ini memiliki peran untuk membantu proses belajar anak. Anak tunarungu menemui hambatan dalam mengembangkan kemampuan bahasa semantiknya, dan hal ini bisa dipengaruhi oleh metode komunikasi yang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk memeroleh gambaran tentang perkembangan bahasa semantik anak tunarungu yang menggunakan tiga metode komunikasi, yaitu oral, bahasa isyarat, dan komunikasi total. Sebanyak 30 anak tunarungu kelas 3-6 SD yang sudah mampu membaca beserta orang tuanya menjadi partisipan dalam penelitian ini. Penelitian dilaksanakan secara online menggunakan PPVT 4th ed untuk mengukur kemampuan bahasa semantik dan Kuesioner Metode Komunikasi. Hasil analisis menggunakan exploratory data analysis menunjukkan adanya perbedaan kemampuan bahasa semantik antar kelompok metode komunikasi dengan kemampuan bahasa semantik tertinggi di kelompok bahasa isyarat. Penelitian selanjutnya disarankan untuk menambah jumlah partisipan, melakukan pengembangan norma PPVT 4th ed dan mengukur variabel lain yang menjadi faktor dalam menjelaskan efektivitas penggunaan metode komunikasi terhadap perkembangan kemampuan bahasa semantik.

 


Semantic language skills is language comprehension skills that are often related to understanding vocabulary. Who has a role to help children's learning processes. Deaf Children have obstacles in developing their semantic language skills, and this can be influenced by their communication methods. This study aims to obtain an overview of the semantic language development of deaf children using three methods of communication, that is oral, sign language, and total communication. A total of 30 deaf children from grade 3-6 elementary school who were able to read and their parents became participants in this study. The study was conducted online using PPVT 4th ed to measure semantic language skills and the Communication Method Questionnaire. The results of exploratory data analysis show that there are differences in semantic language skills between groups of communication methods and the highest semantic language skills in sign language groups. Future studies are suggested to increase the number of participants, make consideration to deveelop PPVT 4th ed norms and measure other variables that possibly become factors in explaining the effectiveness of using communication methods for development semantic languages skill.

 

"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Frisca Givani
"Latar Belakang : Gangguan pendengaran menempati urutan ketiga jumlah disabilitas terbanyak di dunia. Sebagai konsekuensinya, anak-anak tunarungu mengalami penurunan pemahaman terhadap praktik kebersihan gigi dan mulut yang mengakibatkan masalah kesehatan gigi seperti karies dan gingivitis. Upaya untuk menuju Indonesia Bebas Karies 2030 dapat dimulai dengan edukasi kepada anak. Edukasi dapat diberikan melalui media pembelajaran berupa video menyikat gigi berbahasa isyarat yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tunarungu. Tujuan Penelitian: Mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan dan motivasi anak tunarungu setelah menonton video menyikat gigi berbahasa isyarat di SLB-B Pangudi Luhur. Metode Penelitian: Pengambilan data dilakukan secara luring dengan studi quasi experimental menggunakan kuesioner dengan 20 pertanyaan mengenai pengetahuan dan motivasi untuk menyikat gigi pada 63 murid kelas 4-6 SD SLB-B Pangudi Luhur, Jakarta Barat. Analisis data dilakukan dengan uji beda mean non-parametrik wilcoxon menggunakan perangkat lunak statistik. Hasil: Terdapat perbedaan rata-rata tingkat pengetahuan yang meningkat secara signifikan dari 4,22±1,60 menjadi 9,06±1,07 setelah diberikan intervensi(p=0,001). Kemudian, terdapat perbedaan rata-rata tingkat motivasi yang meningkat secara signifikan dari 6,04±1,51 menjadi 9,30±1,58 setelah diberikan intervensi (p=0,001). Kesimpulan: Pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat perbedaan peningkatan pengetahuan dan motivasi anak tunarungu setelah menonton video “Ayo Menyikat Gigi” di SLB-B Pangudi Luhur secara bermakna.

Background: Hearing impairment is the third largest number of people with disabilities in the world. As a consequence, deaf children experience a decreased understanding of dental and oral hygiene practices, which results in dental health problems such as caries and gingivitis. Efforts towards a Caries-Free Indonesia by 2030 can start with education for children. Education can be provided through learning media in the form of sign language toothbrushing videos that are adapted to the needs of deaf children. Research Objective: To determine differences in the level of knowledge and motivation of deaf children after watching a sign language toothbrushing video at SLB-B Pangudi Luhur. Research Method: Data collection was carried out offline using a quasiexperimental study using a questionnaire with 20 questions regarding knowledge and motivation for brushing teeth in 63 students in grades 4-6 at SLB-B Pangudi Luhur Elementary School, West Jakarta. Data analysis was carried out using the non-parametric Wilcoxon mean difference test using statistical software. Results: There was a difference in the average level of knowledge which increased significantly from 4,22 ± 1,60 to 9,06 ± 1,07 after being given the intervention (p =0.001). Then there was a difference in the average level of motivation which increased significantly from 6,04 ± 1,51 to 9,30 ± 1,58 after being given the intervention (p = 0.001). Conclusion: In this study, it was found that there was a significant difference in the increase in knowledge and motivation of deaf children after watching the video "Ayo Menyikat Gigi" at SLBB Pangudi Luhur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widiya Puji Lestari
"Efikasi diri orang tua dapat berkontribusi pada pola pengasuhan anak tunarungu yang dapat berdampak pada tingkat ketergantungan perawatan diri pada anak. Orang tua dengan efikasi diri yang rendah menyebabkan ketidakyakinan dalam menyelesaikan tugas pengasuhan pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara efikasi diri orang tua dengan tingkat ketergantungan perawatan diri pada anak tunarungu. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan metode cross sectional dengan pengambilan data menggunakan teknik total sampling berjumlah 100 responden orang tua yaitu ayah atau ibu dengan anak tunarungu di Sekolah Luar Biasa (SLB) Pangudi Luhur Jakarta Barat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara efikasi diri orang tua dengan tingkat ketergantungan perawatan diri pada anak tunarungu (p = 0,001; α = 0,05). Peneliti merekomendasikan terkait program yang dapat diaplikasikan kepada orang tua anak tunarungu yaitu seperti parent support group yang berfungsi untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan meningkatkan mekanisme koping yang baik pada saat merawat anak berkebutuhan khusus sehingga dapat membantu meningkatkan kemandirian pada anak tunarungu.

Self-efficacy of parents can contribute to the pattern of care for deaf children which can have an impact on the level of self-care dependence on children. Parents with low self-efficacy cause uncertainty in completing parenting tasks for children. This study aims to determine the relationship between self-efficacy of parents with the level of self-care dependence on deaf children. This study used a descriptive design with cross sectional method with data collection using a total sampling technique totaling 100 elderly respondents namely father or mother with deaf children at Pangudi Luhur Special School in West Jakarta. The results of this study indicate that there is a relationship between parents self-efficacy and the level of self-care dependence on deaf children (p = 0.001; α = 0.05). The recommendations of researchers regarding the program that can be applied to parents of deaf children, such as the parent support group which functions to share knowledge, experience, and improve coping mechanisms that are good when treating children with special needs so that they can help increase independence in deaf children."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novietri
"ABSTRAK
Tesis ini membahas alat-alat kohesi yang digunakan anak tuli dan anak dengar. Penelitian ini menggunakan teori kohesi Halliday dan Hasan 1976 dan Renkema 2004 . Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah tulisan 10 anak tuli dan 10 anak dengar yang bercerita berdasarkan instrumen yang diberikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak tuli dan anak dengar memiliki kecenderungan yang sama dalam menggunakan elipsis, hiponimi, meronimi, dan kolokasi. Kecenderungan yang sama juga muncul dalam penggunaan konjungsi, kecuali konjungsi hubungan waktu yang cenderung digunakan oleh anak dengar. Penggunaan konjungsi di dalam tulisan ada yang sesuai dan tidak sesuai. Repetisi dan antonimi cenderung digunakan oleh anak tuli. Referensi dan sinonimi cenderung digunakan oleh anak dengar. Referensi persona dan demonstratif ada yang digunakan sesuai, tidak sesuai, dan acuan yang tidak jelas. Dalam menggunakan referensi persona pertama, anak tuli cenderung menggunakan referensi persona saya, sedangkan anak dengar cenderung menggunakan referensi persona aku. Selain itu, semua anak dengar menggunakan persona ketiga ia, -nya, dan mereka. Anak tuli tidak semuanya menggunakan persona ketiga. Referensi demonstratif juga banyak digunakan oleh anak dengar daripada anak tuli. Referensi demonstratif yang banyak ditemukan adalah itu dan tersebut. Faktor-faktor yang memengaruhi kemunculan persamaan dan perbedaan penggunaan kohesi ini adalah metode pengajaran, kemampuan anak, keluarga, dan lingkungan anak, serta bahasa isyarat yang digunakan oleh anak tuli.

ABSTRACT
This thesis investigates the cohesion devices used by deaf and hearing children. This qualitative research employs Halliday and Hasan 1976 and Renkema 2004 cohesion theory. The source of data in this research is the writings from 10 deaf and 10 hearing children telling a story about the given instrument. The output of this study indicates that the deaf and hearing children have the equal tendency in using ellipsis, hyponymy, meronymy, and collocation. The same tendency also emerges in the use of conjunctions, except time relation conjunctions, which tend to be used more by the hearing group. The use of conjunctions in the writing are not fully correct. Repetition and antonymy are used more by the deaf. Reference and synonymy tends to be used by the hearing, although some personal and demonstrative references are not correctly used and the references are sometimes not clear. In using the first person reference, the deaf children tend to use personal reference saya, while the hearing ones tend to use aku. In addition, all hearing children use the third person references ia, nya, and mereka, while not all the deaf use these third person references. Demonstrative references are also more frequently used by the hearing group instead of the deaf. The most frequently used demonstrative references are itu and tersebut. These similarities and differences in using cohesion devices are influenced by several factors, amongst which are teaching method, children rsquo s ability, family and children rsquo s environment, and sign language used by the deaf."
2016
T47028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wresty Arief
"ABSTRAK
Anak tuli prelingual akan kehilangan fungsi mendengar dan bicara, sehingga akan berpengaruh pada komunikasi, psikologis, dan kualitas hidup. Implan koklea hadir sebagai alat habilitasi terutama pada anak dengan tuli derajat berat dan sangat berat. Tesis ini akan membahas mengenai data karakteristik anak 6 ndash; 12 bulan pasca implantasi koklea, evaluasi perkembangan auditori dan bicara anak serta faktor-faktor yang mempengaruhi hasil keluaran. Penelitian ini bersifat deskriptif potong lintang, menggunakan metode penilaian berupa pengamatan yang bersifat global yaitu Categories Auditory Performance CAP - II dan Speech Intelligibility Rate SIR . Penelitian ini dilakukan pada 36 subjek, median CAP-II pada anak 6 ndash; 12 bulan pasca implantasi koklea ialah 3 skor minimal 2 - maksimal 7 . Penilaian kemampuan bicara dengan menggunakan metode SIR anak pasca 6 -12 bulan implantasi koklea didapatkan median 2 skor minimal 1 dan maksimal 4 . Median waktu saat evaluasi 8,9 bulan dengan pencapaian 33,3 subjek dalam kategori CAP tinggi skor 5 atau lebih , dan 38,89 subjek yang mencapai kategori SIR tinggi skor 3 atau lebih.

ABSTRACT
Prelingual deaf children caused the child unable to hear and speak, impacting his or her ability to communicate, psychological growth, and overall life quality of the child. Cochlear implant comes as habilitating device mainly for children with severe and profound deafness. This thesis will discuss and explain in children 39 s characteristic data on 6 ndash 12 months after cochlear implantation, evaluating their speech and auditory development and other influencing factors. This research is descriptive cross sectional study and observe child using global method Categories Auditory Performance CAP II and Speech Intelligibility Rate SIR . This research is conducted on 36 subjects, with median CAP II score of 3 minimum 2 maximum 7 at 6 ndash 12 months post cochlear implantation. Speech ability evaluation using SIR method with median score of 2 minimum 1 maximum 4 . Median hearing age for this study sample was 8,9 months. After 6 12 months cochlear implantation, 33.3 children that reach high CAP scores CAP score of 5 or greater , and only 38.9 reaching high SIR scores SIR score of 3 or greater.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Citrasari
"Tidak semua anak lahir dan dapat berkembang secara normal, ada beberapa anak yang merupakan anak dengan kebutuhan khusus (exceptional children), diantaranya adalah keterbelakangan mental, carat fisik, kelainan belajar, gangguan emosional, kelainan bicara, gangguan penglihatan (visually impaired), dan gangguan pendengaran (hearing impaired). Anak-anak tersebut harus mendapat penanganan sedini mungkin agar dapat berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuannya.
Gangguan pendengaran (hearing impaired) atau dapat disebut juga tunarungu merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada masa perkembangan. Tunarungu dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan, mulai dari sangat ringanlminimal sampai total.
Anak tunarungu memiliki beberapa hambatan, salah satunya adalah perkembangan bahasa. Hambatan dalam perkembangan bahasa membuat terhambatnya perkembangan inteligensi anak tunarungu. Walaupun demikian tidak semua aspek inteligensi terhambat tetapi hanya yang bersifat verbal. Aspek inteligensi yang bersumber pada penglihatan dan berupa motorik dapat berkembang lebih cepat.
Salah satu karakteristik perkembangan bahasa yang seharusnya sudah dicapai oleh anak pada masa toddler adalah anak dapat menyebutkan anggota tubuhnya. Dengan hambatan tersebut maka anak tunarungu tidak dapat menyebutkan anggota tubuhnya. Selain itu, dengan memahami anggota tubuhnya sendiri, seorang anak memiliki perasaan akan din mereka sendiri yang terpisah dari orang lain (self-awareness). PengenaIan diri secara fisik dapat membantu anak untuk menyadari diri mereka sendiri yang secara fisik berbeda dari orang lain, hal ini berkaitan dengan karakteristik perkembangan sosial seorang anak. Peneliti melakukan pelatihan mengenali anggota tubuh sebagai sarana untuk mengoptimalkan perkembangan sosial anak tunarungu pada masa toddler.
Pelatihan mengenali anggota tubuh pada anak tunarungu dilakukan melalui strategi visual. Dalam penelitian ini, strategi visual yang digunakan yaitu dengan menunjukkan kartu-kartu bergambar anggota tubuh seorang anak. Saat anak ditunj ukkan kartu bergambar tersebut, anak diminta untuk menunjukkan anggota tubuhnya sendiri. Digunakan strategi visual karena dengan menggunakan alat bantu visual akan lebih mudah untuk dipahami oleh anak yang mengalami kelainan bahasa. Instruksi akan diberikan oleh peneliti (instruktur).
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan tujuan untuk melatih anak tunarungu usia toddler mengenali anggota tubuhnya melalui strategi visual. Apabila subjek berhasil menunjuk anggota tubuhnya sendiri saat diperlihatkan kartu bergambar anggota tubuh maka subjek akan mendapatkan reward.
Hasil pelatihan memperlihatkan bahwa subjek mampu mengenali anggota tubuhnya sendiri. Namun demikian, dalam penelitian ini terdapat kelemahan dan kelebihan. KeIemahannya yaitu situasi pelatihan yang tidak terstruktur, tidak ada masa transisi dari situasi tidak terstruktur ke situasi yang terstruktur (pelatihan), dan pada sesi I instruksi yang diberikan oleh instruktur tidak jelas (instruktur tidak memperagakan) sehingga W tidak mengerti apa yang diharapkan darinya. Kelebihannya yaitu strategi visual (gambar) dirasakan sangat membantu dan mudah dipahami oleh anak yang mengalami tunarungu dan pemberian reward ditemukan cukup berhasil memaeu subjek untuk menunjukkan perilaku yang diinginkan.
Saran untuk penelitian ini, peneliti melakukan survey lapangan terlebih dahulu untuk mengetahui kegiatan anak sehari-hari sehingga dapat menetapkan waktu yang tepat untuk melakukan pelatihan. Adanya masa transisi dari situasi tidak terstruktur ke situasi terstruktur (pelatihan). Situasi pelatihan sebaiknya lebih tenang dan lebih terstruktur. Saran untuk penelitian selanjutnya, strategi visual dapat digunakan untuk membantu anak mengenali emosi, kegiatan yang dilakukan sehari-hari, aturan-aturan sosial, dan lain-lain."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18098
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>