Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180522 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Akhmad Muttaqin
"Latar Belakang: Tingginya angka kambuh (relapse) pada para pecandu Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (Napza) secaxa umum diasumsikan tidak akan berbeda jauh dengan angka relapse pada para pecandu jenis opiat. Masih saja angka relapse terbilang tinggi, bahkan dapat dikatakan penyalahgunaan ulang (relapse) opiat tersebut merupakan penyakit kronik yang berkali-kali muncul. Dari studi Pattison E.M (1980) yang dikutip Hawari (2000) menunjukkan bahwa angka relapse cukup tinggi yaitu 43,9%.
Tujuan: Diketahuinya faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan terjadinya relapse pada pasien ketergantungan opiat di RSKO Jakarta tahun 2003-2005, menggunakan data sekunder (data rekam medik pasien). Variabel-variabel yang diteliti yaitu faktor individu (jenis keiamin, tingkat pendidikan, golongan umur, status perkawinan, status pekerjaan, dan status infeksi hepatitis) serta faktor vat (pola punggunaan, lama pakai, cara pakai, iiekuensi pakai, dan kadar Zat).
Rancangan Penelitian: Penelitian epidemiologi observasional analitik kasus kontrol.
Metode Sampel yang didapatkan 72 kasus dan 84 kontrol, kcmudian dilakukan mndom menggunakan simple random sampling dengan dipilih 72 kasus dan 84 kontrol (1:1). Kasus adalah pasien ketcrgantungan opiat yang menurut catatan dari buku rekam medis; berkunjung berturut-tumt 6 bulan tanpa menggunakan opiat dan kembali berkunjung dcngan keluhan kembali menyalahgunakan opiat, kontrol adalah pasien kctcrganlungzm opiat yang menurut catatan dari buku rekam medik berktmjung berturut- turut 6 bulan tanpa mcnggunkaan opiat dan tetap betkunjung tanpa ada keluhan mcnyalahgunakan opiat. Data dianalisis mengunakan software komputer secara bivariat dan multivariat.
Hasil: Variabel yang berhubungan dengan tcrjadinya relapse opiat antara lain tingkat pendidikan, status perkawinan, status hepatitis, lama pakai, dan cara pakai. Sedangkan variabel yang paling dominan adalah status hepatitis, aninya pasien yang menderita hepatitis lebih berisiko untuk relapse dibandingkan pasien yang tidak menderita hepatitis setelah dikontrol variabel lain.
Saran: RSKO dapat memberikan pelayanan khusus bagi pasien perempuan serta di bagian rekam rnedik perlu membuat format kajian (pertanyaan) yang lebih lengkap terutama faktor lingkungan sekitar pasien serta penyimpanan data seharusnya sudah menggunakan komputerisasi. Pada pasien diharapkan dapat mengenali diri sendiri terhadap kondisi saat ini sehingga mampu mengatasi hal-hal yang menyebabkan terjadinya relapse. Program studi diharapkan menjadi inisiator penelitian yang lebih mendalam, serta pada peneliti lain diharapkan menyertakan faktor lingkungan dan dilakukan dengan desain kohort prospekryfdengan jumlah sample yang lebih memadai.

Background: It is assumed that the high rate on relapse among drugs addictive in general (addicted to narcotics, psychotropic, and other substances/NAPZA) will not be different with the rate of relapse on opiate addictive. However, relapse occurrence on opiate addictive is relatively high and can be said as chronically disease that always relapse and relapse again. Study by E. M. Pattison (1980) cited by Hawari (2000) showed that relapse rate of the opiate is as high as 43.9%.
Objective: To Gnd out factors related to the occurrence of opiate relapse among opiate addictive patients at the drugs addiction hospital (RSKO) in .Takana 2003 - 2005. Study is using secondary data of patient's medical record. Variables of the study are consist of individual factors (sex, age, level of education, marriage status, occupational status, and hepatitis infection status); and substance factors (substance use practical pattems, duration of substance use, way of employ, frequency of using, and level of substance concentration).
Study Design: The study is an analytic observational epidemiology research that using a case-control design.
Method: Sample is achieved by a simple random sampling and it`s comprised of 72 cases and 84 controls (lzl). The case is deiine as an opiate addictive patient, who has record on being clean from opiate for six months, but retuming to RSKO because of opiate relapse. Meanwhile, the control is an opiate addictive patient, who has record on being clean from opiate and visiting RSKO regularly in six months, and still visiting RSKO without any medical problem of being opiate relapse. Data is analyzed by using statistical software on the computer in bivariate and multivariate analysis.
Result: Variables related to thc occurrence of opiate relapse are: level of education, marriage status, hepatitis status, the duration of using substance, and the way of employing the substance use. And the most dominant variable is the hepatitis status, which is mean that patient suffer from hepatitis is more likely to be relapse compare to patient without hepatitis, after it controlled by other variables.
Suggestion: RSKO can address special services towards female patient. For the medical record unit, there is c need on improving the assessment forms, especially the assessment of factors surrounding the patient?s environment. It is also suggested that patient's data storage is should be computerized. To the patients, it is suggested to be having more self contentment. Therefore, they have the ability to deal with any problems that trigger the occurrence of relapse. To the study program, it is expected that the program could be as an initiator for other intense and profound research, and other researcher should includes the environ factors and using design of prospective cohon with adequate sample size.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T34496
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Suryani
"Drug-Related Problem (DRP) adalah setiap kejadian melibatkan terapi obat, yang secara aktual atau potensial mempengaruhi hasil terapi yang dikehendaki. Geriatri sering menderita banyak penyakit dan menerima banyak obat, sehingga DRP umum terjadi pada geriatri. Fungsi utama pelayanan kefarmasian adalah mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan DRP. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan DRP karena perbedaan cara intervensi. Total sampling data 1 bulan dilakukan secara retrospektif, diperoleh 205 pasien dan 12 puskesmas memenuhi kriteria inklusi-eksklusi. DRP diidentifikasi dan kemudian diklasifikasikan menurut PCNE V 6.2. Randomisasi dilakukan sehingga dokter di 6 puskesmas hanya mendapat informasi tertulis, dan dokter di 6 puskesmas lainnya diajak berdiskusi tentang hasil identifikasi DRP. Data diambil lagi setelah intervensi dan diperoleh 202 pasien memenuhi kriteria inklusi-eksklusi. Diskusi menurunkan DRP, perbedaan antara sebelum dan sesudah intervensi nyata pada masalah (p = 0,027) dan penyebab (p = 0,028) berdasarkan uji Wilcoxon signed rank. Rekomendasi tertulis juga menurunkan DRP, perbedaan nyata pada masalah (p = 0,003) dan penyebab (p = 0,004) berdasarkan uji t berpasangan. Intervensi diskusi menurunkan lebih banyak masalah (p = 0,001) dan penyebab (p = 0,002) berdasarkan uji t tidak berpasangan, masing-masing (20,83 + 8,931) dan (25,33 + 11,431) per puskesmas, dibandingkan informasi tertulis (4,17 + 1,941) dan (5,17 + 2,483).

Drug-related problem (DRP) is any events involving drug therapy, which is actually or potentially affects the desired health outcome. Geriatrics often suffer from many diseases and were prescribed a lot of drugs. Therefore, DRP is common among geriatric patients. The main function of pharmaceutical care is to identify, resolve, and prevent DRPs. The study purpose was to analyze the differences in DRPs due to different intervention. One month total sampling were conducted retrospectively, 205 patients in 12 health centers met the inclusionexclusion criteria. DRPs were identified and then classified according to PCNE V 6.2. Randomization leads physicians in 6 health centers received recommendation letter only, while the rest were encouraged to discuss geriatric's DRPs identified. Patients data collection were prospectively performed again after intervention, 202 patients met the inclusion-exclusion criteria. DRPs were decreased by discussion, the differences were significant based on Wilcoxon signed rank test in the number of problems (p = 0.027) and causes (p = 0.028). DRPs were also decreased by recommendation letter, the differences were significant based on paired t test in the number of problems (p = 0.003) and causes (p = 0.004). From the independent t-test was also obtained that discussion with the physicians decreased more problems (p = 0.001) and causes (p = 0.002) per primary health center, (8.931 + 20.83) and (25.33 + 11.431) respectively, compared to recommendation letter (4.17 + 1.941) and (5.17 + 2.483)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T38413
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melodi Aulia
"Kecanduan merupakan suatu istilah yang digunakan apabila sesuatu hal dilakukan secara berulang-ulang dengan frekuensi yang tidak sedikit dan akan memberikan dampak tersendiri. Dampak yang dimaksud dapat berupa dampak positif dan negatif. Kecanduan idol Korea yang sedang marak terjadi di masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri, tentulah tidak mengenal usia, termasuk ke remaja yang ada di Indonesia, di mana diusia remaja ini sedang berada di tahap perkembangan mencari identitas diri yang membuat dirinya merasa nyaman (Stuart, 2013). Kecanduan idol Korea ini dapat memengaruhi pembentukan konsep diri dan efikasi diri pada remaja. Bagi remaja yang menyukai idol Korea dan memiliki konsep diri serta efikasi diri yang tinggi, biasanya dalam berperilaku dan berpenampilan, ada campur tangan dari idol Korea yang dikagumi karena merasa idol Korea ini sebagai role model dalam menjalani kehidupan dan membentuk identitas diri mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara kecanduan idol Korea terhadap konsep diri dan efikasi diri pada remaja yang berdomisili di Jakarta. Penelitian dilakukan menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan atau desain cross sectional dan dalam pengambilan data menggunakan teknik snowball sampling serta accidental sampling dengan jumlah responden sebanyak 387 responden berdasarkan penghitungan menggunakan rumus Lemeshow. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kecanduan idol Korea terhadap konsep diri pada remaja (p = < 0,001; α= 0,05). Maka dapat dikatakan pula hipotesis dalam penelitian ini adalah H0 ditolak dan Ha diterima. Selain itu,tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kecanduan idol Korea terhadap efikasi diri pada remaja (p = 0,549; α= 0,05). Maka dapat dikatakan pula hipotesis dalam penelitian ini adalah Ha ditolak dan H0 diterima.

Addiction is a term used when something is done repeatedly with a frequency that is not small and will have its own impact. The impact in question can be in the form of positive and negative impacts. The addiction to Korean idols, which is currently rife in society both at home and abroad, certainly knows no age, including teenagers in Indonesia, where at this age they are in the developmental stage of looking for a self-identity that makes them feel comfortable (Stuart, 2013). This Korean idol addiction can affect the formation of self-concept and self-efficacy in adolescents. For teenagers who like Korean idols and have high self-concept and self-efficacy, usually in behavior and appearance, there is interference from Korean idols who are admired because they feel that Korean idols are role models in living life and forming their identity. This study aims to determine the relationship between Korean idol addiction to self-concept and self-efficacy in adolescents who live in Jakarta. The research was conducted using a quantitative method with a cross sectional approach or design and in collecting data using a snowball sampling technique and accidental sampling with a total of 387 respondents based on calculations using the Lemeshow formula. The results of this study indicate that there is a significant relationship between addiction to Korean idols and self-concept in adolescents (p = < 0.001; α = 0.05). So it can also be said that the hypothesis in this study is that H0 is rejected and Ha is accepted. In addition, there is no significant relationship between Korean idol addiction and self-efficacy in adolescents (p = 0.549; α = 0.05). So it can also be said that the hypothesis in this study is that Ha is rejected and H0 is accepted."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezka Zulistia Kartika
"Distres psikologis pada tahun pertama dapat memengaruhi terbentuknya tingkah laku bermasalah dan menurunnya performa akademik. Salah satu hal yang memengaruhi distres psikologis adalah body image dissatisfaction. Tahun pertama dalam perkuliahan merupakan masa dimana mahasiswi mengalami perubahan besar dalam pola makan dan body image dissatisfaction. Perceived social support memiliki peran buffering yang dapat melindungi individu dari dampak body image dissatisfaction terhadap distres psikologis. Penelitian ini memiliki tujuan untuk melihat peran perceived social support terhadap hubungan antara body image dissatisfaction dan distres psikologis. Partisipan dalam penelitian ini merupakan mahasiswi yang sedang berada di tahun pertama antara usia 18-21 tahun (N = 319). Setelah memperoleh data, peneliti melakukan analisis moderasi menggunakan PROCESS dari Hayes. The Kessler 10-item questionnaire (K10) digunakan untuk mengukur distres psikologis, The Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) digunakan untuk mengukur perceived social support, dan Appearance Evaluation (AE) serta Body Areas Satisfaction Scale (BASS) digunakan untuk mengukur body image dissatisfaction. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswi tahun pertama cenderung puas dengan tubuhnya dan memiliki perceived social support serta distres psikologis yang sedang hingga tinggi. Lalu, ditemukan bahwa body image dissatisfaction memiliki hubungan yang lemah dan signifikan dengan distres psikologis, namun perceived social support tidak memoderasi hubungan di antara keduanya.

Psychological distress in the first year of university can influence the formation of problematic behaviors and decreased academic performance. Body image dissatisfaction affects psychological distress. First year in university is a time when students experience major changes in eating patterns and body image dissatisfaction. Perceived social support has a buffering role that can protect individuals from the impact of body image dissatisfaction on psychological distress. This study aims to examine the role of perceived social support in moderating the relationship between body image dissatisfaction and psychological distress. 319 first-year female college students between the age of 18-21 were involved. To measure psychological distress, The Kessler-10 Item Questionnaire was used (K10), The Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) was used to measure perceived social support, and to measure body image dissatisfaction, Appearance Evaluation AE and Body Areas Satisfaction Scale (BASS) were used. The result of this study showed that first year female students tend to be satisfied with their bodies and have moderate to high levels of perceived social support and psychological distress. This study also showed that body image dissatisfaction has an association with psychological distress, but perceived social support does not moderate the relationship between the two.

"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonya Fianna Indra
"Penyalahgunaan NAPZA sudah menjadi masalah yang sering muncul di wilayah perkotaan. Masalah yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan NAPZA berdampak luas bagi pengguna NAPZA. Upaya penanggulangan masalah akibat penyalahgunaan NAPZA adala dengan detoksifikasi dan rehabilitasi, namun kenyataannya masih banyak pengguna yang kembali menggunakan NAPZA karena tidak memiliki koping yang efektif dalam mengontrol keinginan untuk menggunakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa asuhan keperawatan terkait koping individu tidak efektif dapat diberikan pada klien untuk mengontrol keinginan untuk menggunakan zat yang sering muncul.

Drug abuse is a problem that often happen in the urban areas. The problems that arise as a result of drug abuse have wide impact for drug users. The effort to cope the problems that caused by drug abuse are detoxification and rehabilitation, but in fact there are still many users who use the drug again because they did not have effective coping to controlling their desire to use drugs. The analysis showed that the nursing care-related ineffective individual coping can be given to the client to control their desire to use drugs that often arise."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zumaidah
"Penyalahgunaan Opiat merupakan salah satu fenomena yang terjadi pada masalah kesehatan perkotaan. Banyak faktor yang melatarbelakangi individu terjebak dalam masalah penyalahgunaan Opiat, beberapa diantaranya adalah karena faktor individu itu sendiri, lingkungan sosial, maupun lingkungan psikologis. Masalah ini juga menimbulkan masalah lain bagi individu tersebut, seperti masalah kesehatan fisik, masalah keluarga, maupun masalah psikososial. Masalah psikososial ini bermacam-macam, beberapa diantaranya adalah koping individu tidak efektif, ansietas, HDR situasional, dan lain lain. Masalah tersebut dapat kita temukan pada pasien yang sedang menjalani terapi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat.
Pada karya ilmiah ini dijelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan masalah ansietas. asuhan keperawatan diberikan saat mahasiswa melakukan praktik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan. Teknik relaksasi yang dimodifikasi dengan teknik psikoterapi efektif dilakukan untuk mengatasi ansietas pada klien kelolaan. Terdapat beberapa teknik relaksasi lain maupun teknik lain dengan pendekatan psikologi yang dapat dilakukan, oleh karena itu diharapkan selanjutnya dapat dilakukan pemberian asuhan keperawatan dengan teknik lain dan dibuktikan keefektifitasannya dalam mengatasi masalah keperawatan ansietas.

Opiate abuse is a phenomenon that occurs in urban health issues. Many factors behind individuals trapped in Opiate abuse problems, some of which are due to the individual, social, and psychological environment. This issue also raises another problem for the individual, such as physical health problems, family issues, and psychosocial issues. There are many kind of the psychosocial problems, some of which are ineffective individual coping, anxiety, low self esteem, and others.
At this paper described the nursing care given to clients with anxiety problems. Nursing care is given when students do urban community health nursing practice. Deep breathing relaxation techniques are modified with effective psychotherapeutic techniques to overcome anxiety performed on the managed client. There are some other relaxation techniques and other techniques with psychological approaches that can be done, therefore, is expected to further provision of nursing care can be done with other techniques and proved their effectiveness in overcoming the problem of nursing anxiety."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuniar Sukmawati
"ABSTRAK
Permasalahan NAPZA secara global menjadi persoalan hampir di semua Negara. Pecandu Narkotika, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani Rehabilitasi Medis maupun Rehabilitasi Sosial. Perawatan Rehabilitasi Medis NAPZA memerlukan waktu lama dan biaya yang tinggi, perlu mengetahui faktorfaktor yang menjadi beban biaya. Penelitian ini menggunakan desainpotong lintang.. Dari 68 Pasien Rehabilitasi Medis NAPZA, 79,4 % mengalami komplikasi, rata-rata lama dirawat 180 hari, biaya rata-rata Rp.20.512.370,-, dan tidak terbukti ada hubungan antara karakteristik pasien dengan biaya rehabilitasi Medis NAPZA. Program Rehabilitasi di RSKO terdiri 3 tahap. Komponen biaya yang paling besar adalah tahap Rehabilitasi sebanyak 87,2%, tahap Detoksifikasi/EMP sebanyak 12,07 %, sedang tahap After Care 0.72 %. Komponen biaya terbesar pada tahap Rehabilitasi adalah Akomodasi, yang kedua adalah Obat. Pada tahap Detoksifikasi/EMP komponen biaya paling tinggi.adalah obat. Asuransi Kesehatan Sosial tidak menjamin biaya Rehabilitasi Medis NAPZA. Studi merekomendasikan sustainabilitas layanan Pasien Rehabilitasi Medis NAPZA.

ABSTRACT
The drug abuse has become a problem globally. Addicts and the victims related to drugs abuse have to be admitted to the medical rehabilitation as well as social rehabilitation. Medical rehabilitation is expensive so that it?s important to know factors that affect the cost. This crossectional study was using quantitative method. The result showed that out off 68 rehabilitation patients, 79,8 % had complication, on average 180 treatment days, and average of cost was Rp.20.512.370,-,. There was no relationship between patients charactheristic and the cost. The rehabilitation program in RSKO consists of 3 stages, namely Rehabilitation (87,2 %), Detoxification (12,07 %), and After Care (0,72%). Accomodation, followed with the treatment cost are two largest cost component in rehabilitation stage. The highest cost of detoxification was for medication. The social health insurance do not cover any treatment for drug abuse rehabilitation. To sustain program in the future, advocacy to policy made is needed.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T39110
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Hafsari
"Jumlah kasus HIV/AIDS setiap tahunnya mengalami peningkatan, dan salah satu faktor yang menyebkan peningkatan kasus HIV adalah dengan adanya peningkatan jumlah penularan di kalangan pengguna NAPZA suntik. Masalah tersebut mendorong dilakukannya penelitian ini untuk melihat faktor-faktor faktor-faktor yang berhubungan dengan status HIV pada pengguna NAPZA suntik di Klinik PTRM Rumah Sakit Ketergantungan Obat Cibubur Tahun 2014. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional dengan sampel 46 pasien NAPZA suntik di Klinik PTRM. Hasil penelitian menunjukkan status HIV (+) sebesar 63%, diketahui 87% penasun adalah laki-laki, 58.7% berusia ≥34 tahun, 71,7% memiliki tingkat pendidikan ≤SMA, 58.7% menikah, 69.6% memiliki tingkat pengetahuan HIV yang baik, 63% penasun telah menyuntik ≥9 tahun, 50% penasun pertama kali menyuntik di usia <19 tahun, 69.6% penasun menyuntik ≥3 kali sehari, 87% penasun berbagi jarum suntik, 43.5% penasun melakukan sterilisasi dengan air bersih, 60.9% penasun melakukan seks berisiko rendah, 80.4% penasun memanfaatkan LJSS, 52.2% telah mengikuti terapi metadon ≥4 tahun, 58.7% penasun mendapatkan NAPZA dari ≥2 sumber yang berbeda. Hasil uji Chi Square menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara usia pertama kali menyuntik (PR 1.8; P Value = 0.02), berbagi jarum suntik (PR 4.2; P Value = 0.02), dan sterilisasi jarum menggunakan air bersih (PR 5.5; P Value = 0.006) dengan status HIV. Oleh karena itu perlu dikembangkan lagi akses terhadap jarum suntik steril bagi penasun.

Number of HIV/AIDS cases has increased every year, and one of factor that cause this rapid increases is the rise prevalence among injecting drug user. That problem encourage this study to observe the factors associated HIV status among Injecting Drug Users at Methadone Maintenance Treatment Program RSKO Jakarta in 2014. This study using cross sectional study with 46 sample of IDUs in methadone maintenance treatment program. The results shows that proportion of HIV (+) is 63%, most respondents (87%) are male, 58.7% aged ≥34 year, 71.7% have less or secondary high school, 58.7% married, 69.6% have good knowledge about HIV, 63% had injecting for ≥9 years, 50% first injecting drugs in <19 years old, 69.6% injected drugs ≥3 times a day, 87% sharing needles, 43.5% rinsed needles with clean water, 60.9% having low risk sexual activity, 80.4% had utilize Needle and Syringe Program (NSP), 52.2% had join methadone maintenance treatment program for ≥4 year. The results of Chi-square test stated there are significant relationsip between age of first injecting drugs (PR 1.8; P Value = 0.02), sharing needles (PR 4.2; P Value = 0.02) and rinsed needle with clean water (PR 5.5; P Value = 0.006) with HIV status. The results suggest that access of needle exchange programs should be developed."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S55896
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudarmi
"Kepatuhan kunjungan ulang pasien rujukan persalinan merupakan salah satu upaya menurun AKI. AKI di RSUP Fatmawati 100% berasal dari kasus rujukan, dan pada bulan Januari, Februari dan Maret 2004 pasien rujukan persalinan yang patuh melakukan kontrol hanya 25%. Kasus rujukan persalinan 95,7% mempunyai penyulit sehingga perlu kunjungan ulang, mengingat asuhan masa nifas sangat penting dimana perlu memberikan konseling KB sedini mungkin, bahaya kehamilan yang akan datang, serta untuk mengetahui dampak intervensi sebelumnya, maka perlu identifikasi faktor-faktor penyebabnya.
Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya gambaran kepatuhan kunjungan ulang pasien rujukan persalinan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2003-2004. Penelitian menggunakan desain cross sectional. Responden dalam penelitian ini, adalah ibu hamil trimester ke III yang dirujuk untuk bersalin dari tanggal 1 juni 2003 sampai dengan 31 Mei 2004, menggunakan data sekunder, pengambilan sampel secara simpel random sampling sebanyak 212 orang.
Hasil penelitian ini menunjukan tingkat kepatuhan sebesar 18,9%. Penelitian ini dari 12 variabel yang diteliti yang ada hubungan bermakna adalah 5 variabel yaitu umur, paritas, jarak kelahiran, pendidikan ibu, pengalaman berobat, dengan kepatuhan kunjungan ulang. Untuk variabel pekerjaan ibu, pekerjaan kepala keluarga, penanggung biaya, jarak tempuh, riwayat persalinan yang lalu, penyulit kehamilan, dan penyakit yang diderita ibu tidak hubungan. Dalam hal ini lima dari dua betas hipotesa yang berhasil dibuktikan kebenarannya.
Dan hanya 2 variabel yang secara signifikan berhubungan yaitu jarak kehamilan dan pengalaman berobat. Dimana setiap kenaikan 1 tahun jarak kelahiran berpeluang untuk melakukan kunjungan ulang sebesar 1,21 kali dengan (95% CI: 1.03-1,43) setelah dikontrol pengalaman berobat. Responden yang berpengalaman berobat berpeluang untuk patuh sebesar 6.61 kali dengan ( 95% CI:3,07-14,20) setelah dikontrol variabel jarak kelahiran responden.
Dari 12 variabel independen yang dapat diintervensi untuk meningkatkan kepatuhan di rumah sakit hanya I variabel adalah pengalaman berobat dan 11 variabel Iainnya yang berasal dari iuar rumah sakitldiluar kontrol RSUP Fatmawati, intervensinya harus dilakukan dengan koordinasi lintas sektoral baik DepKes, Depag, Depdiknas, Departemen Pemberdayaan Wanita, Depdagri dan LSM.

Factors Related To Compliance Of Revisit Among Referred Delivery Patients In Fatmawati General Hospital, Jakarta 2003-2004Revisit compliance among referred delivery patients is one of important effort to reduce Maternal Mortality Rate. In the Fatmawati General Hospital all maternal death was caused by referred delivery cases. During January, February and March 2004 the revisit compliance of the referred delivery cases was only 25%. Revisit during post partum period is absolutely important since during this time it is timely appropriate to early introduce family planning methods for preventing future problems of maternal and newborn health_ Therefore, it is quite important to identify factors related with the revisit compliance of the referred delivery patients in the hospital.
The objective of this study was to assess factors related to revisit compliance among referred delivery patients in the Fatmawati General Hospital 2003-2004. The design of the study was a cross-sectional design. Population of the study was 3'1 quarter pregnant women who were referred to the delivery room and had a referral letter. The referral took place between June 1 2003 to May 31, 2004. A total of 212 sample of the study was selected using a simple random sampling method.
Results of the study indicated that the revisit compliance of the referred delivery patients in the Fatmawati General Hospital was 18,9%. In addition, it showed that there was a significant correlation between revisit compliance of the patients with the following independent variables namely age, parity, birth space, education of mothers, and previous experience of using the hospital services. There was no significant relationship between revisit compliance with the following variables: work status of the mother, occupation of the head of household, person respoiisible for cost of care in the hospital, distance of home to hospital, obstetric history, problems of pregnancy and diseases affecting the mothers. In this study, 5 out of 12 hypotheses was accepted.
There were significant relationship between birth space and the experience of utilization of hospital services of the pregnant women. After being controlled with the previous experience of the pregnant women in using hospital service, for each year increase of birth space provides a chance of revisit compliance 1.21 times (95% confidence interval 1,03-1,43). After being control with variable of birth space, those pregnant women who had experience in using previous hospital service had a chance 6,61 times (95% confidence interval 3,07-14,20).
Out of 12 variables that are amenable to intervention only previous experience of using hospital service which could be intervened by the hospital. Some other variables such as birth space, occupation of the husband, obstetric history etc could only be intervened by inter-sectoral cooperation among different institutions. Therefore, it is strongly recommended that the improvement of women status and their empowerment should become a priority of the government and non-government intervention.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T12815
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christiana E.N. Hendarjudani
"Sebagai salah satu rumah sakit khusus yang menangani penyalahgunaan NAPZA yang semakin meningkat kecenderungan penderitanya, Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta saat ini dihadapkan pada menurunnya jumlah kunjungan rawat jalan dan rawat inap. Berkaitan dengan mutu pelayanan kesehatan, maka untuk mengetahui penurunan jumlah kunjungan rawat jalan dan rawat inap diperlukan berbagai indikator, yang salah satunya adalah indikator kepuasan pasien. Kepuasan pasien adalah perbandingan produk yang dirasakan dalam hubungannya dengan harapan seseorang.
Pada penelitian ini tingkat kepuasan pasien (variabel dependen) dilihat dari 5 (lima) dimensi mutu yaitu dimensi rangible, dimensi responsiveness, dimensi reliability, dimensi assurance serta dimensi empathy. Sedangkan untuk variabel independen adalah faktor yang mempengaruhinya seperti kebutuhan pribadi yang tercermin dari biaya pengobatan, tempat pelayanan dan akses, serta karakteristik predisposisi yang meliputi umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekenjaan dan pengeluaran.
Desain penelitian adalah cross-sectional dengan metoda survei. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel total (sensus) untuk pasien rawat inap yaitu 10 sampel dan 70 sampel pasien rawat jalan. Analisis statistik mempergunakan analisa univariat, analisa bivariat (chi-square) dan Importance and Performance Analysis (diagram Kartesius).
Gambaran karakteristik pasien yang lebih banyak bcrkunjung ke RSKO Jakarta adalah pasien dengan umur 2 18 tahun, jenis kelamin laki-laki, status perkawinan belum menikah, pendidikan SLTA, pengeluaran lebih besar sama dengan Rp. 481.585,-, biaya pengobatan ditanggung Sendiri, tempat pelayanan RSKO Fatmawati serta akses yang mudah dijangkau. Tingkat kepuasan terkecil adalah dimensi responsiveness (81,02%) pada pasien rawat jalan. Sedang rata-rata nilai harapan dan persepsi pada pasien rawat inap terkecil pada dimensi responsiveness (78,05), dan dimensi rangible (79,05).
Dengan cut of point 90% didapat hasil 64,3% pasien rawat jalan tidak puas, dan 70% pasien rawat inap tidak puas. Hasil analisis bivariat didapatkan hubungan yang bermakna antara umur, jenis kelamin, Serta tempat pelayanan dengan kepuasan pasien rawat jalan. Adapun pasien rawat inap tidak didapatkannya hubungan yang bermakna antara karakteristik predisposisi, Serta kebutuhan pribadi dengan kepuasan pasien.
Hasil analisis Kartesius didapatkan faktor-faktor dimensi pelayanan yang menjadi prioritas utama dan harus dilaksanakan sesuai dengan harapan pasien baik rawat jalan maupun rawat inap adalah (1) RS mempunyai fasilitas lengkap, (2) jadual pelayanan rumah sakit dijalankan dengan tepat, (3) perawat tanggap akan memberikan bantuan pelayanan yang cepat, tepat kepada pasien, (4) prosedur pelayanan yang tidak berbelit-belit.
Saran yang dapat diberikan guna peningkatan kepuasan pasien adalah pembinaan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas kinerja yang sudah ada sehingga dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan pelanggan, adanya fasilitas yang lengkap, diperbaikinya alur pasien dan standard operating procedur yang selama ini sudah ada."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T12879
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>