Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 192409 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan "Mengapa
suku bangsa Batak Tuba lebih berhasil di bidang pendidikan
daripada suku bangaa Melayu?". Upaya untuk mengungkapkannya
adalah dengan mempelajari gambaran motivasi berprestasi,
dan keterkaitan antara pola pengasuhan dan motivasi
berprestasi pada kedua suku bangsa tersebut.
Motivasi berprestasi adalah kecenderungan dari diri
individu untuk mencapai prestasi secara optimal yang tampak
dari usaha yang gigih untuk mencapai keberhasilan dalam
segala aktifitas kehidupan dengan menggunakan suatu ukuran
keunggulan yaitu perbandingan dengan prestasi orang lain
atau standart tertentu. (McClelland, dalam Zimbardo,1985).
Motivasi berprestasi dipengaruhi oleh pola asuh yaitu
seperangkat sikap dan perilaku yang tertata, yang
diterapkan oleh orangtua dalam berinteraksi dengan anaknya
(Baumrind, dalam Achir,1990). Sementara itu pola pengasuhan
anak dipengaruhi oleh latar belakang etnografis yaitu
lingkungan hidup yang berupa habitat, pola menetap,
lingkungan sosial, sejarah, sistem mata pencaharian, sistem
kekerabatan, sistem kemasyaratan, sistem kepercayaan,
upacara keagamaan dan sebagainya. Karena itu, cara
pengasuhan anakpun berbeda-beda di berbagai masyarakat dan
kebudayaan. (Danandjaja,19B8).
Untuk menjawab permasalahan di atas, dilakukan
pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara
mendalam dan observasi tidak terlibat sebagai metode utama
dalam pengumpulan data. Subyek penelitian adalah orangtua
dan anak suku bangsa Batak Toba dan MeIayu, yang bertempat
tinggal di desa asalnya, yaitu suku bangsa Melayu di desa
Bogak, dan suku bangsa Batak Toba, di desa Parparean II.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suku bangsa
Batak Toba di desa Parparean II memiliki lingkungan
geografis berstruktur tanah gersang, sehingga tingkat
kesuburannya tergantung pada curah hujan, membuat
masyarakatnya tidak termanjakan oleh alam. Bermata
pencaharian sebagai petani, menariknya, penggarap sawah
mayoritas adalah perempuan.
Suku bangsa Batak Toba meletakkan nilai pendidikan
sebagai hal yang utama dalam kehidupan mereka. Hal ini
dilandasi oleh nilai-nilai filsafat hidup orang Batak Toba,
bahwa jalan menuju tercapainya kegayaan (hamoraon) dan
kehormatan ( hasangapon) adalah melalui pendidikan.
Dalam hal pola pengasuhan, cenderung bergaya
authoritative. Sekalipun demikian, gaya authoritarian tetap
masih ada berkaitan dengan keinginan agar anak bersikap
taat pada aturan agama dan orangtua. Pola pengasuhan ini
diikuti juga oleh sikap orangtua yang mendorong pencapaian
pendidikan anak berupa dukungan, kontrol dan kekuasaan.
Hal yang juga menarik, ternyata nilai kerja yang tinggi
dimiliki oleh Orangtua Batak Toba Berhasil dan Anak Batak
Toba Berhasil yang secara nyata diaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari guna merealisasikan pencapaian
keberhasilan pendidikan.
Sedangkan suku bangsa Melayu di desa Bogak, yaitu
sebuah desa pantai, mayoritas tinggal di rumah-rumah
panggung yang non permanen, berdinding kayu dan beratap
daun nipah atau seng. Mata pencaharian penduduk yang utama
adalah nelayan. Hal yang menonjol adalah banyaknya sarana
hiburan di desa ini.
Berbeda dengan daerah di tempat suku Batak Toba tinggal,
di daerah ini, pada pagi dan siang hari saat jam pelajaran
sekolah berlangsung, tampak banyak anak usia sekolah yang
tidak bersekolah dan. memilih bekerja sebagai "anak. itik"
yang berpenghasilan minimal sebesar Rp 20.000, dan
adakalanya mendapatkan Rp 100.000,- per harinya. Tergambar
bahwa anak mempunyai "nilai .ekonomis", dalam arti untuk
membantu penghasilan keluarga. Dengan demikian, dapat
dimaklumi bila pada akhirnya nilai pendidikan bukan menjadi
hal yang utama dalam. pandangan suku ini. Nilai kerjalah
yang dominan bagi suku bangsa Melayu."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T38532
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Laurentius Dyson P.
"Dari hasil penelitian kami mengenai sistim gotong ro_yong tolong menolong di desa Juhan Asa, maka dapat kami ta_rik kesimpulan bahwa dari tujuh jenis tolong menolong yang ditemukan di Jawa oleh Koentjaraningrat (1961 : 29) hanya ada lima jenis saja tolong menolong yang berlaku di desa ,tersebut, yaitu : a. gotong royong tolong menolong dalam peristiwa }cematian dan bencana lain seperti sakit parah atau rumah terbakar, b. gotong royong tolong menolong yang ne1ibat semua penduduk desa untuk mengerjakan proyek yang tegunaanny a dirasakan oleh semua penduduk desa, c. gotong ,royong tolong menolong dalam upacara dan pesta, d. gotong 'royong tolong menolong dalam kegiatan sekitar rumah tang-!a, dan e. gotong royong tolong menolong dalam kegiatan pertanian."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1979
S12087
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasugian, Sukardi W.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S3550
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Z.M. Hidajat
Bandung : Tarsito, 1976
306 HID m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhil Shonhadji
"Desa Durian, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak, merupakan tipe desa berpenduduk multi suku bangsa yang banyak di antaranya hidup campur. Tidak sebagaimana yang terjadi di banyak tempat di Kalimantan Barat yang hubungan antar warga beragam suku bangsa sering menimbulkan pertikaian, bahkan kerusuhan antar suku bangsa, hubungan yang sama di desa ini menunjukkan kenyataan berbeda. Meski terdapat potensi pertikaian, namun dengan prinsip-prinsip sosial budaya yang berkembang selama ini, warga-warga suku bangsa yang 11 jenis itu telah mampu mempertahankan stabilitas hubungan dan suasana keakraban di antara mereka.
Dua hipotesis kerja dikemukakan dalam penelitian ini: (1) berlakunya pranata-pranata sosial umum lokal dalam mengatur interaksi sosial antar warga beragam suku bangsa merupakan penentu terhadap terselenggaranya stabilitas hubungan antar warga tersebut, betapapun terdapat kenyataan bahwa masing-masing kelompok warga suku bangsa itu memiliki pranata-pranatanya sendiri, dan di sisi lain terdapat ketidakseimbangan dalam pembagian sumber daya berharga dan langka di antara mereka; (2) berlakunya pranata-pranata sosial dalam mengatur interaksi sosial antar warga beragam suku bangsa dalam suasana-suasana yang dikemukakan tadi, merupakan akumulasi dari proses perjalanan sejarah dan yang ditopang oleh faktor kepemimpinan lokal.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya proses hubungan sosial antar warga beragam suku bangsa yang naik turun sejalan dengan perkembangan waktu. Sejak mula kedatangan secara bergelombang warga-warga beragam suku bangsa ke desa ini, di pertukaran abad lalu hingga sekurang-kurangnya dekade 1964-an, terdapat warna hubungan patron-klien amat kuat di antara warga-warga suku bangsa tertentu dan warga-warga suku bangsa yang lain. Warga-warga Bugis, Arab, Tionghoa, dan bahkan India dan Jepang, untuk rentang waktu tertentu, dikenal sebagai patron, pemilik kebun karet dan industri pengolahan karet amat potensial; sedang sebagai anak buah yang menjadi kuli dan karyawan terdiri dari warga-warga Madura, Jawa, Dayak, Banjar dan Sunda. Hubungan yang terjalin di antara kedua belah pihak selama itu, meski terdapat riak-riak ketidaknyamanan, khususnya di pihak klien, sehingga menimbulkan ungkapan-ungkapan stereotip tertentu, namun suasana keakraban yang mentradisi di antara mereka tampak telah menjadi realitas yang menyejarah. Muara dari saling hubungan tadi adalah terpolanya kedekatan hubungan dan bahkan saling ketergantungan antar kelompok-kelompok warga suku bangsa tertentu. Misalnya antara warga-warga Tionghoa-Dayak, Jawa dan Madura, Bugis-Madura, Dayak dan Jawa serta Arab-Madura dan Dayak. Pasangan-pasangan hubungan tadi bahkan telah mencapai kondisi sedemikian rupa, bahwa yang satu tidak bisa beraktivitas tanpa bantuan yang lain.
Memasuki dekade 1970-an, suasana hubungan antar warga beragam suku bangsa mulai mengalami perubahan. Pada tahun-tahun itu, terdapat gelombang kedatangan warga Madura dari daerah-daerah kerusuhan di pedalaman Kalimantan Barat, terutama dari daerah Sambas ke desa Sejak itu, apalagi industri karet sudah tidak lagi menjanjikan seperti tahun-tahun sebelunmya, bersamaan dengan "gangguan" yang dilakukan oknum-oknum Madura dalam soal tanah, maka terjadilah perubahan yang cukup signifikan dalam peta kepemilikan atas tanah di desa ini. Secara perlahan kampung-kampung yang dulunya merupakan pemukiman Bugis telah berubah menjadi pemukiman Madura, atau mayoritas Madura. Warga Bugis, begitu juga warga Tionghoa, mengalihkan perhatian untuk tinggal dan bermatapencaharian di Pontianak. Meski tidak sedikit di antara mereka masih mempertahankan kepemilikan kebun-kebun mereka di desa. Perubahan pun terlihat pads tumbuhnya bermacam usaha industri kecil dan menengah, seperti penggergajian kayu, keranjang, pengolahan saga, peternakan babi, angkutan sungai dan penanaman sayur. Hubungan yang dulu terakumulasi ke patron-klien, sejak tahun-tahun itu berkembang ke pola-pola hubungan pertemanan dan pertetanggaan. Kerja sama yang timbul dari hubungan tadi mulai merambah ke usaha pengolahan kebun, yakni dalam bentuk bagi hasil, numpang dan majek atau kontrak. Dalam pola kerja sama terakhir ini pun terlihat jelas adanya pola ketergantungan antara pasangan-pasangan suku bangsa yang telah disebutkan. Bedanya, warga Jawa tidak lagi masuk dalam kelompok-kelompok pasangan seperti telah disebutkan. Dalam pola hubungan itu tampak jelas bahwa warga Madura dikenal sebagai pemburu, atau pihak yang membutuhkan, tanah amat agresif. Kepada suku bangsa apa pun mereka berupaya menjalin hubungan demi kebutuhan atas tanah tadi, tidak terkecuali dengan warga Dayak.
Penelitian ini, dalam konteks kini, menemukan indikasi adanya persoalan kelangkaan dalam pembagian sumber daya lahan pekarangan dan kebun, kekuasaan di lembaga-lembaga kepemimpinan desa, kesempatan belajar dan bekerja yang dialami kelompok Madura. Jika kalangan warga suku-suku bangsa lain dalam pembagian tadi mengikuti pola plus minus dan saling melengkapi, namun tidak demikian yang dihadapi warga Madura yang akses mereka ke jenis-jenis sumber daya yang ada tampak jauh tertinggal. Kondisi demikian dimungkinkan menjadi faktor pendorong terhadap timbulnya tindak pencurian dan perampokan yang dilakukan, langsung atau tidak langsung, oleh banyak oknum Madura desa ini, sebagaimana hal itu dikeluhkan, kalau bukan dituduhkan, oleh warga-warga bukan Madura. Angka pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dan tidak terimbangi oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai, di samping pola hidup yang cenderung membatasi ke kelompok sendiri telah memberi pengaruh tersendiri terhadap persoalan yang dihadapi warga Madura.
Upaya bagi penanggulangan atas tindak kriminal tadi bukan tidak dilakukan, namun karena upaya tadi lebih bersifat prefentif dan tidak terkoordinasi, apalagi tidak mendapat dukungan dari pihak aparat keamanan, maka hingga kini upaya tersebut tidak atau belum menampakkan hasil. Akibat dari tindak kriminal tadi, maka stereotip dan prasangka buruk disertai cemooh terhadap oknum-oknum Madura dan kemudian ke keseluruhan suku Madura menjadi tak terelakkan.
Pengamatan seksama atas desa ini memperlihatkan, meski terdapat ketegangan, namun kekentalan hubungan kerja sama dan kebersamaan antar warga beragam suku bangsa merupakan fenomena tersendiri. Hubungan yang bersifat simbiosis dan bahkan amalgamasi merupakan kenyataan lazim yang sudah mentradisi. Kedekatan hubungan dan jalinan pergaulan antar warga beragam suku bangsa yang sudah berlangsung lebih dan seabad tampak telah menjadi tonggak tersendiri dalam menciptakan akar budaya kerja sama antar warga tersebut. Pranata-pranata sosial yang melandasi hubungan antar warga yang berkembang di desa ini pada kenyataannya telah mampu meredam ketegangan yang ada, sehingga tidak menimbulkan akibat yang tidak diinginkan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7078
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulyani Hidayah
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015
305.8 ZUL e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Saraswati Soegiharto
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian, 2003
305.8 Soe p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>