Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 191173 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fabiola Priscilla Harlimsyah
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kemajuan yang dicapai oleh seorang anak penyandang autisme ringan melalui penerapan terapi sensory integration selama tiga bulan. Selain itu, penulisan tugas akhir ini juga bertujuan untuk mengetahui hal-hal apa yang mendukung keberhasilan terapi. Penelitian ini melibatkan seorang anak penyandang autisme ringan yang diambil secara purposif dengan menggunakan pendekatan kualitatif berupa studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat kemajuan dalam aspek komunikasi, interaksi, dan emosi pada diri subjek setelah menerapkan terapi sensory integration secara efektif selama tiga bulan. Hal ini disebabkan oleh pelaksanaan sesi terapi yang cukup rutin juga keterlibatan keluarga subjek untuk melakukan berbagai aktivitas dan pendekatan yang mendukung terapi. Berbagai aktivitas yang mendukung terapi seperti hiking, berkuda, dan renang dapat memberikan input-input sensorik yang dibutuhkan subjek. Pendekatan visual support yang diterapkan terhadap subjek memudahkannya untuk berkomunikasi melalui gambar. Interaksi antara subjek dengan Ibu juga lebih berkembang dengan penerapan prinsip floor Iime, meskipun belum diterapkan secara optimal. Selain beberapa faktor yang mendukung, terdapat juga beberapa kondisi yang dapat menghambat terapi, antara lain kondisi Kendala maupun kemajuan yang dialami oleh subjek dapat dipengaruhi oleh berbagai hal yang belum banyak tergali dalam waktu yang singkat. Untuk itu, penelitian serupa hendaknya dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama. Dengan demikian, kita dapat memperoleh gambaran yang lebih baik mengenai kemajuan maupun informasi tambahan dari penerapan terapi sensory integration pada anak penyandang autis ringan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alzena Masykouri
"ABSTRAK
Banyak kasus yang ditangani oleh psikolog anak adalah gangguan perkembangan pada anak, terutama anak usia sekolah. Salah satu gangguan perkembangan tersebut dikenal sebagai Attention Deficit/Hyperactive Disorder (AD/HD). Gangguan ini memiliki ciri-ciri adanya tingkah laku tertentu yang berulang dan berlangsung minimal selama 6 bulan. Tingkah laku yang dikategorikan sebagai gangguan adalah tingkah laku yang inattenrion, hyperactivity, dan impolsivity Anak dengan gangguan AD/HD ini menunjukkan rentang perhatian yang singkat, mudah terganggu (distractibility) atau tidak bisa tenang (restless). Aspek sosial anak pun dapat terganggu karenanya. Kemarnpuan berelasi sosial menjadi rendah, kontrol diri yang buruk, bahkan cenderung tidak: mematuhi perintah dan bertindak agresif. Demikian pula pada aspek kognitif dan akademik, dimana AD/HD menyebabkan kurangnya perhatian dan timbulnya kesulitan belajar spesifik.
Penyebab AD/HD adalah disfungsi neurologis di otak, dan penanganan AD/HD secara psikologis Iebih ditekankan pada terapi tingkah laku (Behavior Therapy). Karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai AD/HD dari tinjauan neurologis, baik secara teori maupun praktis, yaitu berdasarkan teori Sensory Integration.
Teori Sensory Integration mengemukakan bahwa. integrasi sensori merupakan proses pengolahan informasi di otak Otak, sebagai mesin sensoris, harus dapat memilih, mengembangkan, melanjutkan, menghambat, membandingkan, dan mengasosiasikan informasi-informasi sensoris secara fleksibel dan dengan pola yang berubah-ubah. Singkatnya, otak harus mengintegrasikan seluruh informasi yang masuk melalui sensor-sensor dari tubuh sehingga manusia dapat berfungsi optimal. Proses integrasi sensori yang terjadi pada manusia dimulai dari proses penerimaan informasi oleh indera yang dirniliki oleh rnanusia, kemudian diolah oleh susunan saraf pusat (SSP). Akhirnya respon yang diberikan oleh indera-indera manusia, yaitu indera dekat : tactile, vestibular, dan proprioceptive, serta indera jauh: pengelihaian, penciuman, perabaan, perasa, dan pendengaran.
Anak dengan gangguan pada proses integrasi sensori menunjukkan tingkah laku yang berbeda dengan anak pada umumnya Perbedaan perilaku itu sering dilihat sebagai ciri-ciri dari AD/HD, yaitu inattetion, hyperactivity, dan restless. Untuk mengatasi permasalahan telsebut, maka anak diberikan suatu program intervensi atau tetapi yang berbasis sensory integration. Prinsip utama dari intervensi ini adalah menyediakan kesempatan bagi individu untuk mendapatkan informasi melalui indera-indera dekat, yaitu proprioceptive, vestibuiar, dan tactile. Sedangkan tujuan dari intervensi ini adalah memodulasi onntasi pertahanan dari sistem saraf individu dengan menggunakan lingkungan dan pengalaman sensoris, serta untuk menghasilkan tingkah laku adaptif yang sesuai. Juga untuk memperbaiki keseimbangan antara inhibisi dan eksitasi dalam sistern saraf atau secara sederhana meningkatkan fungsi SSP.
Berdasarkan pengamaian dan analisis yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa dalam penanganan kasus ADH-ID dapat digunakan pendekatan Sensory Integration, yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada kemampuan individu untuk memfungsikan sensor-sensor tubuh atau indera, agar dapai memproses informasi yang masuk dengan efektif dan menghasilkan tingkah laku yang adaptif. Peningkatan kemampuan individu dengan AD/HD yang ditangani dengan terapi Sensory Integration tampak pada meningkatnya rentang perhatian (attention) dan kemampuan untuk merencanakan gerak (impulsivitas) dan mengorganisasikan gerak Hyperactivity). Ini disebabkan kemampuan individu untuk kedua hal tersebut berkembang seiring berkembangnya kemampuan dari indera-indera sensorisnya. Dengan demikian dapat dianggap bahwa, melalui kegiatan-kegiatan sensory integration ini maka proses penerimaan dan pengolahan informasi yang teljadi di otak menjadi lebih baik, seiring dengan tampilan tingkah laku yang lebih adaptif dari individu dengan AD/HD.
Berdasarkan hal tersebut, maka pendekatan dengan menggunakan sensory integration ini dapat disarankan untuk menangani individu dengan AD/HD."
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T38371
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Raditha
"Latar belakang: : Gangguan spektrum autisme (GSA) adalah gangguan
neurodevelopmental yang menyebabkan gangguan komunikasi sosial, interaksi serta
perilaku restriktif dan repetitif yang meliputi gangguan sensori. Gangguan pemrosesan
sensorik menimbulkan kesulitan dalam meregulasi respons terhadap sensasi dan stimulus
spesifik sehingga membatasi kemampuan berpartisipasi dalam rutinitas harian normal.
Terapi okupasi sensori integrasi (TO-SI) digunakan untuk meningkatkan kemampuan
untuk memproses dan mengintegrasi informasi sensorik. Penelitian menunjukkan bukti
ilmiah rendah hingga sedang pada anak usia lebih besar. Berdasarkan pengalaman klinis
Pusponegoro, TO-SI dapat meningkatkan perilaku positif anak GSA terutama pada usia
di bawah 5 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh TO-SI dalam
meningkatkan perilaku positif anak usia 2 sampai 5 tahun dengan GSA.
Metode: Penelitian pra-eksperimen di klinik Check My Child (CMC) dan Klinik Anakku
Kelapa Gading pada bulan Maret-Oktober 2019. Populasi penelitian adalah anak baru
dengan GSA usia 2-5 tahun berdasarkan DSM-5. Subyek dikumpulkan secara konsekutif
sampling. Pelaksanan TO-SI yaitu dua kali seminggu selama 12 minggu (24 kali), 60
menit untuk setiap sesi. Profil perilaku dinilai berdasarkan Vineland Adaptive Behavior-
II sebelum dan sesudah TO-SI.
Hasil: Penelitian dilakukan pada 36 subjek, 38,9% berusia 3 tahun diikuti usia 2 tahun
(33,3%), rasio lelaki dibandingkan perempuan 3 : 1. Sebelum TO-SI, perilaku positif
berada pada kategori rendah. Setelah TO-SI, terdapat peningkatan bermakna domain
komunikasi, subdomain ekspresif, reseptif dan tertulis (p<0,001; p<0,001; p<0,001; p
0,035) terutama pada kelompok usia 2-4 tahun. Domain sosialisasi, subdomain hubungan
interpersonal serta subdomain waktu luang dan bermain juga meningkat bermakna (p
0.001; p<0.001; p,0.001) terutama pada kelompok usia 2 tahun. Tidak terdapat
peningkatan bermakna pada subdomain kemampuan coping, serta domain dan subdomain
keterampilan aktivitas harian.
Kesimpulan: Kami menemukan bahwa TO-SI dengan kepatuhan teori Ayres yang baik
dalam 60 menit, dua kali seminggu selama 12 minggu dapat meningkatkan perilaku
positif anak GSA usia dini terutama usia 2 hingga 5 tahun

Background: Autism spectrum disorder (ASD) is a complex neurodevelopmental
disorder in social communication, interaction, and restrictive, repetitive pattern of
behavior (including sensory disorder). Sensory processing disorder yields difficulty in
regulating responses to sensation and spesific stimuli which limits the ability to
participate in normal life routines. Sensory integration occupational therapy (SI-OT) is a
method to increase ability to process and integrate sensory information. Most studies
showed that SI-OT has low to moderate evidence in older children. Based on clinical
experience of Pusponegoro, SI-OT might be useful for ASD treatment for children under
5 years old. We conducted a study to evaluate the effect of SI-OT in improving positive
behavior of children aged 2 to 5 years old with ASD.
Methods: A pre-post one group pre-experimental study conducted in Check My Child
clinic (CMC) and Klinik Anakku Kelapa Gading on March-October 2019. Study
population were recently diagnosed ASD children aged 2 to 5 years old. Subjects were
collected with consecutive sampling. The SI-OT were applied twice a week for 12 weeks
(24 times), 60 minutes for each session. Pre and post SI-OT evaluation of positive
behavior profiles were assessed with Vineland Adaptive Behavior Scale-II tool.
Results: A total of 36 ASD subjects aged 2 to 5 years old were studied. Most subjects
were 3 years old followed by 2 years old (38.9%; 33.3%), boys to girl ratio were 3 to 1.
The characateristics of positive bahaviors were all in low category before SI-OT. After
SI-OT, communication domain and subdomains (expressive, receptive, written
subdomain) were improved significantly (p<0.001; p<0.001; p<0.001; p 0.035). These
improvement were available in age group of 2,3, and 4 years old. Significant
improvements were also achieved in socialization domain (p 0.001) including
interpersonal relationship subdomain (p<0.001), play and leisure time sudomain
(p<0.001), especially in age group of 2 years old. In contrary, subdomain coping skill,
daily living skills domain and subdomains were not improving significantly.
Conclusions: Good fidelity of Ayres theory SI-OT in 60 minutes, twice a week for 12
weeks could improve positive behavior, in communication domain (expressive, receptive,
written subdomain) aged 2-4 years old, and socialization domain (interpersonal
relationship, play and leisure time) aged 2 years old."
2020: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Junita Elvira Pandji Surya
"Latar belakang: Autisme adalah salah satu gangguan nerodevelopmental yang muncul pada abad ke-20. Berbagai studi epidemiologi menunjukkan peningkatan tajam prevalensi gangguan spektrum autisme (GSA). Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual 5 gangguan sensorik merupakan salah satu kriteria utama GSA. Sampai saat ini belum ada pedoman tatalaksana nonmedikamentosa GSA. Sebagian besar penelitian menekankan bahwa terapi perilaku adalah terapi terbaik untuk GSA sedangkan terapi okupasi sensorik integrasi (TO-SI) hanya memiliki bukti rendah hingga sedang. Pusponegoro dan beberapa ahli saraf anak di Indonesia berdasarkan pengalaman klinis mengamati bahwa TO-SI dapat mengurangi perilaku negatif anak GSA terutama pada usia di bawah 5 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh TO-SI dalam mengurangi perilaku negatif anak usia 2 sampai 5 tahun dengan GSA. Metode: Sebuah penelitian pra-eksperimen pertama dilakukan di klinik Check My Child (CMC) dan Klinik Anakku Kelapa Gading pada bulan Desember 2017 hingga April 2018. Populasi penelitian adalah anak baru dengan GSA usia 2 hingga 5 tahun. Subyek dikumpulkan secara konsekutif sampling. Profil perilaku dinilai berdasarkan Aberrant Behavior Checklist (ABC)-2 sebelum dan sesudah TO-SI dua kali seminggu selama 12 minggu (24 kali), 50 menit untuk setiap sesi. Analisis nilai normal dengan uji t dan uji Wilcoxon untuk nilai terdistribusi tidak merata. Hasil: Penelitian dilakukan pada 42 subjek usia 2 hingga 5 tahun dengan GSA, 50% usia 3 tahun, rasio anak lelaki dibandingkan perempuan 5 banding 1. Rerata profil perilaku negatif tertinggi adalah hiperaktifitas 23,61 (SD 8,91), diikuti oleh penarikan sosial 16,81 (SD 8,16), dan iritabilitas 11,43 (SD 6,99). Median perilaku stereotipik adalah 5,25 dan bicara tidak tepat 2,00. Setelah TO-SI, semua perilaku negatif menurun secara signifikan p <0,001. Perilaku hiperaktifitas menurun menjadi 12,71 (SD 8,36) sekitar 53,8%, penarikan sosial menjadi 7,94 (SD 6,18) 47,2%, iritabilitas hingga 6,62 (SD 4,99) 57,9 %, dan median stereotipik 19,0% dan bicara tidak tepat 50%. Kami mendapatkan spektrum profil perilaku anak dengan GSA yang cukup luas. Kesimpulan: Kami menemukan bahwa TO-SI dua kali seminggu selama 12 minggu dapat menurunkan perilaku negatif anak GSA usia dini terutama usia 2 hingga 5 tahun.

Background: Autism is one of emerging neurodevelopmental disorder on 20th century. Studies showed a remarkable increasing prevalence of autism spectrum disorder (ASD). Since 2013, Diagnostic and Statistical Manual 5 included sensory disorder as one of main criteria of ASD. Treatment guideline remain unclear. Most studies stressed that behavior therapy was the best treatment for ASD and sensory integration occupational therapy (SI-OT) only has low to moderate evidence. Pusponegoro and pediatric neurologists in Indonesia based on their clinical experience observed that SI-OT might be useful as ASD treatment for young children especially under 5 years old. Based on that situation, the objective of this study was to evaluate the influence of SI-OT in decreasing negative behavior of children ages 2 to 5 years with ASD. Methods: A first pre-post one group pre-experimental study conducted in Check My Child clinic (CMC) and Klinik Anakku Kelapa Gading on December 2017 to April 2018. The study population were new ASD children ages 2 to 5 years. Subject were collected with consecutive sampling. Behavior profile were assessed with Aberrant Behavior Checklist (ABC)-2 before and after SI-OT twice a week for 12 weeks (24 times), 50 minutes for each session. Analysis of normal value with t test and Wilcoxon test for unequally distributed value. Results: A total of 42 ASD subject ages within 2 to 5 years old were studied, 50% were 3 years, and boys to girl ratio were 5 to 1. The highest mean negative behavior profile was hyperactivity 23,61 (SD 8,91) followed by social withdrawal 16,81 (SD 8,16), and irritability 11,43 (SD 6,99). Stereotypic median was 5,25 and inappropriate speech 2,00. After SI-OT, all negative behavior decreased significantly p<0.001. Hyperactivity behavior decreased to 12,71 (SD 8,36) about 53,8%, social withdrawal to 7,94 (SD 6,18) 47,2%, irritability to 6,62 (SD 4,99) 57,9%, and median of stereotypic 19,0% and inappropriate speech 50%. We found a broad-spectrum behavior profile of ASD children. Conclusions: We found that SI-OT twice a week for 12 weeks could decrease negative behavior of young ASD children especially ages 2 to 5 years."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fairuz Hanifah
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas elemen sentuh ruang terapi Sensori Integrasi sebagai bagian dari lingkungan terapi anak yang berperan dalam beberapa aspek untuk mendukung penyembuhan anak. Pengalaman sentuh sebagai bagian dari proses penyembuhan anak GPPH dialami melalui terapi Sensori Integrasi SI yang berkontribusi terhadap peningkatan kemampuan anak dan respons terhadap sensasi dari lingkungan. Anak GPPH mengalami ruang SI dengan bergerak dan berinteraksi dengan elemen sentuh yang bervariasi melalui aktivitas bermain. Tulisan ini mencoba mengkaji karakteristik elemen sentuh yang berperan dalam penyembuhan anak GPPH, bagaimana anak mengalami ruang dengan menyentuh dan bergerak untuk kebutuhan terapi, serta aspek lingkungan terapi yang mendukung. Studi kasus di YPAC menganalisis elemen sentuh yang tersedia dan hubungannya terhadap pengalaman sentuh anak GPPH berbagai tipe. Melalui penulisan skripsi ini, didapat bahwa elemen sentuh di ruang terapi Sensori Integrasi memiliki karakteristik yang bervariasi, sehingga membentuk lingkungan yang kaya sensori dengan permukaan yang dijadikan media untuk melatih keseimbangan-koordinasi, tenang, dan fokus. Permukaan dengan tekstur yang menantang pada ruang terapi SI terbatasi dalam segi luasan kontak dengan tubuh maupun melalui elemen yang dapat dipindah dengan mengalihkan ke sensasi tekanan sehingga peletakan elemen pada ruang terapi SI menunjang anak GPPH yang sensitif terhadap sentuhan.

ABSTRACT
This thesis discuss about tactile element as a part of children therapeutic environment that has several role to support healing process. Tactile experience as part of therapeutic process of ADHD children through Sensory Integration SI therapy contributing in children rsquo s ability enhancement and response to environment. ADHD children experience the space by moving and making contact with tactile element through play as therapy strategy. This writing reviews the characteristic of tactile elements that have roles to heal ADHD children, how children experience the space for therapeutic purpose, and the therapeutic setting aspects. The analysis of case studies in YPAC Jakarta was conducted to capture existing tactile element with tactile experience of ADHD children in variety types. Finding show that tactile element in SI therapeutic space has variety of characteristics that create sensory rich environment with its surface as medium to train balance coordination, calm, and focus. The challenging texture is limited in body contact area also through loose element by replacement to pressure sensation so that element arrangement in SI therapeutic space support ADHD children that have tactile defensiveness."
2017
S67297
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Erliana Muksin
"ABSTRAK
Multisystem Developmental Disorder (MSDD) atau Disorder of Relating and
Communicating merupakan suatu klasifikasi diagnosis dalam Zero to Three
Classification, dengan tujuan sebagai suatu alternatif diagnosa pada anak usia 0 -
3 tahun yang mengalami kesulitan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan
dunia di sekelilingnya. Aspek-aspek perkembangan yang paling sering terganggu
pada kondisi ini adalah perkembangan komunikasi dan hubungan dengan orang
lain, sehingga sering disebut sebagai Gangguan Relasi dan Komunikasi
(Greenspan,1997). Anak-anak dengan gangguan relasi dan komunikasi memiliki
ciri-ciri antara lain, gangguan secara bermakna dalam kesanggupan untuk
melakukan dan mempertahankan hubungan sosial dan emosional secara timbal
balik. Kesulitannya dalam berkomunikasi, ditandai oleh keterlambatan berbicara
atau berbicara hanya satu arah dan sulit mempertahankan pembicaraan. Mereka
juga sulit untuk melakukan interaksi yang timbal balik, cenderung sulit diarahkan
karena tampak semaunya dan menganggap kehadiran orang lain sebagai ‘benda’.
Mereka biasanya sulit untuk berinteraksi sosial dengan teman seusianya, kesulitan
mempergunakan isyarat non verbal sebagai pengganti komunikasi verbal untuk
mengatur interaksi sosial dan tidak tidak tanggap pada situasi sosial dan emosi
orang disekitamya serta mengalami kesulitan untuk bermain pura-pura seperti
yang biasanya dilakukan anak seumurnya.
Anak dengan gangguan relasi dan komunikasi juga mengalami disfungsi
sensoris dalam pemaknaan pada rangsang dengar maupun gangguan dalam
pemprosesan sensasi lainnya, seperti gangguan perencanaan gerak motorik,
kesulitan dalam melakukan keurutan gerakan atau tindakan.
Berbagai pendekatan terapi untuk mengatasi gangguan ini dengan upayaupaya
untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan komunikasinya, telah banyak
dilakukan. Dewasa ini berkembang model penanganan yang memandang sudut
penggunaannya dalam situasi sosial, yang menekankan peningkatan komunikasi
sosial dengan struktur yang lebih fleksibel, serta aktifitas yang lebih bervariasi,
ditandai dengan interaksi yang timbal balik serta belajar melakukan aktifitas yang
bermakna, berdasarkan minat dan motivasi anak. Pendekatan integratif dan interaktif yang berdasarkan perkembangan
individual anak disebut juga tehnik Floor Time, yaitu suatu cara atau tehnik
interaksi melalui bermain sebagai upaya untuk membantu anak dalam mencapai
tahapan perkembangan, terutama anak dengan gangguan relasi dan komunkasi.
Tehnik interaksi ini menekankan kekuatan relasi yang bersifat interaktif antara
orang tua atau pembimbing dengan anak. Prinsip utama tehnik Floor Time adalah
mencoba memanfaatkan setiap kesempatan yang muncul untuk berinteraksi,
dengan cara yang disesuaikan dengan tahap perkembangan emosi. Asumsinya,
bahwa perubahan cara anak ‘merasakan dan mengalami’ relasi akan
meningkatkan peran sertanya dalam interaksi itu sendiri secara lebih
komprehensif.
Peneliti ingin mengetahui bagaimana penerapan tehnik ‘Floor Time’ dapat
memberikan dukungan untuk mengembangkan kemampuan interaksi pada anak,
khususnya anak dengan gangguan relasi dan komunikasi (Multisystem
Developmental Disorder).
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
studi kasus tunggal. Pengambilan sampel tidak dipilih secara acak, melainkan
mengikuti kriteria tertentu. Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah
observasi, wawancara, serta alat bantu rekam suara dan gambar. Proses analisis
data dimulai dengan memberikan koding pada data sesuai dengan kategori
perilaku yang muncul. Setelah tahap kategorisasi peneliti melakukan proses
analisis yang dibuat dalam bentuk naratif berdasarkan konsep teori pada penelitian
ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara kualitatif terdapat peningkatan
kualitas interaksi antara subjek dengan pembimbing. Peningkatan ini terutama
lebih terlihat pada aspek ketrampilan Menjalin Ikatan Komunikasi Timbal Balik
(MIKT) serta Ketrampilan Meniru (KM). Sedangkan pada kemampuan bahasa
tidak terlihat kemajuan secara mencolok. Minat subjek serta ketertarikan untuk
melakukan sesuatu bersama pembimbing, tampak semakin intens dan bervariasi.
Subjek mulai menunjukkan kedekatan dan keintiman dengan ibu. Selama
pelaksanaan Floor Time terlihat perilaku seperti memeluk, mencium, menyentuh
wajah ibu, menarik/mengulurkan tangan (meminta pertolongan) atau duduk
dipangkuan ibu lebih sering muncul dibanding sebelumnya. Ibu pun merasakan
bahwa subjek mulai ‘menempel’ dan mencari ibu disaat ibu tidak berada ditempat.
Perilaku menirukan suara pembimbing tampak semakin sering muncul.
Atas dasar hasil penelitian ini, disarankan kepada peneliti lain di bidang
psikologi, khususnya psikologi klinis anak untuk dilakukan penelitian dalam
jangka waktu yang lebih lama, agar dapat memperoleh gambaran yang lebih baik
mengenai kemajuan maupun informasi tambahan dari pelaksanaan Floor Time
pada anak dengan gangguan relasi dan komunikasi."
2005
T37817
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Erliana Muksin
"ABSTRAK
Multisystem Developmental Disorder (MSDD) atau Disorder o f Relating and
Communicating merupakan suatu klasifikasi diagnosis dalam Zero to Three
Classification, dengan tujuan sebagai suatu alternatif diagnosa pada anak usia 0 -
3 tahun yang mengalami kesulitan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan
dunia di sekelilingnya. Aspek-aspek perkembangan yang paling sering terganggu
pada kondisi ini adalah perkembangan komunikasi dan hubungan dengan orang
lain, sehingga sering disebut sebagai Gangguan Relasi dan Komunikasi
(Greenspan,1997). Anak-anak dengan gangguan relasi dan komunikasi memiliki
ciri-ciri antara lain, gangguan secara bermakna dalam kesanggupan untuk
melakukan dan mempertahankan hubungan sosial dan emosional secara timbal
balik. Kesulitannya dalam berkomunikasi, ditandai oleh keterlambatan berbicara
atau berbicara hanya satu arah dan sulit mempertahankan pembicaraan. Mereka
juga sulit untuk melakukan interaksi yang timbal balik, cenderung sulit diarahkan
karena tampak semaunya dan menganggap kehadiran orang lain sebagai ‘benda’.
Mereka biasanya sulit untuk berinteraksi sosial dengan teman seusianya, kesulitan
mempergunakan isyarat non verbal sebagai pengganti komunikasi verbal untuk
mengatur interaksi sosial dan tidak tidak tanggap pada situasi sosial dan emosi
orang disekitamya serta mengalami kesulitan untuk bermain pura-pura seperti
yang biasanya dilakukan anak seumurnya.
Anak dengan gangguan relasi dan komunikasi juga mengalami disfungsi
sensoris dalam pemaknaan pada rangsang dengar maupun gangguan dalam
pemprosesan sensasi lainnya, seperti gangguan perencanaan gerak motorik,
kesulitan dalam melakukan keurutan gerakan atau tindakan.
Berbagai pendekatan terapi untuk mengatasi gangguan ini dengan upayaupaya
untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan komunikasinya, telah banyak
dilakukan. Dewasa ini berkembang model penanganan yang memandang sudut
penggunaannya dalam situasi sosial, yang menekankan peningkatan komunikasi
sosial dengan struktur yang lebih fleksibel, serta aktifitas yang lebih bervariasi,
ditandai dengan interaksi yang timbal balik serta belajar melakukan aktifitas yang
bermakna, berdasarkan minat dan motivasi anak.
Pendekatan integratif dan interaktif yang berdasarkan perkembangan
individual anak disebut juga tehnik Floor Time, yaitu suatu cara atau tehnik
interaksi melalui bermain sebagai upaya untuk membantu anak dalam mencapai
tahapan perkembangan, terutama anak dengan gangguan relasi dan komunkasi.
Tehnik interaksi ini menekankan kekuatan relasi yang bersifat interaktif antara
orang tua atau pembimbing dengan anak. Prinsip utama tehnik Floor Time adalah
mencoba memanfaatkan setiap kesempatan yang muncul untuk berinteraksi,
dengan cara yang disesuaikan dengan tahap perkembangan emosi. Asumsinya,
bahwa perubahan cara anak ‘merasakan dan mengalami’ relasi akan
meningkatkan peran sertanya dalam interaksi itu sendiri secara lebih
komprehensif.
Peneliti ingin mengetahui bagaimana penerapan tehnik ‘Floor Time' dapat
memberikan dukungan untuk mengembangkan kemampuan interaksi pada anak,
khususnya anak dengan gangguan relasi dan komunikasi (Multisystem
Developmental Disorder).
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
studi kasus tunggal. Pengambilan sampel tidak dipilih secara acak, melainkan
mengikuti kriteria tertentu. Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah
observasi, wawancara, serta alat bantu rekam suara dan gambar. Proses analisis
data dimulai dengan memberikan koding pada data sesuai dengan kategori
perilaku yang muncul. Setelah tahap kategorisasi peneliti melakukan proses
analisis yang dibuat dalam bentuk naratif berdasarkan konsep teori pada penelitian
ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara kualitatif terdapat peningkatan
kualitas interaksi antara subjek dengan pembimbing. Peningkatan ini terutama
lebih terlihat pada aspek ketrampilan Menjalin Ikatan Komunikasi Timbal Balik
(MIKT) serta Ketrampilan Meniru (KM). Sedangkan pada kemampuan bahasa
tidak terlihat kemajuan secara mencolok. Minat subjek serta ketertarikan untuk
melakukan sesuatu bersama pembimbing, tampak semakin intens dan bervariasi.
Subjek mulai menunjukkan kedekatan dan keintiman dengan ibu. Selama
pelaksanaan Floor Time terlihat perilaku seperti memeluk, mencium, menyentuh
wajah ibu, menarik/mengulurkan tangan (meminta pertolongan) atau duduk
dipangkuan ibu lebih sering muncul dibanding sebelumnya. Ibu pun merasakan
bahwa subjek mulai ‘menempel’ dan mencari ibu disaat ibu tidak berada ditempat.
Perilaku menirukan suara pembimbing tampak semakin sering muncul.
Atas dasar hasil penelitian ini, disarankan kepada peneliti lain di bidang
psikologi, khususnya psikologi klinis anak untuk dilakukan penelitian dalam
jangka waktu yang lebih lama, agar dapat memperoleh gambaran yang lebih baik
mengenai kemajuan maupun informasi tambahan dari pelaksanaan Floor Time
pada anak dengan gangguan relasi dan komunikasi."
2005
T38022
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira
"ABSTRAK
Kebanyakan anak autis memiliki gangguan terhadap sensori integrasi. Untuk mengatasi disfungsi sensori anak akan diterapi menggunakan objek. Objek yang digunakan untuk terapi adalah bentukan dari objek bermain, sehingga ruang sensori integrasi dapat dikatakan sebagai ruang bermain anak autis. Objek di sini menjadi poin penting karena menjadi elemen yang sangat dibutuhkan untuk terapi. Penyusunan objek yang ada di dalamnya akan menjadi sangat penting karena harus memenuhi kebutuhan terapi tiap-tiap anak yang berbeda. Susunan objek yang berproses akan membuat anak bergerak beralur dan tidak diam di satu sisi. Susunan objek yang berproses dapat dibentuk dengan mengkombinasi antar objek yang satu dengan yang lain. Objek dan penyusunannya yang dinamis/fleksibel menjadi sangat efektif untuk mendukung aktifitas yang berproses untuk kebutuhan terapi setiap anak. Kebutuhan gerak setiap anak autis untuk mendukung terapinya berbeda-beda. Adanya penyusunan objek yang berbeda disetiap anaknya akan menghasilkan proses gerakan yang berbeda pula, misalnya untuk anak yang aktif dan pasif. Sehingga penyusunan objek yang fleksibel dapat dijadikan pertimbangan dalam mendesain ruang sensori integrasi untuk anak autis.

ABSTRAK
Most children with autism have a disruption to sensory integration. To overcome sensory dysfunction the child will be treated using the object. The object used for therapy as a form of the play object, so that the sensory space of integration can be autistic children 39 s playroom. The object becomes an important point because it becomes an indispensable element for therapy. Arrangement of objects in it, will be very important because it must meet the needs of each therapy of different children. The arrangement of objects in the process will make the child move grooved and not stay on one side. The arrangement of processed objects can be formed by combining the objects with each other. Objects and arrangements with dynamic and flexible are very effective to supporting the activities in process for every child 39 s therapy needs. The needs of every autistic child 39 s movement to support therapy may vary. The existence of arrangement different objects in each child will produce a different process of movement, for example for children who are active and passive. So the arrangement of a flexible object can be taken to consideration in designing the sensory space integration for children with autism. "
2017
S68059
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Autisme merupakan sebuah gangguan perkembangan fungsi otak yang kompleks dari
seorang anak dimana disertai adanya defisit tingkah laku dan/atau intelektual. Butuh
terapi yang dapat mengoptimalkan fungsi sosialisasi anak autisme. Pemanfaatan terapi
autisme dipengaruhi oleh besarnya motivasi dari orang tua dengan anak autisme.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
motivasi orang tua dengan anak autisme untuk membawa anaknya ke klinik terapi.
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif sederhana. Sarnpel diambil dengan teknik
consecurive sampling. Analisa data yang di gunakan adalah analisa statistik desknptii
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua faktor mempenganlhi motivasi orang tua
dengan anak autisme untuk rnembawa anaknya ke klinik terapi dengan urutan yaitu
keyakinan 18,71%, fasilitas 18,34%, biaya fasilitas 17,85%, pengetahuan 16,50%,
iingkungan 16,29%, dan pengalaman 12,31%."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5107
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Marwati
"ABSTRAK
Studi ini membahas tentang pengembangan potensi kenyamanan visual individu dengan gangguan spektrum autisme pada sebuah ruang tenang yang bertujuan untuk meringankan perilaku dan emosi maladaptif. Perilaku dan emosi yang maladaptif memiliki keterkaitan yang erat dengan gangguan proses sensorik yang umumnya dimiliki oleh individu dengan gangguan spektrum autisme. Dengan pengoptimalan kenyamanan visual sensorik pada sebuah ruang tenang, diharapkan perilaku dan emosi maladaptif yang sedang dialami seseorang bisa berangsur berkurang. Studi ini dilakukan dengan tinjauan literatur, dan studi kasus pada sekolah yang menyediakan layanan pendidikan khusus, yaitu Sekolah Mandiga, dan layanan pendidikan inklusi, yaitu Lazuardi Cordova GIS (Global Islamic School). Delapan subyek penelitian dengan rentang usia anak-anak hingga dewasa muda terlibat dalam penelitian ini dengan empat subyek pada masing-masing lokasi. Analisis kondisi eksisting ruang tenang dilakukan dengan didukung oleh pengamatan langsung dan simulasi software pencahayaan DIALux evo 8.1. Untuk melakukan pengamatan terhadap perilaku dan emosi subyek penelitian dalam ruang tenang eksisting, dilakukan penilaian yang berdasarkan pada 12 perilaku dan emosi aktif pada instrumen Aberrant Behavior Checklist-Irritability (ABC-I). Penilaian dilakukan pada perilaku dan emosi subyek saat sebelum dan setelah masuk ke dalam ruang tenang dalam setiap rentang waktu 5 menit hingga subyek sudah tenang dan diperbolehkan keluar. Dengan ruang tenang yang memiliki penyebaran intensitas cahaya yang merata, empat subyek penelitian pada Sekolah Khusus menunjukkan penurunan perilaku dan emosi maladaptif sejak lima menit pertama. Sementara itu, subyek pada Sekolah Inklusi, dengan ruang tenang yang memiliki variasi penyebaran intensitas cahaya, menunjukkan perubahan yang beragam. Dua dari empat subyek mengalami kenaikan tingkat masalah perilaku dan emosi, satu subyek tidak menunjukkan perubahan, dan satu lainnya mengalami penurunan masalah. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa subyek penelitian cenderung memilih area yang dekat dengan pandangan keluar dan menjauhi cahaya dengan intensitas berlebih. Usulan intervensi desain ruang tenang yang diusulkan dikembangkan dari tiga pertimbangan utama, yaitu (1) memberikan kenyamanan visual sesuai kebutuhan sensorik individu dengan gangguan spektrum autisme, (2) memenuhi kebutuhan ruang sebagai ruang yang dapat memberikan efek tenang, dan (3) mengantisipasi terjadinya perilaku dan emosi yang membahayakan diri. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan lebih lanjut mengenai ruang bagi individu dengan gangguan spektrum autisme sehingga tercipta lingkungan inklusif dan berkelanjutan.

ABSTRACT
This study discusses the potential of optimizing the visual comfort of individuals with autism spectrum disorder (ASD) in a quiet room. This study aims to propose an architectural intervention that may relieve maladaptive behavior and emotions in autistic users. Maladaptive behavior and emotions have a close relationship with sensory processing disorder that are generally owned by individuals with autism spectrum disorder. It is expected that maladaptive behavior and emotion that are being experienced by a person can gradually diminish by optimizing visual sensory comfort in a quiet room. This study was supported by literature review and case studies in two schools that provide special education services, namely Sekolah Mandiga, and inclusive education services, namely Lazuardi Cordova GIS (Global Islamic School). Eight respondents, ranged in the age of children to young adults were involved in this study, with four respondents on each school. Analysis of the existing condition of the quiet room is supported by observation and simulation through the lighting software DIALux evo 8.1. To observe the behavior and emotion of respondents in the existing quiet room, an assessment based on 12 active behaviors and emotion on the Aberrant Behavior Checklist- Irritability (ABC-I) instrument. Assessments were carried out on the respondents behavior and emotion at the time before and after entering the quiet room for every 5 minutes until the respondent was calm and allowed to leave the room. Four respondents at the Special School, which had quiet room with evenly distributed light, showed a decrease in maladaptive behavior and emotion since the first five minutes of entering the quiet room. Meanwhile, in a quiet room that had variations of light intensity, respondents at the Inclusion School showed various changes. Two out of four respondents experienced an increase in the level of maladaptive behavior and emotion, a respondent showed an unchanged level, while the other experienced a decrease. The result also showed that the respondents exhibit the tendency to choose an area that is close to the outside view and far from the excess light. The proposed quiet room design intervention is a development based on three main considerations, which are (1) providing visual comfort according to the sensory needs of autistic individuals, (2) meeting the room requirements as a space that provide a quiet effect, and (3) anticipating the occurrence of behavior and emotion that may harm. It is hoped that this research may become a reference in the further development of spaces that are dedicated for autistic individuals to make an inclusive and sustainable environment for individual with autism spectrum disorder."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>