Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138518 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Olivia Tjandra Waluya
"ABSTRAK
Dunia anak adalah dunia bermain dan belajar. Belajar dapat dilakukan di mana saja, bahkan sambil bermain anakpun dapat belajar. Kegiatan belajar yang dilakukan oleh anak tidak selalu berjalan mulus. Beberapa anak mengalami
masalah belajar yang dapat berdampak pada perkembangan aspek-aspek yang lain dalam kehidupan mereka. Salah satu masalah belajar yang banyak dialami oleh anak dalam masa perkembangan kanak-kanak madya adalah Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder (AD/HD) Tipe Inatentii Sekitar 3-5% anak usia sekolah mengalami gangguan ini (Papalia dan Olds, 1998). Dengan sulitnya anak untuk memusatkan perhatian, maka dapat dipastikan bahwa anak akan mengalami kesulitan untuk belajar baik di rumah maupun di sekolah. Di satu sisi semakin tinggi tingkat anak bersekolah, semakin sulit materi pelajaran yang harus dipelajari sehingga membutuhkan rentang konsentrasi yang lebih panjang, tetapi di sisi lain anak dengan AD/HD tipe inatendf tidak dapat memenuhi tutan tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu treatment agar anak-anak yang mengalami gangguan ini dapat meningkatkan konsentrasi belajar mereka.
Selain dengan pengobatan medis, senam otak dikatakan dapat meningkatkan konsentrasi pada anak yang mengalami AD/HD tipe inatentif (http://members.aol.com/brairigym/bg.html). Senam otak adalah serangkaian gerak sederhana yang menyenangkan dan digunakan untuk meningkatkan kemampuan belajar anak dengan menggunakan keseluruhan otak (Demmison dan Dennison, 2003). Senam otak dapat dilakukan dalam waktu singkat (kurang dari 5 menit) dan tidak memerlukan bahan atau tempat khusus (Gunadi, 2004). Dengan demikian, latihan untuk meningkatkan konsentrasi belajar anak tidak hanya dapat dilakukan di tempat yang memerlukan peralatan khusus,tetapi dapat pula dilakukan di rumah. Atas dasar inilah peneliti tertarik untuk meneliti mengenai efektivitas senam otak dalam meningkatkan konsentrasi pada anak yang mengalami AD/HD tipe inatentif.
Penelitian dilakukan secara kuantitatif-kualitatif dengan menggunakan satu orang anak bemsia 7 tahun hingga 12 tahun yang mengalami AD/HD tipe inatentif Kepada anak dilakukan observasi terstruktur dengan menggunakan Structured Observation of Academic and Play Settings (SOAPS), sebuah alat
untuk mengukur konsentrasi pada anak yang mengalami AD/HD yang dikembangkan oleh Roberts, Millich dan Loney pada tahnm 1984 (Sattler, 2002). Observasi dengan SOAPS dilakukan sebelum dan sesudah anak melakukan senam otak selama sekitar 1 bulan untuk melihat penabahan konsentrasi yang terjadi. Selain itu kepada orang tua dan guru les juga diberikan CBCI/4-I8 ranah gangguan perhatian yang ditambahkan dengan wawancara untuk melihat perubahan perilaku yang tidak dapat terukur secara kuantitatif.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada peningkatan konsentrasi belajar pada satu orang anak yang mengalami AD/HD tipe inatentif setelah mengikuti program senam otak. Ini tampak dari peningkatan persentase perilaku memperhatikan pada SOAPS dan peningkatan poin kemampuan untuk berkonsentrasi pada CBCI/4-18 ranah gangguan perhatian. Peningkatan konsentrasi ini didukung oleh beberapa faktor yaitu tingkat keparahan kesulitan konsentrasi yang dialami anak, rutinnya senam otak dilakukan serta minat dari dalam diri anak untuk melakukan senam otak. Sementara itu, dari setelah mengikuti senam otak, efek positif lain yang terlihat pada anak yaitu meningkatnya kepercayaan diri anak, perasaan rileks pada saat belajar, dan berkurangnya impulsivitas perilaku anak. Satu imi yang perlu mendapat perhatian dari penelitian ini adalah bahwa penelitian ini hanya dilakukan terhadap satu orang anak sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasikan.
Saran yang diberikan untuk anak yang mengikuti senam otak adalah agar setiap hari anak terus melakukan senam otak untuk meningkatkan konsentrasi belajarnya. Orang tua juga diharapkan dapat lebih aktif terlibat dalam kegiatan belajar anak. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar jumlah subyek dapat ditambah sehingga hasil penelitian lebih dapat digeneralisasikan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T38558
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Francisca
"ABSTRAK
Attention Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) didefinisikan sebagai suatu gejala ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian dan/atau hiperaktivitas-impulsivitas yang berlangsung terus menerus pada taraf yang maladaptif dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Anak-anak ADHD mempunyai resiko yang tinggi untuk mengalami masalah akademis maupun sosial. Lingkungan sering memarahi, menghukum, menolak atau memberikan label negatif, kepada mereka. Kegagalan yang dialami, terutama dalam bidang akademis, dan reaksi negatif ini dapat memperburuk keadaan dan menimbulkan masalah karena anak-anak ADHD sangat sensitif baik secara emosional maupun neurologis. Oleh karena itu, penelitian ini berlujuan untuk melihat permasalahan emosi, perilaku dan keadaan atau reaksi lingkungan terhadap anak-anak ini, melalui tes Human Figure Drawing’s (HFDS), Child Behavior Checklist (CBCL) dan alloanamnesa.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dimana fokus perhatiannya untuk mendapatkan informasi yang mendalam mengenai masalah yang diteliti_ Data yang digunakan berasal dari kasus-kasus yang ada di Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi UI. Kriteria subyek penelitian adalah didiagnosa ADHD, IQ berada pada rata-rata dan berusia 6 tahun 0 bulan sampai dengan 9 tahun 0 bulan. Jumlah subyek penelitian yang digunakan adalah 5.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan emosi yang paling menonjol
adalah kesulitan dalam mengontrol impuls-impuls dan dalam membina hubungan
dengan orang lain. Sedangkan permasalahan tingkah laku yang paling menonjol adalah masalah konsentrasi. Pola asuh yang menonjol dalam keluarga adalah adanya pemberian hukuman fisik, seperti memukul, mencubit, dalam menerapkan disiplin. Guru juga memberikan hukuman yang berupa penambahan tugas atau jam belajar di sekolah. Dalam pergaulan, mereka biasa dijauhi oleh teman-temannya.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Gemayuni Yusman
"Terdapat berbagai masalah klinis yang dapat terjadi dalam masa perkembangan anak. Masalah-masalah tersebut seharusnya menjadi perhatian karena berbagai konsekuensi yang mungkin terjadi dan dapat berlanjut hingga masa dewasa. Salah sate masalah klinis adalah ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder), yang merupakan suatu gangguan perkembangan, dalam bentuk gangguan pemusatan perhatian. Gangguan ini memiliki tiga gejala utama, yaitu inattention (kurang mampu memperhatikan), impulsivitas, dan hiperaktivitas (Wenar & Kerig, 2000).
Anak yang didiagnosa ADHD seringkali memiliki gangguan psikiatris lain dan mengalami serangkaian resiko kesehatan, perkembangan, dan sosial. ADHD diklasifkasikan dalam DSM-IV sebagai disruptive behavior disorder' karena adanya kesulitan yang signifikan dalam perilaku sosial dan penyesuaian sosial. Perilaku interpersonal anak ADHD lebih impulsif, mengganggu, berlebihan, tidak teratur, agresif, intens, dan emosional, sehingga mereka mengalami kesulitan dan gangguan dalam alur interaksi sosial biasa yang resiprokal dan kooperatif, yang merupakan bagian yang penting dalam kehidupan sosial anak. Barkley (2004) mengungkapkan bahwa ketika anak ADHD memasuki sekolah dasar, masalah dalam ketiga karakteristik utama berlanjut dan ditambah dengan berbagai kesulitan karena sekarang masalah mungkin terjadi di sekolah dan rumah. PrevaIensi ADHD pada usia sekolah mencapai sekitar 5 % dari anak usia sekolah (Wenar & Kerig, 2000). Masalah sosial pada anak ADHD muncul bukan hanya karena perilaku inattentive, hiperaktif, dan impulsif mereka, namun juga merupakan konsekuensi dari ekspresi emosi, raut muka, nada bicara, dan Bahasa tubuh yang berlebihan, lebih terbatasnya timbal batik dalam interaksi, kurang digunakannya pemyataan sosial yang positif, lebih negatifnya aksi fisik, dan terbatasnya pengetahuan akan keterampilan sosial (Barkley, 2004).
Menurut Combs & Slaby (dalam Cartledge & Milburn, 1995), keterampilan sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dengan cara-cara yang dapat diterima secara sosial dan membawa manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain secara timbal balik. Selain treatment dengan obat-obatan, anak ADHD membutuhkan bantuan khusus untuk mengembangkan tehnik dalam mengelola pola perilaku, termasuk cara berinteraksi dengan orang lain (National Institute of Mental Health, 2000). Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk menyusun suatu program pelatihan keterampilan sosial bagi anak ADHD usia sekolah (6 -- 12 tahun). Pelatihan yang dilakukan merupakan modifikasi dari program pelatihan keterampilan sosial yang dikembangkan oleh Goldstein & Pollock (1988).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan keterampilan sosial anak usia sekolah yang mengalami ADHD melalui program pelatihan keterampilan sosial. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Pengambilan sampel penelitian akan dilakukan melalui pemeriksaan psikologis. Subyek penelitian adalah 3 anak usia sekolah dengan diagnosis ADHD pada Axis I. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner asesmen keterampilan sosial yang diisi oleh guru dan orangtua sebelum dan sesudah subyek mengikuti pelatihan (pre and post training). Berdasarkan hasil kuesioner sebelum pelaksanaan program pelatihan serta wawancara dengan guru dan orangtua subyek, peneliti menentukan target pelatihan yaitu keterampilan sosial yang dianggap masih kurang atau buruk pada ketiga subyek. Tiga keterampilan sosial yang menjadi target pelatihan adalah Bertanya dengan Baik, Mengikuti PerintahlInstruksi, dan Menyadari Akibat Tindakannya terhadap prang Lain. Peneliti juga menggunakan token reinforcement berupa stiker "senyum" untuk menguatkan keterampilan sosial yang dilatihkan dan agar subyek bersikap kooperatif selama pelatihan. Token yang telah dikumpulkan oleh subyek dapat ditukarkan dengan hadiah pada hari terakhir pelatihan. Selama pelaksanaan pelatihan, peneliti melakukan observasi terhadap perilaku maupun jawaban-jawaban yang diberikan subyek pada tiap pertemuan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan sosial yang telah dilaksanakan sebanyak lima kali pertemuan (dengan tiga kali pertemuan inti untuk melatih keterampilan sosial yang menjadi target pelatihan) memperlihatkan terjadinya perkembangan keterampilan sosial pada subyek penelitian. Hasil kuesioner yang diisi 10 hari sesudah pelatihan (post training) menunjukkan bahwa dua subyek mengalami perubahan dalam hal keterampilan sosial sedangkan satu subyek lainnya tidak mengalami perubahan. Penerapan token reinforcement ditemukan cukup berhasil pada dua subyek yang mengalami perubahan namun kurang berhasil pada subyek yang tidak mengalami perubahan.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irena Tjiunata
"Fokus dari pelatihan ini adalah untuk meningkatkan kuantitas perilaku menyelesaikan tugas, termasuk di dalamnya, menurunkan durasi perilaku tidak mengerjakan tugas. Penerapan metode ccrita sosial dan metodc contingency contract (dilcngkapi prompt) menghasilkan peningkatan kuantitas pada perilaku menyelcsaikan tugas, serta penurunan durasi perilaku tidak mengerjakan tugas. Akan tetapi, kualitas dari perubahan pcirlaku belum menunjukkan perbaikan. Hal tcrscbut disebabkan karena komik oerita sosial yang digunakan dalam intervensi belum secara detil menggambarkan perilaku yang diharapkan muncul. Selain itu, pemberian fading yang terlalu cepat juga menyebabkan konsistensi perubahan perilaku belum terlihat.
Dari hasil obsewasi, diketahui juga bahwa pembahan perilaku tersebut, secara tidak langsung, dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan seperti kehadiran guru dan situasi kelas. Akan tetapi, karena singkatnya sesi intervensi dan pemilihan waktu intervensi yang berdekatan dengan jadwal uiangan umum, konsistensi pelubahan perilaku belum terlihat. Oleh karena itu, beberapa saran yang dapat diberikan antara lain: 1) gambar berikut penjelasan pada komik cerita sosial sebaiknya dibuat lebih detil; 2) pemberian prompt dan fading sebaiknya lebih diperhatikan lagi; 3) sesi intervensi dibuat lebih banyak dengan jangka waktu yang lebih panjang; 4) perlu diperhalikan pemilihan waktu intervensi agar tidak berdekatan dengan jadwal ulangan umum; 5) kerjasama antara guru dan teman-tcman di kelas untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif agar pelaksanaan intervensi lebih efektif.

The focus of this training is to increasing the quantitiy of on-task behavior. including, decreasing the duration of off-task behavior. Result of this intervention, using social story method and contingency contract method (also using prompt method), indicated that the quantitiy of on-task behavior is increasing and the duration of ofiltask behavior is decreasing. However, the quality of the alteration of behavior has not improved yet. This is because the comic social story in this intervention has not describe the behavior that is expected, The prompts which have been faded too quickly also make the consistency ofthe behavior’s alteration has not been observed. The environments, such as teacher’s present and class-rooms’s situation, also influence the alteration of behavior.
Unfortunately, because the length ofthe session and the time of intervention wich is too short and too close to the end of school year, the consistency of the behavior’s alteration has not been appeared yet. Therefore, several suggestions should be provided to improve the future study: 1) picture in the comic social story should be made more detail; 2) the use of prompt and fading should be more improved; 3) the session of intervention should be madc in great quantities and in more length duration; 4) the intervention should be held in the middle of school year; 5) the cooperation of teacher and tiiends is needed to make the more supporting classroom environment.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T34118
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amatul Firdausa Nasa
"ABSTRAK
Secara umum, anak dengan ADHD kesulitan untuk tetap menampilkan perilaku on-task pada tugas yang ia kerjakan. Hal ini berkaitan dengan kesulitan mereka untuk mempertahankan perhatian mereka dalam waktu yang lama. Kesulitan dalam mempertahankan perhatian membuat anak ADHD sering mengalami kegagalan akademis dan memiliki prestasi yang rendah. Diperlukan penanganan untuk meningkatkan kemampuan anak mempertahankan atensinya yang ditampilkan melalui peningkatan perilaku on-task. Modifikasi perilaku merupakan intervensi yang digunakan secara luas dan terbukti efektif untuk menangani anak dengan ADHD. Pada penelitian ini teknik shaping digunakan untuk meningkatkan durasi perilaku on-task pada seorang anak laki-laki berusia 11 tahun yang didiagnosa mengalami ADHD with combined presentation. Tugas yang diberikan berupa mendengarkan cerita dan menjawab pertanyaan sesuai dengan isi cerita. Hasil penelitian menunjukkan teknik shaping dapat meningkatkan durasi perilaku on-task anak dengan ADHD yaitu 100 dari baseline atau dari 1 menit saat baseline hingga mencapai 10 menit pada saat post test.

ABSTRACT
In general, children with ADHD have difficulty performing on task behavior when they are doing their task. This relates to their difficulty to sustain their attention for a long time. Difficulty in maintaining attention that make children with ADHD often experience academic failure and have a poor academic performance. Treatment for improving the child 39 s ability to maintain their attention showed through the increasing on task behavior in children with ADHD is required. Behavior modification is an intervention that is widely used and proven effective for treating children with ADHD. In this research, shaping technique used to increase the duration of on task behavior in a boy aged 11 years old who were diagnosed with ADHD with combined presentation. The task given was listening the stories and answering questions based on the story. The results showed shaping technique can increase the duration of on task behavior of children with ADHD, that was 100 of the baseline or from 1 minute during the baseline up to 10 minutes during the post test."
2017
T47384
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Emanuella Gideon
"[Kemampuan untuk mempertahankan perhatian merupakan masalah bagi anak dengan gangguan atensi dan hiperaktivitas. Latihan pemusatan perhatian dengan latihan fisik mampu meningkatkan rentang perhatian pada anak dengan gangguan atensi dan hiperaktivitas serta efeknya cenderung bertahan lama. Sedangkan intervensi dengan kegiatan membaca juga terbukti mampu meningkatkan rentang perhatian namun efeknya cenderung menghilang setelah intervensi tidak diberikan lagi. Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimen (N=15), yang bertujuan untuk membandingkan efektivitas latihan fisik dan kegiatan membaca dalam meningkatkan rentang perhatian pada anak dengan gangguan atensi dan hiperaktivitas. Peningkatan rentang perhatian diukur
ketika anak membaca dengan teknik observasi menggunakan perhitungan waktu dalam detik. Penelitian ini juga menggunakan pengukuran gejala gangguan atensi dan hiperaktivitas dengan alat ukur Vanderbilt ADHD Rating Scale.;The ability to maintain attention is a problem for children with attention and hyperactivity disorder. Attention exercise with physical exercise can increase attention span in children with attention and hyperactivity disorder, and the effects
of these intervention was durable. While attention exercise with reading activity can also increase attention span, but the effect tends to disappear after the intervention was not continue. This research used an experimental design (N = 15), which aims to compare the effectiveness of physical exercise and reading activitiy to increase attention span in children with attention and hyperactivity disorder. The attention span is measured when the children read by observation
techniques using a calculation time in seconds. This study also use the
measurement of attention and hyperactivity symptoms with Vanderbilt ADHD Rating Scale., The ability to maintain attention is a problem for children with attention
and hyperactivity disorder. Attention exercise with physical exercise can increase
attention span in children with attention and hyperactivity disorder, and the effects
of these intervention was durable. While attention exercise with reading activity
can also increase attention span, but the effect tends to disappear after the
intervention was not continue. This research used an experimental design (N =
15), which aims to compare the effectiveness of physical exercise and reading
activitiy to increase attention span in children with attention and hyperactivity
disorder. The attention span is measured when the children read by observation
techniques using a calculation time in seconds. This study also use the
measurement of attention and hyperactivity symptoms with Vanderbilt ADHD
Rating Scale.]"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
T44154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Larasati
"ABSTRAK
Kemampuan memusatkan atensi merupakan landasan dari kemampuan
belajar yang dibutuhkan setiap anak. Studi dalam aspek perkembangan anak
menunjukkan pentingnya interaksi dan hubungan yang positif dengan pengasuh utama
sebagai media untuk perkembangan dan peningkatan kemampuan dasar bagi anak,
termasuk di dalamnya adalah kemampuan memusatkan atensi. Pendekatan
Developmental, Individual Differences, Relationship-Based (DIR/Floortime)
merupakan salah satu program intervensi yang difokuskan untuk meningkatkan
kualitas interaksi antara pengasuh utama dan anak. Penelitian ini bertujuan untuk
meninjau efektivitas penerapan prinsip DIR/Floortime untuk meningkatkan
kemampuan memusatkan atensi pada anak berusia 4 tahun yang memiliki diagnosa
Early Onset Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa penerapan prinsip DIR/Floortime efektif meningkatkan
kemampuan memusatkan atensi pada anak dengan Early Onset ADHD serta diiringi
dengan peningkatan tahapan perkembangan fungsional emosional anak dan ibu yang
terukur dari peningkatan durasi memusatkan atensi, penurunan frekuensi
distraktibilitas, serta peningkatan skor pada Functional Emotional Assessment Scale
(FEAS).

ABSTRACT
The ability to sustain attention is the foundation of learning ability for every
child. The research on child development shows the importance of positive interaction
and relationship with the primary caregiver as a medium for the child’s development
and mastery of basic developmental skills which includes the ability to sustain
attention. Developmental, Individual Differences, Relationship-Based approach
(DIR/Floortime) is one of the available interventions focused on increasing the
quality of caregiver-child interaction. This study is aimed at investigating the
effectiveness of DIR/Floortime to increase the ability to sustain attention on a 4 yearold
child with Early Onset Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD). The
result of this study indicated that the application of DIR/Floortime principles is
effective in increasing the ability to sustain attention on a 4 year-old child with Early
Onset ADHD, along with the increase of the functional emotional development of
both mother and child as shown with the increase of attention span, the decrease of
frequency of distractibility, and score increase in the Functional Emotional
Assessment Scale (FEAS)."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T36029
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Lasmono
"Latar Belakang: Kemampuan empati dan sistemisasi sudah berkembang sejak masa kanak. Kedua kemampuan tersebut berkaitan dengan fungsi sosial serta pencapaian akademik pada anak, dapat dinilai menggunakan kuesioner Empathy Quotient (EQ) dan Systemizing Quotient (SQ). Dorongan untuk berempati dan sistemisasi selanjutnya dapat dijelaskan sebagai tipe otak, yang dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan perbedaan antara nilai EQ dan SQ terstandarisasi dari orang tersebut. Salah satu gangguan psikiatrik yang banyak ditemui pada layanan kesehatan jiwa anak dan remaja adalah GPPH. Adanya GPPH dapat berdampak pada fungsi sosial dan akademis anak. Penelitian ini dibuat untuk mengetahui perbedaan tipe otak berdasarkan EQ dan SQ pada anak sekolah dasar (SD) dengan dan tanpa GPPH.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain potong lintang. Sampel sebanyak 122 orang tua dan anak diambil dari Poli Jiwa Anak dan Remaja Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan dari sekolah dasar di Jakarta. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuesioner Empathy and Systemizing Quotient for Children (EQ-/SQ-C) versi Bahasa Indonesia. Tipe otak dikelompokkan berdasarkan persentil dari nilai D, yaitu perbedaan antara EQ dan SQ terstandarisasi.
Hasil: Tipe otak yang paling banyak ditemui pada anak tanpa GPPH adalah empathy (37,7%), sedangkan pada kelompok anak dengan GPPH adalah systemizing (39,34%). Dari hasil analisis, didapatkan perbedaan bermakna pada nilai D kedua kelompok (p=0,021). Studi ini juga mendapati perbedaan bermakna pada rerata EQ (p=0,000) dan rerata SQ (p=0,042) antara kedua kelompok.
Simpulan: Terdapat kecenderungan tipe otak sistemisasi pada anak SD dengan GPPH, serta terdapat perbedaan bermakna pada rerata EQ dan SQ antara kedua kelompok.

Background: Empathy and systemizing abilities have developed since childhood. These abilities are related to social and academic achievements in children, can be assessed by using the Empathy Quotient (EQ) and Systemizing Quotient (SQ) questionnaires. The drive to emphatize and systemize can further be described as brain type, which is divided into five groups based on the difference of the individual’s standardized EQ and SQ scores. One of psychiatric disorders commonly found in child and adolescent mental health services is ADHD. ADHD may have an impact on social and academic function in children. This study was conducted to determine the difference of brain type based on EQ and SQ in elementary school children with and without ADHD.
Methods: This is an observational study with cross-sectional study design. Sample of 122 parents and children were included from Child and Adolescent Mental Health Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo General Hospital, and elementary school in Jakarta. The data were taken using Empathy and Systemizing Quotient for Children (EQ-/SQ-C) questionnaire in Bahasa Indonesia. The brain types were classified according to percentile of D score, which is the difference between standardized EQ and SQ.
Results: The most common brain type found in children without ADHD was empathy (37.7%), while in children with ADHD was systemizing (39.34%). From the analysis, there was significant difference in D score between both groups (p=0.021). Significant difference was also found in mean EQ score (p=0.000) and mean SQ score (p=0.042) between both groups.
Conclusion: There was tendency toward systemizing brain types in elementary school children with ADHD. There were also significant differences in mean EQ and SQ score between both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Allan Pascana
"Latar Belakang: Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah gangguan neurodevelopmental pada anak dan remaja. Prevalensi ADHD di seluruh dunia pada usia 3-12 tahun, mencapai 7,6%, di Indonesia mencapai 15,8 % pada anak usia 3-18 tahun, dan sebesar 15,5% di Jakarta. ADHD adalah peringkat pertama penyebab anak dibawa ke psikolog di Indonesia, yang terkait dengan gangguan fungsi kognitif hingga menyebabkan terganggunya prestasi akademis dan kualitas hidup anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik gangguan kognitif pada anak ADHD di Indonesia dan hubungannya dengan faktor demografis. Metode: Penelitian ini memiliki desain potong lintang yang dilakukan pada anak SD usia 7-12 tahun dengan menggunakan metode total sampling pada populasi terjangkau. Hasil: Subyek penelitian ini terdiri dari 34 anak dengan rata-rata usia subjek 9,68 (1,32) tahun, dengan 25 anak (73,5%) memiliki tipe inatensi. Delapan anak (23,5%) tipe kombinasi inatensi dan hiperaktivitas, dan 1 anak (2,9%) hiperaktif. Total skor rata-rata SYSTEMS-R yang diukur adalah 24,94 (8,21), 18 anak (52,9%) memiliki kemampuan kognitif normal, 16 anak (47,1%) defisit kognitif. Terdapat perbedaan bermakna pada domain atensi, kalkulasi, remote memory, bahasa, abstraksi dan visuospasial (p < 0,05) dengan abstraksi (91,2%), atensi (79,4%), kalkulasi (76,5%) dan bahasa (61,8%) adalah domain yang paling banyak memiliki angka di bawah rata-rata populasi umum. Faktor usia menunjukkan variasi signifikan (nilai p 0,024) berhubungan dengan skor total SYSTEMS-R pada anak ADHD. Tidak terdapat faktor demografis yang berhubungan secara statistik. Kesimpulan: Domain yang paling banyak memiliki nilai dibawah rata-rata populasi umum adalah domain atensi, domain yang termasuk dalam fungsi eksekutif yaitu abstraksi dan kalkulasi, Fungsi kognitif hanya berhubungan bermakna dengan faktor demografis usia dan subtipe ADHD.

Background: Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) is a neurodevelopmental disorder in children and adolescents. The prevalence of ADHD worldwide in children aged 3-12 years 7.6%, while in Indonesia it reached 15.8%, and 15.5% in Jakarta. ADHD is the number one reason children are taken to psychologists in Indonesia, which is related to impaired cognitive function, causing disruption to children's academic performance and quality of life. The aim of this research is to determine the characteristics of cognitive disorders in ADHD children in Indonesia and their relationship with demographic factors. Method: This study had a cross-sectional design which was conducted on elementary school children aged 7-12 years using a total sampling method in an accessible population. Results: The subjects of this study consisted of 34 children with an average subject age of 9.68 (1.32) years, with 25 children (73.5%) having the inattention type. Eight children (23.5%) showed a combination of inattention and hyperactivity, and only 1 child (2.9%) as hyperactive. The total mean SYSTEMS-R score measured was 24.94 (8.21), 18 children (52.9%) has normal cognitive abilities, while 16 children (47.1%) has cognitive deficits. There is significant differences in attention, calculation, remote memory, language, abstraction dan visuospasial (p < 0,05) with the domains of abstraction (91.2%), attention (79.4%), calculation (76.5%) and language (61.8%) are the domains that have the most numbers below the general population average. The age factor is a demographic factor showing significant variation (p value 0.024) associated with the total SYSTEMS-R score in ADHD children. When associated with cognitive function deficits in ADHD children, there were no demographic factors that were statistically related. Conclusion: The domain that has the most scores below the general population average is the attention domain, a domain that is included in executive function, namely abstraction and calculation. as well as the language and visuospatial domains. Cognitive function was only significantly related to age in demographic factors and ADHD subtype."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luisa Larasati Wirawan
"ABSTRAK
Anak dengan ADHD diketahui memiliki defisit dalam regulasi diri dan menampilkan perilaku impulsif. Adanya hambatan dalam meregulasi diri membuatnya kesulitan untuk secara sadar mengatur serta mengendalikan emosi, pikiran, dan tubuhnya untuk berperilaku sesuai dengan situasi yang dihadapi. Hal ini yang membuat anak dengan ADHD sulit diatur, cenderung menarik diri, menampilkan perilaku agresif, dan memiliki masalah sosial, baik dengan teman maupun keluarga. Orangtua dengan anak ADHD cenderung tidak merespon secara tepat kebutuhan anak, memiliki kontrol yang berlebihan, kurang memberikan pujian, dan kurang interaktif pada anaknya, sehingga terbentuklah insecure attachment pada anak dengan ADHD. Terbentuknya insecure attachment dapat memperparah masalah regulasi diri pada anak ADHD. Hal serupa terjadi pada N, anak ADHD berusia 6 tahun yang memiliki insecure attachment dengan orangtua. Salah satu intervensi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah regulasi diri pada N adalah Theraplay. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Theraplay efektif dalam menangani masalah regulasi pada N dan merubah pola interaksi N dengan orangtua menjadi lebih positif

ABSTRACT
Children with ADHD are known to have deficits in self-regulation and shown impulsive behavior. Difficulties to do self-regulation makes it difficult to consciously manage and control emotion, mind, and body in order to behave accordingly to the situation. This things that makes children with ADHD tend to withdraw, displaying aggressive behavior, and have social problems, either with friends or family. Parents with ADHD children tend not to respond the needs of their children properly, have excessive control, failed to give appreciation, and less interactive with children, thus forming insecure attachment with ADHD children. Insecure attachment may worsening the self-regulation in children with ADHD. Something similar happened to N, 6 years old children with ADHD who have insecure attachment with the parents. One of the interventions that can be used to overcome the problem of self-regulation with N is Theraplay. The results of this study indicate that Theraplay is effective in dealing with regulatory issues at the N and also N change his patterns of interaction with his parents to become more positive."
2016
T46530
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>