Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91763 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rani Agias Fitri
"Merokok merupakan suatu aktivitas yang sudah tidak asing lagi dalam masyarakat kita. Kebiasaan merokok tersebut telah berlangsung sejak lama, yaitu sejak ditemukannya kenikmatan menghisap tembakau di abad lima belas oleh penjelajah Eropa (Sarafino, l998) Semakin lama jumlah perokok menjadi semakin bertambah banyak. Merokok telah memberikan imej-imej yang menarik dan kenikmatan bagi para perokok. Adanya imej kenikmatan yang dapat diperoleh dengan merokok telah mendorong para wanita untuk turut merokok. Kenikmatan merokok menyebabkan wanita perokok sulit melepaskan diri dari kebiasaan merokoknya Banyak wanita yang merasa dirinya berada dalam tekanan terus menerus baik di rumah maupun di tempat kerja Mereka percaya kecemasan, stres, dan perasaan marah serta frustasi dapat diredakan atau dikurangi dengan merokok. Wanita yang telah tergantung pada rokok cenderung mempercayai bahwa mereka tidak dapat mengatasi hal-hal semacam itu tanpa merokok. (WHO, 1992). Meskipun telah mencoba berhenti merokok, tetapi sering kali usaha tersebut gagal dilakukan Jika sempat berhenti merokok, biasanya mereka akan merokok lagi.
Salah satu faktor yang tampaknya mendorong wanita perokok untuk berhenti adalah adanya dampak merokok pada kesehatan. Jika mereka hamil dan terus merokok maka bayinya akan lahir dengan berat badan yang rendah. Selain itu dapat juga terjadi aborsi secara spontan, kematian janin, dan kematian saat lahir. (Kaplan, Salis, & Patterson; 1993). Pengaruh rokok akan terus dirasakan seiring dengan perkembangan anak, terutama saat anak balita. Anak balita mudah mengalami gangguan kesehatan, karena kekebalan tubuhnya belum terbentuk secara sempurna. Asap rokok yang mengandung racun akan membahayakan kesehatan mereka, terutama membuat saluran pernapasannya terganggu (Kaplan, Salis, & Patterson; 1993).
Mempunyai anak balita yang sakit karena terlalu banyak menghirup asap rokok akan membuat wanita perokok merasa bersalah. Hal tersebut tampaknya telah menimbulkan konflik. Di satu sisi mereka menyadari merokoknya dapat berdampak buruk pada kesehatan anaknya, tetapi disisi lain mereka sulit berhenti merokok karena telah mengalami ketergantungan. Menurut Whalen (2005), perasaan bersalah terjadi ketika seseorang merasa bertanggung jawab telah melakukan suatu hal yang salah. Ketika seseorang merasa bersalah ia akan merenungkan apa yang telah dilakukannya, mengkritik dirinya sendiri, dan merasa menyesal. Perasaan bersalah yang muncul biasanya akan mengakibatkan bergejolaknya perasaan khawatir, cemas, gelisah, dan tegang (Fischer &, Tangney, 1995). Guna mengatasi perasaan bersalahnya, secara aktif seseorang akan mencari cara agar dapat mengontrol konsekuensi dan tindakannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapat penjelasan mengenai gambaran perasaan bersalah akibat perilaku merokok pada ibu yang memiliki anak balita.
Tujuan tersebut dapat dicapai dengan mengetahui bagaimana terbentuknya perilaku merokok pada ibu perokok yang memiliki anak balita, bagaimana terjadinya perasaan bersalah dan bagaimana mengatasi perasaan bersalah akibat perilaku merokok pada ibu yang memiliki anak balita. Hasil penelitian pada tiga orang ibu perokok yang memiliki anak balita menunjukkan bahwa terbentuknya perilaku merokok karena problem emosional dan sosialisasi. Merokok dilakukan untuk mengatasi emosi negatif yang berhubungan dengan lawan jenis, membantu memperoleh emosi yang positif dan sebagai kebiasaan tanpa adanya motif positif dan negatif lainnya. Terjadinya perasaan bersalah karena subyek menyadari perilaku merokoknya tidak bagus dan akan berdampak buruk pada anaknya. Ketika merasa bersalah mereka menjadi cemas, khawatir, takut, dan mengkritik serta menyalahkan dirinya sendiri. Perasaan bersalah yang dirasakan akan mendorong mereka untuk tidak merokok di dekat anak dan berniat berhenti atau mengurangi merokoknya. Hal tersebut merupakan upaya mereka untuk mengurangi perasaan bersalahnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Segal, Elizabeth A.
Illinois: F.E. Peacock Publishers, Inc., 1998
362 SEG s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Grant, James P.
Jakarta Kantor Perwakilan UNICEF untuk Indonesia [T.th],
362.7 Gra s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kantor Mentri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI, 1989
361 POL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"This study aims to understand the canges in the way of villagers think and behave and try to predict the globalization movement in the future
"
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Megawaty Affriany
"Perkawinan kembali merupakan salah satu pilihan yang dapat dilakukan
setelah seorang wanita bercerai. Hasil survey di Amerika Serikat yang dilakukan kepada wanita bercerai menyebutkan bahwa 90% mempertimbangkan akan melakukan perkawinan kembali jika menemukan pasangan yang tepat (Thabes,dalam Papalia dkk 2001). Setelah perceraian, anak-anak umumnya tinggal bersama ibunya. Karenanya wanita seringkali membawa anaknya pada perkawinan berikutnya. Perkawinan kembali pascacerai yang melibatkan anak dan perkawinan sebelumnya cenderung memiliki masalah. Masalah akan semakin bertambah ketika wanita bercerai melakukan perkawinan kembali dengan pria lajang, Penyesuaian dalam perkawinan cenderung semakin sulit bila orang tua tirinya belum pernah menjadi orang tua sebelumnya (Hurlock, 1986). Untuk mewujudkan perkawinan kembali yang berhasil dan bahagia pasangan perlu melakukanpenyesuaian perkawinan pada berbagai area dalam perkawinan.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan
jumlah responden 2 pasangan suami istri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah yang biasa dihadapi pada perkawinan kembali pascacerai adalah masalah persetujuan keluarga, masalah hubungan ayah tiri dan anak tiri yang berusia remaja, masaiah hubungan dengan mantan suami, masalah antara suami dan istri akibat hubungan ayah tiri dan anak tiri yang kurang baik, masalah keuangan keluarga, kesulitan ijin dari suami jika mantan suami ingin berternu, dan masalah penggantian nama mantan suami dalam akte kelahjran anak. Strategi penyesuaian yang dilakukan setiap pasangan berbeda pada setiap masalah. Strategi yang paling dominan adalah aktif kompromi di mana penyelesaian masalah hanya memuaskan satu pihak. Gambaran penyesuaian perkawinan yang cukup berhasil tampak pada sedikit masalah pada area penyesuaian perkawinan. Gambaran penyesuaian yang kurang berhasil ditandai dengan masalah pada berbagai area penyesuaian yang belum terselesaikan. "
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katarina S Sulianti
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pada saat ini terdapat kecenderungan dalam masyarakat menuntut kemampuan yang sama pada anak laki-laki dan perempuan. Bem (dalam Papalia 2000) menyebutkan anggapan budaya mengenai jender sangat mungkin berubah-ubah. Pembahan-perubahan ini dapat terefleksikan dalam skema jender anak dan nantinya mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya. Seseorang mungkin saja mempersepsi suatu masalah dari skema yang lainnya bukan hanya dari skema jender saja, namun Bem (dalam Boldizar, 1991) memberikan penekanan bahwa skerna jender menjadi hal yang penting, karena adanya kebiasaan dan ideologi sosial yang membentuk hubungan antara jender dengan tingkah laku, konsep, dan katagori-kategori tertentu berdasarkan jender, masyarakat sendiri menganggap perbedaan berdasarkan jender adalah hal yang penting, dan menggunakan jender sebagai dasar beberapa norma, keanggotaan kelompok, dan pengaturan di institusi-institusi. Bem (dalam Basow, 1992) menekankan bahwa bermula dari menyadari adanya perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan di setiap situasi sehari-hari, anak merangkai sebuah skema berdasarkan jender, sehingga terbentuk identitas jender, yang kemudian ditampilkan melalui tingkah laku-tingkah laku yang dianggapnya sesuai untuk laki-laki atau perempuan. Seorang anak laki-laki tidak selalu harus membentuk identitas jender maskulin, demikian pula seorang anak perempuan tidak selalu harus membentuk identitas jender feminin. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa anak-anak dan remaja yang memiliki identitas jender androgin dun maskulin lebih dapat diterima di lingkungannya, lebih percaya diri, lebih menghargai dirinya, dan lebih populer daripada mereka yang memiliki identitas jender feminin. Dan tampaknya dikaitkan dengan kondisi Zaman saat ini identitas jender androgin lebih tepat untuk dimiliki seorang anak. Di dalam proses pembentukan identitas jender, dipengaruhi oleh faktor internal yaitu perkembangan kognitif fisik, dan psikososial seseorang. Dengan adanya tekanan sosial dan perkembangan kognitif yang berbeda antara anak usia sekolah dan remaja, menyebabkan anak usia sekolah dan remaja berbeda."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Ardi Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran coping pada perempuan di usia dewasa muda yang mengalami kekerasan seksual, Kekerasan seksual yang dimaksud disini adalah kekerasan yang terjadi karena adanya unsur kehendak seksual yang dipaksakan dan mengakibatkan terjadinya kekerasan oleh pelaku dan tidak diinginkan oleh korban (Rubenstein dalam Yuarsi, Dzuhayatin dan Wattie, 2003) Rentannya perempuan dalam mengalami kekerasan seksual ditentukan oleh banyak faktor, yaitu antara lain faktor lingkungan dalam arti budaya dan masyarakat, faktor negara, dan juga faktor individu baik individu sebagai pelaku maupun sebagai korban. Pandangan yang sudah berakar kuat mengenai posisi perempuan yang subordinat, ketentuan hukum yang belum tegas dalam menindak pelaku kekerasan seksual, kehendak pelaku yang berada di luar kontrol perempuan, serta reaksi perempuan terhadap kekerasan seksual itu sendiri merupakan bentuk - bentuk konkrit yang memberi sumbangan besar pada kerentanan perempuan terhadap kekerasan seksual. Semakin lama, perempuan harus semakin mengurangi ketergantungannya pada lingkungan, dan menjadi lebih waspada pada perubahan lingkungan di sekitarnya Namun demikian kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja baik dalam lingkup publik maupun privat, dan dilakukan oleh siapa saja baik orang yang dikenal maupun tidak dikenal, sehingga kadang kala kekerasan seksual itu tidak dapat dihindari. Saat perempuan mengalami kekerasan seksual, maka ia juga berarti mengalami suatu peristiwa yang tidak menyenangkan yang dapat memberikan baik dampak fisik maupun psikologis dan dapat menempatkan individu dalam keadaan bahaya atau emotional distres disebut, keadaan ini juga disebut sebagai stres (Baron & Byrne, 2000). Untuk mengatasi keadaan ini seseorang akan perlu melakukan coping. Dimana menurut Lazarus & Folkman (1984, dalam Aldwin dan Revenson, 1987 : 338) coping adalah usaha yang sifatnya kognitif maupun perilaku, yang terus berubah. Dimana usaha tersebut ditujukan untuk mengatasi tuntutan yang berat maupun yang melampaui sumber daya / kemampuan seseorang Pemilihan coping yang tepat akan membawa individu pada keadaan yang stabil. Oleh karena itu penulis ingin melihat bagaimana penghayatan perempuan yang mengalami kekerasan seksual trhadap peristiwa tersebut, dan kemudian coping apa yang dikembangkan oleh perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif Oleh karena proses coping pada diri setiap orang berbeda, yang disebabkan karena perbedaan pengalaman dan penghayatan masing - masing individu, maka pendekatan kualitatif lebih tepat digunakan dalam pendekatan ini karena pendekatan ini berdasarkan pada sudut pandang individu yang mengalaminya. Selain itu, penelitian ini juga merupakan sebuah studi kasus, sebab meneliti hampir keseluruhan aspek yang terdapat pada kehidupan responden. Pengambilan sampel dilakukan pada 3 rcsponden, dengan menetapka kriteria bahwa responden adalah perempuan yang berada dalam usia dewasa muda dan pernah mengalami kekerasan seksual. Pada akhirnya responden pada penelitian ini memiliki latar belakang budaya yang berbeda, namun tingkat pendidikan yang relatif sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap orang akan memiliki strategi coping yang berbeda - beda hal ini ditentukan dari bagaimana ia mempersepsikan keadaan lingkungan dan juga dirinya sendiri. Namun ditemukan pula bahwa apabila coping yang dilakukan lebih bersifat emotion focused tanpa diimbangi dengan jenis problem - directed, maka dapat membawa akibat yang negatif sebab perasaan negatif itu menjadi lebih ditujukan pada diri. Apalagi apabila yang dikembangkan adalah strategi avoidance."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>