Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158174 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratri Virianita
"Aksi unjuk rasa buruh makin marak terjadi di berbagai perusahaan di Indonesia. Dampak negatif yang ditimbulkan aksi unjuk rasa buruh tidak hanya dirasakan oleh buruh dengan di-PHK-nya buruh, melainkan juga berdampak negatif pada perusahaan dan negara. Perusahaan mengalami kerugian berupa hilangnya jam kerja dan menurunnya produktivitas. Sementara negara mengalami hambatan pertumbuhan ekonomi nasional, terutama bila aksi unjuk rasa buruh berakhir dengan tindakan destruktif sehingga mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi dan politik. Keadaan ini membuat para investor enggan memasukkan. modalnya ke Indonesia. Menurut teori Identitas Sosial, perilaku kolektif dapat dijelaskan melalui peranan identifikasi kolektif dan keyakinan subyektif mengenai permeabilitas kelompok. Dikatakan bahwa individu memiliki identitas sosial yang mengikat pada kelompoknya, sehingga dalam berhubungan dengan kelompok lain individu akan berupaya memperbesar identitas sosialnya secara positif dan bahwa keyakinan subyektif mengenai batas-batas antar kelompok akan menentukan pilihan menggunakan strategi individual atau kolektif. Berdasarkan ha1 ini hipotesis yang diajukan adalah ada pengaruh identifikasi kolektif dan keyakinan subyektif mengenai permeabilitas kelompok yang signifikan terhadap partisipasi dalam aksi unjuk rasa buruh. Dengan menggunakan subyek penelitian sebanyak 102 buruh yang ikutserta dalam aksi unjuk rasa buruh diperoleh hasil uji korelasi antara identifikasi kolektif dengan parcisipasi dalam aksi unjuk rasa buruh sebesar r = 0,622, dan korelasi antara keyakinan subyektif mengenai permeabili- tas kelompok dengan partisipasi dalam aksi unjuk rasa buruh sebesar r = - 0,675 Hasil analisis regresi menghasilkan persamaan Y = 34,974 + 0,187X1 - 0,113x2 dan F(2,99) = 96,809, p = 0,000. Hal ini menunjukkan identifikasi kolektif dan keyakinan subyektif mengenai permeabilitas kelompok merupakan prediktor yang signifikan terhadap partisipasi dalam aksi unjuk rasa buruh, sehingga hipotesis diterima. Dengan mengunakan metode stepwise diketahui bahwa keyakinan subyektif mengenai permeabilitas kelompok memberi sumbangan yang lebih besar daripada identifikasi kolektif. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan umtuk melakukan penelitian komparatif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bagus Prasetio
"Berkembangnya dunia Kepolisian dari waktu-kewaktu baik secara organisasi maupun personil dapat digunakan sebagai tolak ukur dalam kehidupan masyarakat (Rianto, 1999). Apalagi ditambah dengan berpisahnya Polri dari ABRI, membuat tugas dan tanggung jawab Polri semakin berat. Sehingga Polri harus mampu menjadi ujung tombak dalam menegakkan hukum (Djamin, 2001).
Kepolisian merupakan suatu lembaga yang bertugas menjaga keamanan negara dan menegakkan hukum yang terdiri dari lima fungsi teknis kepolisisan, diantaranya adalah fungsi Sabhara (Samapta Bhayangkara), fungsi Lantas (Lalu Lintas), fungsi Bimmas (Bimbingan Masyarakat), fungsi Reserse dan fungsi Inteligen. Kelima fungsi ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan yang sangat diperlukan untuk membangun polisi yang ideal. (Wangsa, 1994).
Yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah fungsi Sabhara, karena tugas Sabhara adalah melaksanakan fungsi kepolisian yang bersifat preventif atau pencegahan, menangkal segala bentuk pelanggaran dan tindak kriminalitas serta melaksanakan tindakan represif tahap pertama terhadap segala bentuk pelanggaran dan tindak kejahatan dan ketertiban masyarakat, melindungi keselamatan orang, benda dan masyarakat serta memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat (Wangsa, 2003).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber stres fisiologis merupakan sumber stres yang paling menonjol dan paling potensial sebagai penyebab timbulnya stres pada anggota Sabhara Polda Metro Jaya dalam menangani aksi unjuk rasa di Jakarta. Sumber stres psikologis merupakan faktor yang mempunyai banyak peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan stres, tetapi potensi untuk menyebabkan stres tidak saekuat sumber stres fisiologis. Namun demikian sumber stres psikologis tetap lebih potensial menimbulkan stres dibandingkan sumber stres dari keluarga, stresor lingkungan, dalam diri serta komunitas dan pekerjaan.
Menurut Carver (1989), sebagian besar stresor individu dapat menampilkan lebih dari satu strategi coping. Namun demikian, dalam keadaan tertentu salah satu strategi cenderung mendominasi, baik itu Problem-Focused Coping, Emotion-Fokused Coping, atau Maladaptive Coping. Keadaan ini juga berlaku pada anggota Sabhara Polda Metro Jaya dalam menengani aksi unjuk rasa di Jakarta. Anggota Sabhara yang bertugas di Polda Metro Jaya menggunakan ketiga strategi coping yang ada untuk mengatasi stres, namun Emotion-Focused Coping yang lebihbanyak digunakan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3399
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Currentlu, almost every single 'conflict' in the society is followed by demonstration . It seems that the demonstration is a popular trend after the New Order era and more specifically such fenomenon has been reflected in the modern democracy life of the society...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Sadariah
"Tesis ini mengangkat masalah maraknya kasus unjuk rasa para pekerja pabrik di kawasan industri Tangerang. Pembahasan aksi unjuk rasa para pekerja pabrik tersebut di analisa dengan pendekatan ilmu Politik. Melalui metode kwantitatif, penelitian ini mencoba mengukur tingkat pengetahuan dan kesadaran para pekerja pabrik dengan menggunakan konsep Budaya Politik dari Rossenbaum dan Partisipasi Politik dari Sammuel Huntington.
Permasalahan yang diangkat adakah seberapa tinggi tingkat pengetahuan dan kesadaran politik (Budaya Politik) para pekerja pabrik khususnya yang berkaitan dengan kepentingan mereka sebagai pekerja; seberapa tinggi tingkat partisipasi politik pekerja khususnya dalam kasus unjuk rasa; adakah hubungan antara tingkat Budaya Politik dengan tingkat Partisipasi Politik tersebut.
Dari hail penelitian di lapangan maka dapat diketahui ternyata pengetahuan dan kesadaran para pekerja pabrik yang terlibat aktif dalam aksi unjuk rasa di lingkungan pabrik ditempat mereka bekerja ternyata adalah para pekerja yang memiliki tingkat pengetahuan dan keaadaran politik yang tinggi dalam hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan pekerja pabrik.
Mayoritas responden dalam penelitian ini adalah para pekerja yang memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dalam arti mereka terlibat dalam rangkaian aksi unjuk rasa dari mulai menyebarkan issue, mengajak dan menghimbau sesama rekan pekerja, mengadakan rapat pertemuan; memberi bantuan dana maupun pemikiran, sampai pada aksi unjuk rasa itu sendiri. Mereka yang aktif tersebut diikuti dengan tingkat pengetahuan dan kesadaran politik yang tinggi dalam hal yang berkaitan dengan kepentingan pekerja seperti pahamnya mereka mengenai besarnya tingkat upah dan berbagai insentif lainnya, Cara menyalurkan aspirasi mereka termasuk menempuh cara nonkonvensional ketika mereka mengalami jalan buntu dalam menempuh jalur formal.
Dari pengujian statistik diketahui terdapat hubungan yang kuat den signifikan antara tingkat Budaya Politik dengan tingkat Partisipasi Politik sebesar 0,99. Hal ini bermakna semakin tinggi tingkat Budaya Politik maka semakin tinggi pula tingkat Partisipasi Politiknya. Atau semakin baik kesadaran dan pengetahuan pekerja pabrik mengenai hakhaknya maka semakin aktif mereka dalam menuntut hak-hak baik dengan cara konvensional maupun non konvensional. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silverius Yoseph Soeharso
"ABSTRAK
Disertasi ini diajukan sebagai upaya membangun suatu model persamaan struktural untuk menjelaskan intensi buruh untuk mengikuti aksi kolektif. Penelitian ini relevan mengingat teori-teori dan pendekatan-pendekatan psikologi selama ini umumnya menjelaskan gejala aksi kolektif secara parsial.
Tujuan utama penelitian ini adalah menganalisis pendekatan integratif yang terdiri dari tiga pendekatan yaitu: psychological social psychology (faktor individual), sociological social psychology (faktor hubungan antar-kelompok) dan pendekatan social constructionsm (faktor masyarakat) untuk menjelaskan intensi buruh untuk mengikuti aksi kolektif, dalam hal ini adalah unjukrasa dan mogok kerja. Penelitian dengan pendekatan integratif ini hendak menguji pola hubungan yang spesifik yang didasarkan dari teori-teori yang menganalisis gejala aksi kolektif dan tingkatan individual, hubungan antar-kelompok dan masyarakat/ideology dimana masing-masing pendekatan diwakili oleh satu atau lebih teori atau variabel. Model penelitian ini mengajukan tiga variabel eksogen yaitu: representasi sosial, komitmen pada perusahaan dan komitmen pada serikat buruh serta empat variabel endogen yaitu identitas sosial, deprivasi relatif, motif harapan-nilai dan intensi untuk mengikuti aksi kolektif.
Secara khusus hipotesis penelitian ini adalah (1) intensi untuk mengikuti aksi kolektif secara Iangsung dapat diprediksi oleh empat variabel laten yaitu motif harapan-nilai, deprivasi relatif, komitmen pada perusahaan dan komitmen pada serikat buruh; (2) motif harapan-nilai secara langsung diprediksi oleh identitas sosial dan representasi sosial tentang buruh; (3) ideniitas sosial dan deprivasi relatif diprediksi oleh representasi sosial tentang buruh; (4) pola hubungan pengaruh antar variabel berbeda untuk kedua sampel penelitian.
Sampel penelitian adalah 836 buruh tetap yang diambil dari 18 perusahaan manufaktur dan indusiri pengolahan yang terletak di kawasan industri di Jabotabek dan Cilegon. Responden dibagi ke dalam dua kelompok yaitu: a) sampel partisipan (Np=346), yaitu buruh yang pernah mengikuti aksi unjuk rasa dan mogok kerja dalam lima tahun terakhir ketika penelitian di Iakukan dan b) sampel non-partisipan (Np=490), yaitu buruh yang belum pernah mengikuti aksi unjuk rasa dan mogok kerja dalam lima tahun terakhir ketika penelitian dilakukan.
Terdapat 7 alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, dimana 5 alat ukur disusun dan dikembangkan sendiri oleh peneliti, sedangkan dua alat ukur yaitu komitmen pada perusahaan dimodifikasi dan komitmen organisasi Allen & Meyer (1990) dan Seniati (2002) dan komitmen pada serikat buruh yang diadopsi dari Gordon dkk. (1980) keduanya disesuaikan dengan kondisi buruh di indonesia.
Untuk membuktikan hipotesis di atas, penelitian dirancang dengan mambangun model yang diuji melalui strategi model generating dalam pengujian model persamaan struktural (Structural Equation Modeling/SEM) dengan teknik analisis multi-sampel dengan menggunakan program LISREL (Linear Structural Relationship) versi 8.50 yang dikembangkan oleh Joreskog dan Sorbom (2001).
Hasil penelitian menunjukkan model dasar persamaan struktural tidak memberikan hasil yang bermakna artinya model belum sesuai dengan data. Namun demikian hasil respesifikasi kedua terhadap model dasar dengan tidak mengikutsertakan variabel komitmen pada perusahaan dan komitmen pada serikat buruh memberikan hasil yang bemakna pada kedua sampel penelitian.
Pada sampel NP, model respesifikasi kedua yang terdiri dari 5 variabel yaitu representasi sosial, identitas sosial, deprivasi relatif, dan motif harapan nilai mempengaruhi dan intensi buruh untuk mengikuti aksi kolektif sesuai dengan data, ini berarti, model dapat menjelaskan hubungan antara faktor-faktor yang secara bermakna mempengaruhi intensi buruh untuk mengikuti aksi unjukrasa dan mogok kerja di masa yang datang.
Namun demikian, pada sampel P, meski ukuran kebermaknaan antara model dengan data telah terpenuhi, namun terdapat hubungan antar variabel yang tidak bermakna. Hal ini secara teoritis tidak didukung atau bertentangan dengan teori. Atas dasar itu maka model dilakukan respesifikasi ulang dengan mengeliminasi variabel motif-harapan nilai. Hasilnya seluruh hubungan antar variabel memberikan pengaruh yang bermakna dan model sesuai dengan data.
Dengan membandingkan hasil analisis model persamaan struktural pada kedua sampel menunjukkan bahwa ada perbedaan pada faktor-faktor yang mempengaruhi intensi buruh untuk mengikuti aksi kolektif di masa yang akan datang. Salah satu kemungkinan yang menyebabkan perbedaan kedua model tersebut adalah karena faktor pengalaman yang berbeda antara sampel P dan NP.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa pendekatan integratif terhadap faktor-faktor individual, hubungan antar kelompok dan masyarakat terbukti dapat menjelaskan intensi buruh untuk mengikuti aksi kolektif secara komprehensif khususnya pada sampel buruh yang belum pernah mengikuti aksi kolektif, sedangkan pada sampel partisipan, hanya integrasi terhadap faktor-faktor hubungan antar-kelompok dan konteks masyarakat yang dapat menjelaskan intensi buruh untuk mengikuti aksi kolektif. Hal ini membuktikan bahwa pada sampel P, responden Iebih melihat kontlik hubungan industrial dari perspektii hubungan antar-kelompok dan masyarakat daripada dari perspeklif interpersonal atau personal. Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa hipotesa 2, 3 dan 4 diterima.
Sebagai kesimpulan, pendekatan integratif terhadap faktor-faktor individual, hubungan antar-kelompok dan konteks masyarakat merupakan salah satu pendekatan komprehensif yang dapat digunakan untuk menjelaskan intensi buruh untuk mengikuti aksi kolektif.

Abstract
This dissertation attempts to build a structural model based on an integrative approach for explaining labor intention to participate in collective action. This research is relevant because most of the existing theories and approaches explained collective action phenomena partially.
The main objective of this research is to analyse the integrative approach of psychological social psychology (individual factors), sociological social psychology (inter-group relation factors) and social constructionism (societal factor) for explaining labor intention to participate in collective action such as demonstrations and labor strikes. This integrative approach research tested a theoretically derived pattern of specific relationship between individual level of analysis, inter-group relation and societal or ideological level of analysis where each level of analysis was represented by one or more theories or variables- The research model proposes three exogenous latent variables namely: social representation, organizational commitment and union commitment and four endogenous latent variables that are: social identity, relative deprivation, expectancy-value motives and intention to participate in collective action. More specifically, it was hypothesized that: (1) intention to participate in collective action was primarily and directly predicted by four latent variables: expectancy-value motives, relative deprivation, organizational commitment and union commitment; (2) expectancy-value motives was primarily and directly predicted by both social identity and social representation of labor; (3) social identity and relative deprivation was primarily & directly predicted by social representation of labor; and (4) the proposed pattem of relationships holds over in different pattern and effects on different group of samples.
The respondents or samples for this research were 836 permanent labors taken from 18 manufacturing and food processor companies in some industrial estates located in North Jakarta, Tangerang, Bekasi, Cikarang, Citeureup, Cibinong, and Cilegon, who had been employed one or more than a year tenure with current employer. The respondents were divided into two group of samples namely: a) participant (N=346), the group of labor who have participated in collective action during the last 5 years from the year 2000 to 2005, when the research conducted; b) non participant (N=490), the group of labor who have not been participated yet-in collective action when the research conducted. There were seven research instruments applied in these research, where live of them were created and developed by the author and the other two that are organizational commitment adopted from Allen & Meyer (1991) and union commitment adopted from Gordon et al. (1980) where its items in both instruments had been adapted to labor conditions in Indonesia.
In order to test these hypotheses, a multi-sample analysis was performed using model generating strategy of testing structural equation modeling (SEM) by LISREL (Linear Structurat Relationship) 8.50 version computer program that it was developed by Joreskog & Sorbom in year 2001.
The results showed that the proposed pattern of relationships in baseline model has not given yet significant outcome, meaning that, the model did not fit the data. However, the respesification of the model without inclusion of organizational commitment and union commitment variables, has given significant results, and were common for both samples. In non-participant sample, the respesification of the model which consisting of five variables namely; social representation, social identity, relative deprivation, expectancy-value motive and labor intention to participate in a collective action fitted the data, meaning that, the model can explain the relationship among the factors that significantly influenced labor intention to participate in strikes and demonstrations in the future.
But, in participant sample, several relationship among variables have not given effects signilicantly, even though, all fitted model criteria were accepted. It means that these results were not supported by theories. For that reasons the second respecitication model need to be modified by eliminating the last individual factor in the model that was expectancy-value motive variable. As a result all the interrelations among variables in the last respecification model which consist of social representation, social identity, relative deprivation and intention to participate in collective action have significant effect and fitted the data, meaning that, these model could explain the labor intention to participate in collective action.
By comparing both final models, it could be concluded that the models have different pattern of relationships and effects on both samples. The possible causal factor of these difference was the experience of the workers in participating in the past collective actions.
These research findings proved that an integrative approach model which was represented by expectancy-value motives (individual level), both relative deprivation and social identity (inter-group level) and social representation (societal level) do explain labor intention to participate in collective action significantly especially in non-participant sample. But in participant sample there were only two factors namely inter-group relation and societal context that can explain the emerging of the labor intention to participate in collective action. ln other words, respondents in participant sample perceived that industrial relation conflict can be more viewed from inter-group relation and societal context rather than interpersonal or personal point of view. These results also proved that the tested hypothesis number 2, 3 and 4 could be accepted.
As a conclusion, the integrative approach to individual factor, inter-group relation factor and societal factor is the one of comprehensive approach that can be used to explain labor intention to participate in collective action.
"
2006
D683
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silverius Yoseph Soeharso
"Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan suatu model persamaan struktural yang menjelaskan intensi buruh untuk mengikuti aksi kolektif. Teori dan pendekatan psikologi selama ini umumnya hanya memberikan penjelasan yang bersifat parsial terhadap gejala aksi kolektif. Tujuan utama penelitian ini adalah membuktikan bahwa pendekatan integratif yang terdiri dari pendekatan psychological social psychology (faktor individual), sociological social psychology (faktor hubungan antarkelompok) dan pendekatan social constructionism (faktor yang ada dalam masyarakat) dapat menjelaskan intensi buruh untuk mengikuti aksi kolektif, dalam hal ini adalah unjuk rasa dan mogok kerja. Pengujian model ini hendak melihat pola hubungan yang spesifik yang didasarkan pada teori-teori yang menjelaskan gejala aksi kolektif pada tingkat individual, hubungan antar-kelompok dan masyarakat/ideologi di mana masing-masing pendekatan diwakili oleh satu atau lebih teori, yang diturunkan dalam bentuk variabel. Model penelitian ini mengajukan tiga variabel eksogen, yaitu representasi sosial, komitmen pada perusahaan dan komitmen pada serikat buruh serta empat variabel endogen, yaitu identitas sosial, deprivasi relatif, motif nilai-harapan dan intensi untuk mengikuti aksi kolektif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan integratif terhadap faktor-faktor individual, hubungan antarkelompok dan masyarakat terbukti dapat menjelaskan intensi buruh untuk mengikuti aksi kolektif secara komprehensif khususnya pada sampel buruh yang belum pernah mengikuti aksi kolektif (non partisipan). Adapun pada sampel buruh yang pernah mengikuti aksi kolektif (partisipan), hanya faktor-faktor hubungan antar kelompok dan faktor yang ada dalam masyarakat yang dapat menjelaskan intensi buruh untuk mengikuti aksi kolektif.

This research attempts to build a structural model based on an integrative approach to explain labor intention to participate in collective action. This research is relevant as most of the existing theories and approaches explain the collective action phenomena partially. The main objective of this research is to analyze the integrative approach of psychological social psychology (individual factors), sociological social psychology (inter-group relation factors) and social constructionism (societal factor) in explaining labor intention to participate in collective action, such as demonstrations and labor strikes. This integrative approach research tested a theoretically derived pattern of specific relationship between individual level of analysis, inter-group relation and societal or ideological level of analysis where each level of analysis was represented by one or more theories. The research model proposes three exogenous latent variables namely: social representation, organizational commitment and union commitment, and four endogenous latent variables that are: social identity, relative deprivation, expectancy-value motives and intention to participate in collective action. These research findings proved that an integrative approach model which was represented by expectancy-value motives (individual level), both relative deprivation and social identity (inter-group level) and social representation (societal level) explain the labor intention participating in collective action was significant in non participant sample. On the other hand, in participant sample there were only two factors namely inter-group relation and societal context which explain the emerging of the labor intention participating in collective action."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ilham
"Tesis ini bertujuan memahami ideologi perlawanan buruh dalam konflik perburuhan di pabrik. Peningkatan konflik perburuhan merupakan indikator perubahan ideologi perlawanan buruh dewasa ini jika dibandingkan dengan keadaan di masa lalu. Cara ideologi tersebut diekspresikan bukan saja lebih beragam, tapi juga berbeda sifatnya dari yang digambarkan dalam studi-studi konflik perburuhan selama ini. Bertentangan dengan pandangan yang menekankan lemahnya identitas politik buruh industri manufaktur, tesis ini menunjukkan bahwa perlawanan buruh kini lebih kuat dan radikal sebagaimana ditunjukkan oleh meningkatnya aksi-aksi kolektif buruh akhir-akhir ini. Namun berbeda dari pandangan kaum Mandan, konflik dan perlawanan buruh tidak begitu saja mencerminkan ekspresi kesadaran kelas dan watak revolusioner mereka. Ideologi perlawanan buruh dewasa ini ditentukan oleh strategi ekonomi tiap-tiap individu sehingga lebih bersifat ekanomis-pragmatis daripada kecenderung politis-revolusioner.
Tesis ini menggunakan pendekatan konstruktivis {interpretif) karena memperhatikan pembentukan ideologi dalam kelompok sebagai pendorong terjadinya konflik. Ideologi dilihat sebagai sistem simbolik yang memberi acuan bagi pembentukan kesadaran kolektif dan menjadi pengarah bagi berbagai problem kehidupan. Dalam hal ini, ideologi buruh-buruh anggota FNPBI tidakiah tunggal, karena merupakan hasil dari proses sosial. Ideologi tersebut senantiasa didefinisikan, dinegosiasikan, dan diaktifkan dalam interaksi intrakelompok karena para organiser buruh-buruh dan buruh-buruh mengembangkan orientasi yang berbeda-beda mengenai diri dan tujuannya dalam organisasi. Para aktivis menggunakan aksi-aksi kolektif sebagai sarana pendidikan politik dan penanaman ideologi gerakan dengan tujuan-tujuan yang bersifat politik, sementara buruh-buruh lebih cenderung menggunakannya sebagai sarana untuk memperoleh tujuan-tujuan ekonomi. Dengan demikian, organisasi gagal menjadi pembentuk ideologi dan kesadaran kolektif yang koheren bagi para anggotanya untuk menjadi gerakan sosial yang signifikan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirna Tri H.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S8173
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Burhan Wijaya
"Penelitian ini mengungkap bahwa prajurit marinir yang di-BKO-kan (diperbantukan) ke Polri dalam menangani aksi mahasiswa (yang berubah menjadi aksi massa) sebetulnya mendapat tugas baru yang bertentangan dengan tugas pokoknya, sehingga mereka mengalami konflik peran. Deutsch (1973) menyatakan bahwa suatu konflik dapat terjadi kapanpun bila aktivitas yang saling bertentangan terjadi. Prajurit marinir besar kemungkinan pada awalnya merasa stres dengan tugas baru tersebut, seperti yang dikatakan oleh Kahn (1964) bahwa stres kerja dapat disebabkan karena terdapat hambatan dalam menjalankan peran pada pekerjaannya. Agar prajurit marinir tetap dapat melaksanakan tugasnya maka mereka melakukan perilaku coping. Lazarus (1991) mendefinisikan coping yang merupakan upaya kognisi dan perilaku yang khusus mengatur tuntutan-tuntutan internal atau eksternal yang dinilai individu sebagai situasi yang membebani. Kenyataan yang ada menggambarkan bahwa pada saat prajurit marinir menjalankan tugas tersebut mampu melaksanakan dengan baik dan mendapat simpati dari masyarakat.
Peneliti menduga bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan prajurit marinir berhasil menjalankan tugasnya. Diduga terdapat 3 faktor yang berperan dalam keberhasilan tersebut, yaitu faktor identitas kelompok atau semangat korsa atribusi atau cara penanganan dan aktualisasi diri. Pada identitas kelompok, bahwa kelompok merupakan bagian dari individu dan adanya proses psikologis juga akan membentuk perilaku kelompok (Hogg & Abrams, 1990). Untuk atribusi, menurut Jones & Davis (1965) selalu terdapat prekondisi. Ada 2 kondisi yang spesifik, yang pertama aktor (dalam bertindak) harus memiliki pengetahuan perilaku yang diobservasi dan yang kedua memiliki kemampuan untuk menampilkannya. Sedangkan aktualisasi diri menurut Erich Fromm (1993) bahwa orang yang mampu mengaktualiasikan diri dengan baik salah satunya adalah mampu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap dirinya dan mampu bersikap lebih menghargai pada orang lain, bukannya mengambil sikap yang bertentangan.
Pembuatan alat ukur diperoleh dari hasil elisitasi terhadap beberapa anggota marinir yang memenuhi persyaratan. Setelah dilakukan uji coba maka alat ukur yang digunakan adalah dalam bentuk kuesioner yang mengukur faktor identitas kelompok, atribusi dan aktualisasi diri. Sedangkan faktor standar keberhasilan diperoleh dari kuesioner yang dibuat oleh Tracy (1981).
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling, subyek adalah Brigade infanteri BS Marinir jakarta dan Brigade infanteri-1 Marinir Surabaya. Pemilihan sampel ini atas dasar asumsi bahwa pasukan infanteri seringkali diperbantukan menangani aksi unjuk rasa dan pasukan tersebut tergolong pasukan yang paling siap untuk diterjunkan di lapangan karena keberadaan mereka di garis paling depan. Jumlah sampel adalah 211 responden. Untuk mendapatkan faktor-faktor berdasarkan dugaan peneliti maka dilakukan analisis faktor. Sedangkan untuk menguji validitas dan reliabilitas item-item dalam kuesioner digunakan perhitungan internal consistency dan tehnik reliabilitas Cranbach Alpha, sedangkan untuk melihat masing-masing sumbangan variabel digunakan analisis regresi.
Hasil penelitian menunjukkan adanya 4 faktor yang berperan memberikan pengaruh pada standar keberhasilan yaitu: faktor atribusi, identitas kelompok, eksistensi (aktualisasi diri) dan persepsi terhadap tugas. Adapun faktor yang memberikan sumbangan terbesar adalah atribusi dan identitas kelompok. Untuk penelitian berikutnya, disarankan membandingkan dengan aparat lain selain marinir agar dapat ditemukan dan ditegaskan faktor-faktor temuan lain yang lebih berperan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T9719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>