Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 87687 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wowor, Rinny
"Anak cacat mental adalah anak yang tergolong ?luar biasa". Maksudnya adalah anak secara signifikan dapat dianggap berbeda dengan anak-anak normal lainnya, terutama yang berkaitan dengan beberapa dimensi penting dari kemanusiaannya. Mereka mengalami hambatan baik dari aspek fisik, kognitif sosial dalam mencapai perkembangannya. Namun demikian anak cacat mental dengan klasifnkasi ringan tidak memperlihatkan kelainan fisik yang mencolok, mereka mampu untuk dididik, dapat mempunyai teman, keterbelakangannya dapat di ketahui saat anak masuk sekolah dasar, dan prose; penyesuaian dirinya sedikit lebih rendah dari pada anak-anak normal lainnya (Weiner, 1982). Kebanyakan dari anak cacat mental ringan mengetahui bahwa dirinya lebih terbelakang dibandingkan dengan kemampuan yang harusnya sudah dikuasai (Halpem, 1968). Beberapa diantara mereka menjadi frustrasi, menarik diri alan bertindak ?buruk? untuk mendapatkan perhatian dari anak lain atau orang dewasa (http://www.daycre.com/fasacts/redation.html).
Hasil penelitian Reiss, Menolascino dan Bregman, menemukan bahwa tingkat gangguan emosional pada anak cacat mental lebih banyak daripada anak yang bukan cacat mental (http://www.uab.edu/cogdev/mentreta.htm). Pada anak cacat mental ringan gangguan emosional yang sering terjadi adalah mereka menampilkan perilaku aggression, anxiety, depresi, attention problem, bahkan self injury (Corbct.,l985 ;Bregnan 1991 dalam Israel,l997). Menurut Exner (1982), pada anak dengan kategori cacat mental ringan (Educable Mentally Retarded) dapat diberikan tes Rorschach, karena dapat memberikan gambaran kepribadian anak terutama menyangkut aspek emosi. Selain itu melalui tes Rorschach dapat diketahui adanya frustrasi, agresif, kecemasan, hubungan interpersonal, konsep diri, asosinsi anak terhadap figur orang tua yang dihasilkan berdasarkan stimulus value yang ada pada tiap kartu dan analisis skor Rorschach.
Teknik Rorschach adalah salah satu tes proyeksi yang digunakan untuk mengungkapkan aspek-aspek kepribadian. Aspek kepribadian yang dapat terungkap pada tes Rorschach meliputi aspek kognitif emosi dan fungsi ego. Aspek emosi yang dapat diungkap oleh tes Rorschach adalah kondisi emosi seseorang, perasaan terhadap diri sendiri, responsititas terhadap lingkungan sekitar, reaksi terhadap tekanan emosi dan pengendalian dorongan emosional (Klopfer & Davidson 1962). Menurut Exner (1982) skor Rorschach pada anak cacat mental ringan lebih banyak memberikan sumbangan pada aspek emosi dibandingkan dengan aspek kognitif dan fungsi ego.
Penelitian ini dilakukan atas dasar ketertarikan peneliti, mengingat selama ini pemeriksaan psikologis di Klinik Bimbingan Anak Fakutas Psikologi UI terhadap anak cacat mental ringan jarang diberikan tes Rorschach. Dari data sekunder yang ada di Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi UI, hanya terdapat I kasus anak cacat mental ringan yang diberikan tes Rorschach. Terlihat bahwa pemeriksaan psikologis terhadap anak cacat mental ringan lebih ditekankan pada aspek kognitif dan fungsi adaptif namun kurang menekankan pada aspek emosinya. Anak cacat mental ringan mempunyai kebutuhan yang sama dengan anak normal menyangkut kebutuhan dasar, afeksi, rasa aman, dan penerimaan dari lingkungannya. Masalah emosional akan timbul saat kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi Lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat memegang peranan penting dalam membantu meningkatkan derajat stabilitas emosi anak cacat mental ringan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini menunjukan bahwa, masing-masing subyek memberikan respon berdasarkan pengalamannya, sesuai tempat tinggal atau lingkungan dimana individu tersebut berada. Gambaran aspek emosional yang tercermin melalui tes Rorschach meliputi, kondisi emosi anak cacat mental ringan mulai dari yang paling banyak hingga sedikit yaitu pasif menarik diri, merasa cemas, impulsif dan agresif. Konsep diri yang kurang baik, mengalami kesulitan untuk berhubungan secara emosional dengan orang lain, kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, selain adanya hambatan dalam memperhatikan dan mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Namun demikian mereka mampu melihat realitas dan bereaksi terhadap stimulus emosional. Mereka mengenal orang tua sebagai figure otoritas, adanya kebutuhan akan afeksi, penerimaan, dan keinginan untuk dilibatkan dalam lingkungan sosialnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38786
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tissa Pitaloka Pagehgiri
"Dalam pemeriksaan psikologi, alat tes mempunyai peranan penting sebagai alat bantu bagi psikolog dalam memberikan penilaian tentang perilaku seseorang. Dengan alat tes dapat diketahui kemampuan seseorang serta ciri-ciri perilaku seseorang, seperti sikap, motivasi, kondisi emosi, dan hubungan sosial orang tersebut dengan lingkungannya. Dalam penelitian ini peneliti menekankan pada tes Rorschach yang merupakan tes kepribadian dngan metode proyeksi. Perilaku yang ditunjukkan seseorang selama pemeriksaan psikologi merupakan cerminan kepribadiannya.
Sebagai alat tes kepribadian Rorschach dapat mengungkap aspek-aspek kepribaiaan yaitu aspek intelektual/kognitif aspek emosi atau afektif, serta aspek fungsi ego. Fungsi aspek-aspek tersebut hanya dapat dipahami bila masing-masing aspek dihubungkan daiam suatu totalitas. Selain dapat mengungkap aspek-aspek kepribadian, tes Rorschach juga dapat mengungkap hal-hal patologis dari suatu kasus klinis, seperti Skizofrenia yang mempakan gangguan jiwa terberat dalam kelompok psikotik. Seorang penderita skizofrenia akan mengalami gangguan pada aspek kognitif, aspek emosi, dan aspek perilakunya. Pada aspek kognitif penderita mengalami gangguan berupa halusinasi, waham maupun proses pikirnya. Gangguan pada aspek emosi berupa emosi yang tidak sesuai yang ditunjukkan oleh penderita.
Sedangkan gangguan perilaku ditunjukkan penderita dalam bentuk perilaku katatonik atau postur lilin. Berdasarkan gangguan-gangguan yang ada pada penderita skizofrenia maka peneliti ingin melihat bagaimana gambaran gangguan tersebut pada tes Rorschach, terutama pada aspek intelektualnya yang merupakan gangguan yang paling mencolok pada penderita skizofrenia.
Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari bagian Psikologi Klinis Dewasa sejak tahun 1996-2002, diperoleh 30 sampel yang terdiri dari skizofrenia tipe paranoid berjumlah 13 orang, tipe hebefrenik berjumlah 2 orang, tipe katatonik berjumlah 1 orang, tipe tak tergolongkan beljumlah 9 orang dan tipe residual berjumlah 5.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pada penderita skizofrenia baik tipe paranoid, hebefrenik, katatonik, tak tergolongkan maupun residual memiliki lcapasitas intelektual dibawah rata-rata dengan efisiensi intelektual yang juga berada pada rentang yang sama, yaitu dibawah rata-rata. Penderita skizofrenia juga mempunyai persentas respon W tinggi dengan kualitas minus. Selain W- pada penderita skizofrenia juga ditemukan konfabulasi W. F- minus juga terdapat pada sebagian besar penderita skizofrenia. Jumlah respon popular rendah dan respon minus ditemukan pula pada penderita skizofrenia. Untuk content, paling banyak ditemukan respon A. A% pada penderita skizofrenia sangat tinggi. Selain itu ditemukan juga suksesi loose dan confused."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melanie D. Maharani
"Schizophrenia termasuk kelompok psycholic disorder dengan gejala atau simptom utama yaitu gangguan pada pikiran emosi, dan tingkah laku: gangguan pikiran dimana mereka memiliki ide-ide atau pikiran-pikiran yang tidak secara logis berhubungan; memiliki persepsi dan atensi yang salah; gangguan bizarre pada aktivitas motorik emosi yang datar dan tidak sesuai situasi; dan kurangnya toleransi stress pada hubungan interpersonal. Penderita menarik diri dari orang-Orang sekitar dan dari realitas, biasanya melalui hidup berfantasi dengan delusi dan halusinasi. Karakleristik ini dapat kita ukur melalui alat-alat tes diagnostik yang memang telah dipergunakan sebelumnya dan salah satu dari tes diagnostik adalah tes Rorschach. Tes Rorschach memiliki dasar pemikiran bahwa pemikiran sescorang terhadap bercak tinta merupakan contoh tingkah laku orang tersebut
bila dihadapkan pada problem yang serupa. Aspek-aspek kepribadian yang dapat diungkap dalam tes Rorschach antara lain: aspek kognitif atau intelektual, aspek efektif atau emosi, yang antara lain terdiri dari: general emotion tone, perasaan
terhadap diri sendiri, responsiyitas terhadap lingkungan atau orang lain: kemampuan melakukan hubungan sosial, perasaan nyaman/tidaknya bila berada pada situasi sosial. reaksi terhadap tekanan emosi, serta pengendalian terhadap dorongan emosional dan aspek fungsi ego, yang antara lain terdiri dari: ego
strength yailu bagaimana menghadapi realitas, bagaimana penilaian terhadap diri sendiri, kemampuan menghadapi konflik, mekanisme pertahanan diri.
Dari tes Rorschach dapat dilihat hal-hal patologis pada aspek kognitif atau intelektual, emosi dan fungsi ego seseorang sehingga peneliti menarik kesimpulan bahwa tes Rorschach dapat digunakan pada penderita schizophrenia sehingga
akan terlihat dampak dari kepribadian yang patologis yang mereka miliki terhadap hasil dari tes Rorschach itu sendiri. Pada karya tulis ini penulis momfokuskan diri pada aspek emosi dan hubungan sosial dari penderita schizophrenia dan yang
dilihat kemudian adalah analisis kuantitatif dari skor determinan mengingat bahwa skor determinan mengungkapkan aspek-aspek emosi dari kepribadian.
Hasil penelitian menunjukkan skor paling tinggi terdapat pada determinan
FM yang berarti dorongan untuk pemuasan segera muncul segera ke kesadaran,yang sesuai dengan karakteristik pasien schizophrenia yang cenderung impulsif mengalami fiksasi dan regresi. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa penderita schizophrenia menunjukkan persentase yang tinggi pada determinan C yang merupakan indikator dari kekurangan patologis akan kontrol emosional, dan
Schizophrenia merupakan gangguan patologis dimana salah satu karakteristiknya adalah gangguan emosional atau gangguan pengendalian diri.
Pada semua determinan shading, penderita schizophrenia menunjukkan
skor yang rendah. Determinan shading berhubungan dengan cara orang itu
menghadapai kebutuhan keamanannya yang utama dan kebutuhan akan afeksi dan belnngingness. Salah satu simptom negatif yang ada pada schizophrenia adalah afek tumpul dimana terjadi pendangkalan afek dan penderita tidak menyadari adanya kebutuhan akan afeksi.
"
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natalia
"Anak-anak retardasi mental ringan memiliki kesulitan dalam hubungan interpersonal, khususnya berkomunikasi secara verbal (Nelson & Israel.,1997). Walaupun demikian, anak-anak ini tetap dapat merasakan sikap dan perlakuan oranglua terhadap mereka. Dari beberapa laporan kasus anak retardasi mental ringan yang datang ke Fakultas Psikologi UI (antara tahun 1998-2002) dan dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di sekolah-sekolah luar biasa, terlihat bahwa anak-anak retardasi mental ringan ini akan berespon tertentu sesuai dengan perlakuan orangtua terhadap mereka. Maka dari itu setiap orangtua diharapkan dapat menerima dan memperlakukan anak-anak yang sudah didiagnosa retardasi mental ringan, dengan baik dan penuh tanggung jawab. Namun adakalanya orangtua menunjukkan penolakan dan menarik diri dari tugas merawat anaknya tersebut (Bigner, 1994).
Dengan beragamnya reaksi orangtna terhadap anaknya yang bermasalah dan melihat pentingnya pengaruh orangtua terhadap anak dengan kebutuhan khusus, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang hubungan antara orangtua dan anak retardasi mental ringan, khususnya dari sudut pandang anak. Salah satu media yang dapat melihat hubungan orangtua dan anak, sekaligus mudah bagi anak dengan kapasitas intelektual yang berada di bawah rata-rata, adalah tes House-Tree-Person. Di sini anak diminta untuk menggambar sebuah rumah, sebuah pohon, dan seorang manusia pada selembar kertas. Secara umum, tes HTP dapat diinterpretasikan sebagai refleksi baik sikap maupun perasaan-perasaan yang ditujukan pada dirinya dan lingkungannya. Rumah merefleksikan hubungannya dengan ibu, pohon merefleksikan perasaan terhadap ayah, dan orang merefleksikan perasaan terhadap dirinya. Untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai hubungan orangtua dan anak pada tes HTP, akan difokuskan pada interpretasi gambar HTP secara terpisah (masing-masing elemen) dan melihat hubungan tiga elemen, yakni rumah, pohon, dan orang (Marnat, 1999). Sebagai bahan pembanding, peneliti juga tetap akan melampirkan hasil anamnesa dengan orangtua, untuk melihat bagaimana pandangan orangtua terhadap hubungannya dengan anak-anaknya.
Setelah dilakukan analisis terhadap data sekunder yang diperoleh dari Bagian Klinis Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia., diperoleh hasil yakni dalam memandang hubungannya dengan orangtua., tiga subyek merasakan kebutuhan akan kedekatan dengan figur ibu daripada ayah dan hanya satu subyek yang merasakan kebutuhan akan kedekatan dengan figur ayah daripada dengan ibu. Walaupun demikian, keempat subyek merasakan pentingnya kehadiran seorang ibu bagi mereka. Sedangkan dalam hal dominasi, ada dua subyek yang merasakan bahwa figur ibu lebih dominan daripada ayah dan dua subyek laiunya merasa dominasi kedua orangtua sama besarnya.
Sebagai bahan pembanding, dari anamnesa dengan orangtua, terlihat bahwa orangtua dari keempat subyek, kecuali ayah dari subyek 3, menolak kondisi anak mereka baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung ditunjukkan dengan sikap menarik diri dan tidak terlibat dalam pengasuhan anak, sedangkan sccara tidak langsung ditunjukkan dengan sikap tetap mengasuh anak namun dengan aturan yang keras dan disertai dengan hukuman fisik.
Peneliti menyadari bahwa hasil yang diperoleh dari penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan dan harus diteliti secara lebih mendalam, mengingat adanya keterbatasan jumlah subyek penelitian, pengadminsrasian tes HTP yang tidak dilakukan langsung oleh peneliti, perbedaan pemahaman / persepsi antara peneliti dengan pemeriksa sebelumnya, dan keterbatasan peneliti dalam mengungkapkan aspek-aspek penting dari tes HTP. Maka dari itu perlu diadakan penelitian lanjutan dengan memperluas jumlah subyek dan jika memungkinkan dilakukan penelitian dengan menggunakan data primer."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38183
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roslina Verauli
"
Dilihat dari sejarah perkembangan definisi keterbelakangan mental, tampak bahwa tingkah laku adaptif semakin berperan (Vance, 1998). AAMD, yang kemudian pada tahun 1992 berubah menjadi AAMR, mulai memasukkan tingkah laku adaptif dalam definisi keterbelakangan mental pada tahun 1959. Pada tahun 1973, deinisi AAMD mengenai keterbelakangan mental adalah “fungsi inteligensi yang secara signiflkan tergolong di bawah rata-rata (subaverage) muncul bersamaan dengan defisit pada tingkah laku adaptif dan terjadi pada masa perkembangan. Perkembangan dalam definisi terus berlanjut hingga tahun 1992 dimana AAMR tetap memberi penekanan pada kemampuan adaptif. Dari perkembangan tersebut jelas bahwa seorang individu tidak dapat didiagnosa sebagai kerbelakang mental bila tidak mengalami defisit dalam kemampuan adaptinya. Sejumlah skala telah dikembangkan untuk mengukur tingkah laku adaptif Diantaranya yang paling umum digunakan dan telah distandardisasi adalah American Association on Mental Defliciency-Adaptive Behavior Scale tahun 1974 (AAMD-ABS tahun 1974). AAMD-ABS tahun 1974 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian I yang mengukur IO domain tingkah laku adaptif dan bagian II yang mengukur 14 domain yang berhubungan dengan masalah kepribadian dan tingkah laku AAMD-ABS dapat diterapkan untuk individu berusia 3 tahun sampai dengan 69 tahun dimana informasi diperoleh dari informan yang dekat dan mengenal anak dengan baik. Skor yang diperoleh diubah ke dalam percentile ranks untuk memperoleh gambaran berupa profil. Profil dapat digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan tingkah laku adaptif individu keterbelakangan mental. Profil tersebut merupakan dasar yang obyektif untuk mengevaluasi keraquan atau hasil dari program intervensi. Atas dasar inilah peneliti tertarik mengetahui gambaran profil AAMD- ABS tahun 1974 anak keterbelakangan mental yang datang ke Klinik Anak. Data berupa data sekunder diperoleh dari 31 sampel periode 1998 - 2002. Adapun golongan keterbelakangan mental dan kelompok usia yang tercakup dalam penelitian adalah keterbelakangan mental sedang-ringan dan kelompok usia sekolah-remaja (golongan keterbelakangan mental dan kelompok usia yang tercakup pada norma AAMD-ABS tahun 1974). Deskripsi dan interpretasi profil dilakukan terhadap sejumlah skor subyek di setiap domain pada masing-masing kelompok anak keterbelakangan mental untuk menilai sejauh mana mereka mengalami deifsit dalam kemampuan adaptifnya. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pada kelompok keterbelakangan mental ringan usia sekolah, domain yang perlu menjadi fokus perhatian dalam program intcrvensi adalah domain VII. Pada kelompok keterbelakangan mental ringan usia remaja, domain yang perlu menjadi fokus utama dalam program intervensi adalah domain VIII. Pada kelompok keterbelakangan mental sedang usia sekolah, domain yang perlu menjadi fokus perhatian dalam program intervensi adalah domain VI dan VII. Pada kelompok keterbelakangan mental sedang usia remaja, domain yang perlu menjadi fokus perhatian dalam program intervensi adalah domain VII. Yang perlu diperhatikan dari hasil penelitian ini adalah peneliti tidak dapat mengetahui sejauh mana subyek dalam setiap kelompok penelitian mengaiami defisit pada kemampuan adaptifnya, dibandingkan dengan anak normal yang seusia. Disamping itu, peneliti tidak dapat melakukan generalisasi hasil penelitian pada kelompok keterbelakangan mental yang lebih luas karena jumlah subyek penelitian yang tergolong kecil Sehingga dikhawatirkan hasil penelitian lebih dipengaruhi oleh variasi individual."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T38818
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda
"Dewasa ini fenomena keberadaan kaum homoseksual semakin hangar dibicarakan seiring dengan semakin banyaknya individu yang memiliki pilihan obyek seksual kepada sesama
jenis tersebut Orientasi seksual mereka yang berbeda dengan mayoritas masyarakat
omderung mendapatkan tanggapan negatif dan berbagai pihak, baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat umum sehingga kehidupan mereka cenderung diliputi
masalah, tekanan dan berbagai hal lainnya. Dalam hal ini gangguan penyesuaian seksual
yang dialami kaum homoseks memainkan peranan panting dalam perkembangan kepribadian mereka (Wheeler dalam Lemcr, 1975). Oleh karena im peneliti lertarik untuk mengadakan studi yang dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran kepribadian kaum
homoseks, sekaligus untuk mendeteksi orientasi seksual mereka berdasarkan tes proyeksi kepribadian, yakni tes Rorschach, dan metode wawancara mendalam (deplh interview).
Penelitian ini merupakan penelitian daskriptif dengan pcndekatan kualitatif Pengumpulan data dalam studi ini menggunakan instrumen berupa tes Rorschach, yang dilengkapi pula dengan metode wawancara Bentuk wawancara yang dilakukan adalah wawancara mmdalam berdasarkan pedoman wawancara umum dan personal life line Subjek dalam
penelitian ini berjumlah 3 (tiga) orang homoseks pria (gay) yang berusia antara 19-39 tahun. Kelompok subjek dalam penelitian ini merupakan pria homoseks yang telah
mengakui orientasi seksualnya tersebut dan berdomisili di Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subyek memiliki ciri kepribadian yang unik
satu sama lainnya Tidak ditemukan adanya persamaan karakteristik pada aspek kognisi
dan intelektual. Sedangkan pada aspek emosi dan afeksi, dapat disimpulkan bahwa ketiga
pria homoseks dalam peuelitian ini mengalami masalah afeksi dan hubungan
interpersonal, terutama dalam aspek seksualitas. Demikian pula pada aspek fungsi ego, di mana ketiganya memiliki fungsi ego yang tergolong lemah karena diliputi perasaan cemas, tegang, tidak aman dan mengalami berbagai konflik sehubungan dengan orientasi
seksual mareka.
Dalam kontcks psikodiagnistik, dapat disimpulkan pula bahwa tea Rorschach dapat dimanfaatkan sebagai alat diagnose kecenderungan homoseksualitas seseorang karena
dan protokol hasil tes ketiga subyek terdapat banyak respon yang mengungkap oricntasi
homoseksual mereka. Kesepuluh kartu Rorschach memiliki kemampuan untuk
mengungkap kecenderungan homosdcsual individu, di mana dalam hal ini kartu yang dapat dikalakan paling efektif adalah kartu III dan kartu X. Kesemua indikasi
homoscksualitas dalam penelitian ini terutama diperoleh dari hasil analisis isi respon.
Katagori skoring lain, baik lokasi, determinan, P/0 maupun tingkat FLR tidak menunjukkan ciri khas tertentu pada ketiga subyek
Adapun isi respon khas yang dimunculkan oleh ketiga subyek dalam penelitian ini adalah:
- Identifikasi lawan jenis, yakni Egur perempuan pada kartu III
- Respon botani berupa pohon dan atau daun yang mengandung makna interpretif
bahwa subyek memiliki peran seksual yang tidak pasti dan terpaku pada
dorongan homoseks, terutama orientasi homoseks pasi£
Respon binatang berupa ulat, kupu-kupu (pada area tidak popular), burung, dan katak Serta respon nature berupa laut yang mengandung makna interpretif bahwa
subyek mengalami kcgagalan/kesulitan penyesuaian heteroseksual dan memiliki orientasi homosdcsual feminin pasif
Di samping itu muncul pula beberapa indikator lainnya pada minimal 1 (sam) subyek,
yakni dalam bentuk:
- Rapon dehumanisasi Rcspon anaiomis
- Respon derealisasi Respon topeng
Penekanan pada respon scks Respon obyek
- Reject kartu VI
Dengan pertimbangan bahwa penelltian ini masih mengandung banyak kekurangan, bagi
pihak yang hendak melakukan penelitian serupa disaranknn supaym
- Menyediakan waktu yang lebih banyak untuk mengadakan pene1itian supaya dapat memperkaya dan, misalnya dengan menambah jumlah subyek
Mempersempit kriteria atau karaktedstik subyek, misslnya dalam hal rentang usia, tingkat statuus sosial, lama menjalani kehidupan sebagai homoseks, dam Iain- lain dengan harapan diperoleh ciri tertentu yang menggambarkan kondisi subyek
secara lebih mendalam.
Mencoba melakukan penelitian dengan pendekatan kuantitatif untuk
menvasitasi kembali reliabilitas dan validitas indikator-indikator yang menjadi acuan dalam studi ini.
Mencoba melakukan penelitian pada kelompok subyek yang memiliki
kecenderungan homoseksual namun belum mmgakui dan alau belum menjalani
kehidupan sebagai kaum homoseks unmk memperkaya pengetahuan mengenai
pemanfaatan indikaxor yang ada, temasuk indikator berupa detenninan "m"
dengan isi respon tertentu yang mengindikasikan homoseksual laten menurut
Lindner (dalam Lemer, I987).
Mencoba melakukan penelitian kepada kaum homoseks perempuan (lesbi) untuk mendapatkan gambaran apakah tes Rorschach juga dapat mengungkap
kecenderungan homoseksual mereka yang dikenal sebagai kelompok individu dengan ciri khas sifax tenutup; sekaligus untuk menelaah kembali apakah indikator-indikalor yang digunakan dalam studi ini jugs dimunculkan oleh kaum lesbi tersebut dan apakah terdapat perbedaan bentuk respon/indikalor antara kaum gay dan kaum lesbi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Octiani Eka Hapsari
"ABSTRAK
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang sebenarnya dapat terjadi pada siapa saja. Diperkirakan satu dari 100 penduduk dunia menderita skizofrenia.
Menurut situs British Columbia Schizophrenia Society, penyakit ini biasanya
muncul pada usia 16-25 tahun. Namun pada perempuan umumnya Iebih lambat,antara 20-30 tahun (Kompas, 28 Januari 2002).
Di Indonesia, jumlah penderita skizofrenia juga cukup besar. Data
menunjukkan bahwa gangguan jiwa ini diderita oleh 6-I9 orang per 1000
penduduk. Jika jumlah seluruh penduduk Indonesia saat ini sudah mencapai 200 juta jiwa maka tak kurang dari 2 juta penduduk Indonesia menderita skizofrenia
(Kompas, 28 Januari 2002) dan 60% lebih penghuni RS Jiwa di Indonesia adalah
penderita skizofrenia.
Skizofrenia memiiiki simtom (gejala) utama gangguan pada pikiran, emosi
dan tingkah laku. Gangguan pikiran berupa ide-ide atau pikiran-pikiran yang tidak
secara logis saling berhubungan; gangguan emosi berupa emosi yang datar dan tidak sesuai situasi serta toleransi stress yang rendah dalam hubungan interpersonal; dan gangguan tingkah laku berupa tingkah laku yang aneh (bizarre)
Karakteristik diatas dapat diukur melalui alat diagnostik yang sudah ada,
Salah satunya dengan tes Rorschach. Tes Rorschach merupakan salah satu tes proyeksi yang terdiri dari 10 kartu inkblot, dimana subyek diminta untuk
menyebutkan gambar apa yang ada dalam kartu tersebut. Tujuan utama dari
tehnik ini adalah mengukur struktur kepribadian dengan penekanan pada
bagaimana individu membangun pengalamannya (cognitive strucmring) dan arti
yang diberikan pada pengalaman persepsi mereka (thematic imagery) (Weiner,1994, dalam Groth-Marnat, 1999).
Salah satu ahli yang mengembangkan tes Rorschach antara lain adalah
Bruno Klopfer dan Douglas G. Kelley. Dalam bukunya yang berjudul The
Rorschach Technique (1946), Klopfer dan Kelley membahas tentang tanda-tanda
dementia precox. Mereka mengumpulkan penelitian-penelitian dari berbagai ahli
dan menggabungkannya dalam suatu daftar yang memuat berbagai macam skor yang merupakan indikasi dari dementia praecox, yang kemudian hari disebut Skizofrenia.
Pada penelitian ini ingin diketahui apakah tanda-tanda skizofrenia yang disusun oleh Klopfer & Kelley (1946) memang dijumpai pada kasus-kasus yang
telah mendapatkan diagnosis skizofrenia, khususnya skizofrenia paranoid.
Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah peneliti ingin
mengembangkan Tes Rorsehach sebagai salah satu alat diagnostik yang bisa
memprediksi gangguan skizofrenia khususnya skizofrenia paranoid berdasarkan 20 tanda-tanda skizofrenia yang disusun oleh Klopfer & Kelley.
Penelitian seperti ini pernah dilakukan Sebelumnya oleh Jeanette Murad,Irene Farich, Augustine Rizal, Mira Rumeser, dan Farida Lestira Subarja pada
tahun 1983-1984. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa tanda-tanda
skizofrenia yang dikemukakan oleh Klopfer & Kelley (1946) tidak seluruhnya menunjukkan kesuaian dengan hasil analisis yang mereka lakukan pada penderita
skizofrenia di Jakarta Pada salah satunya sarannya, mereka menyebutkan
pentingnya pengelompokan yang spesifik pada penderita skizofrenia karena
masing-muing sub tipe memiliki ciri menonjol yang berbeda dan kemungkinan
mereka menampilkan reaksi yang berbeda pula terhadap kartu. Dengan sampel
yang homogen diharapkan kesimpulan yang diambil bisa lebih pasti.
Penelitian ini lebih bersifat eksploratif. Cara yang dipakai adalah dengan
membandingkan tanda-tanda skizofrenia yang telah disusun oleh Klopfer & Kelley (1946) dengan hasil tes Rorschach dari penderita skizofrenia paranoid di
RSAL Dr Mintoharjo dan RSPAD Gatot Soebroto. Penelitian ini juga ingin
mengetahui tanda-tanda skizofrenia mana saja yang memiliki persentase sedang (25%-50%) dan tinggi (lebih dari 50%). Hasil analisis ini kemudian dibandingkan
dengan hasil analisis Murad, et. Al (1983). Hasil dari penelitian ini diharapkan
bisa memberikan hipotesa yang lebih jelas dari penelitian sebelumnya. Instrumen yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah protokol Rorschach yang diambil
oleh mahasiswa yang sedang mengambil pendidikan profesi psikolog di Bagian
Psikologi Klinis Universitas Indonesia, periode tahun |994 s.d. 2002.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa tanda-tanda skizofrenia yang
diajukan oleh Klopler & Kelley tidak seluruhnya menunjukkan kesesuaian dengan
hasil analisis dari 30 penderlta skizofrenia paranoid di Jakarta. Dari 20 tanda, ada 12 tanda yang bisa dikatakan cukup indikatif untuk skizofrenia. Ada 4 tanda yang
dianggap cukup sesuai (lebih dari 50%) dengan tanda-tanda skizofrenia yang diajukan oleh Klopfcr & Kelley dan ada 8 tanda yang menunjukan presentase
yang cukup tinggi (25%-50%). Tanda-tanda lainnya juga ditemui pada penderita skizofrcnia yang paranoid, tapi dalam jumlah yang sangat sedikit (dibawah 25%).
Hasil analisis Murad. et.a|. (1983) menyebutkanbahwa dari 20 tanda-landa
skizofrenia, hanya ada 7 tanda-tanda yang cukup sesuai dengan tanda-tanda
skizofrenia yang diajukan oleh Klopfer & Kelley. Adanya perbedaan hasil analisis
penelitian ini dengan hasil penelitian Murad et.al. (l983), mungkin dipengaruhi
oleh pemilihan sampel yang lebih spesilik dari penelitian sebelumnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38408
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Setyawati
"Autistic disorder gangguan yang parah dalam perkembangan, dan ditandai oleh adanya abnormalitas dalam fungsi-fungsi sosial, bahasa dan komunikasi, serta adanya tingkah laku dan minat yang tidak biasa (Trevarthen, Aitken, Papoucli & Robarts, 1998; Mash & Wolfe, 1999; Saltler, 2002). Autism disebabkan karena adanya gangguan kompleks dalam perkembangan otak, dimulai sejak masa prenatal, dan kemudian mempengaruhi berbagai aspek perkembangan dan belajar secara drastis pada akhir masa infancy, yaitu pada pada saat kemampuan bahasa mulai berkembang. Frekuensi atau jumlah penderita autisme di Indonesia tahun-tahun terakhir ini sudah meningkat dan menarik perhatian berbagai kalangan.
Salah satu karakteristik utama dari anak penyandang autisma ringan adalah mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial. Mereka tidak mempunyai minat dalam interaksi dengan orang lain, dan perilaku sosial mereka cenderung aneh dan tidak adaptif. Anak penyandang autisma ringan juga tidak mampu untuk menggunakan bahasa untuk tujuan sosial atau hubungan interpersonal. Walaupun demikian, beberapa ahli mengatakan bahwa anak penyandang autisma ringan sebenarnya dapat menunjukkan afeksi dan kedekatan yang sifatnya hangat dengan orangtua pengasuh atau orang yang dekat dengan mereka (Cohen & Volkmar, 1997; Trevarthen et al, 1998).
Hal tersebut di atas menimbulkan pertanyaan dalam diri penulis mengenai hubungan interpersonal dari anak penyandang autisma ringan, lebih khususnya adalah bagaimana anak penyandang autisma ringan memandang dirinya dalam berhubungan dengan orang lain dan bagaimana sikap Serta pandangannya terhadap orangtua. Untuk mengetahui hal tersebut secara langsung dari anak penyandang autisma ringan tentu saja sangat sulit karena keterbatasan mereka dalam berkomunikasi. Sehingga dalam Tugas Akhir ini digunakan metode proyeksi untuk mengetahui gambaran dari hubungan interpersonal anak penyandang autisma ringan. Metode proyeksi yang cocok digunakan untuk anak yang mengalami hambatan dalam kornunikasi verbal adalah tes gambar. Dua tes gambar yang digunakan dalam Tugas Akhir ini adalah Human Figure Drawings (HFDS) dan House-Tree-Person (HTF).
Untuk melengkapi dan sebagai data penunjang dalam Tugas Akhir ini, penulis melakukan wawancara terhadap orangtua atau pengasuh. Dari hasil interpretasi yang dilakukan terhadap hasil tes HFDS dan HTP kedua subjek ditemukan bahwa keduanya memiliki hambatan dalam hubungan interpersonal. Mereka cenderung menarik diri dan memiliki minat yang terbatas dalam melakukan interaksi dengan orang lain, terutama teman dan orang asing. Namun, kemampuan subjek 1 dalam berhubungan dengan orang lain lebih berkembang daripada subjek 2, Terhadap orangtua, kedua subjek memiliki persamaan dalam sikap dan pandangan mereka terhadap orangtua. Keduanya memandang ibu sebagai figur yang penting dan dekat dengan diri mereka. Perbedaan antara kedua subjek terletak pada pandangan mereka mengenai peranan ibu (dominan atau tidak) dan komunikasi yang terjalin antara kedua subjek dan ibu. Perbedaan antara kedua subjek seperti yang telah disebutkan di atas dimungkinkan oleh karena beberapa faktor, antara lain, usia yang berbeda antara kedua subjek, pendidikan dan terapi yang telah diperoleh, kesempatan dalarn berinteraksi dengan orang lain, dan faktor pola pengasuhan ibu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38392
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lita Patricia Lunanta
"Gambaran Hasil Wechsler Intelligence Scale for Children-
Revised (WISC-R) Anak dengan Keterbelakangan Mental Ringan.
Masa usia sekolah merupakan saat yang penting bagi perkembangan fisik,
kognitif dan psikososial Sebagian besar anak memiliki perkembangan
yang setara dengan rata-rata anak dalam kelompok usianya sehingga dapat memenuhi tuntutan dari tugas perkembangannya. Namun demikian
beberapa anak dapat memiliki perkembangan yang melebihi ataupun
kurang dari rata-rata, baik dalam satu maupun beberapa aspek
perkembangan. Keterbelakangan mental (mental retardation) adalah satu
fenomena yang terjadi pada masa perkembangan di mana perkembangan
aspek intelektual berada jauh di bawah rata-rata anak-anak yang seusia.
Diagnosis dan pengelompokan keterbelakangan mental diawali dengan
pengukuran taraf inteligensi di mana salah satu alat tes yang digunakan
adalah WISC-R. Berdasarkan hasil dari WISC-R dapat dilihat adanya
kekuatan dan kelemahan pada aspek-aspek inteligensi yang ditampakkan
oleh skor setiap subtest.
Tujuan dari penelitan ini adalah untuk mengetahui bagaimana
gambaran basil WISC-R pada kelompok anak keterbelakangan mental
ringan. Dengan demikian dapat bermanfaat dalam penyusunan program
intervensi bagi anak keterbelakangan mental, baik yang berupa pendidikan, pendampingan, atau pelatihan. Hal ini dapat memaksimalkan potensi anak keterbelakangan mental sehingga diharapkan mereka dapat berfunggsi secara lebih optimal dalam masyarakat. Penelitian dilakukan dengan melakukan analisis hasil tes inteligensi WISC-R dari sembilan anak dengan keterbelakangan mental ringan yang pemah menjadi klien di Klinik
Perkembangan Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian memiliki IQ
Verbal dan IQ Performance yang setara dengan rata-rata skor yang
diperoleh berada dalam rentang 2, 67 (Picture Arrangement) hingga 6, 78 (Mazes). Pada Skala Verbal subtest yang memperoleh skor paling tinggi yang merupakan kekuatan adalah Comprehension dan subtest yang
memperoleh skor paling rendah yang merupakan kelemahan adalah
Vocabulary. Pada Skala Perfomance subtest yang memperoleh skor paling
tinggi yang merupakan kekuatan adalah Mazes dan subtest yang
memperoleh skor paling rendah yang merupakan kelemahan adalah Picture
Arrangement, Terdapat beberapa subtest yang saling berbeda secara
signifikan, antara lain pada subtest: Comprehension dan Information,
Similarities dan Vocabulary, Picture Completion dan Picture Arrangement,Comprehension dan Picture Arrangement, Serta Similarities dan Block Design
Dalam melakukan penelitian yang serupa sebaiknya digunakan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif sehingga dapat diperoleh gambaran hasil WISC-R dari sampel yang lebih besar serta analisis yang lebih mendalam lagi mengenai kekuatan dan kelemahan anak keterbclakangan mental ringan Selain itu, pengumpulan data sebaiknya dilakukan secara langsung oleh peneliti (menggunakan data primer) sehingga hasil yang didapatkan menjadi Iebih luas dan lengkap."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>