Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166879 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Penny Handayani
"Kemandirian merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki setiap anak. Pada anak dengan kebutuhan khusus, khususnya anak penyandang tuna netra total, kemandirian adalah salah sam kemampuan hidup yang hams dikuasai. Adanya hambatan penglihatan tersebut terkadang membuat anak menjadi tergantung kepada orang lain untuk pemenuhan kebutuhannya, terutama pada fimgsi bantu diri. Pada jenjang pendidikan prasekolah anak berkebutuhan khusus (usia 3-5 tahun), salah satu intervensi diri yang dapat diberikan kepada anak adalah pengembangan kemampuan fungsi bantu. Salah satu fungsii bantu diri sehari-hari yang perlu dikembangkan adalah fungsi bantu diri berpakaian.
Program ini bertujuan untuk membcntuk tingkah laku berpakaian, secara mandiri pada anak usia prasekolah (usia 3-5 tahun) penyandang tunanetra total. Kemandirian yang dimaksud disini adalah adanya tingkahlaku berpakaian dengan bantuan seminimal mungkin dan orang lain. Metode pembentukan tingkahlaku yang digunakan adalah dengan metodc prompting danfadding untuk tingkahlaku berpakaiau secara umum, serta shaping pada tingkahlaku menggunakan resleting dan kancing. Reinforcement yang diberikan adalah consumable reinforcement dan social reinforcement.
Program ini terdiri dari 15 sesi dengan tiga tahap. Tiga scsi awal merupakan sesi baseline dan 12 scsi lainnya adalah sesi intervensi. Materi intervensi dibcnkan secara bertahap. Tahapan intervensi yang terdapat dalam program ini adalah tahap satu: berpakaian sehari-han (kaos dan celana pendek berpinggang karat), tahap 2: berpakaian seragam (jaket dengan resleting, celana pendek dengan reslcting dan kemeja dengan kancing), serta tahap 3: review dan rerminasi. Tahap satu terdiri dari lima sesi, tahap dua terdiri dari lima scsi, dan tahap tiga terdiri daxi dua scsi. Keseluruhan sesi diberikan pada dua lokasig sekolah dan rumah subjek, pada situasi sehari»hari dengan alokasi waktu yang tidak dibatasi. Intervensi tambahan diberikan dengan konseling kepada orangtua dan pengasuh. Evaluasi program dilakukan setiap akhir tahap. Kesimpulan program intervensi ini adalah terdapat peningkatan kcmampuan berpakaian (sehari-hari dan seragam) melalui metode prompting dan fadding pada subjek.

Independence is one ability every child should have. For exceptional children, especially the totally blind children, independence is also one of the basic life skills that should be obtained. The optical disadvantages sometimes drive children to be dependent to some else to fulfil their needs, especially their self care needs. For exceptional preschool children (3-5 years old), one of the early intervention that can be given is the development of daily self care skills. One of those daily self care skills is getting dressed.
The purpose of this program is to shape the independence getting dressed behaviour on totally blind preschool children (3-5 years old). The independence getting dressed behaviour implies here are the skills to get dressed with minimal helps form others. The behaviour modification method used are prompting and fading for general getting dressed behaviour and shaping on zippers and button used behaviour. Reinforcements given are consumable reinforcement and social reinforcement.
These programmes consist of I5 sessions with three stages. Three early sessions are baseline sessions and the rest 12 sessions are interventions sessions. Interventions are given trough stages. The intervention stages in this programme are stage one: every day getting dressed skill (T-shirt and elastic shorts), stage two: uniform getting dress skills (jacket with zipper, shorts with zippers and shirt with buttons), and stage three: is review and termination. Stage one consist of tive sessions, stage two consist of tive sessions, and stage three consist of two sessions. Overall sessions are given in two location; subject’s school and house, in every day situation setting with no time limitation. Additional intervention is given with parent and caregiver counselling Evaluations are given every time each stage ends. Overall conclusion is there an improvement in subject getting dressed behaviour through prompting and fading method.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34078
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Primarini
"Program ini bertujuan umuk mengembangkan kcmampuan motorik halus anak dalam rangka menunjang kematangan sekolah anak Sena mcngajarkan kemampuan menggunal-can mesin tik braille. Terdapat tiga teknik dasar modifikasi perilaku yang digunakan pada rancangan intcrvensi ini yaitu teknik shaping, fading, dan prompiing. Martin dan Pear (2003) mengatakan bahwa teknik fading dapat di gunakan untuk membentuk perilaku pada anak dengan gangguan perkembangan, autis, atau anak yang berusia sangat muda. Mrdiirgjuga sesuai digunakan umuk meningkatkan keahlian yang belum dikuasai oleh anak seperti misalnya melatih jan dalam mengetik (Vcnkatesan, 2006).
Program terdiri atas tujuh tahap dan menggunakan beberapa alat bantu yang disesuaikan dengan masing-masing tahapan. Mulai dan tahapan pendahuluan 1 dimana anak diperkenalkan dengan kantung biji-bijian, pendahuluan IJ saat fasilitator mengajak anak umuk bermain dengan adonan tepung atau lilin mainan, kelima tahap selanjumya fasilitator meminta anak untuk menekan tuts sesuai dengan alat bantu yang telah disiapkan yaitu tahap Ipianika, tahap II piano mainan, tahap ITI mesin tik Iistrik, tahap IV mesin tik manual dan tahap V mesin tik braille. Prosedur pelaksanaan intewcnsi dimulai dengan fasilitator memberikan pronnmiing pada subyek untuk mengawali dan mengarahkan respon kepada target perilaku yang dikendaki. Jika pcrilaku subyek sudah tampil konsislen, maka perlahan pemberian prompting akan dikurangi sampai subyek mampu menampilkan tingkahlaku yang dikendaki dan fasilitator tidak lagi memberikan prompting (Martin & Pear, 2003). Bentuk I'(:’flM)l'(.°(£I)l¢:‘l!f yang diberikan pada program ini adalah social reiijorcemenl yaiw dengan memberikan sentuhan, ciuman, dan pelukan. Evaluasi program dilakukan bcrdasarkan data wawancara dan juga perbandingan tabel hasil pelaksanaan kegiatan pendahuluan dan tahap terakhir.
Kesimpulan program intewensi ini adalah subyek menunjukkan peningkatan kemampuan dalam menggunakan jan tangannya umuk menekan tuts mesin tik dengan teknik shaping, pronioring, danfading. Yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan program ini adalah perlunya tahap persiapan yang lebih matang dalam melatih kemandirian sebelurn mengajarkan anak untuk mengetik.

In order to enhance line motor skills for school readiness and in teaching using a type machine with Braille letters, blind children need support from their significant others. The methods used in this intervention program is shaping, prompting and fading. Shaping is a method to develop new behavior involving the used of reinforcement in the behavior that needs to be developed (Martin & Pear, 2003). Then, fading is a gradually process that have to be done step by step in order to eliminate the support that given whenever ones developing child’s new behavior, including teaching them how to type (Venkatesan, 2004).
This program consists of seven steps. The intervention uses a few tools which are conditioned with each step. In the first introductory step, child is introduced to two different kinds bag of seeds; in the second introdustory step, facilitator asks the child to play with wheat meal or clay; while in the next fifth steps facilitator asks child to click on tumbles designed according to the steps, namely in the first step pianica, in the second step playing piano, in the third electric type machine, in the fourth manual type machine and in the filth step, a Braille type machine. The procedure of this program starts whenever the facilitator give prompting to the child in order to build new target behavior. Ifthe behavior already consistenly shovtm then slowly facilitator fades the prompting to the child untill the child show the target behavior and the facilitator no longer give prompting (Martin & Pear, 2003). Social reinforcement is also given in the form of touch and embracement. Evaluation ofthe program is done based on intervention data and also comparison of evaluation table of the first introductory step with the last step.
In sum, the intervention program succeeded in enhancing subject’s use of fingers in typing with a type machine using the shaping, prompting and Riding technique. None the less, a few limitations are subject of improvement in the future, such as the urgently of prepring the first steps before the program is being held in order to develop the independence of child before they start. to leam how to type.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34073
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Walla Tridhany
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pratiwi Widyasari
"Pembuatan program intervensi ini bertujuan untuk memhentuk kemampuan bantu diri makan menggunakan sendok bagi anak tuna netra-rungu bemsia 6 tahun 2 bulan dengan mctode modifikasi perilaku. Pronquing dan fading merupakan teknik pembentukan perilaku yang dilakukan karena teknik tcrsebut merupakan teknik yang paling panting ketika akan mcngajarkan kemampuan bantu diri makan (Snell, 1983). Selain itu, dipergunakan pula teknik shaping karena anak mendapatkan kemandiriannya dalam mcnampilkan kcmampuan bantu diri melalui tahapan-tahapan (Venkatesan, 2004).
Dalam pelaksanaarmya, disertakan pula program intewcnsi cara berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat untuk aktivitas makan agar guru dan orangtua dapat berkomunikasi secara konsisten dengan subyek. Intervensi dilakukan di mmah dan dilaksanakan oleh peneliti dan orangtua.
Hasil yang didapatkan setelah program intervensi dijalankan adalah adanya peningkatan kemampuan subyek dalam menggunakan sendok ketika aktivitas makan. Suhyek juga terlihat mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat. Saran yang diajukan untuk penelitian selanjutnya adalah dengan menjalankan program intervensi secara berkesinambungan dengan dua orang peneliti atau lebih, penggunaan sendok yang lebih sesuai dengan kebutuhan anak, serta pelibatan ahli dan tenaga profesional yang bergcrak di bidang tuna netra-rungu.

The aim of this intervention program is to shape self-help skill in eating with a spoon for deatlblind child aged 6 year 2 months using behavior modification method. Prompting and fading are the techniques used to shape behavior because those techniques are the most important in teaching self-help eating skill (Snell, 1983). Moreover, shaping technique is also used because children will learn independence in showing self-help skill through numerous phases (Venkatesan, 2004).
In implementing the intervention program, it is necessary to include the sign language program for eating activity to facilitate teachers and parents to be able to communicate with the subject consistently. Intervention was conducted by a researcher and subject`s parents at subject’s home.
Result of the intervention program shows there is an increase in subject’s self-help skill in using spoon while eating. Subject also begins to show an ability to communicate with sign-language. For liirther interventions, a few suggestions are made, such as implementing the intervention program continuously with two or more researchers, the use of a spoon which is in line with the need ofthe child, and the involvement of experts and professionals in deaf-blind children.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34042
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Kecacatan tunanetra dapat terjadi sejak lahir ataupun setelah lahir, anak umur 1-3 tahun pada umumnya suka meniru apa yang dilihatnya, dan dirasakan...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mimi Mariani Lusli
"Penyandang tunanetra adalah modal pembangunan nasional yang mempunyai hak dan kewajiban serta kedudukan hukum yang sama sebagaimana amanat UUD RI 1945. Cacat penglihatan yang disandangnya berarti tidak membatasi untuk mendapatkan hak serta menjalankan kewajibannya. Penyandang tunanetra tergolong masyarakat rentan dengan jumlah minoritas, ditambah pula sikap dan pandangan keliru dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Daya-daya diri penyandang tunanetra terpaksa tersembunyi dan tidak dapat teraktualisasikan sebagaimana mestinya, karena dihadapkan pada kendala filosofi, psikis, fisik, dan arsitektur. Kenyataan nenunjukkan penyandang tunanetra diperlakukan dalam suatu keadaan yang tidak seimbang.
Oleh karena itu penanganannya mutlak diperlukan campur tangan pemerintah. Pertama melalui Affirmative Action Policy sebagai tindakan pemihakan untuk menyeimbangkan keadaan. Kedua, Konsep Social Market Economy sebagai tindakan perlindungan/jaminan terhadap persaingan pasar. Ketiga berpijak pada Prinsip Optimasi yang memandang bahwa penyandang tunanetra dengan batas-batas diri tetap mempunyai sejumlah daya diri yang dapat dimanfaatkan dan bermanfaat seoptimal mungkin.
Evaluasi kebijaksanaan sudah saatnya dilaksanakan untuk melihat efektivitas upaya pemerintah terhadap peningkatan pemberdayaan penyandang tunanetra di Indonesia, yaitu peraturan perundang-undangan dan program departemen terkait serta dibandingkan dengan Agenda Aksi Penyandang Cacat Kawasan Asia Pasifik 1993-2002.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa upaya pemerintah tersebut belum efektif, karena ditemukan lebih banyak faktor negatif dibandingkan faktor positif. Penyebab lain terletak pada Hakikat Kebijaksanaan Negara Indonesia, yang cenderung menghambat implementasi kebijaksanaan. Alasannya aparat pemerintah tidak tahu kebutuhan penyandang tunanetra sebagai kelompok kepentingan. Terhadap pemecahannya, diusulkan alternatif kebijaksanaan publik yang cocok, yaitu sejalan dengan kerangka teori sebagai kebijaksanaan terapan dengan memadukan model kebijaksanaan: Institusional dengan Kelompok."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Puji Astuti
2010
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Peranginangin, Yan A.
"Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan merupakan hak semua orang, termasuk anak tunanetra. Sarana yang digunakan dalam pendidikan bagi anak tunanelra adalah huruf Braille. Diperlukan jari yang kuat dan fleksibel agar anak lebih mudah belajar huruf Braille. khususnya untuk menulis. Akan tetapi lanpa penglihatan. perkembangan motorik anak lunanctra cenderung mengalami keterlambaran. Mendorong anak tunanctra untuk terlibal aklif dalam kegiatan schari-hari dapat membantunya untuk mengcmbangkan kekuazan dan lieksibilitas tangan dan jarinya. Program pengajaran individual ini bertujuan meningkatkan kemampuan psikomotor untuk mendukung mcnulis lauruf Braille pada anak tunanctra total. Program pengajaran individual ini dirancang berdasarkan Model Rumah kemampuan mororik halus yang terbagi menjadi tiga tahap (Bruni. 2006). Tahap perlama adalah stabilitas, koordinasi bilateral, dan sensasi. Tahap kedua adalah keterampilan dalam menggunakan tangan. Tahap ketiga adalah kemampuan untuk melakukan aktivitas sehri-hari, yaitu menggunakan riglet dan stilus untuk menulis. Penguatan yang diberikan adalah penguatan sosial dan penguatan yang data dikonsumsi. Program pengajaran individual dilakukan di rumah subyck setelah pulang sekolah, terdiri dari 10 sesi ditambah l sesi evaluasi. Scsi I - lll meliputi kemampuan di tahap pertama. scsi IV - Vll di tahap kedua, dan sesi Vlll - X di tahap ketiga. Sesi evaluasi diberikan untuk melihat seiauh mana subyck dapat menerapkan kcmampuan psikomotor dalam menulis huruf Braille. scrta melakukan pcnutupan dari program pengajaran individual. Hasilnya adalah terdapat peningkatan kemampuan psikomolor dan bertumbuhnya motivasi menulis dalam diri subyek. meskipun subyek belum mam pu mcnulis mandiri
The chance to get education is everybocly?s right, including blind children. Aids used for blind children education is Braille alphabet. Strong and flexibel fingers are needed to ease a child in learning Braille alphabet, especially for writing. However, without sights, blind children tend to have delayed motor development. Encouraging blind children to actively engaged in daily activities may help to develop strength and flexibility of their hands and fingers. The purpose of this individualized educational program is to improve psychomotor skills to support writing ability in totally blind children. This individualized educational program is designed based on House Model of fine motor skills, that is divided in three stages {Bruni, 2006). First stage is stability, bilateral coordination, and sensation. Second stage is dexterity. Third stage is the ability to do daily activities, which is to use riglet and stylus to write. Reinforcement given are social reinforcement and consumable reinforcement. Individualized educational program held on subject?s home after school, consist of 10 sessions plus l evaluation session. Session I- III consist of ability in first stage, session IV - VII on second stage, and session VIII - X on the third stage. Evaluation session given to ses how far subject has implemented psychomotor skills in Braille alphabet writing, also to close the individualized education program. Result shows improvement in psychomotor skills and developing self-motivation in writing, although subject hasn't been able to write independently."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aprillia Puspitasari
"Tunanetra merupakan kondisi kurang atau tidak dapat melihat yang disebabkan karena faktor pre-natal maupun post-natal yang dapat mempengaruhi konsep diri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konsep diri penyandang tunanetra. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan 31 responden yang dipilih dengan total sampling. Penelitian ini menggunakan kuesioner konsep diri dengan analisis univariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyandang tunanetra memiliki skor rata-rata konsep diri 110,61 ± 11,456 dari skor total 132 (95% CI, 106,41:114,82). Sebanyak 54,8% responden memiliki respon konsep diri positif dan 45,2% responden memiliki respon konsep diri negatif. Lebih dari setengah responden memiliki persepsi citra tubuh negatif. Hal ini dikarenakan keadaan tunanetra sangat berhubungan dengan fisik. Peneliti merekomendasikan untuk diadakannya pendidikan, bimbingan, atau pelatihan yang dapat meningkatkan konsep diri penyandang tunanetra khususnya komponen citra tubuh. Peran perawat seperti mengembangkan kewaspadaan diri klien, mendorong eksplorasi diri, membantu proses evaluasi diri, membantu membuat tujuan-tujuan dalam hal beradaptasi, dan membantu klien menerima tujuan-tujuan tersebut sangat penting dilakukan untuk membentuk konsep diri klien yang lebih positif.

Visual impairment is a condition of lack or can?t see due to pre-natal or post-natal factors. Visual impairment affects in self-concept. This study aimed to describe the self-concept of blind people. With cross-sectional method, 31 respondents were selected with a total sampling. This study used a self-concept questionnaire with a univariate analysis. The result showed that blind people self-concept in this research had average score of 110,61 ± 11,456 with total score of 132 (95% CI, 106,41:114,82). About 54,8% of respondents have a positive self-concept response and 45,2% of respondents have a negative self-concept response. More than half of respondents have a negative perception of body image. This is caused by the state of visual impairment is associated with physical. Researcher recommend the convening of education, guidance, or training that can improve self-concept of blind people in particular body image component. Nursing contribution such as a client develop self-awareness, encourage self-exploration, help the process of self-evaluation, help make these goals in terms of adapting, and help clients accept these goals are very important to form a more positive self concept.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S62801
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reswari Mawardwita
"ABSTRAK
Manusia, dalam mengalami ruang arsitektur, akan melibatkan indera yang bekerja pada mereka, antara lain; indera penglihatan, indera peraba, indera pendengaran, indera penciuman, dan indera pengecap. Namun, dominasi indera visual masih banyak terjadi dalam praktik arsitektur sendiri. Hal tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana tunanetra, dengan keterbatasan dalam kemampuan visual mereka, mengalami ruang arsitektur, terutama pada proses orientasi dan mobilitas yang dilakukan.
Skripsi ini membahas proses wayfinding yang dilakukan tunanetra di dalam ruang. Wayfinding merupakan cara manusia mengorientasikan diri mereka di dalam sebuah ruang. Pada tunanetra, proses wayfinding yang dilakukan tentu akan banyak melibatkan indera non visual mereka. Pembahasan berdasarkan studi literatur, studi presedan, serta studi kasus yang dilakukan pada tunanetra low vision dan total blind. Hasil yang diperoleh adalah arsitektur memiliki peranan penting dalam proses wayfinding yang dilakukan tunanetra, yang mana meliputi proses pencarian informasi, penemuan landmark, serta pembentukan familiaritas pada ruang.

ABSTRACT
People, in experiencing an architectural space, will involve the senses that are worked on them, those are; visual, tactile, hearing, smell, and taste. However, the dominance of visual sense is still found in many architectural works. Afterwards, it brings out a question of how blind people, with their lack of visual ability, experience architectural space, especially in the process of orientation and mobility.
This thesis discusses about the wayfinding process of blind people. Wayfinding is the way people orient themselves in a space. For the blind, wayfinding would involve non-visual senses of theirs. The discussion is based on study of literature, precedent studies, and case studies that have been done on people with low vision and total blindness. The result showed us that architecture itself has an important role in the process of blind wayfinding, which includes the information retrieval, the discovery of landmark, the process of mapping, as well as the formation of familiarity of the space.
"
2016
S63423
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>