Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114464 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Esty Kartika Zahriyah
"Setiap Undang-Undang yang menyangkut kepentingan publik haruslah mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif, dalam hal ini DPR, karena DPR memiliki tugas penting dalam mengemban aspirasi masyarakat. DPR memiliki tugas dan wewenang untuk membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden. Perdagangan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian suatu negara, dan menjadi indikasi tingkat kemakmuran masyarakatnya, serta menjadi tolok ukur tingkat perekonomian negara itu sendiri. Namun hingga saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur perdagangan. Produk hukum yang setara dengan Undang-Undang yang ada masih mengacu pada hukum kolonial belanda. Saat ini DPR-RI bersama Pemerintah sedang menyusun Undang-Undang yang mengatur perdagangan agar dapat menguatkan sektor perdagangan Indonesia dan memberikan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha perdagangan, namun dalam penyusunan RUU ini terdapat banyak permasalahan dan hambatan yang membuat perumusan Undang Undang menjadi tidak mudah.

Every Law or regulation which related to public interest must have been approved by the legislative, in this case is DPR-RI (the house of Representatives), it’s because DPR-RI has important duties to represented aspirations of the Indonesian people. The DPR-RI has three main functions, legislative, budgeting and controlling. For the legislative function It draws up and passes laws of own as well discussing and approving government regulations in lieu of law. Trade is the one most important things in economy activity of a country, it's becomes an indicator of a country's standard of living. But from the proclamation till now, 2013, Indonesia haven't had a law or regulation which regulate trade activities. Indonesia still using a trade regulation from Dutch colonial period. Recently, DPR and the government formulating a trade of law to increase and strengthen domestic trade and protecting the local trader. But in this policy formulation process, DPR-RI met some problems and obstacles, and it’s not a simple process to have a law that can regulate the trade sectors in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S53013
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Miqdar
"Tesis ini mengkaji mengenai Pertarungan Kekuasaan Antara Partai Besar vs Partai Kecil dalam Perumusan Ambang Batas Presiden ('Presidential Threshold') Pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Dalam proses pembahasan tersebut masing-masing fraksi saling beradu argumentasi mengenai isu ambang batas presiden ('presidential threshold'). Terdapat 2 (dua) pendapat yang mengemuka yang saling berlawanan (kontradiktif) antara satu dengan yang lainnya. P'ertama', pendapat yang menginginkan agar besaran ambang batas presiden tetap pada angka 20% kursi dan 25% suara sah nasional. 'Kedua', pendapat yang menginginkan agar aturan mengenai ambang batas presiden ('presidential threshold') dihapuskan menjadi 0%. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori kekuasaan, teori persaingan dan teori konflik. Penelitian ini merupakan penelitian  kualitatif dengan menggunakan teknik analisa deskriptif-analitis dan wawancara mendalam dengan beberapa anggota fraksi yang terlibat langsung dalam proses politik tersebut.
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa partarungan kekuasaan antara partai besar vs partai kecil pada perumusan ambang batas presiden ('presidential threshold') lebih dimotivasi oleh orientasi dan kepentingan politik pragmatis masing-masing fraksi yang sifatnya kolutif dalam rangka untuk kepentingan Pilpres dan Pemilu tahun 2019. Implikasi teoritis menunjukkan bahwa teori kekuasaan, teori persaingan dan teori konflik berimplikasi positif terhadap penelitian ini.

This thesis examines the Power Struggle between the Big Parties vs Small Parties in the Formulation of the Presidential Threshold in Law Number 7 of 2017 concerning General Elections that occurs in the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR RI). In the discussion process each faction clashed with each other regarding the presidential threshold. There are 2 (two) opinions that are contradictory between one another. First, opinions that want the presidential threshold to remain at 20% of seats and 25% of legitimate national votes. Second, opinions that want the presidential threshold to be abolished to 0%. The theories used in this study are power theory, competition theory and conflict theory. This research is a qualitative research using analytical-descriptive analysis techniques and in-depth interviews with several faction members who are directly involved in the political process.
The findings in this study indicate that the participation of power between big parties vs small parties in the formulation of the presidential threshold is more motivated by the orientation and pragmatic political interests of each faction that is colutive in the interests of the 2019 Presidential Election and Election. Theoretical implications shows that the theory of power, competition theory and conflict theory have positive implications for this research.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T53227
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Kuncoro
"Tesis ini menguraikan tentang proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) yang melibatkan sembilan fraksi partai politik hasil Pemilu 2009, yakni Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hati Nurani Rakyat.
Permasalahannya adalah bagaimanakah proses tarik menarik kepentingan politik antarfraksi tersebut yang menghasilkan konflik dan konsensus, khususnya terkait dengan empat isu krusial yakni sistem pemilu, alokasi kursi per daerah pemilihan, ambang batas parlemen, dan metode penghitungan suara menjadi kursi. Setelah dilakukan lobi politik intensif antara Pimpinan DPR-RI dan Pimpinan Fraksi akhirnya isu sistem pemilu dan alokasi kursi per daerah pemilihan pengambilan keputusannya dilakukan secara musyawarah mufakat sehingga tercapai konsensus, sedangkan isu ambang batas parlemen dan metode penghitungan suara menjadi kursi pengambilan keputusannya dilakukan dengan pemungutan suara.
Teori yang digunakan adalah Teori Konflik dari Maurice Duverger, Teori Konsensus dari Maswadi Rauf, Teori Sistem Pemilu dari Ben Reilly, Andrew Reynolds dan Miriam Budiardjo, Teori Partai Politik dari Miriam Budiardjo, Sigmund Nuemann dan Alan Ware serta Teori Perwakilan dari Hanna Fenichel Pitkin, Miriam Budiardjo dan Bintan R. Saragih. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik analisa deskriptif analitis dan wawancara mendalam dengan anggota fraksi yang terlibat dalam proses politik tersebut.
Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa konflik antarfraksi politik dalam pembahasan RUU Pemilu di DPR-RI tidak mengindikasikan adanya perjuangan ideologi politik, tetapi lebih dimotivasi oleh orientasi dan kepentingan politik praktis semata-mata yang bersifat pragmatis dalam rangka meraih kekuasaan secara demokratis melalui rekayasa UU Pemilu yang kompromistis. Teori Konflik (sebagian), Teori Konsensus, Teori Sistem Pemilu, Teori Partai Politik, dan Teori Perwakilan berimplikasi positif terhadap konflik dan konsensus antarfraksi dalam pembahasan RUU Pemilu di DPR-RI.

This thesis discusses about the political process in the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR-RI) during the discussion of Election Bill, which involved nine factions of political parties from 2009 Election: Partai Demokrat (Democratic Party), Partai Golongan Karya (Working Group Party), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Indonesian Democratic Party-Struggle), Partai Keadilan Sejahtera (Prosperous Justice Party), Partai Amanat Nasional (National Mandate Party), Partai Persatuan Pembangunan (United Development Party), Partai Kebangkitan Bangsa (National Awakening Party), Partai Gerakan Indonesia Raya (Great Indonesian Movement Party), and Partai Hati Nurani Rakyat (People's Conscience Party).
The problem was how the power interplay among these factions created conflict and consensus about four crucial issues: election system, allocation of seats for each electoral district, parliamentary threshold, and method of turning votes to seats. After an intensive political lobbying between the chairman of the House and the factions’ leader, the decision on election system and allocation of seats was made by deliberation, while the decision on parliamentary threshold and method of turning votes was reached by voting.
The theories applied in this study are Conflict Theory by Maurice Duverger, Consensus Theory by Maswadi Rauf, Election System Theory by Ben Reilly, Andrew Reynolds and Miriam Budiardjo, Political Party Theory by Miriam Budiardjo, Sigmund Nuemann and Alan Ware, and Representation Theory by Hanna Fenichel Pitkin, Miriam Budiardjo and Bintan R. Saragih. This is a qualitative study with descriptive analytical techniques and deep interviews with the factions’ members involved in that political process.
The findings of this study show that the conflict among factions in the discussion of Election Bill in the House of Representatives was not driven by a struggle for certain political ideologies, but by pragmatic, practical, political orientations and interests to gain power democratically through a compromising election bill scheme. Conflict Theory (in part), Consensus Theory, Election System Theory, Political Party Theory, and Representation Theory had a positive implication in the conflict and consensus occurring in the discussion of Election Bill in the House of Representatives of Republic of Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T33302
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosdiana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, pendekatan dengan menggunakan teori Negara Hukum, Teori Demokrasi, Teori Perwakilan, Etika, Moral, dan Kode Etik, serta Teori Pengawasan. Adapun konsep-konsep yang digunakan adalah tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan hak imunitas Anggota DPR RI. Untuk mendapatkan kesimpulan dari tujuan penelitian, hal-hal yang disampaikan adalah terkait dengan sejarah pembentukan lembaga perwakilan di Indonesia dan pembentukan Alat Kelengkapannya, kode etik dan relevansinya terhadap Mahkamah Kehormatan Dewan, serta penjabaran mengenai tugas, fungsi, dan tata beracara Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai lembaga penegak etik dan tata tertib DPR. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai salah satu dari Alat Kelangkapan Dewan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD merupakan lembaga penegak etik dan tata tertib bagi Anggota Dewan yang memiliki peran penting dalam menjaga dan memelihara citra dan wibawa Anggota Dewan. Namun kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan dibatasi, sehingga kinerja dari lembaga ini tidak dapat maksimal meski tugas dan wewenangnya sudah dilaksanakan dengan baik. Kendala yang menyebabkan tidak maksimalnya kerja Mahkamah Kehormatan Dewan diantaranya karena keanggotaan dari Mahkamah Kehormatan Dewan berasal dari internal Anggota Dewan yang terdiri dari berbagai Fraksi, sehingga menimbulkan konflik kepentingan.

ABSTRACT
This thesis discusses the authority of the Committee on Ethics of the Parliament according to Law Number 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD. By using normative juridical research methods, approaches using the theory of the State of Law, Theory of Democracy, Representation Theory, Ethics, Moral, and the Code of Conduct, as well as the Theory of Control. The concepts used are about the authority of the Conduct Council, Law Number 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD, and the right of immunity Member of Parliament. To get the conclusions of the research objectives, things delivered is related to the history of the establishment of representative institutions in Indonesia and the establishment of complementary Organs of DPR, code of ethics and its relevance to the Committee on Ethics, as well as the elaboration of the duties, functions and procedures of litigation the Conduct Council as an institution enforcement of ethics and rules of procedures. The result showed that the Committee on Ethics as one of DPR permanent organs stipulated in Law No. 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD an enforcement agency of conduct and rules of procedures for the Members have an important role in maintaining and maintain the image and authority of the Members. But the authority given to the Committee on Ethics is limited, so that the performance of these institutions can not be maximal even though its duties and powers already implemented. Obstacles that have not maximal work of the Committee on Ethics such as the composition and membership of the Conduct Council Members come from internal sources consisting of various factions, giving rise to a conflict of interest. "
2017
T46994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihaloho, Togar
"Penelitian ini didasarkan pada semakin banyaknya sorotan kepada lembaga perwakilan rakyat tingkat pusat, utamanya dalam hal proses membuat kebijakan dalam bentuk undang-undang, dimana proses pembuatannya hampir lama selama periode Orde lama. Sebagai fokus penelitian dipilih salah satu proses pembuatan kebijakan pubiik dalam bentuk undang-undang, yakni Undang-undang Usaha Kecil yang dibuat dalam tahun 1995.
Penelitian ini menggunakan pendekatan proses kebijakan melalui kajian kualitatif dengan metode observasi. Data yang dihimpun berupa data observasi dan wawancara tidak berstruktur serta data sekunder, serta analisis data sifatnya deskriptif.
Tulisan ini mengungkapkan proses pembuatan kebijakan publik di tingkat pusat dalam bentuk Undang-undang. Dari proses pembahasan RUU tentang Pembinaan Usaha Kecil menjadi Undang-undang Usaha Kecil memperlihatkan banyak masalah yang perlu mendapat perhatian khusus yang selama ini belum dianggap penting, yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan antara lain wewenang dan tata cara membuat undang-undang, rencana legislasi nasional, dan tenaga ahli, serta hubungan politik antara pembuat undang-undang.
Melalui perencanaan legislasi nasional dalam bentuk program legislasi dan agenda legislasi, dapat mengidentifikasi dan memilih permasalahan yang sebenarnya serta prakiraan terhadap kebijakan yang dibuat dan mungkin dilaksanakan sesuai situasi dan kondisi. Wewenang yang diperjelas melalui tata cara pembuatan undang-undang akan memperlancar pembahasan dan membantu penyelesaian dalam hal terjadinya perbedaan pendapat, serta informasi yang akurat lebih mudah diperoleh Dewan melalui tenaga ahli dalam berbagai bidang tertentu. Selanjutnya hubungan politik antar pembuat kebijakan perlu diperjelas dan transparan dengan menampung pemikiran kritis anggota Dewan. Sehingga apa yang dilakukan anggota Dewan dan lembaga perwakilan rakyat semuanya bernuansa kepada kepentingan publik sekaligus memperbaiki citra DPR dan Pemerintah.
Sebagai akibat pengaruh clan faktor-faktor tersebut di atas, memperlihatkan Undangundang Usaha Kecil kurang kondusif untuk dilaksanakan dengan segera, karena ada undang-undang antara lain Undang-undang Anti Monopoli, yang perlu dibuat dan dilaksanakan karena dianggap sating menopang dalam praktek pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat melalui identifikasi masalah melalui perencanaan legislasi nasional. Namun undang-undang yang dibuat selama ini termasuk Undang-undang Usaha Kecil tidak melalui perencanaan legislasi nasional, sehingga undang-undang lainnya yang dianggap seharusnya lebih dahulu dibuat atau bersamaan dalam pelaksanaannya terpaksa dibuat belakangan karena usul saran dan pemikiran tersebut di atas datang, sewaktu Rancangan Undang-undang Pembinaan Usaha Kecil telah diajukan dan telah dibahas di DPR dalam bentuk proposal.
Kajian rasional dan cermat terhadap masalah yang dihadapi akan dapat dibantu melalui tenaga ahli di bidang tertentu yang diperlukan. Selanjutnya hubungan politik antara pembuat kebijakan belum menunjukkan dinamika yang bernuansa kepada kepentingan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aida Mardhatila
"Penelitian ini membahas tentang kontestasi yang terjadi di antara aktor-aktor politik dalam proses pembahasan RUU KKG di DPR RI. Aktor-aktor yang menjadi objek kajian antara lain KPP-PA, FHanura, FPKS, WRI, IWAPI, dan INSISTS. Penulis menggunakan pendekatan kualitatif serta analisa siklus kebijakan (policy cycle) untuk menunjukkan bahwa pada tahap agenda-setting dan formulasi kebijakan, terjadi persaingan antar aktor untuk memenangkan agenda (kepentingannya).
Hasil analisa menunjukkan bahwa pro dan kontra terjadi karena perbedaan ideologi dan persepsi dalam memahami konsep kesetaraan dan keadilan gender. Oleh karena itu, proses pembahasan RUU KKG berjalan alot dan lambat. Studi ini bersimpulan bahwa kontestasi akan tetap berlangsung selama belum terwujud negosiasi di antara aktor politik yang terlibat dalam pembahasan RUU KKG.

This thesis discusses the contestation between political actors in the formulation stage of Gender Equality and Equity Bill (RUU KKG) in House of Representatives. Actors who become the object of study include KPP-PA, FHanura, FPKS, WRI, IWAPI, and INSISTS. Author used qualitative research approach and policy cycle analysis to indicate that in agenda setting and formulation stage there are competition among actors to win their agenda (interests).
The analysis showed that pros and cons going on due to the difference ideology and perception in understanding the concept of gender equality. So that, the formulation of RUU KKG in parlianment is debatable and slow. This study concludes that contestation still continues for yet materialized negotiations among the political actors involved in the formulation of RUU KKG.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56271
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuryadin
"Tesis ini menganalisi mengenai pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat terhadap pelaksanaan keadaan darurat atau keadaan bahaya menurut Pasal 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kewenangan dalam keadaan darurat tersebut hanya terletak pada satu cabang kekuasaan, yaitu eksekutif. Bahkan, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1959 disebutkan, bahwa pengawasan oleh hakim dan Dewan Perwakilan Rakyat ditiadakan jika situasi negara berada dalam keadaan darurat sesaat setelah diumumkan oleh penguasa keadaa darurat (eksekutif). Berbeda halnya pengaturan mengenai pengawasan dibeberapa negara yang memberikan Dewan Perwakilan Rakyat kewenangan untuk melakukan pengawasan, bahkan sebelum keadaan darurat tersebut diumumkan. Tesis ini bermaksud menjawab mengenai bagaimana pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia terlibat dalam berbagai keadaan darurat yang pernah terjadi di Indonesia, dan juga mengenai bagaimana pengaturan yang ideal pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan rakyat dalam keadaan darurat. Dengan menggunakan pendekatan secara konseptual dan juga pendekatan secara perundang-undangan ditemukan beberapa persoalan di dalam beberapa situasi darurat yang berkaitan dengan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan juga hukum yang digunakan dalam situasi darurat itu sendiri, dan dengan berbagai pendekatan yang dilakukan, disimpulkan bahwa pengaturan mengenai keadaan darurat di Indonesia harus ditinjau ulang karena banyak yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, khususnya dalam hal pengawasan. Pelaksanaan keadaan darurat tidak bisa dijalankan oleh satu kekuasaan tanpa melibatkan cabang kekuasaan lain, hal itu akan cenderung disalahgunakan

This thesis analyzes the supervision by the House of Representatives on the implementation of an emergency or a state of danger according to Article 12 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia which authority in an emergency situation lies only in one branch of power, namely the executive. In fact, in Law Number 23 Prp of 1959 it is stated that supervision by judges and the House of Representatives is abolished if the state is in a state of emergency immediately after an emergency (executive) authority has announced it. This is different from the regulation regarding supervision in several countries which gives the House of Representatives the authority to carry out supervision, even before the state of emergency is declared. This thesis intends to answer how the supervision of the House of Representatives in Indonesia is involved in various emergencies that have occurred in Indonesia, and also about the ideal arrangement of supervision carried out by the House of Representatives in an emergency. By using a conceptual approach as well as a statutory approach, several problems were found in several emergency situations related to the supervision carried out by the House of Representatives and also the law used in the emergency situation itself, and with the various approaches taken, it was concluded that Regulations regarding the state of emergency in Indonesia must be reviewed because many are not in accordance with the times, especially in terms of supervision. The implementation of a state of emergency cannot be carried out by one power without involving other branches of power, it will tend to be misused."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desty Ferryan
"Studi mandiri ini membahas mengenai tanggung jawab sosial dan pelaksanaannya di Indonesia dikatikan dengan Rencana Undang-Undang CSR oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan penulisan posisi, tulisan ini memberikan pandangan memihak atas hasil analisa situasi dan literatur. Hasilnya, tulisan ini berargumentasi bahwa Undang-Undang CSR perlu untuk disahkan dan diterapkan di Indonesia.

This independent study discusses about Corporate Social Responsibility and the implementation in Indonesia, in relation to the CSR draft law by the House of Representatives. Through position writing, the writer give a sided view from situation and literature analysis. As a result, the writing argue that CSR law need to be legitimated and implemented."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Robert Mubarrod
"Upaya pemerintah menarik modal asing maupun dalam negeri, guna percepatan pembangunan dengan diusulkannya RUU Penanaman Modal pada tanggal 21 Maret 2006 kepada DPR untuk dibahas agar menjadi UU Penanaman Modal sebagai pedoman dalam berinvestasi. Namun RUU Penanaman Modal yang diusulkan pemerintah dinilai banyak pihak terlalu berhaluan liberalis sehingga banyak mendapat penolakan dari kalangan akademisi, praktisi, politisi maupun dari masyarakat namun. Fraksi DPR menilai pembahasan RUU Penanaman Modal harus tetap pada prinsip bahwa investasi harus melahirkan multiplier investasi karena dukungan kebijakan. Di sinilah tantangan terbesar RUU Penanaman Modal.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1). Pengaruh ideologi dan identitas terhadap pembuatan kebijakan khususnya dalam proses pembuatan Undang-Undang Penanaman Modal tahun 2007; (2). Pengaruh kepentingan kekuasaan dan kepentingan publik dalam proses pembuatan kebijakan Undang-Undang Penanaman Modal. Untuk mendapatkan penjelasan kedua faktor tersebut metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendalaman terhadap kontestasi ideologis dalam pembahasan RUU Penanaman Modal dengan wawancara secara mendalam terhadap pelaku pembuat kebijakan di parlemen dengan nara sumber pihak-pihak yang terlibat langsung dari pemerintah, akademisi, ketua fraksi maupun anggota fraksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah menggunakan prinsip liberal karena konteks pada saat undang-undang ini diajukan mengharuskan sebuah tatanan regulasi yang terbuka, efisien dan menyuguhkan berbagai insentif. Indonesia berada dalam posisi menarik modal asing dan bukan menolak. Banyak pasal yang diusulkan oleh pemerintah dirombak secara total di DPR karena dinilai terlalu liberal. Hal ini untuk kesinambungan bahwa tidak hanya mempromosikan hak-hak penanam modal tetapi juga fungsi, kewajiban dan tanggung jawab penanam modal juga menjadi perhatian.
Fraksi-fraksi di DPR lebih memperlihatkan upaya kontrol terhadap RUU yang diajukan pemerintah agar tidak terlalu kebablasan. Dinamika pembahasan RUU PM menjadi bahasan yang sangat menarik antara paham Nasionalis dan Liberalis meskipun di akhir bahasan liberalis menjadi pemenang. Pihak nasionalis menyatakan sudah memasukkan koridor-koridor yang dapat mengontrol jalannya penanaman modal di dalam pasal-pasal UU Penanaman Modal N0 25 Tahun 2007.

The Government aimed to attract foreign capital and domestic capital in order to accelerate the development with suggessed investment bill by the government on March 21st 2006 to the Parliament to be discussed in order of issue Investment Bill as a guide to investing. However, the proposed Bill were then assessed by parties who are not entirely liberals, with many resistance from academics, practitioners, and the public. The principle that investmens should generate investment multiplier with policy support. This is the biggest challenge of Investment Bill.
This study is written to explain : (1). The effect of ideology and identity on policy-making, especially during the deliberation process of Investment Act in 2007; (2). The effect of power motivation and public interests on the policy making process of Investment Bill. In order to do so, this study elaborates ideological contestation in the discussion of Investment Bill with depth interviews with the policy makers in parliament and the government, academia, chairman of the faction and the faction members.
The study shows that the government proposed the liberal principle because the economic context at the time requires a regulatory structure that is open, efficient and offering various incentives. Indonesia was in need of foreign capital and not to refuse. Many clauses of the proposed bill were reformed totally in the Parliament because they were considered too liberal. The Parliament emphasized that the bill should not only promote the rights of investors but also functions, duties and responsibilities of Investors.
The paties behavior in the Parliament shows its control function over the bill proposed by the government so that it will not too excessively liberal and give away too much power to the market. The politics of the dliberation of the Investment bill between the Nationalists and Liberals were very interesting, even though at the end of the discussion liberals won. nationalist parties claimed that they already incorporate corridors that can control the investment in the articles of the Investment Law No. 25 of 2007.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T46568
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhil Virgiawan
"Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah mengubah banyak hal. Hal yang amat jelas terlihat terkait kekuasaan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam bidang legislasi.  Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar sebelum amandemen menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sementara setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah berganti menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sebelum Amandemen juga mengalami perubahan yakni yang sebelumnya menyatakan tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat berubah menjadi Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Hal ini menunjukan kekuasaan Presiden setelah perubahan UUD Tahun 1945 di bidang legislasi mengalami pengurangan secara signifikan. Ini memperlihatkan perubahan aturan yang berkenaan dengan kekuasaan Presiden oleh semua kalangan dianggap telah terjadi pergeseran dari executive heavy ke arah legislative heavy. Pasal 20 ayat (2) menyatakan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama dan tercapainya checks and balances system dalam bidang legislasi pada Undang-Undang Dasar setelah amandemen. Walaupun telah tercapai nya prinsip checks and balances setelah amandemen UUD 1945, nyatanya pada prakteknya terdapat perselisihan/konflik yang terjadi antara Presiden dan DPR dalam bidang legislasi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain analisis deskriptif. Permasalahan ini ditinjau dari perbandingan hukum dengan metode penelitian yuridis normatif dan penulisan bersifat deskriptif.

Checs and Balances Mechanism of the President and the House of Representatives in Indonesia in the Function of Legislation Based on the 1945 Constitution Before and After the Amendment Amendments to the 1945 Constitution have changed many things. This is very clearly seen related to the power of the President and the House of Representatives in the field of legislation. Article 5 paragraph (1) of the Constitution before the amendment states that the President holds the power to form laws with the approval of the temporary House of Representatives after the amendment to the 1945 Constitution has changed to the President has the right to submit draft laws to the House of Representatives. In addition, Article 20 paragraph 1 of the Constitution Before the Amendment also underwent changes, namely that previously stated that each law required the approval of the House of Representatives to change to the House of Representatives holding the power to form laws. This shows that the power of the President after the amendment to the 1945 Constitution in the field of legislation has decreased significantly. This shows that changes in the rules relating to the power of the President by all groups are considered to have occurred a shift from executive heavy to legislative heavy. Article 20 paragraph (2) states that each draft law is discussed by the House of Representatives and the President for mutual approval and the achievement of a checks and balances system in the field of legislation in the Constitution after the amendment. Although the principle of checks and balances has been achieved after the amendment to the 1945 Constitution, in practice there are disputes/conflicts between the President and the DPR in the field of legislation. This research is a qualitative research with descriptive analysis design. This problem is viewed from a legal comparison with normative juridical research methods and descriptive writing."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>