Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 236113 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ghema Ramadan Haruman
"Pembahasan dari segi-segi Hukum Perdata Internasional (HPI) terhadap perkara perbuatan melawan hukum (PMH) yang memiliki unsur asing sangat penting dilakukan demi menentukan forum yang berwenang untuk mengadili perkara tersebut dan hukum yang berlaku.
Berdasarkan sejumlah perkara PMH bernuansa asing yang dibahas di dalam tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa konvensi-konvensi HPI di bidang penerbangan turut berperan penting dalam menentukan forum yang berwenang untuk mengadili perkara-perkara tersebut dan hukum yang berlaku.

The analysis from Private International Law aspects in relation to tort which contains of foreign element is important in order to determine forum jurisdictions and the applicable law.
Based on the tort cases that are discussed in this writing, it can be concluded that Private International Law conventions in aviation sector take important role in order to determine forum jurisdictions and the applicable law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46755
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Christian Jeremia
"Walaupun telah memberi kemudahan pada konsumen untuk menggugat dan meminta ganti rugi kepada pelaku usaha, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen belum mengatur apabila terdapat sengketa konsumen internasional yang melibatkan pelaku usaha dan/atau konsumen yang tidak tunduk pada hukum Indonesia. Selain itu, adanya klausula baku dalam kontrak konsumen menyebabkan konsumen tidak memiliki posisi dan daya tawar yang lebih kuat di hadapan pelaku usaha. Walaupun sudah terdapat pasal khusus mengenai klausula baku, akan tetapi hal tersebut belum sepenuhnya melindungi konsumen apabila terdapat pilihan hukum dan pilihan forum yang ditetapkan secara unilateral oleh pelaku usaha. Hal ini tentunya menciptakan kekosongan dan ketidakpastian perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia. Melalui penelitian yuridis-normatif, tulisan ini membahas tentang hukum yang berlaku dan forum yang berwenang dalam sengketa konsumen menurut hukum perlindungan konsumen dan hukum perdata internasional Indonesia. Penelitian ini juga akan melihat putusan pengadilan Indonesia terkait sengketa konsumen internasional. Dapat disimpulkan bahwa dalam hubungan kontraktual, Hakim menerapkan asas kebebasan berkontrak yang dianggap mengikat para pihak dan dilakukan dalam keadaan konsensual. Sementara untuk hubungan nonkontraktual, prinsip klasik lex loci delicti commissi masih menjadi dasar penentuan hukum yang berlaku. Mengenai forum yang berwenang, UU Perlindungan Konsumen telah menyediakan beberapa mekanisme penyelesaian sengketa konsumen.

Although it has been easier for the consumers to sue and seek compensation from business enactors, Law No. 8 of 1999 regarding Consumer Protection has not regulated if there are international consumer disputes involving business enactors and/or consumers who are not subject to Indonesian law. Also, there are standard clauses in consumer contract that cause consumers to not have a stronger position and bargaining power in front of business enactors. Although there is already specific provision regarding standard clause, it has not fully protected consumer, specifically if there is a choice of law and a choice of forums that are determined unilaterally by the business enactor. This of course creates the void and uncertainty of legal protection for consumers in Indonesia. Through juridical-normative research, this paper discusses the applicable law and the competent forum in consumer disputes according to the Indonesia consumer protection law and private international law. This research will also look at Indonesia court decisions related to international consumer disputes. It can be concluded that on a contractual basis, the judges apply the principle of freedom of contract which considered binding for the parties and presumed in a consensual state. Meanwhile, for a non-contractual basis, the classic principle of lex loci delicti commissi is still become the basis for determining the applicable law. As for the competent forum, the Consumer Protection Law has provided some mechanisms to settle and resolve consumer disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dharma Rozali Azhar
"Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) lembaga yang mengatur penyelesaian sengketa nama domain, menentukan pula hukum yang berlaku hingga forum yang berwenang. Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy (UDRP) merupakan hukum yang diberlakukan ICANN. Forum yang berwenang menyelesaikan sengketa yaitu arbitrase online yang diakreditasi oleh ICANN. Perbedaan kewarganegaraan para pihak yang bersengketa menimbulkan peristiwa Hukum Perdata Internasional (HPI) yang akan dianalisis dalam kasus Dallas Project Holdings Ltd. v. Alexander Halim Putra, Victoria's Secret Stores Brand Management Inc. v. Tuty Rakhmawaty, Disney Enterprises Inc. v. Hasil penelitian akan memperlihatkan bahwa terdapat peristiwa HPI dalam kasus sengketa nama domain.

Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) is agency that regulates domain name dispute settlement, including determining applicable law and also competent forum. Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy (UDRP) is law enacted by ICANN. Similarly, competent forum for dispute resolution is online arbitration that accredited by ICANN. Nationality difference for both parties that have a dispute raises aspects to the Private International Law which will analyzed in the case of Dallas Project Holdings Ltd. v. Alexander Halim Putra, Victoria's Secret Stores Brand Management Inc. v. Tuty Rakhmawaty, Disney Enterprises Inc. v. Personal. The results will show aspects of private international law in the case of domain name disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43148
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Saiful Tenaya
"Kepailitan yang dialami oleh suatu perusahaan yang bergerak di bidang jasa transportasi udara, tidak hanya membawa dampak kepada perusahaan itu sendiri sebagai debitor dan para kreditornya, namun calon penumpang yang telah membeli tiket yang merupakan konsumen dari perusahaan tersebut juga ikut merasakan dampaknya. Begitu juga yang terjadi pada kepailitan yang dialami PT. Metro Batavia yang mengakibatkan ribuan calon penumpang yang telah membeli tiket menjadi batal diberangkatkan. Kedudukan para calon penumpang tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sehingga menyebabkan mereka tidak mendapatkan kepastian dalam hal pemenuhan hak dalam pembagian harta pailit yang dilakukan oleh kurator.
Dari penelitian kasus ini diperoleh hasil bahwa kurator dalam membagikan harta pailit kurang memperhatikan teori-teori terkait perjanjian yang dianut oleh hukum Indonesia yang membedakan antara konsumen dan kreditor dan juga pasal 36 ayat (1) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang memberikan ruang kepada kurator untuk menjamin posisi konsumen. Selain itu Indonesia juga belum memiliki Undang- Undang yang mengatur secara khusus mengenai kedudukan konsumen pada perusahaan yang dinyatakan pailit.
Dari uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kedudukan calon penumpang maskapai penerbangan dalam hal pembagian harta parusahaan pailit yang dilakukan oleh kurator. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat hukum atau berupa norma hukum tertulis.

Bankruptcy experienced by a company engaged in the field of air transport services not only has an impact to the company itself as its debtors and creditors, but also to the passengers who have bought their tickets as the consumers of the company that also shares the burden of the impact. This is what happened to PT. Metro Batavia which experienced bankruptcy that leads to the failure of thousands of passengers departure. The position of these passengers are not regulated in Law Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment, causing them to not get certainty in their right fulfillment of the bankruptcy property distribution by the curator.
The result of this case study shows that in the distribution of the bankruptcy property, the curator pays less attention to theories related to treaties adopted by Indonesian law which distinguishes consumers and creditors, and Article 36 paragraph (1) of Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension Debt payments which gives space to the curator to guarantee the consumer's position. In addition to that, Indonesia has not had a law that specifically regulates the position of consumers in companies declared as bankrupt.
From the description above, this study aims to examine the position of airline passengers in the process of bankruptcy estate distribution by the curator. This study uses the normative legal research by examining legal literature or secondary data and written legal laws.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45731
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faqih Adhiwisaksana
"Penelitian ini menganalisis pelanggaran perlindungan data pribadi dengan unsur asing sebagai suatu permasalahan Hukum Perdata Internasional, dengan fokus terhadap forum yang berwenang dan hukum yang berlaku. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi kepustakaan untuk menjelaskan permasalahan terkait forum yang berwenang dan hukum yang berlaku terkait pelanggaran perlindungan data pribadi yang memiliki unsur asing. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masih kurangnya pengaturan khusus mengenai hal ini di Indonesia. Penelitian ini juga menunjukkan beberapa pendekatan yang digunakan oleh hakim dalam menangani sengketa pelanggaran perlindungan data pribadi dengan unsur asing, ditunjukkan dalam kasus eDate Advertising GmbH v X, kasus Google Spain SL, Google Inc. v Agencia Española de Protección de Datos (AEPD), Mario Costeja González, serta pendekatan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam Intercompany Agreement on Data Processing oleh grup perusahaan X. Saran penulis adalah Indonesia perlu mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi, agar memperkuat kejelasan perlindungan data pribadi dengan unsur asing di Indonesia.

This research analyses violation of personal data protection with a foreign element as a private international law issue, focusing on competent forum and applicable law. The author uses a juridical-normative research method with literature studies to explain issues surrounding competent forum and applicable law regarding competent forum and applicable law on violation of personal data protection with a foreign element. The author’s research finds that there is still a lack of sufficient legal framework regarding the issue. This study also shows various approaches used by judges in deciding violation of personal data protection with a foreign element case, as shown in eDate Advertising GmbH v X case, Google Spain SL, Google Inc. v Agencia Española de Protección de Datos (AEPD), Mario Costeja González case, as well as the approach used by business in the Intercompany Agreement on Data Processing by X group of companies. The author’s suggestion is that Indonesia should promulgate the Personal Data Protection Bill, to bring certainty regarding protection of personal data with a foreign element in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Partogi, Emanuel Sion
"Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997, 2015, dan 2019 menyebabkan kerugian bagi masyarakat di Singapura dan Malaysia. Hal ini dapat menjadi dasar menggugat perbuatan melanggar hukum bagi pihak yang merasa dirugikan. Selain itu, tumpahan minyak dalam kasus Sanda v PTTEP Australasia (2009) menyebabkan kerugian bagi sekelompok petani rumput laut di Rote, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Adapun minyak tersebut berasal dari kilang minyak milik PTTEP Australasia yang beroperasi di wilayah Pulau Ashmore dan Cartier, Australia. Adanya pencemaran lintas batas negara menyebabkan suatu persoalan Hukum Perdata Internasional (HPI), jika muncul gugatan perbuatan melanggar hukum atas pencemaran tersebut. Oleh karenanya penting untuk menentukan hukum yang berlaku atas gugatan perbuatan melanggar hukum tersebut. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah pencemaran telah terjadi berdasarkan hukum nasional negara tertentu dan akibat-akibat dari pencemaran tersebut, contohnya pembayaran ganti rugi. Penelitian ini akan membandingkan kaidah HPI Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Australia. 

Forest Fires that occurred in Indonesia in 1997, 2015, and 2019 caused massive losses for the citizens of Singapore and Malaysia. On this basis, the plaintiff can file a tort lawsuit to sue for damages. On the other hand, the oil spill in the case of Sanda v PTTEP Australasia (2009) also caused damage to a group of seaweed farmers in Rote, East Nusa Tenggara, Indonesia. In addition, the oil spills came from the wellhead owned and operated by PTTEP Australasia. The wellhead itself is located in the Territory of Ashmore and Cartier Islands, Australia. The presence of pollution across the nation’s border gives rise to the Private International Law issue if the party files the lawsuit. Therefore, determining the applicable law is foremost to analyse. It aims to know whether environmental damage has occurred regarding certain national laws and the outcomes from the damage, e.g., compensation settlement. This research will compare Indonesian, Singaporean, Malaysian, and Australian Private International Law.  "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fidel Kasman
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daffa Muhammad Hilmi
"Penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut bagaimana penerapan ketentuan intersepsi dan pemaksaan mendarat dalam Pasal 3 bis Konvensi Chicago oleh Indonesia, Belarusia, dan Inggris, baik dalam ketentuan hukum nasional masing-masing negara maupun dalam penanganan kasus intersepsi oleh ketiga negara tersebut. Penelitian ini juga bertujuan untuk membandingkan penerapan ketentuan intersepsi pada ketiga negara tersebut, khususnya dari segi alasan intersepsi dan penanganan pesawat setelah pemaksaan mendarat.
Pasal 3 bis Konvensi Chicago memperbolehkan setiap negara untuk mengintersepsi dan memaksa mendarat pesawat udara sipil yang melintas wilayahnya tanpa membahayakan keselamatan penerbangan ataupun menggunakan senjata. Selain itu, kedua tindakan tersebut hanya boleh dilakukan atas dua alasan: pelanggaran kedaulatan wilayah udara dan penyalahgunaan penerbangan sipil. Walaupun ICAO melengkapi ketentuan tersebut dengan standar dan rekomendasi tata cara teknis intersepsi dalam Annex 2 dan Manual Intersepsi ICAO, ketentuan hukum internasional belum mengatur penanganan pesawat udara sipil pasca pemaksaan mendarat secara merinci. Selain itu, ketentuan hukum internasional juga belum mendefinisikan maksud penyalahgunaan penerbangan sipil sebagai alasan intersepsi dan pemaksaan mendarat.
Indonesia, Belarusia, dan Inggris memiliki ketentuan hukum nasional tersendiri untuk mengatur tindakan intersepsi dan pemaksaan mendarat, mulai dari alasan dan tata cara intersepsi hingga penanganan pesawat udara yang dipaksa mendarat. Mengingat ketentuan hukum internasional belum mendefinisikan maksud penyalahgunaan penerbangan sipil serta belum mengatur penanganan pesawat udara pasca pemaksaan mendarat, setiap negara menetapkan kedua hal tersebut dengan ketentuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, perbedaan lainnya juga terlihat dari seberapa merinci peraturan tersebut dan seberapa selaras ketentuan tersebut dengan ketentuan Konvensi Chicago.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia, Belarusia, dan Inggris melaksanakan intersepsi dan pemaksaan mendarat menurut ketentuan hukum nasionalnya masing-masing. Pada akhirnya pula, keselarasan negara dalam menangani tindakan intersepsi dengan ketentuan Pasal 3 bis Konvensi Chicago dipengaruhi keselarasan ketentuan hukum nasional mengenai intersepsi dengan ketentuan Pasal 3 bis itu sendiri.

The following research was established to further investigate on how Indonesia, Belarus, and the United Kingdom apply Article 3 bis of the Chicago Convention regarding civil aircraft interception and forced landing on their national laws and on how each state handle interception cases in their respective countries. The following research was also aimed to compare the application of civil aircraft interception provisions on the following three countries, especially regarding the reason of interception and handling of aircraft post-forced landing.
Article 3 bis of the Chicago Convention allows every state to intercept a civil aircraft flying through the concerned state’s territory and force its landing without endangering aviation safety and by refraining from using weapons. Both of those actions are only permitted under two reasons: violation of airspace sovereignty and misuse of civil aviation. Although ICAO supplement the following provision with their standards and recommendation regarding the technical procedures of aircraft interception on Annex 2 and ICAO’s Interception Manual, international law provisions have yet to regulate the handling of forced landed aircraft in detail. Furthermore, international law provisions have also yet to further define misuse of civil aviation as grounds for aircraft interception and forced landing.
Indonesia, Belarus, and the United Kingdom each have their own perspective national regulations regarding civil aircraft interception and its forced landing, ranging from grounds of interception and its procedures to handling of forced landed aircraft. Considering international law provisions have yet to further define misuse of civil aviation and regulate the handling of forced landed aircraft, each state has different regulations regarding both matters. Other differences of each national regulations are from how detailed its regulations are and how consistent its national regulations with the Chicago Convention.
To conclude, Indonesia, Belarus, and the United Kingdom handles civil aircraft interception and its forced landing in accordance with their respective national regulations. This further shows that how consistent a state’s handling of interception cases with Article 3 bis of the Chicago Convention are influenced by how consistent its national regulations on interception with the provisions of Article 3 bis itself.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Philipus Rionaldo
"Hanggar adalah sebuah struktur bangunan yang mempunyai atap tertutup diatasnya, berfungsi sebagai tempat penyimpanan dan perawatan pesawat. Pada penelitian ini perencanaan hanggar digunakan untuk mengetahui perilaku struktur sistem rangka dan sistem rigid frame atau portal dengan material baja. Variasi yang dilakukan adalah bangunan A adalah bangunan yang memiliki sistem rangka dengan perletakkan portal 3 sendi, bangunan B adalah bangunan yang memiliki sistem portal dengan perletakkan sendi, serta bangunan C adalah bangunan yang memiliki sistem portal dengan sistem perletakkan jepit. Hasil penelitian menunjukkan bangunan A menggunakan profil 2L 80x80x6 dan 2L 70x70x6 (double angles) dan bangunan B menggunakan profil WF 300x150, WF 400x200, dan WF 500x200 (wide flange). Struktur rangka baja membutuhkan komponen baja dengan profil lebih kecil dan ringan dibandingkan dengan kebutuhan baja untuk strutkur baja dengan sistem portal.

Hangar is a building structure that has a roof covered on top of it, functions as aircraft maintenance and storage area. On this research, hangar planning was used to know the behavior of the structural truss system and the rigid frame system. The variations that was done were : building A was a building that had truss system with three hinged connections, building B was a building that had frame system with two hinged support, while building C was a building that had frame system with two fixed support. The results showed that building A used 2L 80x80x6 and 2L 70x70x6 (double angles) profiles and building B used WF 300x150, WF 400x200, and WF 500x200 (wide flange) profiles. Steel truss structures required steel components with smaller and lighter profiles compared to the steel for the frame system structure."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S47718
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridwan Gunawan
"Gerak longitudinal dan lateral suatu pesawat terbang terdiri dari 3 sistem sumbu gerak yaitu roll, pitch dan Yau. Semua variable seperti kecepatan linier, kecepatan sudut dan gaya aerodinamik dan momen aerodinamik diacu terhadap ketiga sumbu gerak tersebut. Variable gerak longitudinal maupun lateral akan saling mempengaruhi dan berinteraksi.
Besarnya interaksi diteliti dengan simulasi yang didasarkan pada pemodelan sistem gerak suatu pesawat penumpang tipe jet bermesin empat. Interaksi antar variable gerak tersebut dihilangkan-dikurangi dengan menggunakan metoda Bristol. Setelah pengaruh interaksi berhasil dihilangkan, maka dilakukan perancangan kontroller P, PI dan PD untuk mengendalikan gerak sistem tersebut sehingga didapat response waktu yang baik.
Pada gerak longitudinal kecepatan pada sumbu roll Δv mencapai 90% untuk Kp = 6 dan dapat diperkecil menjadi 10%, tetapi waktu stabil menjadi panjang."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>