Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114063 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anita Patresya
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai tinjauan yuridis perubahan bentuk Badan Usaha
Milik Negara Persero yaitu PT Asuransi Kesehatan menjadi Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan tanpa dilakukannya proses likuidasi. Diawali dengan
pembahasan proses pembubaran Badan Usaha Milik Negara Persero yang tunduk
pada ketentuan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu
diwajibkan adanya likuidasi kemudian dibahas mengenai proses pembubaran PT
Askes (Persero) yang merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara Persero
yang dilaksanakan tanpa adanya proses likuidasi. Pada skripsi ini menitikberatkan
pada perlindungan bagi kreditur PT Asuransi Kesehatan apabila dibubarkan tanpa
likuidasi dan bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan. Hasil penelitian ini menyarankan untuk memberikan mekanisme yang
jelas mengenai perlindungan bagi kreditur PT Asuransi Kesehatan yang
dibubarkan tanpa proses likuidasi dan berubah bentuk menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan

ABSTRACT
This mini thesis discusses regarding juridical review on the alteration of PT
Asuransi Kesehatan to Health Social Warranty Convener Body without the
liquidation process. The discussion starts from the dissolution process of
Company State Owned Entity which shall be comply with the provision on Law
No.40 year 2007 on Limited Liability Company, which regulates the liquidation
process and continues with the dissolution process of PT Asuransi Kesehatan
which is one of Company State Owned Entity that conducted without liquidation
process. This mini thesis focuses on the protection to the creditor of PT Asuransi
Kesehatan if the company will be dissolute without the liquidation process and
transformed to Health Social Warranty Convener Body. The results suggests that
the clear mechanism regarding the protection to the creditor of PT Asuransi
Kesehatan which dissolute without the liquidation process and transformed to
Health Social Warranty Convener Body."
2013
S47193
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vierlyn Sheryllia
"Tesis ini menganalisis persyaratan dan prosedur pembubaran dan likuidasi Perseroan yang tidak melakukan kegiatan usaha (non-aktif) dan pendapat hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (“PN Jakarta Pusat”) dan Mahkamah Agung terhadap pembubaran dan likuidasi PT Artha Komoditi & Energi Services (“PT AKES”). Pemegang saham PT AKES megajukan permohonan pembubaran ke PN Jakarta Pusat dengan alasan bahwa PT AKES tidak pernah menjalankan kegiatan usaha selama 4 tahun secara berturut-turut dengan menggunakan dasar hukum Pasal 146 ayat 1 huruf c butir a Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. PN Jakarta Pusat dalam penetapannya menyatakan bahwa permohonan pembubaran PT AKES yang diajukan oleh salah satu pemegang sahamnya tidak dapat diterima dengan alasan prematur karena ada syarat lain yang tidak dipenuhi, yaitu bahwa yang berhak memberitahukan tentang ketidakaktifan Perseroan adalah Direksi dan bukan dilakukan oleh pemegang saham Perseroan. Begitu pun dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menguatkan penetapan PN Jakarta Pusat tersebut. Namun penafsiran Hakim tersebut membuat terciptanya ketidakpastian hukum karena menyebabkan adanya ketidaksesuaian antara penjelasan dengan isi pasal.

This thesis analyzes the requirements and procedures for the dissolution and liquidation of the Company that does not carry out its activities (non-active) and the opinion of the judges of the Central Jakarta District Court and the Supreme Court on the dissolution and liquidation of PT Artha Komoditi & Energi Services ("PT AKES"). One of the shareholders of PT AKES submitted a request for dissolution to the Central Jakarta District Court on the grounds that PT AKES had never carried out its activities for 4 consecutive years by using the legal basis of Article 146 paragraph 1 letter c point a of Act No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies. Central Jakarta District Court in its decree stated that the application for the dissolution of PT AKES submitted by one of its shareholders could not be accepted as premature because there were other conditions that were not fulfilled. The party entitled to notify the Company of being inactive is the Board of Directors, not the shareholders themselves. Likewise, the decision of the Republic of Indonesia Supreme Court justifies the decree of Central Jakarta District Court. But the interpretation of the Judge created legal uncertainty. This causes an incompatibility between the explanation and the contents of the article."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52667
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhiwira Rifky Taufikurrahman
"Terjadinya keadaan sulit dapat menyebabkan perubahan terhadap keseimbangan dalam sebuah kontrak sehingga mengakibatkan kesulitan bagi debitur dalam melaksanakan kewajiban kontraktualnya. Kesulitan ini juga terjadi dalam kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwa Bakrie (PT AJB). Berdasarkan Putusan No. 21/Pdt.G.S/2022/PN.JKT SEL, PT AJB dinyatakan wanprestasi atas kegagalannya dalam melakukan pembayaran kepada seorang pemegang polis. Hakim menghukum PT AJB untuk melakukan pembayaran kepada pemegang polis tersebut. Namun dikarenakan izin usaha PT AJB telah dicabut, pembayaran tidak boleh dilakukan oleh pihak PT AJB. Seharusnya tim likuidasi PT AJB yang melakukan pembayaran tersebut, namun bertahun-tahun sejak dicabutnya izin usaha PT AJB, belum dibentuk tim likuidasi. Skripsi ini membahas tentang konsekuensi hukum dari kegagalan PT AJB dalam membayar klaim tertanggung dengan alasan finansial perusahaan dan peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menyikapi putusan pengadilan yang menghukum perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya untuk melakukan pembayaran kepada tertanggung. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian berbentuk yuridis-normatif dengan menganalisis peraturan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini adalah konsekuensi hukum dari kegagalan PT AJB dalam membayar klaim tertanggung adalah dijatuhkannya sanksi administratif terhadap PT AJB serta dapat digugatnya PT AJB atas dasar wanprestasi. Sementara peran OJK dalam menyikapi putusan pengadilan yang menghukum perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya untuk melakukan pembayaran kepada tertanggung adalah OJK harus membentuk tim likuidasi berdasarkan Pasal 42 ayat (2) UU Perasuransian dan OJK berwenang menetapkan kebijakan di bidang perasuransian yang bertujuan menjaga stabilitas industri asuransi dan meringankan perusahaan asuransi yang terdampak bencana berdasarkan Pasal 54A ayat (1) POJK No. 5 Tahun 2023.

The occurrence of hardship can cause changes to the balance of a contract, resulting in difficulties for the debtor in carrying out his contractual obligations. This difficulty also occurred in the case of PT Asuransi Jiwa Bakrie (PT AJB). Based on Decision No. 21/Pdt.G.S/2022/PN.JKT SEL, PT AJB was declared to have failed to make payments to a policyholder. The judge sentenced PT AJB to make payments to the policyholder. However, because PT AJB's business license has been revoked, payment may not be made by PT AJB. PT AJB's liquidation team should have made the payment, but many years since PT AJB's business license was revoked, a liquidation team has not been formed. This thesis discusses the legal consequences of PT AJB's failure to pay the insured's claims for financial reasons and the role of Otoritas Jasa Keuangan (OJK) in responding to court decisions that punish insurance companies whose business licenses have been revoked to make payments to the insured. The research method used in this thesis is a normative-juridical research by analyzing laws and regulations. The result of this study is that the legal consequences of PT AJB's failure to pay the insured's claims are the imposition of administrative sanctions against PT AJB and a lawsuit by said policyholder. While the role of OJK in responding to court decisions that punish insurance companies whose business licenses have been revoked to make payments to the insured is that OJK must form a liquidation team based on Article 42 (2) of the Insurance Law and OJK has the authority to establish policies in the insurance sector aimed at maintaining the stability of the insurance industry and relieve insurance companies affected by disasters based on Article 54A (1) POJK No. 5 Year 2023."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yousfrita
"Pemilihan judul ini untuk memperoleh gambaran dari permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul sehubungan dengan pembubaran perseroan dan likuidasi, yang dibatasi yaitu pembubaran perseroan dan likuidasi yang dilakukan atas inisiatif perseroan sendiri. Bahwa pembubaran perseroan dan likuidasi diatur dalam Undang Undang Nomor I tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas. Namun dalam prakteknya pada proses pembubaran perseroan dan likuidasi banyak terdapat permasalahanpermasalahan yang tidak tertampung dalam peraturanperaturan dimaksud di atas.
Permasalahan-permasalahan dimaksud antara lain (i) tidak adanya kepastian kapan bubarnya badan perseroan, hal mana penting diatur karena pada kenyataannya masih terjadi tindakan (-tindakan) hokum pada proses pembubaran perseroan dan likuidasi,(ii) masalah likuidator, yaitu siapakah yang dapat menjadi likuidator, apakah perseroan terbatas dapat menjadi likuidator, bagaimana bila likuidator mengundurkan diri, (iii) bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang mempunyai tagihan kepada perseroan, dan (iv) masalah pajak dan tagihan pajak.
Permasalahan-permasalahan mana merupakan hal yang menarik dibahas dan dicari upaya-upaya penyelesaiannya. Karena dengan melihat apa yang diuraikan di atas, pembubaran perseroan dan likuidasi tidak hanya melibatkan perseroan dimaksud saja akan tetapi kreditur dan atau pihak ketiga amat berkepentingan. Diharapkan dengan penulisan tesis ini permasalahan-permasalahan tersebut dapat dicari upaya-upaya penyelesaiannya"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T18972
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iqbal Amputra
"Badan usaha berbentuk perseroan terbatas ini banyak diminati oleh pengusaha di Indonesia karena mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri, mampu mengadakan kapitalisasi modal dan sebagai wahana yang potensial untuk memperoleh keuntungan baik bagi instansinya sendiri maupun bagi para pendukung (pemegang saham). Tetapi sejak krisis moneter yang terjadi di beberapa negara di Asia dan Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan dampak terhadap badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas adalah diakhirinya kelangsungan badan usaha tersebut dengan pembubaran dan dilanjutkan dengan proses likuidasi karena Perseroan Terbatas tidak dapat memberikan keuntungan lagi.
PT. CIKARANG JASA ASTON Dalam Likuidasi dibubaran berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) karena tidak dapat menghasilkan keuntungan lagi. Pembubaran perseroan diikuti dengan likuidasi oleh likuidator yang ditunjuk dari Direksi perseroan tersebut yang melakukan tindakan pemberesan kekayaannya dengan memindahkan asetnya berupa tanah kepada pihak ketiga.
Penelitian ini adalah penelitian Yuridis Normatif dan data yang digunakan adalah data primer yaitu mewawancarai pihak-pihak terkait dan data sekunder yaitu mempelajari bahan-bahan kepustakaan. Likuidator berwenang mewakili Perseroan Terbatas dalam likuidasi pada waktu pemindahan hak atas tanah aset perseroan tersebut dan akta jual belinya dibuat oleh PPAT lalu didaftarkan pemindahan haknya ke Kantor Badan Pertanahan Nasional."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T16292
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prihatin
"Pertengahan tahun 1997, di Indonesia terjadi krisis moneter di mana salah satu sektor yang paling parah terkena imbasnya adalah sektor perbankan. Untuk mengatasi krisis tersebut, salah satu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah adalah mencabut izin usaha 16 bank swasta, yang selanjutnya disebut dengan Bank Dalam Likuidasi (BDL), kemudian ditindaklanjuti dengan upaya penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Prosedur yang ditempuh setelah pencabutan izin usaha bank adalah likuidasi bank. Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh Tim Likuidasi dengan masa kerja selama 5 tahun dan dapat diperpanjang 180 hari.
Dikarenakan berbagai kendala, hingga berakhirnya masa kerja dari Tim Likuidasi, masih terdapat aset BDL yang belum dicairkan dan kewajiban kepada Pemerintah yang belum dilunasi. Dalam rangka meminimalkan kerugian negara, pemerintah dalam kedudukannya sebagai kreditur mayoritas mengambil alternatif penyelesaian likuidasi dengan menerima penyerahan sisa aset BDL dari pihak Tim Likuidasi. Sebagai tindak lanjut dari serah terima sisa aset BDL, mengingat hampir keseluruhan BDL nilai asetnya jauh lebih kecil dibandingkan kewajiban BLBI-nya, Pemerintah seyogyanya menempuh upaya-upaya lain yang efektif dan efisien guna memaksimalkan pengembalian BLBI yang telah dikeluarkan.
Salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah dengan meminta pertanggungjawaban dari organ BDL, khususnya pemegang saham BDL, yang sesuai doktrin piercing the corporate veil, pemegang saham, direksi dan komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi (perdata) maupun pidana, dalam hal terbukti turut serta menjadi penyebab kesulitan keuangan yang dihadapi oleh bank atau menjadi penyebab kegagalan bank untuk menjalankan kegiatan usahanya. Dalam hal ini terdapat dua jalur yang bisa ditempuh oleh Pemerintah, yaitu jalur perdata dan pidana. Selain permasalahan tersebut di atas, dalam penulisan tesis ini juga meneliti mengenai apakah dengan telah terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), telah menjamin permasalahan yang terjadi pada BDL tidak akan terulang lagi.

In mid 1997 Indonesia was hit by a monetary crisis where one of the sectors worst affected was the banking sector. To overcome this crisis, one of the policies that was done by the government was to revoke the business license of 16 private banks, which is known as Bank Dalam Likuidasi (BDL) or Liquidated Banks, which was followed by the Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) or Liquidity Aim of Bank Indonesia policy. The procedure after revoking the business license is bank liquidation. Bank Liquidation is carried out by Liquidators with a working period of 5 years which can be extended for 180 days. Because of various constraints, hitherto the end of the Liquidators working period, there remains BDL assets that have not been able to be liquidated and liabilities to the government that have not been settled.
In order to minimize state losses, the government acting as the major creditor took alternative liquidation settlement by receiving the rest of the remaining BDL assets from the Liquidators. To follow up the transfer of BDL?s remaining assets, considering almost all BDL?s asset value is by far smaller than it?s BLBI liability, the Government should use other efforts that are efficient and effective to obtain maximal returns from BLBI that has been given.
One effort that can be undertaken is to ask for the responsibility from BDL organs, especially from owners of BDL, which is in accordance with "piercing the corporate veil" doctrin, owners, directors, and commissioners can be held personally (privately) and publicly responsible, if proven to be personally involved in causing financial difficulty that was faced by their banks or is the culprits of the banks to be default. In this case there are two alternatives that can be taken by the Government, that is privately and publicly. Moreover, this thesis examines whether if through Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) or Indonesia Deposit Insurance Corporation, has been able to guarantee that the problems caused like the BDL case will not occur in the future.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28055
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Meiyane Halimatussyadiah
"Tidak (dapat dipungkiri bahwa perusahaan merupakan indikator kemajuan perekonomian suatu negara, sehingga diperlukan suatu tatanan hukum yang mengatur perusahaan (hukum perusahaan) termasuk di dalamnya ketentuan mengenai perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas. Perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas mutlak diperlukan karena hubungan intern perusahaan yang pada dasarnya adalah hubungan antar organ perusahaan akan mempengaruhi hubungan perusahaan dengan stakeholders lainnya. Adanya kecenderungan pemegang saham mayoritas memanfaatkan kedudukannya secara tidak bertanggung-jawab dapat terjadi melalui mekanisme dalam Rapat Umum Pemegang Saham yaitu dengan memanfaatkan asas one share one vote, misalnya melakukan dominasi melalui Direksi, dimana kebijakan Direksi berpihak kepada pemegang saham mayoritas yang dapat menyebabkan perusahaan hanya sebagai alter ego atau alat untuk kepentingan pemegang saham mayoritas yang tidak beritikad baik.
Bentuk dominasi lain misalnya pemegang saham mayoritas adalah juga Direksi atau Komisaris perusahaan yang bilamana tidak dijalankan tanpa moral hazard akan memungkinkan terjadi piercing the corporate veil atau melakukan tindakan ultra vires yang melalui lembaga retifikasi akan disahkan sebagai suatu tindakan perusahaan yang boleh jadi akan merugikan pemegang saham minoritas, stakeholders lainnya atau perusahaan itu sendiri. Kesewenang-wenangan pemegang saham mayoritas dapat pula terjadi dalam likuidasi perusahaan dimana dasar pembubaran atau likuidasi tersebut tidak dilakukan secara transparan.
Dalam kaitan ini pemegang saham minoritas perlu memahami kedudukan atau hak-haknya, termasuk penggunaan asas one share one vole yang berkaitan erat dengan asas majority rule sebagai salah satu pilar hukum perusahaan yang jika diberlakukan tanpa perlindungan yang memadai bagi pemegang saham minoritas dapat mengakibatkan kedudukan yang tidak seimbang. Dalam kaitan ini terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pemegang saham minoritas untuk meneegah terjadinya kesewenang-wenangan oleh pemegang saham mayoritas, misalnya melalui pembuatan perjanjian antar pemegang saham, penerapan hak-hak pemegang saham minoritas, seperti personal right dan derivative right yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas antara lain Pasal 30 ayat 3, Pasal 54 ayat 2, Pasal 55 ayat I, Pasal 85 ayat 3, Pasal 98 ayat 2 dan juga penerapan dan berpedoman pada doktrin-doktrin hukum yang berkaitan dengan hukum perusahaan dan prinsip-prinsip Good Corporate Governance yaitu transparansi, akuntabilitasi, keadilan dan responsibilitas."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T18905
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 1998
346.066 2 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Wijaya K.
"Dengan adanya krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 dimana diawali dengan terpuruknya nilai rupiah terhadap mata uang US Dollar yang cukup parah. Krisis moneter dan terpuruknya nilai rupiah tersebut berdampak langsung pada dunia usaha kita pada umumnya. Dimana para pengusaha kita yang berpredikat sebagai debitur mengalami kesulitan dan bahkan tidak mempunyai kemampuan dalam mengembalikan utang-utangnya, terutama utang-utang yang diperoleh dari kreditur luar negeri dan dalam mata uang US Dollar. Sehingga negara dan dunia usaha kita sangat membutuhkan suatu sistem pembayaran utang yang dikenal dengan proses kepailitan yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum.
Dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Kepailitan No. 4 tahun 1998 (UUK) sepertinya banyak harapan yang diberikan kepada para pemberi pinjaman atau kreditur, akan tetapi ternyata UUK tersebut sangatlah tidak konsisten dan malah merusak sistem hukum jaminan yang telah dibangun sedemikian rupa agar supaya kreditur atau para investor mau memberikan atau menanamkan modalnya kembali. Ketidakkonsisten dan ketidaktaatan asas dari UUK dapat dilihat dari Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 56A UUK.
Dari pasal-pasal tersebut di atas jelas sekali terlihat bahwa UUK tidak that asas dan sangat meruntuhkan prisip maupun asas hukum jaminan khususnya jaminan kebendaan yang memang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi kreditur dalam suatu hubungan utang-piutang dengan debiturnya. Perlu ditekankan disini adalah negara kita pada saat ini sangat membutuhkan modal atau akumulasi modal dari para investor atau kreditur, dimana hal irii hanya dapat dicapai dengan adanya suatu sistem hukum yang berwibawa, terintegrasi satu dengan lainnya serta jelas memberi kepastian dan perlindungan hukum yang cukup bagi investor atau kreditur tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T18920
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusi Muliawati
"Nasabah penyimpan dana merupakan pihak yang dapat dirugikan manakala terjadinya likuidasi bank. Oleh karena itu, dalam melindungi dana simpanannya nasabah memiliki hak preferen dalam mendapatkan pembayaran atas dana simpanannya pada saat bank dilikuidasi. Pengaturan hak preferen ini terdapat dalam Undang-undang Lembaga Penjamin Simpanan dan peraturan lainnya yang mengatur mengenai dilaksanakannya likuidasi bank. Bentuk perlindungan tersebut diatur melalui program penjaminan. Akan tetapi dalam pelaksanaanya, hak preferen tidak dapat sepenuhnya diberikan kepada seluruh nasabah penyimpan dana pada saat bank dilikuidasi. Hal ini dapat menimbulkan asumsi yang berbeda atas kedudukan nasabah dalam memperoleh penjaminan atas dana simpanannya. Sesuai dengan permasalahan dan tujuan dari penelitian untuk menemukan pengaturan hukum dan pelaksanaan hak preferen bagi nasabah penyimpan dana pada saat bank dilikuidasi maka sifat penelitian ini adalah yuridis normatif dan mengacu kepada peraturan-peraturan yang tertulis maupun hukum positif serta didukung bahan hukum lain dan hasil wawancara dengan narasumber yang berkaitan dengan permasalahan. Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Pelaksanaan hak preferen bagi nasabah penyimpan dana saat bank dilikuidasi diberikan kepada nasabah yang memperoleh kedudukan status layak bayar dan memenuhi kriteria yang ditentukan oleh Undang-undang Lembaga Penjamin Simpanan guna memperoleh pembayaran simpanannya.

Depositors are the ones that can be harmed as incurred of banks liquidation. Therefore, to protect their deposits, customers have preference right to obtain payments of their deposits when the banks are liquidated. This preference right is contained in the regulation of the Deposit Insurance Corporation and the other regulations which governing the implementation of the liquidation of the bank. However, in the actual implementation, these preference right can not be fully given to all depositors when banks are liquidated. This can lead to different assumptions about the position of the customers in obtaining the guarantee of their deposits. In accordance with the problems and goals of research to find a legal setting and the implementation of preference right for depositors when banks are liquidated, then, the character of this research is a normative juridical research and refers to the written regulations or positive laws and also supported by other legal materials and interviews with sources related to the problem. While the method used is a qualitative research method about a descriptive research and tend to use inductive analytical approach. The implementation of preference right for depositors when banks are liquidated are given to customers who obtain the decent pay status position and meet the specified criteria by the Act of the Deposit Insurance Corporation to obtain their payment savings.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42344
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>