Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165305 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rama Garditya,author
"Anestesia umum dengan intubasi endotrakeal menggunakan pipa endotrakeal sering digunakan untuk memberikan ventilasi tekanan positif dan mencegah aspirasi. Namun, penggunaan alat ini dapat menimbulkan komplikasi atau keluhan pasca bedah seperti nyeri tenggorok. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan keefektifan profilaksis deksametason intravena dengan triamsinolon asetonid topikal dalam mengurangi nyeri tenggorok pasca bedah.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis prospektif yang diacak dan tersamar ganda. Sebanyak 121 pasien yang dijadwalkan menjalani pembedahan dalam anestesia umum menggunakan pipa endotrakeal dimasukkan ke dalam dua kelompok secara acak; Grup A 61 orang dan grup B 60 orang. Sebelum induksi, pasien dalam grup A diberikan 10 mg deksametason intravena dan pasta plasebo dioleskan pada kaf pipa endotrakeal. Pasien dalam grup B diberikan 2 mL NaCl 0,9% dan pasta triamsinolon asetonid dioleskan pada kaf pipa endotrakeal. Skor nyeri tenggorok pasca bedah dievaluasi 3 kali; sesaat setelah pembedahan berakhir, 2 jam pasca bedah dan 24 jam pasca bedah. Insidens dan derajat nyeri tenggorok pasca bedah dicatat.
Hasil: Tidak didapatkan perbedaan bermakna di kedua kelompok pada insidens nyeri tenggorok pasca bedah sesaat setelah pembedahan berakhir (27,9% pada kelompok A dan 18,3% pada kelompok B, p = 0,214). Derajat nyeri tenggorok pasca bedah tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok.
Simpulan: Triamsinolon asetonid topikal memiliki keefektifan yang sama dengan profilaksis deksametason intravena dalam mengurangi insidens nyeri tenggorok pasca bedah.

Tracheal intubation for general anesthesia is often used to give positive-pressure ventilation and prevent aspiration during anesthesia. However, the use of this airway device can cause complications and complains about postoperative sore throat (POST). This study was undertaken to compare the effectiveness of prophylactic intravenous dexamethasone to triamcinolone acetonide paste in reducing POST.
Methods : This was a prospective, randomized, double-blind clinical trial. A total of 121 patients scheduled for surgery under general anesthesia using endotracheal tube were randomly allocated into two groups; 61 (group A) and 60 (group B). Before induction, group A receives 10 mg of intravenous dexamethasone and placebo paste applied over the endotracheal tube cuff. Group B receives 2mL of intravenous normal saline and triamcinolone acetonide paste applied over the endotracheal tube cuff. POST scores were evaluated 3 times; immediately after the operation, 2-hours, and 24-hours after the operation. The incidence and severity of POST were recorded.
Results: There were no significant differences in the incidence of POST immediately after the operation between the two groups (27,9 % in group A vs 18,3% in group B, p = 0,214).The severity scores of POST were not significantly different between the two groups.
Conclusion: Topical triamcinolone acetonide was equally effective compared to prophylactic intravenous dexamethasone in reducing the incidence of POST."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Evelin Margaretha
"Latar belakang : Blok perifer yang digunakan saat pasien teranestesi akan mengurangi kebutuhan anestesia dan analgesia selama pembedahan, dan mengurangi kebutuhan opioid sebagai analgetik pasca operatif. Berkurangnya pemakaian opioid intraoperatif akan mengurangi morbiditas pasca operatif yang berkaitan dengan opioid. Penelitian dilakukan untuk mengetahui peran BPSS menggunakan bupivakain 0,5% dalam mengurangi konsumsi fentanil intraoperatif, stabilitas hemodinamik intraoperatif, dan kecepatan waktu pulih pada timpanomastoidektomi dalam anestesia umum.
Metode : Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal pada 32 pasien usia 19-65 tahun, ASA I-III dengan berat badan 35-80 kg, yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok BPSS dan kelompok kontrol. Pada kelompok BPSS dilakukan BPSS sebelum induksi menggunakan bupivakain 0,5%. Pada kelompok kontrol dilakukan anestesia umum tanpa BPSS. Anestesia dipertahankan dengan FGF 0,8-1,6 lpm, compress air:O2 (konsentrasi O2 40%); isofluran ± 1 MAC dan atrakurium 0,25 mg/kgBB setiap 30 menit untuk menjaga nilai BIS 45-60. Fentanil diberikan setiap ada peningkatan tekanan darah sistolik atau frekuensi nadi ≥ 20% dari nilai 5 menit sebelumnya. 30 menit sebelum operasi selesai diberikan parasetamol 1 gram iv dan ondansetron 4 mg iv.
Hasil : Dari hasil penelitian didapatkan median konsumsi fentanil intraoperatif kelompok BPSS lebih rendah bermakna secara statistik dibandingkan kelompok kontrol {(150 mcg vs 262,5 mcg), p<0,001)}. Perbedaan median TDS antara kelompok BPSS dan kelompok kontrol bermakna secara statistik psaat insisi { 104 (90-112) vs 120 (110-130), p<0,001}, dan median frekuensi nadi kelompok BPSS lebih rendah secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol {68 (62-86) vs 80 (68-100); p<0,001}.
Simpulan : BPSS menggunakan bupivakain 0,5% sebelum induksi mengurangi konsumsi fentanil intraoperatif, menekan respon hemodinamik terhadap insisi kulit, dan mempercepat waktu pulih.

Background : The peripheral nerve block which is used in combination with general anesthesia will reduce anesthesia and analgesia requirement intraoperatively. The reduction in opioid consumption will reduce pasca operative morbidity which is related to opioid. The aim of this study was to assess the role of superficial cervical plexus block (SCPB) using bupivakain 0,5% before induction in reducing fentanyl consumption, stabilized intraoperative hemodynamic, and reach early emergence in tympanomastoidectomy under general anesthesia.
Methods : The design of this study is single blind randomized clinical trial. The study was done to 32 consenting ASA I-III patients, 13-65 years old, with body weight 35-85 kg which were randomized to be SCPB group and control group. SCPB was done in block SCPB before induction using bupivacaine 0,5%. General anesthesia without SCPB was done in control group. Anesthesia was maintained with FGF 0,8-1,6 lpm, compress air:O2 with O2 consentration 40%, isoflurane ± 1 MAC, and atracurium 0,5 mg/kgBW every 30 minutes to keep BIS level 45-60. Fentanyl intermittent was given intraoperative due to 20% increased in SBP or heart rate from the data 5 minutes earlier. Paracetamol 1 g iv and ondansetron 4 mg iv were given 30 minutes before the end of the surgery.
Results : During surgery the median fentanyl consumption were significantly reduced in SCPB group compared with control group {(150 mcg vs 262,5 mcg), p<0,001)}, and during skin incision, the median SBP and the median heart rate were significantly reduced in SCPB group compared with control group { 104 (90-112) vs 120 (110-130), p<0,001} and {68 (62-86) vs 80 (68-100); p<0,001}. The median emergence time were also significantly reduced in SCPB group compared with control group {(10 minutes vs 20 minutes), p<0,001)}.
Conclusion : SCBP using bupivacaine 0,5% before induction reduced the fentanyl consumption intraoperative, more stabilized hemodynamic in response to skin incision and provided more rapid awakening.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Kurnia
"Latar belakang: Nyeri tenggorok pascaoperasi (POST) merupakan salah satu komplikasi yang sering muncul pada anestesia umum dengan teknik intubasi. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan efektivitas tablet hisap amylmetacresol-dibenal dengan profilaksis deksametason intravena sebelum pemasangan pipa endotrakeal untuk mengurangi kekerapan POST.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis prospektif yang diacak dan tersamar ganda pada 121 pasien yang menjalani operasi dalam anestesia umum menggunakan pipa endotrakeal.Pasien dibagi menjadi dua kelompok secara acak; Grup A 61 orang dan grup B 60 orang. Sebelum induksi, pasien dalam grup A diberikan tablet hisap amylmetacresol-dibenal dan suntikan NaCl 0,9% 2 ml dan grup B diberikan Deksametason 10 mg intravena dan tablet hisap plasebo. Nyeri tenggorok pascaoperasi dievaluasi dengan Numerical Rating Scale (NRS) 3 kali; setelah operasi saat Alderette skor 10, 2 jam pascaoperasi dan 24 jam pascaoperasi. Kekerapan dan derajat nyeri tenggorok pascaoperasi dicatat dan dianalisis dengan uji chi-kuadrat.
Hasil. Tidak didapatkan perbedaan kekerapan nyeri tenggorok pascaoperasi bermakna pada kedua kelompok sesaat setelah operasi berakhir (18% pada kelompok A dan 16,7% pada kelompok B, p = 0,843), jam ke-2 (16,4% pada kelompok A dan 25% pada kelompok B, p = 0,242),dan jam ke-24 pascaoperasi. Derajat nyeri tenggorok pascaoperasi tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok.
Simpulan. Tablet hisap amylmetacresol-dibenal sebelum pemasangan pipa endotrakeal memiliki efektivitas yang sama dengan profilaksis deksametason intravena dalam mengurangi kekerapan nyeri tenggorok pascaoperasi.

Background. POST is one of the complications that often arise in the general anesthesia with intubation techniques. The purpose of this study was to compare the effectiveness of amylmetacresol - dibenal lozenges with prophylactic intravenous dexamethasone before intubation to reduce the incidence of POST.
Methods. This study is a prospective randomized clinical trials and double-blind trial in 121 patients undergo surgery under general anesthesia using endotracheal tube. Patient divided into two groups at random ; Group A 61 and group B of 60 people. Before induction, patients in group A was given amylmetacresol - dibenal lozenges and injection of 2 ml of 0.9% NaCl and group B was given intravenous dexamethasone 10 mg and placebo lozenges . POST was evaluated by the Numerical Rating Scale ( NRS ) 3 times ; after surgery when Alderette score of 10 , 2 hours postoperatively and 24 hours postoperatively . The frequency and degree of POST were recorded and analyzed with Chi-Square test.
Results. There were no differences in the incidence of POST significant in both groups after surgery when Alderette score of 10 ( 18 % in group A and 16.7 % in group B , p = 0.843 ) , h 2 ( 16.4 % in group A and 25 % in group B , p = 0.242 ), and the 24th hour postoperatively . The degree of POST was not significantly different between the two groups.
Conclusion. Amylmetacresol - dibenal lozenges before intubation tube has the same effectiveness of prophylactic intravenous dexamethasone in reducing the incidence of POST."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrizal Hariady
"Latar belakang: Kecemasan seringkali dijumpai pada pasien yang hendak menjalani suatu prosedur operasi, termasuk brakiterapi. Agen farmakologi anti ansietas saat ini merupakan pilihan untuk mengurangi kecemasan pasien. Obat memiliki potensi efek samping seperti depresi napas dan interaksi dengan agen anestesi sehingga dapat memperlama durasi perawatan di rumah sakit. Penggunaan terapi non farmakologi dengan terapi farmakologi dianggap memiliki efektivitas yang setara. Salah satu terapi non farmakologi untuk mengurangi kecemasan pasien adalah terapi musik. Musik dapat mempengaruhi kondisi hemodinamik pasien. Musik juga mempengaruhi aspek psikologis pasien, termasuk modifikasi mood dan emosi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas terapi musik dalam mengurangi kecemasan sebelum prosedur brakiterapi mengingat terapi musik adalah terapi non farmakologi yang mudah dan murah serta tidak memiliki potensi efek samping.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal untuk menilai efektivitas terapi musik dibandingkan midazolam dalam mengurangi kecemasan sebelum prosedur brakiterapi dengan anestesia spinal. Setelah mendapat izin komite etik dan informed consent sebanyak 60 subyek diambil dengan consecutive sampling, subyek dirandomisasi menjadi dua kelompok yaitu kelompok subyek yang mendapatkan perlakuan dengan mendapatkan suntikan obat intravena midazolam 0,02 mg/kgbb dan kelompok subyek yang mendapat perlakuan dengan didengarkan terapi musik. Dilakukan penilaian parameter hemodinamik serta kuisioner APAIS sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Uji Chi-square dan Mann-Whitney dilakukan untuk menganalisis data.
Hasil: Pemberian terapi musik memberikan manfaat yang sama baik dengan suntikan midazolam intravena dalam mengurangi kececemasan prabedah. Tidak didapatkan adanya perbedaan skor APAIS maupun parameter hemodinamik antar kedua kelompok sebelum dimulainya perlakuan p> 0,05 . Tidak dijumpai perbedaan antara nilai skor APAIS maupun parameter hemodinamik pascaintervensi pada kedua kelompok p0,05.
Simpulan: Terapi musik sama efektifnya dengan midazolam 0,02 mg/kgbb intravena dalam mengurangi kecemasan prabedah dan perubahan hemodinamik pada pasien yang menjalani brakiterapi dengan anestesia spinal.

Anxiety is often seen in patients who want to undergo a surgical procedure, including brachytherapy. Antimicrobial pharmacology agents are currently an option to reduce patient anxiety. Drugs have potential side effects such as respiratory depression and interactions with anesthetic agents so as to prolong the duration of hospitalization. The use of nonpharmacologic therapy with pharmacological therapy is considered to have equal effectiveness. One of the non pharmacological therapy to reduce patient anxiety is music therapy. Music can affect the patient's hemodynamic condition. Music also affects the patient's psychological aspects, including mood and emotion modification. This study aims to determine the effectiveness of music therapy in reducing anxiety before brachytherapy procedures considering music therapy is a non pharmacological therapy that is easy and cheap and has no potential side effects.
Methods: This was a single blinded randomized clinical trial to assess the effectiveness of music therapy compared with midazolam in reducing anxiety before brachytherapy procedures with spinal anesthesia. After obtaining the permit of the ethics committee and the informed consent of 60 subjects taken with consecutive sampling, subjects were randomized into two groups of subjects treated with intravenous injection of midazolam 0,02 mg kg body weight and the subjects treated with music therapy. Assessed hemodynamic parameters and APAIS questionnaires were performed before treatment and after treatment. Chi square and Mann Whitney tests were performed to analyze the data.
Results: The administration of music therapy provides the same benefits as intravenous midazolam injection in reducing anxiety before surgery. There was no difference in APAIS score nor hemodynamic parameters between the two groups before the start of intervention p 0.05 . There was no difference between APAIS score score and post intervene hemodynamic parameters in both groups p 0.05.
Conclusion: Music therapy is as effective as midazolam 0.02 mg kg body weight intravenously in reducing anxiety before surgery and haemodynamic changes in patients undergoing brachytherapy with spinal anesthesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Rosanti Khalid
"Latar Belakang : Tingkat kepuasan pasien merupakan salah satu indikator kualitas pelayanan anestesia, baik rawat inap maupun rawat jalan. Bedah rawat jalan menawarkan banyak kelebihan dibandingkan rawat inap, sehingga berkembang sangat pesat di Indonesia khususnya di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dan sebagian besar jenis anestesia pada bedah rawat jalan adalah anestesia umum. Perkembangan ini harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan anestesia. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian terhadap tingkat kepuasan pasien dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Tingkat kepuasan pasien dapat memberikan feedback untuk meningkatkan kualitas pelayanan anestesia pada instalasi bedah rawat jalan.
Tujuan : Mengetahui tingkat kepuasan pasien yang menjalani anestesia umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan faktor yang memengaruhinya.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian potong lintang. Dilakukan penilaian tingkat kepuasan pada 76 pasien dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Kriteria penerimaan adalah usia 18-65 tahun yang menjalani pembiusan umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat berbahasa Indonesia, membaca dan menulis, bersedia berpartisipasi dan menandatangani surat persetujuan penelitian, pulang dihari yang sama setelah pembedahan atau dirawat kurang dari 24 jam. Hasil kuesioner akan diolah menggunakan perangkat lunak SPSS dengan uji univariat dan bivariat.
Hasil : Uji univariat menunjukkan tingkat kepuasan pasien terhadap anestesia umum rata-rata diatas 70 %. Sedangkan dari uji bivariat, faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien adalah usia, jenis kelamin dan pekerjaan.
Kesimpulan : Pasien merasa puas terhadap pelayanan anestesia umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Karakteristik pasien yang memengaruhi tingkat kepuasan pasien adalah usia, jenis kelamin dan pekerjaan.

Background : Patient satisfaction has been one of quality indicators in anesthesia services whether it is inpatient or outpatient. Ambulatory surgery offers more advantages compares to inpatient services, thus it developed nicely in Indonesia especially in RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta where most patients undergone general anesthesia. This development is yet to be offset by improvement in anesthesia quality services. Thus, it is needed to assess patient satisfaction and factors. Patient satisfaction can give feedback to improve quality of anesthesia services in ambulatory surgery.
Purpose : The purpose of this study was to know patient satisfaction toward general anesthesia and influencing factors in ambulatory surgery RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Methods : This is a cross sectional study. Patient satisfaction was assessed in 76 patients using validated questionnaire. The inclusion criteria were age 18-65 undergoing general anesthesia in Ambulatory Surgery, Bahasa speaking, able to read and write, and agreed to participate in this study by signing research consent and discharged on the same day or hospitalized less than 24 hours after surgery. Result was processed using SPSS with univariate and bivariate test.
Results: Univariate test showed patient satisfaction toward general anesthesia was above 70%. While Bivariate test indicated factors influencing patient satisfaction were age, gender and occupation.
Conclusion : Patients were satisfied with general anesthesia services in Ambulatory Surgery RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Patient characteristics influencing patient satisfaction were age, gender and occupation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Henry Agus
"LATAR BELAKANG : Kombinasi anestetik lokal dosis rendah dengan opioid yaitu bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg dan 5 mg ditambah fentanil 25 mcg diharapkan keefektifannya untuk memfasilitasi bedah Caesar, yaitu dengan cara menurunkan angka kejadian hipotensi dan kualitas analgesia serta blok motorik yang adekuat.
METODE : 112 pasien hamil usia 18-40 tahun yang akan menjalani bedah Caesar baik cito maupun elektif ASA I-III yang sesuai dengan kriteria inklusi. Randomisasi menjadi 2 kelompok; kelompok I mendapatkan bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg dan kelompok II mendapatkan bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg ditambah fentanil 25 mcg. Posisi pasien kedua kelompok yaitu posisi duduk dengan pungsi lumbal setinggi L3-4/L4-5.Total volume 2 cc disuntikkan dengan kecepatan 0,2 cc/detik.Kemudian telentang dengan posisi left lateral tilt. Dilakukan pencatatan tekanan darah pada menit ke-3, 6, 9, 12, 15, 20, 30, 40, 50, 60 atau sampai bayi lahir setelah disuntikkannya obat anestetik lokal ke ruang subaraknoid. Dilakukan pencatatan tercapai blok motorik dan sensorik sampai operasi selesai.
HASIL : Keefektifan pada kelompok I 89,3 % dan kelompok II 76,8 %.
KESIMPULAN : Tidak terdapat perbedaan yang bermakna mengenai keefektifan pada kedua kelompok subyek penelitian.

BACKGROUND : the combination of low doses local anesthetics with opioid is 0,5 % hyperbaric bupivacaine 7,5 and 5 mg plus fentanyl 25 mcg is expected to facilitate the effectiveness cesarean that is by way of reducing the incidence of hypotension and the quality of analgesia and motor block adequate.
METHOD : 112 pregnant patients aged 18-40 years who underwent emergency surgery or elective cesarean both ASA I-III corresponding inclusion criteria. Randomization into 2 groups: group 1 receive hyperbaric bupivacaine 0,5 % 7,5 mg plus fentanyl 25 mcg and group 2 get hyperbaric bupivacaine 0,5 % 5 mg plus fentanyl 25 mcg. The position of the two groups are seated position with lumbar puncture as high as L3-4/L4-5. The total volume of 2 ml injected with a speed of 0,2 ml/sec. then supine with left lateral tilt position. Did recording of blood pressure in minute-3, 6, 9, 12, 15, 20, 30, 40, 50, 60 or until the baby was born after injection of local anesthetics into subarachnoid space. Did recording of motor and sensory block achieved until the operation was complete.
RESULT : The effectiveness of the group I was 89,3 % and group II was 76,8 %.
CONCLUSION : There were no significant differences between the two groups regarding the effectiveness of the study subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Lusiana Tantri
"Erector spinae plane (ESP) block merupakan metode anestesi regional baru dengan tingkat keamanan tinggi dan tingkat ambulasi yang baik, namun memiliki studi yang terbatas mengenai efektivitasnya. Hingga saat ini, bukti efektivitas teknik tersebut pada pasien pembedahan percutaneous nephrolitotomy (PCNL) masih terbatas. Teknik spinal adalah teknik anestesi regional yang paling banyak digunakan pada PCNL dan belum ada penelitian yang membandingkan efektivitas kedua teknik tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas blok ESP dibandingkan spinal sebagai teknik anestesi dan analgesia pada PCNL. Penelitian uji klinis tersamar tunggal dilakukan pada subjek yang menjalani PCNL. Pasien berusia 18 tahun dengan ASA 1-3 dan pertama kali menjalani PCNL diikutsertakan dalam penelitian. Pasien dengan single functional kidney, memiliki kontraindikasi pemberian obat anestesi lokal, gangguan kardiovaskular berat, hambatan komunikasi, nyeri kronis, atau hamil dieksklusi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan uji klinis terkontrol acak tersamar tunggal. Pasien dirandomisasi dengan cara random sampling menggunakan teknik randomisasi blok menjadi kelompok ESP dan spinal. Sebanyak 30 subjek (15 ESP dan 15 spinal) diikutsertakan dalam penelitian. Tidak ada perbedaan insiden konversi ke anestesi umum antar kelompok (20%% ESP vs. 0% spinal, p > 0,05). Tidak ada perbedaan kadar IL-6 plasma antar kelompok (p > 0,05). Didapatkan skala nyeri yang lebih tinggi saat bergerak saat pengukuran di ruang PACU, 6 jam, dan 24 jam pascabeda pada kelompok ESP (p < 0,05). Tidak ada perbedaan konsumsi opioid 24 jam pascabedah antar kelompok (median 60 mg ESP vs. 52,5 mg spinal, p > 0,05). Maka dari itu, blok erector spinae plane tidak lebih baik dibandingkan teknik spinal sebagai anestesi tunggal dan analgesia pascabedah pada PCNL.

Introduction: The erector spinae plane (ESP) block is a novel regional anesthetic method with high safety and good ambulation rate but has limited studies on its effectiveness. To date, evidence of the effectiveness of these techniques in surgical patients such as percutaneous nephrolitotomy (PCNL) is limited. Until now, spinal technique is still the most widely used regional anesthetic technique in PCNL. However, there are no studies comparing the effectiveness of the two techniques.
Aim: To compare the effectiveness of ESP block versus spinal as an anesthetic and analgesia technique in PCNL.
Methods: A single-blinded clinical trial study was conducted on subjects undergoing PCNL. Patients aged 18 years with ASA 1-3 and first undergoing PCNL were included in the study. Patients with a single functional kidney, contraindications to local anesthetics, severe cardiovascular disorders, communication barriers, chronic pain, or pregnancy were excluded. Patients were randomized using random allocation sampling into the ESP and spinal groups.
Results: A total of 30 subjects (15 ESP and 15 spinal) were included in the study. There was no difference in the incidence of conversion to general anesthesia between groups (20%% ESP vs. 0% spinal, p > 0.05). There was no difference in plasma IL-6 levels between groups (p > 0.05). There was a higher pain scale when moving when measured in the PACU, 6 hours, and 24 hours after the difference in the ESP group (p < 0.05). There were no differences in both groups regarding 24-hour postoperative opioid consumption (median 60 mg ESP vs. 52.5 mg spinal, p > 0.05).
Conclusion: The erector spinae plane block is not better than spinal block as a sole anesthesia and postoperative analgesia technique in PCNL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Yasir
"Latar belakang : Telah dilakukan penelitian untuk waktu optimal pemberian fentanil 2 .tg/kg BB dengan tujuan menekan respon kardiovaskuler akibat laringoskopi dan intubasi dengan membandingkan waktu pemberian fentanil 5 dan 7 menit sebelum dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi.
Metode:Tiga puluh enam pasien ASA 1 dan ASA 2 dibagi dalam dua kelompok secara acak masing-masing tediri dari delapan belas pasien. Kelompok pertama diberikan fentanil dosis 2 µglkg BB waktu 5 menit sebelum laringoskopi dan intubasi, sedangkan kelompok kedua diberikan dosis yang sama dengan waktu 7 menit sebelum laringoskopi dan intubasi , data tekanan darah sistolik , diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung dari kedua kelompok dibandingkan sampai 5 menit setelah intubasi.
Hasil : Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok yang dibandingkan (p>0.05) dalam hal tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung akibat laringoskopi dan intubasi.
Kesimpulan : Waktu optimal untuk injeksi fentanil 21tg kg BB-' untuk dapat menekan respon hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi adalah 5 dan 7 menit sebelum tindakan tersebut dilakukan.

Background :This study was designed to examine the optimal time of injection of 2 gg/kg fentanyl to Attenuate circulatory responses due to laringoscopy and tracheal intubation that compared between 5 minute and 7 minute before laringoscopy and tacheal intubation.
Method : Thirty six patients ASA 1 and ASA 2 were randomly in two groups which each group eighteen patients. The patients in group 1 received fentanyl 2 pg/kg 5 minute and group 2 received the same dose 7 minute before laringoscopy and tracheal intubation.
Result : The result of this study were no statistical significant values both of groups in systolic, diastolic, mean arterial pressure and heart rate due to laringoscopy and intubation
Conclusion : The effective time to administer fentanyl 2pg kg _I to protect circulatory response to laringoscopy and tracheal intubation are 5 minute and 7 minute before intubation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Permatasari
"Menggigil pasca anesthesia merupakan komplikasi yang potensial bagi pasien pasca bedah yang dapat mengakibatkan Iiipoksemia karena peningkatan konsumsi oksigen jaringan dan peningkatan kadar C02 dalam darah. Hal ini berbahaya tenriama bagi pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemi atau pasien-pasien dengan fungsi cadangan ventilasi yang terbatas. Teiah banyak upaya pencegahan maupun penanggulangan dilakukan untuk mengatasi menggigil pasca anestesia, obat yang lazim digunakan adalah petidin. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa ketamin juga efektif untuk mencegah menggigil pasca anestesia.
Penelitian ini bertujuan membuktikan apakah ketamin lebih efektif dibandingkan petidin untuk mencegah menggigil pasca anestesia inhalasi N20/02/isofluran, Penelitian ini bersifat uji klinis tersamar ganda yang membandingkan keefektifan ketamin intravena 0,5 mg/kb BB dengan petidin 0.35 mg/kg BB. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM dengan jumlah sampel 40, laki-laki dan perempuan, usia 16-65 tahun, status fisik ASA I-II. Kriteria penolakan adalah mempunyai riwayat alergi terhadap petidin dan ketamin, memiliki riwayat kejang, hipertensi dan penyakit jantung koroner, jika suhu tubuh sebelum induksi >38 °C atau <36°C dan bila pasien mengkonsumsi obat inhibitor monoamine oksidase. Kriteria pengeluaran jika operasi berlangsung >180 menit atau kurang dari 30 menit, mendapatkan darah atau komponen darah, memerlukan perawatan di ruang rawat intesif pasca pembedahan., mengalami komplikasi selamaanestesia seperti syok atau henti jantung dan bila intra operatif pasien mendapatkan obat klonidin, prostigmin, petidin dan ondansetron."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masry
"Latar Belakang. Manajemen jalan nafas merupakan salah satu tahap yang paling penting dalam bidang anestesiologi. Salah satu jenis Alat bantu jalan nafas yang telah dipergunakan secara luas adalah Laringeal Mask Airway (LMA/Sungkup Laring). Pada pemasangan sungkup laring tanpa menggunakan pelumpuh otot membutuhkan kedalaman anestesi yang cukup, Tes klinis yang mudah, akurat dan aplikatif diperlukan untuk menghindari terjadinya komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan trapezius squeezing test dan jaw thrust sebagai indikator kedalaman anestesi pada pemasangan sungkup laring dengan propofol sebagai agen induksi.
Metode. Sebanyak 128 pasien di randomisasi ke dalam 2 kelompok yaitu jaw thrust dan trapezius squeezing test. Seluruh pasien mendapatkan premedikasi dengan midazolam 0.05 mg/kgBB dan Fentanyl 1 mcg/kgBB. Induksi menggunakan propofol titrasi. Manuver jaw thrust dan trapezius squeezing test dilakukan setiap 15 detik. Saat respon motorik hilang dilakukan pemasangan sungkup laring. Dicatat keberhasilan pemasangan, dosis propofol, tekanan darah, laju jantung, dan insiden apneu.
Hasil. Keberhasilan pada kelompok jaw thrust 93.8%, sedangkan trapezius squeezing test yang 90.6%. Penggunaan rerata propofol pada kelompok jaw thrust yaitu sebesar 120.34 mg, sedangkan pada kelompok trapezius squeezing test yaitu sebesar 111,86 mg. Insiden apneu yang pada kelompok jaw thrust terjadi pada 10 (15.6%) pasien, sedangkan pada kelompok trapezius squeezing test sebesar 11 (17.2%) pasien. Tidak terdapat perubahan hemodinamik yang berarti pada kelompok jaw thrust sedangkan sedangkan pada kelompok trapezius squeezing test terdapat perubahan hemodinamik yang berarti di menit ke 3 dan ke 4.
Kesimpulan. Trapezius squeezing test tidak lebih baik daripada jaw thrust sebagai indikator klinis dalam menilai kedalaman anestesia pada insersi sungkup laring.

Background. Airway management is one of the most important phase in anesthesiology. One of airway device that have been used generally is Laryngeal Mask Airway (LMA). Laryngeal mask insertion without muscle relaxant requires a level of depth anesthesia. An easy, accurate, an applicable clinical indicator were required to avoid complication. This study was determine the comparison trapezius squeezing test and jaw thrust as indicator of depth of anesthesia in laryngeal mask insertion with propofol as induction agent.
Methods. 128 patient have been randomize in to 2 group that are jaw thrust and trapezius squeezing test. All patients were received premedication with midazolam 0.05 mg/kg and fentanyl 1 μg/kg. Induction were done by propofol titration. Jaw thrust and trapezius squeezing test maneuver were done in every 15 second. When motoric respond negative the laryngeal mask were inserted. The successful of laryngeal mask insertion was recorded, propofol consumption, blood pressure, heart rate, and incidence of apnea were also documented.
Result. Laryngeal mask successfully inserted in 93.8% patients in jaw thrust group, and 90.6% in trapezius squeezing test group. Mean of propofol consumption in jaw thrust group is 120.34 mgs, and in trapezius squeezing test is 11.86 mgs. Incident of apnea in jaw thrust group happened in 10 patients (15.6%), and in trapezius squeezing test group happened in 11 patient (17.2%). Hemodynamic in jaw thrust group relatively stable but in trapezius squeezing test there is significant hemodynamic changing in minute third and fourth.
Conclusion. Trapezius squeezing test is not better than jaw thrust as clinical indicators of depth of anesthesia for laryngeal mask insertion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58675
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>