Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165504 dokumen yang sesuai dengan query
cover
H.S. Gunadi Sjarif
"Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat) dengan keberadaannya sebagai Negara hukum (rechtstaat) memiliki konsekuensi yang melekat padanya, bahwa konsepsi (rechtstaat) maupun konsepsi (the rule of law), menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas pada Negara yang di sebut (rechtstaat). Pada setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia, apakah dalam kategori “berat”, atau ringan “ringan”, akan menimbulkan kewajiban bagi Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation), bentuk pemulihan itu dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Perlindungan terhadap saksi dan korban, menjadi sesuatu yang penting dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, karena merupakan kejahatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan yang berdampak luas baik tingkat nasional maupun internasional. Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat telah mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor. 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia, dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran HAM berat. Kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu regulasi yang diharapkan dapat memecahkan kebuntuan serta terbukanya wacana tentang persoalan pemulihan (reparasi) bagi saksi dan korban. sehingga mampu mengatasi kelemahan-kelamahan yang selama ini terjadi dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan korban. Dari pengalaman tiga pengadilan pelanggaran HAM berat yang sudah dilaksanakan di Indonesia yaitu kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi dan restitusi. Bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan menimbulkan korban, tetapi karena pelaku mendapat vonis bebas, dengan demikian tidak ada kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Kegagalan dari beberapa pengadilan HAM berat untuk melakukan proses penghukuman yang efektif dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan mengenai proses pengadilan yang terjadi. Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain membebaskan para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi hak-hak korban, yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban.

Indonesia is a State of law (rechtstaat) with its existence as a state law (rechtstaat) have consequences attached to it, that the conception (rechtstaat) and conceptual (the rule of law), putting human rights as one of the characteristic of the state of the call (rechtstaat). At any violation of human rights, whether in the category of "heavy" or light "light", will give rise to an obligation for the State to seek recovery (reparation), a form known as the recovery of compensation, restitution and rehabilitation. Protection of witnesses and victims, to be something important in the case of human rights violations that heavy, because it is a criminal offense that is classified as high impact both nationally and internationally. Demands on the resolution of cases of gross human rights violations have prompted the enactment of Law Number 39 Year 1999 on Human Rights, which was then followed by Law Number. 26 Year 2000 on Human Rights Court, is intended to address issues of human rights violations particularly serious human rights violations. Then the enactment of Law Number 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims is one regulation that is expected to break the deadlock and open discourse on issues of recovery (repair) of witnesses and victims. so as to overcome the weaknesses that have occurred in the context of the protection and fulfillment of the rights of victims and witnesses. From the experience of the three trials gross human rights violations that have been implemented in Indonesia, namely the case of gross human rights violations in East Timor, Tanjung Priok and Abepura. None of the victims received compensation and restitution. That decision-making in such cases states have serious human rights violations and cause casualties, but because the perpetrator gets acquittal, thus there is no obligation to make restitution to the victim. Failure of a human rights court to make the process effective punishment and provide remedies to victims leaves many questions about the litigation occurred. The failure of these human rights court, in addition to freeing the defendants, also unable to fulfill the rights of victims, which includes the right to compensation, restitution and rehabilitation for victims.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35108
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azi Tyawhardana
"Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah memberikan dasar perlindungan terhadap pelapor tindak pidana dan saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama. Menurut ketentuan pasal 10 ayat (1) UU tersebut, pelapor tidak dapat dituntut secara hukum atas laporan yang diberikannya, sementara itu menurut pasal 10 ayat (2) kesaksian yang diberikan oleh saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Sebagai implemetasidari UU tersebut, Mahkamah Agung pada tanggal 10 Agustus 2011 telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Dari bunyi judul SEMA tersebut, maka jelaslah bahwa SEMA tersebut memberikan ketegasan mengenai konsepsi whistleblower dan justice collaborator yang sebelumnya masih samar-samar dalam system peradilan pidana di Indonesia. Permasalahan menjadi menarik mengingat dengan terbutnya SEMA tersebut pengertian whistleblower didefinisikan sebagai pelapor yang tidak terlibat dalam tindak pidana yang dilaporkannya sementara justice collaborator diartikan sebagai salah satu pelaku yang ikut bekerjasama dengan penegak hukum dalam memberikan kesaksian untuk membongkar keterlibatan pelaku lainnya dalam tindak pidana tersebut. Dibedakannya secara tegas konsepsi mengenai whistleblower dan justice collaborator dalam SEMA tersebut tentunya berdampak pada pembedaan perlindungan yang diberikan terhadap keduanya sesuai Undang - Undang No. 13 Tahun 2006. Penelitian tesis ini akan berupaya untuk membahas keterkaitan antara SEMA No. 4 Tahun 2011 dan implemetasinya terhadap perlindungan pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang juga pelaku dalam tindak pidana yang sama sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Law No. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims have provided basic protection against reporting person and witnesses who are also suspects in the same case. According to the provisions of Article 10 paragraph (1) of the Act, reporting person can not be prosecuted over his statements on the case, while according to Article 10 paragraph (2) the testimony given by a witness who is also a suspect in the same case can be considered by a judge to reduce sentences. As implementation to the Act, the Supreme Court on August 10, 2011 has issued Circular (SEMA) No. 04 Year 2011 on Treatment For Reporting Person (Whistleblower) and The Cooperating defendent (Justice Collaborator) In Specific Crime. Of the heading to the circular, it is clear that the circular is made clear on the concept of justice collaborator and whistleblower who previously remained vague in the criminal justice system in Indonesia. Issues have become particularly attractive given that the circular had defined whistleblower as a reporting person who was not involved in the case while justice collaborator was interpreted as one of the defendent who participated in cooperation with law enforcement in testifying to dismantle the involvement of other actors in the same criminal act. By explicitly distinguish the conception of justice collaborator and whistleblower, the circular is certainly make an impact on the protection provided to them in accordance with Law No.. 13 of 2006. This thesis will attempt to discuss the linkages between circular No. 4 of 2011 and its implementation to the protection of reporting person and witnesses who are also actors in the same offenses as stipulated in Law no. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35684
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Rizki
"Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban membawa perubahan baru dalam pemulihan hak-hak korban, khususnya mengenai pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat, terutama Pasal 7 ayat (3) UU No.13 Tahun 2006 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PP No.44 Tahun 2008. Pengaturan mengenai kompensasi ini sebelumnya telah diatur pula oleh Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, terutama Pasal 35 UU No.26 Tahun 2000 serta diatur lebih lanjut dalam PP No.3 Tahun 2002. Proses peradilan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat selama ini dilakukan dengan menggunakan UU No.26 Tahun 2000 dan UU No.8 Tahun 1981.
Skripsi ini mengkaji bagaimanakah mekanisme pemberian kompensasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat menurut UU No.26 Tahun 2000 dan PP No.3 Tahun 2002 sebagai peraturan pelaksananya serta menurut UU No.13 Tahun 2006 dan PP No.44 Tahun 2008 sebagai peraturan yang terbaru. Skripsi ini juga akan mengkaji bagaimanakah pelaksanaan pemberian kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat yang telah berkekuatan hukum tetap.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan ditambah dengan wawancara dengan narasumber. Dengan adanya ketentuan pemberian kompensasi yang dilakukan secara bertahap, maka akan menghambat pemulihan hak-hak korban terhadap kapan pelaksanaan putusan kompensasi ini akan dijalankan. Berdasarkan uraian dalam skripsi ini ternyata banyak persoalan yuridis yang membuat proses pemberian kompensasi tidak dapat diterapkan secara cepat, tepat dan layak demi perlindungan hak-hak korban.
Problem-problem tersebut muncul karena tidak jelasnya pengaturan mengenai kompensasi serta tidak adanya itikad baik dari negara untuk memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Pelaksanaan pemberian kompensasi bagi korban dalam kasus Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura ternyata tidak satupun yang memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat di Indonesia, walaupun berbagai upaya hukum telah ditempuh hingga sampai pada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22408
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, 2007
347.066 IND u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Noptra
"Perlindungan terhadap saksi dan korban merupakan sesuatu yang harus diberikan karena keberadaan saksi dan korban yang sangat krusial dalam proses penyelesaian suatu perkara pidana, terutama terhadap kasus pidana yang melibatkan pihak-pihak yang berkuasa dan/atau mempunyai kedudukan di dalam sistem pemerintahan negara. Sadar akan pentingnya perlindungan terhadap saksi dan korban tersebut, maka pada tanggal 18 Juli 2006, Pemerintah meresmikan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dengan diresmikannya undang-undang tersebut maka perlindungan terhadap saksi dan korban tidak lagi ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan, karena akan ditangani sepenuhnya oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pada dasarnya, perlindungan saksi dan korban di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan seperti dari segi kualifikasi saksi dan korban yang berhak atas perlindungan, lembaga yang memberikan perlindungan, penjaminan pelaksanaan hak saksi dan korban, serta dari segi bentuk dan tata cara perlindungan. Beberapa kelemahan ini bisa diatasi dengan melakukan perbaikan terhadap rumusan yang terdapat di dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, serta penting bagi LPSK dan lembaga lainnya berkoordinasi dengan baik. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah peran aktif dari masyarakat dalam menjamin suksesnya pemberian bantuan perlindungan terhadap saksi dan korban.

Protection for witness and victims of crime is something that needs to be given because their existence is crucial in the process of criminal act, especially in criminal cases that involve predominate parties and/or has position in the country’s governmental system. Realizing the importance of the protection for witness and victims of crime, on July 18th 2006 the Government established Law No. 13/2006 about The Protection of Witness and Victims of Crime. By the establishment of such Law then the protection of witness and crime victims are no longer handled by the police and public prosecutors’ office, but will be fully handled by the Institution of Protection of Witness and Victims of Crime (LPSK). Basically, the protection of witness and victims of crime in Indonesia still has numerous weaknesses such as the qualification of witness and victims of crime that needs protection, the institutions that gives protection, the guarantee of execution of the protection of witness and victims of crime, and the form and procedures of protection. Some of this weakness could be overcomes by doing repair on the formulation that contained in the Law for the protection of witness and victims of crime, and it is important by LPSK and other institutions to coordinate with each other. Other thing that is also important is the active participation of the community in guarantying the success of the protection of witness and victims of crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22383
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Turmudhi
"Tesis ini membahas perlindungan hukum terhadap whistleblower kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Penelitian tesis ini adalah penelitian ualitatif dengan metode pendekatan yuridis normative dengan disain deskriptif analisis. Penelitian dilatarbelakangi banyaknya whistleblower kasus korupsi yang dikriminalisasi dengan pidana yang melibatkan dirinya terutama pencemaran nama baik, selain itu banyak kasus whistleblower yang mendapat ancaman secara fisik oleh pihak-pihak yang dilaporkan atau diungkapkan ke publik. Kriminalisasi dan intimidasi terhadap whistleblower disebabkan karena Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak memberikan landasan hukum yang kuat dalam upaya memberikan perlindungan hukum bagi pengungkap fakta (whistleblower) terutama yang terlibat dalam tindak pidana. Perlindungan terhadap whistleblower secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 pada Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2), yang dinilai bertentangan dengan semangat whistleblower, karena pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang whistleblower, dimana yang bersangkutan tetap akan dijatuhi hukuman pidana bilamana terlibat dalam kejahatan. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menunjukkan bahwa yang menjadi sasaran utama dalam upaya perlindungan hukum dalam proses penegakkan hukum pidana adalah hanya terhadap saksi dan korban, sehingga whistleblower (peniup peluit) yang berhak mendapat perlindungan hukum harus memenuhi kualifikasi sebagai saksi, yaitu apa yang diungkapkan ke publik adalah suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Sedangkan yang hanya memenuhi kualifikasi sebagai pelapor, maka perlindungan yang diberikan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

This thesis discusses the legal protection of the whistleblower cases of corruption based on Law No. 13 of 2006 on Protection of Witnesses and Victims. This thesis research is qualitative research methods with normative juridical approach to the design of descriptive analysis. Research background of many whistleblower cases of corruption are criminalized by the criminal himself chiefly involving defamation. In addition, there are many cases of whistleblowers who receive physical threats by those who report or disclose to the public.Criminalization, and intimidation against whistleblowers is because Act No. 13 of 2006 on Protection of Witnesses Victims do not provide a strong legal basis in an effort to provide legal protection for expressing facts (whistleblower) mainly involved in the crime. Protection against whistleblowers is explicitly regulated in Law Number 13 Year 2006 on Article 10 Paragraph (1) and Paragraph (2), which is considered contrary to the spirit of the whistleblower, as this article does not satisfy the principle of protection against a whistleblower, which is concerned remains to be convicted criminal when engaged in crime. While that is only qualified as a reporter, then the protection afforded by the Law Number 31 Year 1999 on Eradication of Corruption."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28724
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Afif Al Ghani Yoneva
"Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang dimiliki dan melekat dalam diri setiap individu manusia dalam suatu Negara. Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Anak merupakan harapan dan apabila sampai saatnya, seorang anak akan menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidupan negara, dengan demikian, anak perlu dibina agar mereka tidak salah dalam hidupnya kelak.  Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.  Namun kenyataannya tidaklah demikian, anak sebagai korban perlakukan kekerasan sering terabaikan oleh lembaga-lembaga kompeten dalam sistem peradilan pidana, yang seharusnya memberikan perhatian dan perlindungan yang cukup berdasarkan hukum. Hal tersebut tidak seharusnya terjadi, sebab sebagaimanapun korban tetap mempunyai hak untuk diperlakukan adil, dan dilindungi hak-haknya.

Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak tersebut, maka Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1958 secara aklamasi mensahkan "Declaration of the Right of the Child". Preamble Declaration of the Right of the Child (Mukadimah Deklarasi Hak Anak-Anak) dalam alinea ke 3. Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Rights of the Child) tersebut adalah sebuah konvensi internasional yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak-anak. Di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tujuan perlindungan anak telah diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


Human rights are the fundamental rights that are possessed and inherent in each human individual in a Contracting State. In LAW No. 39 year 1999 on Human rights, mentioned that human rights is a set of rights inherent to the nature and existence of man as a God almighty being and is his grace which must be respected, held and protected by the state, law, government, and everyone for the dignity and protection of human dignity.

The child is a hope and when it comes to the time, a child will replace the old generation in furthering the wheels of the country's life, thus, the child needs to be built so that they are not wrong in their lifetime. Each child has the right to obtain legal protection from any form of physical or mental violence, abandonment, bad treatment, and sexual harassment during the care of their parents or guardian, or any other party responsible for Care of the child.  But the truth is not the case, the child as a victim of violent abuse is often overlooked by competent institutions in the criminal justice system, which should provide adequate attention and protection based on the law. It is not supposed to happen, because the victim still has the right to be treated fairly, and protected by his rights.

To realize the protection and welfare of the child, the General Assembly of the United Nations on 20 November 1958 is acclamation to confirm the Declaration of the Right of the Child. Preamble Declaration of the Right of the Child, in paragraph 3. The United Nations Convention on the Rights of the Child, is an international convention governing the Civil, political, economic, social, and cultural rights of children and the children. In the Indonesian legislation of the child protection purpose is governed by article 3 of the Law No. 23 of 2002 on child protection."

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52721
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrawan Saputra
"Dalam tindak pidana perdagangan anak, anak sebagai korban sangatlah dirugikan baik secara kejiwaan, fisik, dan mental. Seharusnya mereka mendapatkan perlindungan, pengawasan dan kasih sayang dari kedua orang tuanya dan orang-orang disekelilingnya. Sebelum ditetapkannya UUPA dan UUTPPO,sanksi pidana terhadap pelaku/traffickerperdagangan anak dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan ditetapkannya Undang-Undang tersebut telah memunculkan aspek-aspek hukum terhadap anak, khususnya bagi perlindungan hukum bagi korban perdagangan anak diantaranya bentuk perawatan medis, psikologis dan konseling termaksut penampungan dan pemulangan ke daerah asal korban, sanksi pidana yang lebih berat bagi pelaku/trafficker, serta mendapatkan ganti rugi/restitusi terhadap korban. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis-empiris berupa studi kepustakaan yaitu meneliti dokumen berupa literatur buku-buku, peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman, dan juga melakukan wawancara dengan narasumber. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan: perlindungan hukum dan penanggulangan terhadap tindak pidana perdagangan anak dalam peraturan perundang-undangan, praktek dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan anak, upaya dalam mengoptimalkan perlindungan hukum dan penanggulangan terhadap tindak pidana perdagangan anak. Terdapat sejumlah pasal didalam KUHP terhadap tindak pidana perdagangan anak, serta dalam UUPA dan UUTPPO kemudian memberikan Rehabilitasi, konseling, psikologis, dan pemberian retitusi/kompesansi terhadap korban, Praktek perlindungan hukum tindak pidana perdagangan anak Kepolisianmengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak MABES POLRI membentuk Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di Kepolisian Daerah (Propinsi), KPAI melakukan pengawasan terhadap kinerja penegak hukum, individu masyarakat, maupun institusi pemerintahan dalam penyelenggaraan perlindungan hukum terhadap anak dalam kasus tindak pidana perdagangan anak serta bekerjasama dengan instansi lembaga penegak hukum dan lembaga setingkat dengan KPAI. LPSK memberikan perlindungan hukum kepada saksi dan/atau korban(Perdagangan anak) seperti perlindungan fisik/non fisik dan penjagaan kepada saksi dan/atau korban (Perdagangan anak) sampai ke pengadilan, sedangkan gugus tugas TPPO Menko menetapkan Peraturan Menteri Koordinasi Bidang Kesejahteraan Nomor 25/KEP/MENKO/KESRA/VIII/2009 Tentang Pemberantasan Perdagangan Orang (PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009-2014, dengan disusunnya RUU KUHP 2013 diharapkan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap korban perdagangan anak, baik secara konkret dimasa yang akan datang.

In the crime of child trafficking, child as a victim is harmed either psychological, physical, and mental. They should have get the protection, control and affection from both parents and the people around them.Prior to the enactment of the BAL and UUTPPO, criminal sanctions against perpetrators / traffickers Of Child Trafficking was using the Criminal Code (Criminal Code). With the enactment of the Act has led to the legal aspects of the child, particularly the legal protection for victims of trafficking Such Asmedical treatment, psychological counseling and referred to the shelter and repatriation of victims to their hometown, more severe criminal sanctions for perpetrators / traffickers, as well as the redress/ restitution to the victim. By using the method of a juridical-empirical study of literature that examined the documents in the form of literature books, regulations and guidelines, as well as conducting interviews with sources. This study aims to answer the problems: legal protections and countermeasures against child trafficking crime in legislation, practice in law enforcement against child trafficking crime, in an effort to optimize the legal protection and countermeasures against the crime of trafficking in children. There are a number of articlesin the Criminal Code against the crime of trafficking in children, as well as articles of criminal sanctions for perpetrators /traffickers in BAL and UUTPPOSuch Asmedical treatment, psychological counseling and referred to the shelter and repatriation of victims to their hometown, more severe criminal sanctions for perpetrators / traffickers, as well as the redress/ restitution to the victim, Police Chief issued Regulation No. 10 Year 2007 on the Organization and Work of Women and Children's Services Unit. Police Headquarter established Women and Children Services(PPA) at the Regional Police (province), KPAI to supervise the performance of law enforcement, individual communities, and government agencies in the implementation of the legal protection of children in cases Of Child Trafficking and cooperate with law enforcement agencies and with institutionsin the same level withWitness and Victim Protection Agencies (LPSK) protectionof physical/non-physicalandsafeguardstowitnessand/orvictim(Trafficking) goes to courtwhile the task force of TPPO sets by Coordinating Minister for People’s Welfare with RegulationNo.25/KEP/MENKO/KESRA/VIII/2009 ByOn Combating Trafficking in Persons (PTPPO) and Exploitation Child Sexual (ESA) from 2009 to 2014, with the formulation of the Criminal Code Bill 2013 is expected to provide better protection to victims of child trafficking,both in concrete terms in the future.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35429
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Destania Suswantika
"Listrik merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Permasalah timbul apabila terjadi pemadaman listrik yang berlangsung sering. Tesis ini membahas tentang perlindungan konsumen terhadap pemadaman listrik menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Ketenagalistrikan. Dibahas pula upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen bila terjadi pemadaman listrik. Dalam penelitian ini, mempergunakan metode penelitian yuridis-normatif, hal mana lebih mengutamakan pendekatan terhadap norma-norma hukum yang telah ada, data-data yang diperoleh kemudian diolah dan dilakukan analisis secara kualitatif.

Electricity is very important in the daily life of the community. Problems arise when a blackout that lasted frequently. This thesis discusses consumer protection against power outages according to the Consumer Protection Act and the Electricity Act. Also discussed the efforts of consumer law that can be done when a blackout. In this study,the method of juridical-normative research, which prefers the approach to the legal norms that already exist, the data obtained is then processed and analyzed qualitatively."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28732
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>