Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188587 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Zainuddin
"Anak merupakan anugrah tuhan yang Maha Esa. Anak merupakan penerus dan generasi bangsa. Dalam perkembangan zaman yang makin maju ini, anak tidak lagi merupakan sosok yang lucu dan menggemaskan. Beberapa anak dalam masyarakat tumbuh menjadi anak yang nakal, kejam yang melanggar aturan hukum. Anak yang bermasalah dengan hukum merupakan persoalan yang mengkhawatirkan, dimana apabila anak dihadapkan pada peradilan maka akan timbul stigma negatif bagi anak tersebut, sehingga anak bukan menjadi lebih baik setelah dipidanakan akan tetapi menjadi penjahat yang lebih profesional. Sebab anak-anak yang bermasalah tersebut dikumpulkan dengan anak-anak lain yang bermasalah sehingga ilmu-ilmu kejahatan akan mereka pertajam lagi. Pemidanaan bukan merupakan solusi yang terbaik bagi anak. Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak tidak mengenal istilah penyelesaian perkara anak bermasalah dengan hukum menggunakan mekanisme diversi. Diversi merupakan penyelesaian perkara anak dengan mengenyampingkan atau meniadakan pidana terhadap anak tersebut. Diversi merupakan penyelesaian suatu perkara pidana oleh anak dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Landasan hukum diversi baru lahir setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana anak diupayakan penyelesaian secara restorative justice dimana dalam tiap tingkat proses peradilan baik ditingkat penyidikan, penuntutan hingga pengadilan diupayakan dahulu dilakukan diversi. Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak baru berlaku setelah 2 tahun diundangkan, hal ini dikarenakan pelaksanaan diversi yang merupakan penjabaran nilai-nilai keadilan restoratif merupakan barang baru bagi aparat penegak hukum. Sehingga terdapat hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan diversi dalam penyelesaian perkara pidana oleh anak. Untuk itu dalam penulisan ini akan dilakukan penelitian tantang perbandingan hukum pelaksanaan diversi diberbagai negara, guna mengetahui pelaksanaan diversi dan mengambil pelaksanaannya yang sekira dapat diterapkan dilaksanakan di Indonesia. Serta guna memantapkan pelaksanaan diversi dicari faktor-faktor penghambat pelaksanaan diversi guna mencari jalan keluar agar pelaksanaan diversi dapat berjalan dengan baik.

Children are the gift of God Almighty Son is successorand the future generation In the development of a more advanced age the child is notagain a figure that is funny and adorable. Some children incommunity grew into a naughty child in violation of the rule of law cruel. Children in conflict with the law is a matter of concern which if children are exposed to justice will arise negative stigmafor the child so the child is not getting better after criminalized willbut become more professional criminals. For the people with problems.The gathered with other children with problems so that the sciencescrime will they sharpen again. Punishment is not a solution best for the child. In Act No 3 of 1997 on Judicial Children do not know the term settlement with the troubled child law divesi mechanisms. Diversion is a child settlement with mengemyampingkan or negate the crime against children. Diversion represents the completion of a criminal case by the child using the restorative justice approach. The legal basis diversion newborn after the enactment of Law No 11 Year 2012 on the Justice System Criminal child. In Act attempted child Criminal Justice System completion of the restorative justice where judicial process in each levelboth in the investigation prosecution until the court first soughtcarried diversion Law No 11 Year 2012 on the Justice System Criminal Children take up to 2 years of enactment this is because implementation of diversion which is a translation of the values of restorative justice is new to law enforcement officials. So there hambatan-hambatan encountered in the implementation of diversion in settlement crime by children. Therefore in this study will be conducted the research challenge comparative law versioned implementation in different countries in order to know implementation of diversion and take approximately implementation that can be applied implemented in Indonesia And in order to strengthen the implementation of the factors inhibiting the implementation of diversion sought diversion in order to find a way out so that the implementation diversion can run well."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35856
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bimo Wiroprayogo
"Skripsi ini membahas mengenai diversi yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) berdasarkan pendekatan keadilan restoratif sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012. Pembahasan dilakukan dengan menganalisis teori mengenai perilaku delikuensi anak yang kemudian dapat menghasilkan anak yang berhadapan dengan hukum, diversi, dan pendekatan keadilan restoratif, serta peran serta Balai Pemasyarakatn sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk meneliti kepastian hukum berdasarkan studi kepustakaan (dokumen atau penelitian kepustakaan) dan hukum positif yang ada, serta dengan wawancara dengan narasumber yang mengatakan bahwa Balai Pemasyarakatan tidak mempunyai fungsi diversi secara penuh, dan diversi yang dilakukan tidak menyeluruh memenuhi aspek-aspek dalam pendekatan keadilan restoratif.

This thesis deals with the diversion is done by Balai Pemasyarakatan (Bapas) based on restorative justice approaches in accordance with The Juvenille Justice System Act Number 11 of 2012. The matters are done by analyzing the theories about the behavior of delinquent children who can then produce children who are dealing with the law, diversion, and restorative justice approaches, as well as the role of Balai Pemasyarakatan (Bapas) based on The Juvenille Justice System Act Number 11 of 2012.
This research is juridical normative research that aims to examine the legal certainty based on the study of librarianship (the document or research libraries) and the existing positive law, as well as with interviews with the speakers, conclude that Balai Pemasyarakatan (Bapas) has no function fully versioned, and not done thorough fulfilling aspects of restorative justice approaches.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56722
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustaqim Almond
"Syarat Diversi terhadap sistem peradilan anak merupakan hal yang penting dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang kemudian menimbulkan perdebatan baik dikalangan akademisi maupun dalam lingkup penerapannya oleh aparat penegak hukum, akibatnya anak yang berkonflik dengan hukum tidak diperbolehkan diversi, apabila tidak memenuhi syarat yang terdapat pada Pasal 7 angka 2, urgensi dari diskursus ini selain secara normatif juga berkaitan dengan pelaksanaannya dilapangan, banyak dari kalangan akademisi yang masih membahas parameter pembuat Undang-Undang dalam menentukan syarat diversi. Diversi dengan menggunakan pendekatan Restorative Justice tidak mudah diberikan terutama oleh anak yang tidak memenuhi syarat. Teori yang digunakan untuk mendukung tesis ini ialah teori keadilan yang dikemukakan oleh aristoteles menurutnya keadilan adalah kesamaan numerik yang dimiliki oleh manusia yang selanjutnya disamakan dalam satu unit (didalam hukum semua orang itu sama),
Dari hasil Penelitian, dengan menggunakan Metode hukum normatif yang didukung oleh beberapa hasil dari wawancara yang menunjukkan bahwa perumusan syarat diversi dirumuskan berdasarkan perbuatan pidana yang mengandung unsur kekerasan yang berat, disamping itu kepolisian polres Pekanbaru mengambil langkah penerapan mediasi penal untuk menyelesaikan perkara anak yang tidak memenuhi syarat diversi. Dengan demikian Institusi Polri diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam mengawali keberhasilan kasus tindak pidana anak dalam penerapan diversi ini, mengingat personel dalam keanggotaan polri diketahui lebih banyak dari pada institusi penegak hukum lainnya dengan begitu diharapkan dapat dimaksimalkan seluas-luasnya.

Diversion requirements in the justice system for children are important under the Law Number 11 of 2012 on Justice System for Children and these give rise to a debate not only in academic circle but also in the scope of application by the law enforcement officers. As a result, children who have a legal conflict are not allowed to get diversion if they fail to meet the requirements set out in Article 7 point 2. The urgency of this discourse is not only normative but also related to the application in the field. Many academicians still talk over the parameters by which the Law makers determine the diversion requirements. Diversion using a Restorative Justice approach is not easy to grant particularly for a child who does not qualify. The theory adopted to support this thesis is the theory of justice put forth by Aristotle who views justice as a numerical equality owned by human beings which is then equated into one unit (in law, all are equal).
Based on the research result, using normative legal methods which are supported by several results from interviews which show that the formulation of diversion requirements is formulated based on criminal acts that contain elements of serious violence. The Pekanbaru Sub-Regional Police also takes a penal mediation measure in dealing with cases of the children who do not meet the diversion requirements. Therefore, the Indonesian Police Institution is expected to be in the front line to make the application of diversion a success in child criminal cases, given the fact that the Indonesian police personnel has more members than the other law enforcement institutions have which can be maximized to the fullest extent possible.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferny Melissa
"Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memberikan jaminan terhadap hak anak yang berhadapan dengan hukum. Di dalam pemenuhan dan penjaminan atas hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum, telah di atur sebuah sistem berupa prinsip keadilan restoratif atau restorative justice yang merupakan upaya penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan di luar dari proses peradilan di persidangan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, telah diatur sebuah proses yang disebut diversi. Penulis ingin memberikan penjelasan dan melakukan penelitian sejauh mana peran Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pendampingan dan pengawasan terhadap proses penyelesaian perkara pidana anak diterapkan berdasarkan Undang-undang SPPA yang memberikan jaminan kepastian hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Penulis melihat bahwa di dalam praktiknya, masih banyak aparat penegak hukum yang masih terus berproses mempelajari upaya keadilan restoratif dan justru masih banyak orang atau masyarakat yang tidak tahu hak-hak anak di dalam sebuah proses hukum yang dijaminkan pada undang-undang tersebut. Oleh sebab itu, dengan adanya penguatan keberadaan Pembimbing Kemasyarakatan dinilai sangat penting di dalam menjamin hak-hak anak berhadapan dengan hukum.

The Bill Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System has provided guarantees for the rights of children in conflict with the law. In fulfilling and guaranteeing the rights of children in conflict with the law, a system has been set up in the form of the principle of restorative justice, which is a law enforcement effort in resolving cases that can be used as an instrument of recovery outside of the judicial process at trial. Based on this law, a process called diversion has been regulated. The author wants to provide an explanation and conduct research to what extent the role of Probation and Parole Officer in assisting and supervising the process of resolving children's criminal cases is implemented based on the SPPA Law which provides a guarantee of legal certainty for children in conflict with the law.
The author sees that in practice, there are still many law enforcement officers who are still in the process of studying restorative justice efforts and in fact there are still many people or communities who do not know about children's rights in the legal process guaranteed by this law. Therefore, strengthening the existence of Probation and Parole Officer is considered very important in ensuring children's rights in dealing with the law.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zulfikar
"Penelitian ini membahas diversi dalam model Restorative Justice pada tahap Penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pokok permasalahan penelitian ini adalah sinkronisasi diversi pada tahap Penyidikan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile (The Beijing Rules), kekuatan hukum diversi pada tahap Penyidikan dikaitkan dengan kekuasaan kehakiman, dan mekanisme pelaksanaan kesepakatan diversi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dengan sumber pengambilan data pada studi literatur dan wawancara narasumber. Hasil dari penelitian ini adalah perlunya memperjelas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan segera mungkin membuat Peraturan Pemerintah untuk memberikan kejelasan pelaksaan diversi pada aparat penegak hukum yang berwenang.

This research disscusses about the diversion of Restorative Justice model in the investigation stage that is set forth in Act Number 11 of 2012 about Juvenile Justice System. The main problem of this research is diversion syncronization between the investigation stage in Act Number 11 0f 2012 about Juvenile Justice System and United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile (The Beijing Rules), legal force diversion at investigation stage associated with the judicial power, and the implementation mechanism of diversion agreement. This research used normatif juridical methodology with the data collection are by the literature study and interview. The results of this research shows that it is important to clarify Act Number 11 of 2012 about Juvenile Justice System and create Government Regulation as soon as posible in order to give clear on the implementation of diversion to the law enforcement agencies.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56653
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistira Adhi Nugraha
"Penulisan tesis ini membahas mengenai permasalahan pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus dalam praktek di pengadilan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, serta bertentangan atau tidaknya putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan asas legalitas.
Dari hasil penelitian yang bersifat yuridis normatif, di mana penelitian ini dilakukan berdasarkan sumber data sekunder dengan cara meneliti bahan pustaka yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, diperoleh kesimpulan bahwa pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus dapat dijatuhkan di bawah ancaman pidana minimum khusus, kendati pengaturan mengenai hal tersebut belum ada (sebelum diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Pemidanaan di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus tersebut dijatuhkan dengan melakukan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Selanjutnya, Penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus tidaklah bertentangan dengan asas legalitas, karena di sini hakim bukan sebuah "corong" atau "terompet"-nya undang-undang (la bouche de la loi) yang hanya menerapkan hukum yang ada secara apa adanya, melainkan hakim juga memiliki tugas untuk melakukan rechtvinding yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang dengan tuntutan jaman, salah satunya dengan cara melakukan interpretasi atau menafsirkan undang-undang dalam rangka memperjelas atau melengkapi undang-undang tersebut.

This thesis is to discuss the issues of punishment for the accused children who threatened by special minimum sentence in court practice before the enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System, the basic consideration of judges in imposing capital below the special minimum sentence against the accused children who threatened by special minimum sentencing before the enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System, as well as whether or not the judge's decision which below the special minimum sentence against the accused children who threatened by special minimum sentencing before the enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System contradicts with the principle of legality.
From the research that is normative, where the research was conducted based on secondary sources and examine library materials including primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials, we concluded that the punishment for the accused children who threatened by special minimum sentence, could be below the special minimum sentence, although the regulation on that matter not already yet (before the promulgation and enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System).
Punishment below the special minimum sentence imposed by certain considerations. Furthermore, the punishment below the special minimum sentence for the accused children who threatened by special minimum sentence is not against the principle of legality, because here the judge is not a "funnel" or "horn" of the law (la bouche de la loi) that just simply apply existing law as it is, but the judge also has a duty to perform rechtvinding which means aligning legislation with the spirit of the age, one way to interpretation the law in order to clarify or supplement the law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turnip, Glorya Eryana
"Undang-Undang (UU) Perlindungan anak menyebutkan anak yang berkonflik dengan hukum memiliki hak untuk dilindungi identitasnya dari publik. Tujuan hak ini untuk melindungi harkat dan martabat anak sehingga anak dapat kembali ke masyarakat tanpa stigmatiasi negatif pasca menjalani sanksi pidananya. Namun, di era yang serba digital saat ini, pelanggaran hak atas perlindungan identitas dapat dengan mudah terjadi bukan hanya oleh media namun juga masyarakat secara umum. Hingga saat ini UU Pers belum mengatur mengenai kewajiban pers untuk melindungi identitas anak dalam pemberitaannya sehingga pelanggaran rentan terjadi. Ditambah lagi dengan adanya ketentuan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) yang mengkecualikan sidang tertutup untuk umum saat pembacaan putusan. Ketentuan tersebut memberikan akses kepada publik untuk menghadiri persidangan tersebut. Meski UU SPPA telah melarang publikasi identitas anak yang berkonflik dengan hukum, penyimpangan masih kerap terjadi dalam praktiknya. Akibatnya, anak yang identitasnya terpublikasi menerima label buruk dari masyarakat seperti yang terjadi pada perkara anak Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 4/Pid.sus-Anak/2023/PN.Jkt.Sel. Hal ini berbeda dengan negara lain, misalnya Jerman dan Kanada, yang lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam memberikan perlindungan bagi anak dalam masalah ini. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif untuk menelaah perbandingan publikasi identitas anak terutama dalam sidang putusan anak antara Indonesia, Jerman, dan Kanada. Penelitian ini menemukan bahwa jika dibandingkan dengan Jerman dan Kanada, Indonesia memilki kelemahan dalam batasan pers membuat pemberitaan mengenai anak yang berkonflik dengan hukum dan isi sidang putusannya, Kelemahan tersebut berperan dalam mengakibatkan terjadinya penyimpangan praktik publikasi identitas dan isi putusan perkara pidana anak. Pelanggaran ini yang melanggar hak atas perlidnungan identitas anak dan menciderai tujuan dari sistem peradilan pidana anak itu sendiri. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, perlu dilakukan peninjauan lebih lanjut serta revisi UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, maupun UU SPPA itu sendiri.

The Law on Child Protection states that children in conflict with the law have the right to have their identity protected from the public. The purpose of this right is to protect the dignity of children so that children can return to society without negative stigmatization after serving their criminal sanctions. However, in today's digital era, violations of the right to identity protection can easily occur not only by the media but also the general public. Until now, the Press Law has not regulated the obligation of the press to protect children's identities in its reporting so that violations are prone to occur. In addition, there is a provision in the Juvenile Criminal Justice System Law ("SPPA Law") that excludes closed trials for the public when reading a decision. This provision provides access to the public to attend the trial. Although the SPPA Law prohibits the publication of the identity of children in conflict with the law, irregularities still occur in practice. As a result, children whose identities are published receive a bad label from the community, as happened in the South Jakarta District Court Case No. 4/Pid.sus- Anak/2023/PN.Jkt.Sel. This is different from other countries, such as Germany and Canada, which provide more protection and legal certainty in providing protection for children in this matter. This research uses the juridical-normative method to examine the comparison of the publication of children's identities, especially in juvenile court proceedings between Indonesia, Germany and Canada. This study found that when compared to Germany and Canada, Indonesia has weaknesses in the restrictions on the press to make news about children in conflict with the law and the contents of the verdict hearing, these weaknesses play a role in causing irregularities in the practice of publishing the identity and content of the verdict of juvenile criminal cases. This violation violates the right to protection of children's identity and undermines the objectives of the juvenile criminal justice system itself. To resolve this problem, further review and revision of the Press Law, Journalistic Code of Ethics, and the SPPA Law itself is required."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Setia Wibawa
"Dinamika perkembangan hukum pidana di Indonesia mulai mengarah kepada restorative justice. Hal ini didukung dengan kehadiran Undang-Undang Pemasyarakatan tahun 2022 dan Undang-Undang Hukum Pidana Baru tahun 2023 yang memiliki semangat restorative justice dalam pelaksanaannya. Implikasi kedua undang-undang tersebut terhadap Pemasyarakatan juga turut memperluas tugas dan fungsi di setiap proses peradilan pidana khususnya untuk pelaku dewasa. Meskipun demikian, untuk sistem peradilan pidana umum, Pemasyarakatan belum memiliki model mengenai pelaksanaan restorative justice. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut dari kedua Undang-Undang tersebut maka diperlukan suatu model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan oleh Pemasyarakatan. Penelitian ini dilakukan untuk mencari model restorative justice Pemasyarakatan dalam dua konteks berbeda yaitu dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain dan dalam fungsi Pemasyaratan seperti pembinaan dan pembimbingan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen peraturan-peraturan terkait pelaksanaan restorative justice di Indonesia serta wawancara studi lapangan. Kemudian peneliti menggunakan teknik delphi untuk memvalidasi rencana model yang telah diusulkan berdasarkan kerangka teoritik Evidence-Based Practice. Hasil penelitian memperoleh konsensus terhadap lima model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan Pemasyarakatan dalam dua konteks tersebut. Model dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain ditujukan untuk memberikan rekomendasi kepada penegak hukum melalui penelitian kemasyarakatan (litmas) yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Sedangkan model dalam fungsi pembinaan dan pembimbingan dilakukan untuk memperbaiki hubungan antara pelaku, masyarakat dan korban melalui program pembinaan dan pembimbingan. Untuk mendukung pelaksanaan model yang telah disusun, diperlukan dasar hukum yang mengikat seluruh aparat penegak hukum, reformulasi terhadap litmas dan penguatan struktur lembaga-lembaga terkait.

The dynamics of the development of criminal law in Indonesia are starting to lead to restorative justice. This is supported by the presence of the Corrections Law of 2022 and the New Criminal Law Law of 2023 which have a spirit of restorative justice in their implementation. The implications of these two laws for Pemasyarakatan also expand the duties and functions in every criminal justice process, especially for adult offenders. However, for the criminal justice system, Pemasyarakatan do not yet have a model for implementing restorative justice. Therefore, as a follow-up to these two laws, a restorative justice implementation model is needed that can be carried out by Pemasyarakatan. This research was conducted to look for a restorative correctional justice model in two different contexts, namely in relation to other criminal justice sub-systems and in Pemasyarakatan functions such as rehabilitation and guidance. The research method used was a study of regulatory documents related to the implementation of restorative justice in Indonesia and field interviews. Then Delphi technique was used to validate the proposed model based on the Evidence-Based Practice theoretical framework. The research results obtained a consensus on five models of implementing restorative justice that can be carried out by Pemasyarakatan in these two contexts. The model in relation to other criminal justice sub-systems is aimed at providing recommendations to law enforcers through social inquiry reports (litmas) carried out by Probation Officers. Meanwhile, the model in the coaching and mentoring function is carried out to improve the relationship between the perpetrator, the community and the victim through a rehabilitation and guidance program. To support the model that has been prepared, a legal basis is needed that binds all law enforcement officials, reformulation of social inquiry reports and strengthening the structure of related institutions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Isro
"Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tidak hanya Undang-Undang yang dibentuk oleh lembaga legislatif, namun juga peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif, yang ternyata jumlahnya jauh lebih banyak. Sebagian peraturan perundang-undangan tersebut adalah peraturan delegasi dari Undang-Undang. Meskipun telah diatur dalam Undang-Undang, dalam praktik seringkali pembentukan peraturan delegasi dari Undang-Undang terjadi kesalahan atau memakan waktu yang lama. Sebagai contoh adalah peraturan delegasi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Meskipun ada batasan waktu pembentukan peraturan delegasi yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang, namun hingga akhir Juni 2018, Pemerintah masih belum menuntaskan 1 Peraturan Pemerintah dan 1 Peraturan Presiden. Ketiaadaan peraturan delegasi dari Undang-Undang akan mempengaruhi efektifitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 di lapangan. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjadi penanggung jawab dalam pembentukan peraturan delegasi dari Undang-Undang tersebut. Penelitian hukum yuridis-normatif ini dilakukan melalui studi kepustakaan maupun wawancara. Dalam perencanaan dan penganggaran pembentukan peraturan delegasi dari Undang-Undang haruslah menggunakan pendekatan penganggaran berbasis kinerja dengan indikator kinerja yang jelas, standar biaya, dan evaluasi kinerja sehingga tidak ada lagi peraturan delegasi yang mangkrak, tanpa alokasi anggaran atau bahkan menimbulkan inefisiensi anggaran yang dapat menghambat pencapaian prioritas pembangunan.

The regulation in Indonesia is not only the law formed by the legislative, but also the regulation formed by the executive, which turns out to be much more numerous. Most of the regulation is the delegated legislation. Although it has been regulated in the Act, in practice, it is often the formation of a delegate rule of the Act that displays errors or takes an amount of time. For instance, the delegated legislation of Law Number 11 Year 2012 on the Juvenile Justice System. Whilst there is a time limit on the formation of delegated legislation, the Government still has not completed 1 Government Regulation and 1 Presidential Regulation up till the end of June 2018. The inadequacy of the delegated legislation will affect the effectiveness of the implementation of Law Number 11 Year 2012 in the field. The Ministry of Justice and Human Rights and the Ministry of Women 39 s Empowerment and Child Protection are responsible for forming the delegation 39 s regulation of the Act. This juridical normative legal research is conducted through literature study and in depth interview. In the planning and budgeting of the delegated legislation, it should use a performance based budgeting approach with clear performance indicators, cost standards, performance evaluations, in order that no unmanaged or out dated delegated legislation will be budget allocated or even generate budget inefficiencies that could hamper the achievement of development priorities.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T51304
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniella Pia Darmanto
"Tulisan ini meneliti perlindungan hukum pelaksanaan restorasi terhadap anak yang melakukan kekerasan fisik selama pelaksanaan masa pemidanaan penjara, khususnya melalui program pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Jakarta. Melalui pendekatan sosiolegal, tulisan ini menguji dampak pembinaan dari aspek hukum dan non-hukum bagi anak yang melakukan kekerasan fisik melalui penerapan keadilan restoratif, terkhusus pada tahap pasca-adjudikasi. Tulisan ini menemukan bahwa hak-hak yang berorientasi pada pemberian restorasi bagi anak yang menjalani masa pemidanaan hanya dilindungi pada regulasi hukum tentang pemasyarakatan. UU SPPA dan UU Perlindungan Anak hanya merumuskan perlindungan dan restorasi bagi anak yang masih dalam proses peradilan. Dalam praktiknya, pembinaan anak yang melakukan kekerasan fisik di LPKA Kelas II Jakarta telah terlaksana sesuai dengan perumusan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum. Meskipun demikian, program pembinaan LPKA Kelas II Jakarta tidak berjalan paralel dengan dampak restorasi bagi anak binaanya. Hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum dalam program pembinaan diberikan secara minimal dan kurang menyasar pada kebutuhan sosial dan perkembangan personal anak, dua faktor utama yang melatarbelakangi anak melakukan kekerasan fisik. Akibatnya, pembinaan yang diberikan belum efektif mewujudkan restorasi anak yang berkonflik dengan hukum sesuai konsep keadilan restoratif.

This paper examines the legal protection of restorative justice implementation for children who commit physical violence during their imprisonment, particularly through rehabilitation programs at the Special Child Development Institution Class II Jakarta. Using a socio-legal approach, it investigates the impact of rehabilitation from legal and non-legal perspectives for children who engage in physical violence, focusing on the post adjudication stage. The paper finds that restoration-oriented rights for children in incarceration are protected only under regulations related to corrections. The Juvenile Justice System Law and Child Protection Law provide protection and restoration for children only during the judicial process. In practice, the rehabilitation of children who commit physical violence at the LPKA Class II Jakarta aligns with the formulated rights for children in conflict with the law. However, the LPKA Class II Jakarta rehabilitation program does not effectively parallel the restorative impact for its inmates. The rights of children in conflict with the law are minimally provided, lacking focus on social needs and personal development, the primary factors underlying children's violent behaviour. Consequently, the rehabilitation provided has not effectively achieved the restoration of children in conflict with the law as per the restorative justice concept."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>