Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61272 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hanafi Kausar
"ABSTRAK
Salah satu wewenang kejaksaan dalam bidang pidana menurut undang-undang pokok kejaksaan adalah melengkapi berkas perkara tertentu dengan melakukan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan tambahan dilakukan untuk memperoleh kepastian penyelesaian perkara dalam rangka pelaksanaan asas peradilan cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan serta menjamin kepastian hukum, hak-hak asasi pencari keadilan, baik tersangka, terdakwa, saksi korban, maupun kepentingan umum. Metode Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan kewenangan pemeriksaan tambahan terdapat permasalahan yuridis antara lain mengenai tidak jelasnya pengaturan mengenai tindakan penuntut umum dalam melakukan pemeriksaan tambahan, ketentuan pemeriksaan tambahan tidak singkron dengan hukum acara yang berlaku, serta adanya pembatasan-pembatasan dalam ketentuan pemeriksaan tambahan. Permasalahan yuridis tersebut menyebabkan disatu sisi pelaksanaan pemeriksaan tambahan oleh penuntut umum pada prakteknya mengalami kendala-kendala sehingga pemeriksaan tambahan boleh dikatakan jarang dilakukan oleh penuntut umum dan sisi lain ada hak tersangka yang dilanggar dalam kaitannya dengan due process of law.

ABSTRACT
A part prosecutor’s power in criminal process is a power to complete certain types of case files, and for such purposes, to conduct additional investigations prior to the forwarding of such files to the court, which investigations in practice are to be carried out in condition with the investigators. Additional investigations established for certainty of criminal case completion in order to fulfill swift, simple dan low cost trial’s principle, guaranteeing legal certainty, Human right of justice seekers such as suspect, defendant, witness, victim or public interest. This research used an analytical descriptive normative juridical methods. The research concluded there are some legal issues on additional investigation’s practise such as uncertainty regulation of prosecutor’s conduct, unsynchronized to criminal procedural law and the existence some limitations. The legal issues become an obstruction to the prosecutors to conduct additional investigations that caused it’s seem rarely practised and in correlation with due process of law, suspect’s rights are violated."
Universitas Indonesia, 2013
T35262
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Hariaman
"Kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan yang tertentu yang sudah lampau, makin lama waktu lampau itu makin sukar bagi hakim untuk menyatakan kebenaran atas keadaan-keadaan itu. Oleh karena itu hakim tidak dapat memastikan seratus persen bahwa suatu peristiwa hukum benar-benar sesuai dengan kebenaran pada masa lampau, maka acara pidana sebetulnya hanya menunjukkan jalan guna mendekati sedekat mungkin dengan kebenaran materiel.
Langkah awal untuk menemukan kebenaran materiel didahului dengan pencarian bukti-bukti peristiwa pidana di lapangan, untuk itu maka penyidik Polri menggunakan teknik-teknik identifikasi yang telah menjadi kebiasaan di lingkungan kepolisian, salah satu teknik itu adalah rekonstruksi yang keberadaannya tidak diatur secara tegas oleh KUHAP, tetapi tersirat dalam pasal 75 ayat (1) huruf lc KUHAP yang membenarkan adanya pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP. Implementasi dari pelaksanaan tindakan lain itu selanjutnya diatur dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep 1205/1X/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, tanggal 11 September 2000.
Hasil dari pelaksanaan rekonstruksi tersebut di tuangkan dalam berita acara rekonstruksi (BAR) yang selanjutnya berita acara tersebut dilampirkan dalam berkas perkara. Dalam praktek, muncul kecenderungan bahwa hasil rekonstruksi yang dituangkan dalam berita acara rekonstruksi itu juga di pergunakan sebagai alat untuk membuktikan perkara pidana tertentu di persidangan. Dengan demikian telah terjadi perluasan fungsi rekonstruksi yang pada awalnya hanya sebagai salah satu teknik dalam penyidikan untuk membuat terang suatu perkara dan untuk menguji kebenaran keterangan tersangka atau saksi, menjadi salah satu alat yang dipergunakan oleh penuntut umum untuk membuktikan perkara pidana tertentu dan untuk meyakinkan hakim di persidangan.
Fenomena itu melahirkan perdebatan dan perbedaan pendapat di berbagai kalangan terutama dikalangan aparat penegak hukum dan kalangan akademisi mengenai sah atau tidaknya menggunakan hasil rekonstruksi sebagai salah satu alat bukti di persidangan, hal itu perlu mendapat perhatian karena menyangkut keabsahan dalam pembuktian perkara pidana. Terlepas dari hal itu, ternyata rekonstruksi mempunyai peran yang cukup penting dalam pembuktian perkara pidana tertentu terutama untuk memperkuat keyakinan hakim, yaitu dengan menggunakannya di persidangan sebagai yaitu sebagai alat bukti surat atau petunjuk."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16441
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Nian Syafuddin
"Penelitian mengenai Pemeriksaan Tersangka Pelaku Tindak Pidana oleh Penyidik Polri di Polres Metro Jakarta Selatan bertujuan untuk menunjukkan pelaksanaan pemeriksaan tersangka pelaku tindak pidana oleh penyidik/penyidik pembantu Polri selaku aparat penegak hukum. Adapun permasalahan yang diteliti adalah prosedur dan tatacara pemeriksaan terhadap tersangka pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu Polri yang ditunjuk selaku pemeriksa. Disamping itu diteliti juga faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap pelaksanaan pemeriksaan tersangka, bentuk-bentuk penyimpangan yang terjadi serta mengapa hal itu terjadi, mekanisme pengawasan dan kontrol yang dilakukan serta pola-pola perilaku yang terbentuk dalam proses pemeriksaan.
Pemeriksaan tersangka adalah salah satu kegiatan dari penyidikan suatu tindak pidana yang sangat bersentuhan dengan hak azasi manusia oleh karenanya pemeriksaan tersangka harus dilakukan sesuai ketentuanketentuan hukum yang berlaku yaitu hukum acara pidana (KUHAP) yang menjadi dasar atau pedoman bagi aparat penegak hukum mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan di Pengadilan, pelaksana putusan hakim dan penasehat hukum. Sebagai penjabaran lebih lanjut, guna memberi pedoman bagi para penyidik/penyidik pembantu di lingkungan Polri, Kapolri telah mengeluarkan Petunjuk Teknis tentang Pemeriksaan Tersangka dan Saksi yang berisi prosedur dan tatacara dalam melakukan pemeriksaan tersangka dan saksi oleh penyidik/penyidik pembantu. Walaupun telah ada undang-undang yang mengaturnya bahkan telah ada pedoman yang secara teknis mengatur masalah ini, temyata masih saja terjadi berbagai penyimpangan terhadap pelaksanaannya yang sering dilansir oleh berbagai mass media baik media cetak maupun elektronik sebagai kekurangan mampun Polri dalam melaksanakan profesinya.
Dalam pemeriksaan tersangka terjadi interaksi antara pemeriksa dan tersangka serta lingkungannya yang akan mempengaruhi terhadap proses pemeriksaan yang dilakukan. Dalam proses interaksi tersebut terjadi tindakan-tindakan, perilaku-perilaku, sikap-sikap yang cenderung sexing dilakukan karena dianggap dibolehkan dan dibenarkan sehingga cenderung membentuk pola-pola perilaku tertentu yang secara langsung atau tidak langsung atau secara diam-diam disepakati sebagai pola perilaku dan tindakan yang diterima dan dianggap biasa walaupun pada kenyataannya menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan pelanggaran terhadap hak azasi manusia.
Pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh penyidik/penyidik pembantu memberikan keyakinan kepada mereka bahwa tersangka terdiri dari berbagai macam lapisan masyarakat dengan motif, modus operandi, jenis kejahatan yang dilakukan, status sosial, latar belakang ekonomi dan budaya yang berbeda yang dapat dikategorisasikan atau digolong-golongkan menurut aspek-aspek tersebut. Pengkategorisasian atau penggolong-golongan yang berisikan sangkaan-sangkaan yang buruk tentang tersangka, merupakan prasangka yang seringkali menimbulkan diskriminasi dan juga digunakan sebagai acuan bertindak dalam memeriksa tersangka tersebut, walaupun tidak harus selalu demikian perwujudan tindakan-tindakannya.
Dalam tesis ini telah ditunjukkan bahwa tindakan penyidik/penyidik pembantu yang ditunjuk selaku pemeriksa tersangka di Palres Metro Jakarta Selatan mengikuti acuan pedoman formal yaitu KUHAP dan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Tersangka dan Saksi, aturan-aturan tidak tertulis yang ditetapkan Kapoires dan Kasat Serse serta mengikuti pengetahuan, pengalaman dan keyakinan mereka mengenai pengkategorisasian atau penggolongan tersangka. Telah dapat diidentifisir pula beberapa pola perilaku penyidik yang terbentuk dan cenderung menyimpang dari ketentuanketentuan hukum yang berlaku khususnya hukum acara pidana dan berakibat terjadinya pelanggaran terhadap hak azasi manusia. Untuk dapat melaksanakan penegakan hukum secara benar dan adil serta memberikan perlindungan terhadap hak azasi manusia sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat, maka Polri hares dapat merubah dan menghilangkan pola-pola perilaku yang negatif tersebut. "
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimasz Jeremia
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22159
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjuk Basuki
"ABSTRAK
Tesis ini mengkaji masalah interaksi dan perlakuan petugas penyidik terhadap tersangka pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas penyidik (Polri) pada satuan reserse Polwiltabes Surabaya, khususnya yang dilakukan oleh petugas penyidik yang tergabung dalam unit kejahatan kekerasan.
Kajian dalam tesis ini mencoba mengangkat dua hal pokok, yaitu tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses interaksi dan perlakuan petugas penyidik terhadap tersangka pelaku tindak pidana khususnya dalam proses pemeriksaan, sehingga berpengaruh terhadap pelaksanaan proses pemeriksaan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah
Pertama, adanya faktor-faktor yang mernpengaruhi secara positif terhadap interaksi dan perlakuan yang dilakukan oleh petugas penyidik, sehingga proses pemeriksaan yang dilakukan sesuai dengan proses hukum yang layak dan benar. Adapun faktor-faktor tersebut ialah : 1) Adanya kesamaan nilai, tekad dan semangat dari setiap petugas penyidik untuk dapat memberantas setiap pelaku tindak pidana, khususnya terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan serta adanya motivasi dan kesamaan pandang tentang pentingnya arti keamanan dan ketertiban. ( 2 -) Adanya sikap disiplin, kepatuhan dan tanggung jawab dari setiap petugas penyidik unit kejahatan kekerasan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Kedua faktor tersebut menjadi pendorong bagi petugas penyidik untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, dalam arti bahwa petugas penyidik dapat melakukan proses pemeriksaan sesuai dengan proses hukum yang layak dan benar.
Kedua, Adanya faktor-faktor yang secara negatif berpengaruh terhadap penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh petugas penyidik, sehingga akan mempengaruhi pula terhadap proses interaksi dan perlakuan petugas penyidik dalam proses pemeriksaan yang dilakukan, akibatnya proses pemeriksaan yang dilakukan tidak sesuai dengan proses hukum yang layak dan benar. Adapun faktor-faktor tersebut adalah :
(1) Kurangnya pemahaman dan penguasaan terhadap tehnik dan metode pemeriksaan yang dimiliki oleh petugas penyidik;
(2) Rendahnya derajad kepekaan ( sensitivitas ) petugas penyidik dan
(3) Adanya dampak negatif dari struktur organisasi satuan reserse yang ada saat ini.
Kurangnya pemahaman dan penguasaan terhadap tehnik dan metode pemeriksaan yang dimiliki oleh petugas penyidik. Di dalam melaksanakan pemeriksaan, tehnik dan metode pemeriksaan merupakan sarana bagi petugas penyidik untuk dapat melakukan hubungan dan komunikasi dengan tersangka pelaku tindak pidana yang sedang diperiksa. Dengan tidak dikuasainya tehnik dan metode pemeriksaan dengan baik, maka proses pemeriksaan yang dilakukan akan menjurus kepada pemeriksaan yang hanya mendasarkan kepada kesewenang-wenangan atau pemeriksaan yang berdasarkan kepada kekuasaan petugas belaka. Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan pemeriksaan yang baik dan benar, maka perlu meningkatkan pemahaman dan penguasaan terhadap tehnik dan metode pemeriksaan yang dimiiiki oleh petugas penyidik dengan memberi kesempatan kepada mereka ( petugas penyidik ) yang belum mengikuti pendidikan kejuruan reserse untuk mengikuti pendidikan kejuruan atau melakukan sosialisasi secara intensif dan berkesinambungan tentang peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugasnya.
Rendahnya derajad kepekaan ( sensitivitas) dari petugas penyidik. Apabila petugas penyidik tidak lagi memiliki kepekaan terhadap perubahan sikap masyarakatnya maupun terhadap penggunaan kekerasan yang dilakukan dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap tersangka pelaku tindak pidana yang diperiksa, maka dalam melaksanakan proses pemeriksaan tersebut mereka akan cenderung untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan atau penyalahgunaan terhadap kewenangan atau kekuasaan yang mereka miliki. Penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan tersebut dapat berupa kekerasan fisik, ancaman kekerasan, sehingga membuat tersangka merasa takut atau bahkan penyimpangan atau penyalahgunaan terhadap pelanggaran hak-hak azasi tersangka. Akibatnya proses pemeriksaan yang mereka lakukan disamping tidak profesional, juga tidak akan sesuai dengan proses hukum yang layak dan benar, karena keterangan, pengakuan atau kejelasan tentang terjadinya tindak pidana yang didapat petugas pemeriksa dari tersangka ( yang diperiksa ) tersebut adalah keterangan atau pengakuan yang terpaksa diberikan, sehingga tidak dapat dijamin kebenarannya.
Adanya dampak negatif dari struktur organisasi satuan reserse yang ada saat ini. Organisasi adalah merupakan wadah atau tempat untuk meyelenggarakan berbagai kegiatan dengan penggambaran yang jelas tentang herarkhi kedudukan, jabatan serta saluran wewenang dan pertanggungan jawab. Akan tetapi didalam struktur organisasi satserse Polwiltabes yang ada saat ini justru memiliki dua unit yang mempunyai kegiatan yang nyaris hampir sama, akibatnya keberadaan dua unit tersebut mendorong timbulnya rasa kecewa atau mendorong terjadinya konflik-konflik diantara anggotanya. Dengan timbulnya konflik-konflik dan rasa kecewa diantara para petugas penyidik tersebut, maka akan mendorong pula dilakukannya penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan yang mereka ( petugas penyidik ) dimiliki. Dengan demikian, maka struktur organisasi satserse yang ada saat ini justru merupakan penghambat terlaksananya proses pemeriksaan yang sesuai dengan proses hukum yang layak dan benar."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Sori S
"Penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang terdakwanya melarikan diri dan tidak diketahui keberadaanya sejak proses penyidikan, berdasarkan fakta empiris dapat dipastikan akan dilakukan dengan persidangan in absentia. Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur tentang diperbolehkannya melakukan pemeriksaan persidangan serta memutus perkara tanpa kehadiran diri terdakwa. Namun, ketentuan ini dipahami oleh penyidik dan penuntut umum sebagai ketentuan yang juga memperbolehkan dilakukannya penyidikan dan penuntutan tanpa harus menemukan tersangka yang telah melarikan diri serta memeriksanya. Ketentuan ini pun dipandang berbeda oleh hakim yang memeriksa perkara, di mana ada hakim yang setuju untuk memeriksa dan memutus perkara yang tersangkanya tidak diperiksa selama tahap penyidikan, dan ada juga hakim yang menolak untuk memeriksa perkara tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan metode normatif yang menggunakan sumber data sekunder dan didukung oleh data primer berupa wawancara dapat disimpulkan bahwa perkara tindak pidana korupsi yang tersangkanya tidak pernah diperiksa selama penyidikan tidak dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan dan tahap pemeriksaan di pengadilan.

Based on empirical fact, the settlement of corruption act, in which the defendant has fled and his existence has been unknown since the investigation process is conducted, can certainly be done in the trial in absentia. Provision of Law No. 31 of 1999 replaced by law No. 20 of 2001 on Eradication of Corruption Act regulates the permissibility in conducting hearings and decides the case in absentia. However, the provision is also understood by the investigators and prosecutors as the provision that allows an investigation and prosecution without having to find a suspect who has fled, and investigate him. This provision is viewed differently by judges who examine cases in which there are judges who agree to examine and decide the case where the suspects are not checked during the investigation stage, and there are also the judges who refuse to examine the case. The result of research conducted by the normative method that used secondary data sources and supported by primary data in the form of interviews could be concluded that corruption crimes in which the suspect was never examined during the investigation could not be proceeded to the prosecution stage and the stage of investigation in court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28575
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Prasetyo
"Tesis ini tentang proses penyidikan tindak pidana curat dan curas oleh Unit Kejahatan Kekerasan di Polres "X". Fokus penelitian ini adalah berupa proses penyidikan tindak pidana curat dan curas yang dilakukan oleh anggota unit kejahatan kekerasan polres "X". Permasalahan dalam penelitian tersebut adalah bentuk-bentuk tindakan anggota yang terjadi dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana curat dan curas di Polres "X".
Penelitian ini dimaksudkan adalah untuk menunjukkan proses penyidikan tindak pidana curat dan curas secara utuh baik penyidikan prosedural maupun penyidikan yang tidak prosedural yang dilakukan oleh anggota unit kejahatan kekerasan Pokes "X". Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metododogi etnografi, peneliti ingin menggambarkan dan memotret secara utuh mengenai tindakan-tindakan anggota unit sesungguhnya dari proses penyidikan tindak pidana curat dan curas, bentuk-bentuk penyimpangan dan pola-pola hubungan antara penyidik dengan berbagai pihak.
Hasil dari penelitian ini ditemukan beragamnya tindakan-tindakan dalam proses penyidikan tindak pidana curat dan curas yang dilakukan oleh anggota unit kejahatan kekerasan Polres "X". Tindakan tersebut dapat tergambar mulai dari penyelidikan, pemeriksaan, penggeledahan, penyitaan, penangkapan, penahanan sampai dengan penyelesaian serta penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Tindakan lain yang terjadi dalam proses penyidikan tindak pidana curat dan curas tersebut yaitu berupa ditemukannya bentuk-bentuk penyimpangan dan proses penyidikan serta faktor korelatif terjadinya penyimpangan yang dilakukan anggota unit. Serta yang terakhir ditemukan juga pola-pola hubungan penyidik/anggota unit dalam melakukan proses penyidikan baik hubungan dengan sesama anggota polisi, warga masyarakat (saksi,korban, tersangka dan informan) serta pola hubungan dengan SPP (sistem peradilan pidana) dalam hal ini Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Lembaga Pemasyarakatan dan pengacara/penasehat hukum.
Selain ditemukan penyidikan yang prosedural dan penyidikan yang tidak prosedural dalam penyidikan tindak pidana curat dan curas yang terjadi di Unit kejahatan kekerasan, juga ditemukan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh satuan reserse guna meningkatkan kinerja penyidik.
Proses penyidikan dalam konteks penegakan hukum yang telah dilakukan polisi adalah merupakan barometer untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi dan citra baik dari institusi Polri. Apabila dalam proses penyidikan polisi lamban, tidak tanggap, tidak profesional dan proposional serta semakin suburnya penyimpangan-penyimpangan dalam proses penyidikan maka citra polisi semakin terpuruk."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T11045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pudiastuti Citra Adi
"Proses modernisasi yang mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang cepat, secara potensial mengakibatkan suatu ketegangan dan keresahan sosial. Peningkatan proses modernisasi tersebut sebagai akibat dari ditemukannya alat-alat komunikasi modern, alat transportasi dan teknologi informatika modern. Hal tersebut menuntut adanya perubahan struktur hubungan hukum, substansi-substansi baru pengaturan hukum dan budaya hukum yang lama sekali baru. Perubahan tersebut juga terjadi dalam pengaturan hukum khususnya mengenai pembuktian.
Pemanfaatan teknologi informasi yang terjadi mengakibatkan adanya perkembangan konsep alat bukti yang dirumuskan di dalam sejumlah peraturan perundang-undangan pidana baru. Ada 4 (empat) peraturan perundang-undangan pidana dan 1 (satu) peraturan perundang-undangan non pidana mengalami perkembangan alat bukti di luar yang diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang tentang Komisi Pemberantas Korupsi, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
Pemanfaatan Teknologi Inforrnasi dalam proses pembuktian perkara pidana tersebut sesungguhnya tidak bertentangan dengan sistem pembuktian dan alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Secara umum bukti berupa informasi elektronik dan dokumen elektronik tidak bertentangan dengan asas-asas yang berlaku pada hukum acara pidana, yaitu asas terbuka untuk umum, asas peradilan yang bebas dan dilakukan cepat dan sederhana dan asas pemeriksaan secara langsung.
Untuk menjaga validitas suatu informasi yang dihasilkan dari elektronik, diperlukan pengaturan dengan syarat-syarat yang ketat. Prosedur tersebut harus dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, termasuk di dalamnya pengaturan mengenai prosedur pemeriksaan terhadap data-data komputer, penyitaan data-data yang tersimpan dalam media elektronik dan sebagainya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14502
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Indra Gautama
"Tesis ini membahas tentang proses pengawasan penyidikan di tingkat Polres. Tujuan tesis ini untuk menunjukkan model atau bentuk pengawasan penyidikan di tingkat Polres. Perhatian utama tesis ini adalah tindakan-tindakan para pengawas tingkat Polres sebagai hasil interaksi antara pihak-pihak yang mengawasi dengan yang diawasi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode pengawasan, pengawasan terlibat, dan wawancara dengan pedoman. Model kasus yang diteliti adalah kasus kekerasan terhadap orang atau benda yang dilakukan secara bersama-sama atau pengeroyokan sebagaimana.diatur dalam pasal 170 KUHP. Kasus yang diteliti terdiri dari 2 kasus dalam kurun waktu antara bulan Pebruari sampai dengan Mei 2003 yang terjadi di wilayah hukum Polres Klaten. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa pengawasan penyidikan oleh Kapolres dan Kasat serse dilakukan sebatas pengawasan administrasi penyidikan, pengawasan oleh Kasat intel bersifat menunggu pengaduan atau perintah dari atasan, pengawasan Kapuskodal Ops sebatas untuk keperluan pendataan dan pelaporan kepada satuan atas, sedangkan pengawasan oleh Jaksa Penuntut umum dilakukan secara formalitas dan terbatas pada pengawasan administrasi penyidikan Selain itu, Kasat serse juga mengembangkan bentuk pengawasan yang digunakan untuk mengawasi sumber daya-sumber daya yang menghasilkan keuntungan, dengan cara menempatkan orang-orangnya dalam unit-unit. Model pengawasan demikian telah mengakibatkan timbulnya berbagai bentuk penyimpangan dalam penyidikan, seperti penyimpangan prosedur dan penyimpangan yang bersifat keprilakuan seperti korupsi dan kolusi. Model pengawasan tersebut diakibatkan karena rendahnya kualitas sumber daya manusia, terbatasnya dukungan anggaran penyidikan, rendahnya tingkat kesejahteraan dan terbatasnya sarana dan prasarana operasional penyidikan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T11161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Theodora
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22432
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>