Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160848 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Ardiansyah
"Latar Belakang: Insidens postdural puncture headache menggunakan jarum spinal ukuran kecil belum pernah diteliti di RSUPNCM. Saat ini di tempat kami jarum spinal yang tersedia yaitu jarum spinal Quincke ukuran 25G, 26G, dan 27G.
Metode: Penelitian observasional ini dilakukan secara prospektif untuk mencari insidens postdural puncture headache sampai 72 jam pasca-anestesia spinal. Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan pasien dan prosedur dihubungkan dengan PDPH dan dilakukan analisis regresi linear terhadap faktor-faktor tersebut.
Hasil: Insidens postdural puncture headache pasca-anestesia spinal sebesar 6,6%. Kelompok usia <50 tahun memiliki kemungkinan 3 kali PDPH dibanding kelompok umur lebih tua. Jarum spinal 25G/26G Quincke memiliki kemungkinan 2 kali risiko MPDPH dibandingkan jarum 27G.
Kesimpulan: Insidens postdural puncture headache setelah anesthesia spinal di RSUPNCM tidak berbeda dengan hasil laporan di tempat lain.

Background : Incidence of postdural puncture headache using small spinal needles was not yet investigated in RSUPNCM. In our centre we use Quincke spinal needle sizes 25G, 26G, and 27G.
Methods : The incidence of postdural puncture headache was prospectively investigated until 72 hours after spinal anesthesia in 440 patients at RSUPNCM. Patient and procedure related factors were recorded and submitted to multiple logistic regression analysis to determine the relationship of these factors to postdural puncture headcahe.
Results: The incidence of postdural puncture headache after spinal anesthesia were 6,6%. The age <50 years old is identified increase three times for PDPH compare to older. Larger needles Quincke (25G/26G) is identified increase twice for PDPH compare to 27G.
Conclusion : The incidence of postdural puncture headache after spinal anesthesia at RSUPNCM is comparable to those reported elsewhere.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roniza Basri
"Latar belakang: Skor Mallampati dan jarak tiromental (TMD) banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan visualisasi laring preoperatif, namun akurasi kedua penanda tersebut masih dipertanyakan. Penelitian ini mengevaluasi kemampuan memprediksi kesulitan visualisasi laring (DVL) dari prediktor preoperatif baru yaitu rasio lingkar leher (NC) terhadap jarak tiromental TMD dibandingkan dengan skor Mallampati dan jarak tiromental.
Metode: Sebanyak dua ratus tujuh belas pasien yang menjalani anestesia umum untuk bedah elektif dievaluasi dengan menggunakan skor Mallampati, TMD dan rasio NC/TMD. Dan titik potong untuk masing-masing prediktor jalan nafas adalah skor Mallampati III dan IV, < 6,5 cm, ≥ 5. Pada saat dilakukan laringoskopi langsung, visualisasi laring dinilai berdasarkan klasifikasi Cormack Lehane (CL). Skor CL derajat III dan IV dianggap sulit visualisasi. Kemudian ditentukan dan dibandingkan nilai area dibawah kurva (AUC), sensitifitas, spesifisitas untuk setiap prediktor jalan nafas.
Hasil: Kesulitan untuk memvisualisasi laring ditemukan pada 20 (9,7%) pasien. Area dibawah curve (AUC) rasio NC/TMD (96,2%) lebih baik dibandingkan dengan skor Mallampati (64%) dan TMD (83%).
Kesimpulan: Akurasi rasio NC/TMD lebih baik dibandingkan dengan skor Mallampati dan TMD.

Background: Mallampati score and thyromental distance (TMC) has widely use to identify potentially difficult laringoscopies preoperative, however it's predictive reliability is unclear. This research purpose are to evaluate the ability to predict difficult visualization of the larynx (DVL) from new preoperative airway predictors neck circumference ratio to thyromental distance (NC/TMD) compare to Mallampati score and thyromental distance.
Methods: Two hundred and seventeen consecutive patients undergoing general anesthesia for elective surgery were evaluated using the Mallampati score, TMD, NC/TMD ratio and the cut-off points for the airway predictors were Mallampati score III and IV; ≤ 6,5 cm; ≥ 5. During direct laryngoscopy, the laryngeal view was graded using the Cormack and Lehane (CL) classification. CL grade III and IV were considered difficult visualization. Area under curve (AUC), sensitivity, specificity for each airway predictors were determined and compared.
Result: Difficult to visualize the larynx was found in 20 (9,7%) patients. The AUC of NC/TMD ratio (96,2%) is better tcompared to TMD (83%) and much better if compared to Mallampati score (64%).
Conclusion: NC/TMD ratio had better accuracy in predicting difficult laryngoscopy than Mallampati score and TMD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58581
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Soraya
"Berbagai studi dan penelitian telah dilakukan di berbagai negara untuk mengetahui pengetahuan pasien terhadap anestesia namun tidak ada instrumen kuesioner yang baku untuk menilai pengetahuan pasien tentang anestesia, dan hal ini belum pernah dilakukan di Indonesia khususnya di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Kuesioner pengetahuan yang valid dan reliabel diharapkan menjadi standar untuk menilai pengetahuan masyarakat terhadap anestesia, dan dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya.
Metode: Kuesioner pengetahuan anestesia sebelumnya telah melalui tahapan pretest oleh ahli dan uji pilot, hasil kuesioner uji pilot disempurnakan sehingga dianggap layak diujicobakan. Penelitian dilakukan pada bulan Januri 2014 sampai dengan Maret 2014 terhadap subyek secara consecutive sampling yang akan menjalani pembiusan dan diperiksa di klinik preoperatif RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Teknik uji validitas menggunakan validitas konstruk dengan koefisien korelasi minimal 0,3 dapat dianggap valid dan uji reliabilitas menggunakan teknik konsistensi internal dengan nilai cronbach α minimal 0,4 dianggap reliabel.
Hasil: Penelitian ini diikuti oleh 95 subyek dengan 1 subyek dikeluarkan dari penelitian karena tidak mengisi kuesioner secara lengkap. Kuesioner pengetahuan terdiri dari 20 pertanyaan, 8 pertanyaan diantaranya dinilai tidak valid dan reliabel yang dapat disebabkan oleh pertanyaan dan jawaban kuesioner yang tidak dapat dimengerti oleh subyek, pembahasan terlalu dalam dan penggunaan istilah medis yang tidak familiar. Beberapa jawaban pertanyaan memiliki kesamaan yang dapat membingungkan subyek, serta terdapat inkonsistensi jawaban yang diberikan oleh subyek. Tingkat penghasilan dan pendidikan subyek yang rendah serta pengalaman dan informasi yang kurang, sangat mempengaruhi pengetahuan subyek terhadap anestesia, tercermin dari rendahnya rerata tingkat pengetahuan subyek sebesar + 31,6%.
Kesimpulan: Kuesioner penilaian pengetahuan tentang anestesia pada pasien di klinik preoperatif RSUPN Cipto Mangunkusumo tidak dapat dijadikan sebagai suatu standar instrumen yang baku oleh karena dinilai tidak valid dan reliabel.

Various studies and researches have been conducted abroad to determine the patient?s anesthesia knowledge, although no standard questionnaires exist. Research on anesthesia?s knowledge questionnaires have never been done specifically in Cipto Mangunkusumo hospital. A valid and reliable questionnaire is aimed to be a standard instrument assessing the community?s knowledge on anesthesia, and as a foundation for future researches.
Methods: The anesthesia knowledge questionnaires has been evaluated through a pre-test phase done by experts and pilot test, the results was then revised until it is acceptable and can be tested. Researches was conducted on January 2014 until March 2014 on subjects by consecutive sampling who are going to undergo anesthesia and evaluated at the preoperative clinic Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Validity test techniques using construct validity with the minimal correlation coefficient 0.3 is valid. Reliability tests using internal consistency techniques with minimal cronbach alpha value 0.4 is reliable.
Results: Research was participated by 95 subjects with 1 subject excluded from the research because of not filling in the questionnaire completely. The knowledge questionnaire included 20 questions, whereas 8 questions was marked to be invalid and unreliable that may be caused by questions and answers were not fully understood by the subjects, the contents was too spesific, usage of medical terms that aren?t familiar. Some of the given answers have similarities that may confuse the subject, and also inconsistency from the subject?s answers. Low level of salary and education with lacking of experience and information from the subjects, has significant influence on the subjects knowledge on anesthesia which is reflected by the low average level of the subject`s knowledge which is + 31.6%.
Conclusions: Anesthesia knowledge questionnaires on patients at preoperative clinic Cipto Mangunkusumo hospital is invalid and unreliable therefore fail to be a standard instrument."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Wahyudi
"ABSTRAK
Latar Belakang : Kami mengevaluasi kegunaan dari pemeriksaan rasio jarak
hiomental (HMDR,hyomental distance ratio), yang didefinisikan sebagai rasio
dari jarak hiomental (HMD,hyomental distance) posisi kepala ekstensi maksimal
dengan posisi kepala netral, dalam memprediksi kesulitan visualisasi laring pada
pasien-pasien normal, yang dilakukan pemeriksaan prediktor-prediktor jalan
napas praoperasi dengan skor Mallampati dan jarak tiromental (TMD,
tyhyromental distance) sebagai pembanding.
Metode Penelitian : Praoperasi, kami menilai empat prediktor jalan napas pada
169 orang dewasa yang menjalani anestesi umum. Pelaku laringoskopi adalah
residen anestesiologi minimal tahun ke 2, dan menilai skor Cormack-Lehane(CL)
yang dimodifikasi. Sulit visualisasi laring (DVL,difficult visualization of the
larynx) didefinisikan sebagai CL derajat 3 atau 4. Titik potong optimal (The cutoff
point) untuk setiap tes ditentukan pada titik maksimal daerah di bawah
kurva dalam kurva ROC (Receiver Operating Characteristic). Skor Mallampati
dengan derajat ≥ 3 sebagai prediktor DVL. Untuk TMD ≤ 65 mm dianggap
sebagai prediktor DVL.
Hasil : Didapatkan 21 (12,4%) orang pasien dengan sulit visualisasi laring(DVL).
HMDR memiliki hubungan yang bermakna terkait dengan DVL. HMDR dengan
titik potong optimal 1,2 memiliki akurasi diagnostik yang lebih besar (dengan area
di bawah kurva 0.694), dibandingkan prediktor tunggal lainnya (P <0,05), dan
HMDR sendiri menunjukkan validitas diagnostik yang lebih besar (sensitivitas,
61,9%, spesifisitas, 69,6%) dibandingkan dengan prediktor lainnya.
Kesimpulan :HMDR dengan ambang batas uji 1,2 adalah prediktor klinis handal
dalam memprediksi kesulitan dalam visualisasi laring.

ABSTRACT
Background: We evaluated the usefulness of the hyomental distance (HMD) ratio
(HMDR), defined as the ratio of the HMD at the extreme of the head extension to
that in the neutral position, in predicting difficult visualization of the larynx
(DVL) in apparently normal patients, by examining the following preoperative
airway predictors: the modified Mallampati test, HMD in the
neutral position, HMD and thyromental distance at the extreme of head extension
and HMDR.
Methods : Preoperatively, we assessed the four airway predictors in 169 adult
patients undergoing general anesthesia. A second years resident, performed all of
the direct laryngoscopies and graded the views using the modified Cormack and
Lehane scale. DVL was defined as a Grade 3 or 4 view. The optimal cutoff points
for each test were determined at the maximal point of the area under the curve in
the receiver operating characteristic curve. For the modified Mallampati test,
Class ≥ 3 was predefined as a predictor of DVL. And thyromental distance (TMD)
≤ 65 mm was predefined as a predictor of DVL.
Results : The larynx was difficult to visualize in 21 (12,4%) patients. The HMDR
with the optimal cutoff point of 1.2 had greater diagnostic accuracy (area under
the curve of 0.694), with significantly related to DVL (P <0.05), and it alone
showed a greater diagnostic validity profile (sensitivity, 61,9%; specificity,
69,6%) than any other predictor.
Conclusions : The HMDR with a test threshold of 1.2 is a clinically reliable
predictor of DVL."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Kumara Anindhita
"Latar Belakang: Penjadwalan operasi yang baik adalah yang mengoptimalkan workflow suatu kamar operasi, mengurangi kasus pembatalan operasi, dan ketidaktepatan prediksi waktu operasi. Unit Pelayanan Bedah Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo memiliki peran besar terhadap berlangsungnya operational efficiency sehingga hal-hal terkait efisiensi kerja yang termasuk didalamnya penjadwalan pasien di kamar operasi menjadi fokus perhatian utama. Penelitian ini bertujuan untuk menilai korelasi waktu persiapan, induksi, dan pemulihan anestesi berdasarkan pemilihan teknik anestesi terhadap anesthesia-controlled time (ACT). Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dilaksanakan di Unit Pelayanan Bedah Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak Maret 2019 hingga Desember 2020, dengan total 1727 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi. Tim anestesi kamar operasi dengan menggunakan jam digital melakukan observasi, pengambilan, dan pencatatan data waktu secara manual kedalam lembar kuesioner yang disediakan di kamar operasi atau secara daring dengan mengakses tautan yang tersedia.Hasil: Terdapat hubungan linier positif yang bermakna antara waktu persiapan anestesi dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT (r=0.1, p 0.009), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.253, p 0.028), dan anestesi umum-ETT/LMA, blok saraf perifer, CVC, ABP (r=0.489, p 0.013); waktu pemasangan monitor dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT (r=0.125, p 0.001), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.502, p 0.000), anestesi umum-ETT/LMA, epidural (r=0.372, p 0.001), anestesi umum-ETT, epidural, CVC (r=0.436, p 0.006), sedasi (r=0.516, p 0.001), spinal (r=0.501, p 0.000), anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.321, p 0.000), dan anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, kaudal (r=0.445, p 0.001); waktu induksi anestesi dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT (r=0.513, p 0.000), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.391, p 0.001), anestesi umum-LMA (r=0.312, p 0.017), anestesi umum-ETT/LMA, epidural (r=0.818, p 0.000), anestesi umum-ETT, epidural, CVC, ABP (r=0.559, p 0.000), spinal (r=0.503, p 0.000), kombinasi spinal-epidural (r=0.779, p 0.000), blok saraf perifer (r=0.729, p 0.000), anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.511, p 0.000), dan anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, kaudal (r=0.543, p 0.000); waktu insersi CVC dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT/LMA, CVC (r=0.553, p 0.002), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.434, p 0.000), anestesi umum-ETT, epidural, CVC (r=0.415, p 0.010), dan anestesi umum-ETT, epidural CVC, ABP (r=0.288, p 0.023); waktu pemulihan anestesi dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT (r=0.157, p 0.000), anestesi umum-ETT/LMA, CVC (r=0.664, p 0.000), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.374, p 0.001), anestesi umum-LMA (r=0.299, p 0.023), anestesi umum-ETT/LMA, epidural (r=0.557, p 0.000), anestesi umum-ETT, epidural, CVC (r=0.338, p 0.035), anestesi umum-ETT, epidural, CVC, ABP (r= 0.343, p 0.006), sedasi (r=0.351, p 0.033), anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.424, p 0.000), dan anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, kaudal (r=0.589, p 0.000). Simpulan: Waktu persiapan, induksi, dan pemulihan anestesi tidak berkorelasi dengan anesthesia-controlled time berdasarkan pemilihan teknik anestesi di Unit Pelayanan Bedah Terpadu Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo.

ackground: An ideal operating schedule is the one that optimizes the workflow of an operating room, reduces case cancellation and inaccurate prediction of total procedural time. Central Surgical Unit of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital has a major role of ensuring the continuity of operational efficiency so that matters related to work efficiency, including patient scheduling in the operating room, are the main focus of attention. This study aims to assess the correlation of time of preparation, anesthesia induction and recovery time with anesthesia-controlled time (ACT) based on the choice of anesthesia technique. Methodes: This observational research was done in Central Surgical Unit of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from March 2019 to December 2020, with a total of 1727 samples that fulfilled inclusion criteria, without exclusion criteria. By means of using a digital clock, anesthesia team performs observations, retrieval, and recording of time data manually into a questionnaire sheet provided in the operating room or an online document by accessing the link provided.Results: There is a significant positive linear correlation between anesthesia preparation time and ACT on general anesthesia-ETT (r=0.1, p 0.009), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.253, p 0.028), and general anesthesia-ETT/LMA, peripheral nerve block, CVC, ABP technique (r=0.489, p 0.013); basic monitoring placement time and ACT on general anesthesia-ETT (r=0.125, p 0.001), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.502, p 0.000), general anesthesia-ETT/LMA, epidural (r=0.372, p 0.001), general anesthesia-ETT, epidural, CVC (r=0.436, p 0.006), sedation (r=0.516, p 0.001), spinal (r=0.501, p 0.000), pediatric general anesthesia-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.321, p 0.000), and pediatric general anesthesia-ETT/LMA, caudal technique (r=0.445, p 0.001); anesthesia induction time and ACT on general anesthesia-ETT (r=0.513, p 0.000), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.391, p 0.001), general anesthesia-LMA (r=0.312, p 0.017), general anesthesia-ETT/LMA, epidural (r=0.818, p 0.000), general anesthesia-ETT, epidural, CVC, ABP (r=0.559, p 0.000), spinal (r=0.503, p 0.000), combined spinal-epidural (r=0.779, p 0.000), peripheral nerve block (r=0.729, p 0.000), pediatric general anesthesia-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.511, p 0.000), and pediatric general anesthesia -ETT/LMA, caudal technique (r=0.543, p 0.000); CVC insertion time and ACT on general anesthesia-ETT/LMA, CVC (r=0.553, p 0.002), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.434, p 0.000), general anesthesia-ETT, epidural, CVC (r=0.415, p 0.010), and general anesthesia-ETT, epidural CVC, ABP technique (r=0.288, p 0.023); anesthesia recovery time and ACT on general anesthesia-ETT (r=0.157, p 0.000), general anesthesia-ETT/LMA, CVC (r=0.664, p 0.000), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.374, p 0.001), general anesthesia-LMA (r=0.299, p 0.023), general anesthesia-ETT/LMA, epidural (r=0.557, p 0.000), general anesthesia-ETT, epidural, CVC (r=0.338, p 0.035), general anesthesia-ETT, epidural, CVC, ABP (r= 0.343, p 0.006), sedation (r=0.351, p 0.033), pediatric general anesthesia-ETT/L anesthesia-ETT/LMA, caudal technique(r=0.589, p 0.000). Conclusions: Time of anesthesia preparation, induction, and recovery do not correlate with ACT based on the anesthesia technique used to fascilitate surgery in Central Surgical Unit of Dr Cipto Mangunkusumo Hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Rosanti Khalid
"Latar Belakang : Tingkat kepuasan pasien merupakan salah satu indikator kualitas pelayanan anestesia, baik rawat inap maupun rawat jalan. Bedah rawat jalan menawarkan banyak kelebihan dibandingkan rawat inap, sehingga berkembang sangat pesat di Indonesia khususnya di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dan sebagian besar jenis anestesia pada bedah rawat jalan adalah anestesia umum. Perkembangan ini harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan anestesia. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian terhadap tingkat kepuasan pasien dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Tingkat kepuasan pasien dapat memberikan feedback untuk meningkatkan kualitas pelayanan anestesia pada instalasi bedah rawat jalan.
Tujuan : Mengetahui tingkat kepuasan pasien yang menjalani anestesia umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan faktor yang memengaruhinya.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian potong lintang. Dilakukan penilaian tingkat kepuasan pada 76 pasien dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Kriteria penerimaan adalah usia 18-65 tahun yang menjalani pembiusan umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat berbahasa Indonesia, membaca dan menulis, bersedia berpartisipasi dan menandatangani surat persetujuan penelitian, pulang dihari yang sama setelah pembedahan atau dirawat kurang dari 24 jam. Hasil kuesioner akan diolah menggunakan perangkat lunak SPSS dengan uji univariat dan bivariat.
Hasil : Uji univariat menunjukkan tingkat kepuasan pasien terhadap anestesia umum rata-rata diatas 70 %. Sedangkan dari uji bivariat, faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien adalah usia, jenis kelamin dan pekerjaan.
Kesimpulan : Pasien merasa puas terhadap pelayanan anestesia umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Karakteristik pasien yang memengaruhi tingkat kepuasan pasien adalah usia, jenis kelamin dan pekerjaan.

Background : Patient satisfaction has been one of quality indicators in anesthesia services whether it is inpatient or outpatient. Ambulatory surgery offers more advantages compares to inpatient services, thus it developed nicely in Indonesia especially in RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta where most patients undergone general anesthesia. This development is yet to be offset by improvement in anesthesia quality services. Thus, it is needed to assess patient satisfaction and factors. Patient satisfaction can give feedback to improve quality of anesthesia services in ambulatory surgery.
Purpose : The purpose of this study was to know patient satisfaction toward general anesthesia and influencing factors in ambulatory surgery RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Methods : This is a cross sectional study. Patient satisfaction was assessed in 76 patients using validated questionnaire. The inclusion criteria were age 18-65 undergoing general anesthesia in Ambulatory Surgery, Bahasa speaking, able to read and write, and agreed to participate in this study by signing research consent and discharged on the same day or hospitalized less than 24 hours after surgery. Result was processed using SPSS with univariate and bivariate test.
Results: Univariate test showed patient satisfaction toward general anesthesia was above 70%. While Bivariate test indicated factors influencing patient satisfaction were age, gender and occupation.
Conclusion : Patients were satisfied with general anesthesia services in Ambulatory Surgery RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Patient characteristics influencing patient satisfaction were age, gender and occupation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kamilah Muhammad Hafidz
"Latar belakang. Teknik Target Controlled Infusion untuk anestesia umum semakin banyak digunakan. Jumlah pasien geriatri yang harus menjalani prosedur operasi semakin bertambah, serta memerlukan pertimbangan khusus mengingat risiko operasi dan pembiusan yang lebih tinggi pada golongan ini. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan konsentrasi plasma (Cp) dan konsentrasi effect site (Ce) propofol menggunakan rumusan Marsh pada pasien geriatri ras Melayu di RSCM dengan dan tanpa pemberian premedikasi fentanil.
Metode. Empat puluh pasien geriatri orang Indonesia Asli status fisik ASA 2, usia > 60 tahun dan BMI 18-30 kg/m2 dirandomisasi. Satu kelompok (20 pasien) mendapatkan Fentanil-Propofol, lainnya (20 pasien) mendapatkan NaCl-Propofol. Pemberian propofol menggunakan TCI rumusan Marsh dengan target konsentrasi plasma. Target Cp dimulai dari 1 µ/ml dinaikkan 1 µ/ml tiap menit sampai tercapai loss of consciousness (LoC) dan diteruskan sampai nilai BIS 45-60 selama 5 menit (steady state).
Hasil. Pada kelompok Fentanil-Propofol saat LoC didapatkan Cp 3,15+0,35 µ/ml dan Ce 1,53+0,53 µ/ml dan saat BIS stabil didapatkan Cp 4,14+0,59 µ/ml dan Ce 2,63+0,60 µ/ml. Pada kelompok Nacl-Propofol saat LoC didapatkan Cp 4,20+0,61 µ/ml dan Ce 2,26+0,56 µ/ml dan saat BIS stabil didapatkan Cp 4,78+0,38 µ/ml dan Ce 3,30+0,52 µ/ml. Pasien-pasien yang mendapatkan fentanil terlebih dahulu memiliki Cp dan Ce yang lebih rendah baik saat LoC maupun saat nilai BIS stabil (P < 0,05).
Kesimpulan. Terdapat perbedaan bermakna antara Cp dan Ce propofol yang diberikan premedikasi fentanil dan yang tidak.

Background. The application of Target Controlled Infusion (TCI) technique in general anesthesia is progressively growing. Number of geriatric patients scheduled for operations increases every year, while this group needs special consideration following the higher risk of surgery and anesthesia. The purpose of our study was to compare the estimated plasma concentration (Cp) and the effect site concentration (Ce) of propofol using Marsh pharmacokinetic model for geriatric patients in Cipto Mangunkusumo Hospital with and without the administration of fentanyl premedication.
Methods. Forty patients, physical status ASA 2, aged > 60, BMI 18-30 kg/m2 randomly assigned to a fentanyl-propofol group or a saline-propofol group. TCI propofol was initiated using Marsh pharmacokinetic model. Initial plasma concentration in each group was 1 µ/ml and increased by 1 µ/ml every minute until there was no eyelash reflex, which defined as loss of consciousness (LoC). Propofol plasma concentration was increased and decreased to reach a stable BIS value between 45-60, considered as Cp and Ce at steady state.
Results. In the fentanyl-propofol group the estimated Cp at loss of consciousness was 3,15+0,35 µ/ml and Ce 1,53+0,53 µ/ml. At steady state, Cp was 4,14+0,59 µ/ml and Ce 2,63+0,60 µ/ml. In the saline-propofol group Cp 4,20+0,61 µ/ml and Ce 2,26+0,56 µ/ml. At steady state, Cp was 4,78+0,38 µ/ml and Ce 3,30+0,52 µ/ml. The estimated Cp and Ce in the fentanyl-propofol group were lower than saline-propofol group (p < 0.05).
Conclusion. There is a significant difference between Cp and Ce in the salinepropofol group and fentanyl-propofol group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Prakoso Wreksoatmodjo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58506
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raymond
"Latar Belakang: Tindakan pembedahan dengan invasi minimal seperti laparoskopi abdomen seringkali menjadi modalitas terpilih dengan perkembangan teknologi. Selama pembedahan, digunakan teknik anestesi umum pada pasien. Teknik anestesi yang ideal adalah teknik yang dapat menjaga kestabilan kardiovaskular dan respirasi, mengurangi kejadial mual muntah pascabedah, serta dapat mengurangi derajat nyeri pascabedah. Namun, prosedur laparoskopi menyebabkan perubahan fisiologis akibat kondisi pneumoperitoneum yang disebabkan oleh insuflasi gas karbon dioksida selama pembedahan, yang merupakan sebuah tantangan tambahan dalam pemberian anestesi yang ideal. Maka, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas penggunaan kombinasi anestesi umum dan spinal dengan anestesi umum saja dalam pembedahan laparoskopi abdomen.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak terkendali tanpa penyamaran pada pasien laparoskopi abdomen di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemberian anestesi umum menggunakan lidokain, fentanyl, propofol, dan rocuronium. Pemberian anestesi spinal menggunakan bupivakain 10 mg. Luaran yang dinilai berupa kebutuhan opioid intraoperatif, kestabilan MAP, nyeri pascabedah, dan kejadian post-operative nausea and vomiting (PONV).
Hasil: Kombinasi anestesi umum dan spinal menyebabkan penurunan kebutuhan opioid fentanyl intraoperatif (p<0.001), kestabilan MAP yang lebih baik (p<0.009), dan penurunan nyeri pascabedah secara signifikan dibandingkan kelompok anestesi umum. Tidak terdapat perbedaan signifikan dari tingkat kejadian PONV. Simpulan: Kelompok anestesi umum dan spinal menunjukan penurunan kebutuhan opioid intraoperatif dan MAP yang lebih stabil pada tindakan laparaskopi dibandingkan dengan kelompok anestesi umum.

Background: Minimally invasive surgical procedures such as laparoscopic abdominal surgery have often become the preferred modality with technological advancements. During surgery, general anesthesia techniques are employed in patients. The ideal anesthesia technique is one that can maintain cardiovascular and respiratory stability, reduce postoperative nausea and vomiting, and alleviate postoperative pain. However, laparoscopic procedures induce physiological changes due to pneumoperitoneum conditions caused by the insufflation of carbon dioxide gas during surgery, posing an additional challenge in achieving ideal anesthesia. Therefore, this study aims to compare the effectiveness of using a combination of general and spinal anesthesia with general anesthesia alone in laparoscopic abdominal surgery.
Methods: This research is a controlled randomized clinical trial without masking on patients undergoing laparoscopic abdominal surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital. General anesthesia is administered using lidocaine, fentanyl, propofol, and rocuronium, while spinal anesthesia is administered using bupivacaine. The assessed outcomes include intraoperative opioid requirements, MAP stability, postoperative pain, and the incidence of postoperative nausea and vomiting (PONV).
Results: The combination of general and spinal anesthesia resulted in a significant reduction in intraoperative fentanyl opioid requirements (p<0.001), better MAP stability (p<0.009), and a significant decrease in postoperative pain compared to the general anesthesia group. There was no significant difference in the incidence of PONV .
Conclusion: The combination of general and spinal anesthesia group showed decreased intraoperative opioid requirements and more stable in mean arterial pressure (MAP) during laparoscopic procedures compared to general anesthesia group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Permatasari
"Menggigil pasca anesthesia merupakan komplikasi yang potensial bagi pasien pasca bedah yang dapat mengakibatkan Iiipoksemia karena peningkatan konsumsi oksigen jaringan dan peningkatan kadar C02 dalam darah. Hal ini berbahaya tenriama bagi pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemi atau pasien-pasien dengan fungsi cadangan ventilasi yang terbatas. Teiah banyak upaya pencegahan maupun penanggulangan dilakukan untuk mengatasi menggigil pasca anestesia, obat yang lazim digunakan adalah petidin. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa ketamin juga efektif untuk mencegah menggigil pasca anestesia.
Penelitian ini bertujuan membuktikan apakah ketamin lebih efektif dibandingkan petidin untuk mencegah menggigil pasca anestesia inhalasi N20/02/isofluran, Penelitian ini bersifat uji klinis tersamar ganda yang membandingkan keefektifan ketamin intravena 0,5 mg/kb BB dengan petidin 0.35 mg/kg BB. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM dengan jumlah sampel 40, laki-laki dan perempuan, usia 16-65 tahun, status fisik ASA I-II. Kriteria penolakan adalah mempunyai riwayat alergi terhadap petidin dan ketamin, memiliki riwayat kejang, hipertensi dan penyakit jantung koroner, jika suhu tubuh sebelum induksi >38 °C atau <36°C dan bila pasien mengkonsumsi obat inhibitor monoamine oksidase. Kriteria pengeluaran jika operasi berlangsung >180 menit atau kurang dari 30 menit, mendapatkan darah atau komponen darah, memerlukan perawatan di ruang rawat intesif pasca pembedahan., mengalami komplikasi selamaanestesia seperti syok atau henti jantung dan bila intra operatif pasien mendapatkan obat klonidin, prostigmin, petidin dan ondansetron."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>