Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61374 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alifah Rahmawati
"Tesis ini membahas tentang praktik penyelesaian pengujian formil undang-undang di Makamah Konstitusi sehingga mampu menggambarkan pola yang dipakai dalam memeriksa dan memutus konstitusionalitas pembentukan undang-undang. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain analisis deskriptif.
Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat perbedaan mengenai penerapan dasar uji dalam pengujian materiil dan pengujian formil undang-undang dan adanya pemisahan penilaian antara konstitusionalitas pembentukan undang-undang dan penilaian batal hukumnya suatu undang-undang.

This thesis discusses the practical of formal law review settlement by the Constitutional Court of Indonesia to describe the patterns used in examining and deciding the constitutionality of the law. This study is a qualitative research design with a descriptive analysis.
The results found that there are differences of the basis review in material law review and formal law review and the separation between the constitutionality assessment of law form and assessment invalidated a law."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T35029
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Fathimah Azzahra Syafril
"Tesis ini mengkaji mengenai pengujian formil undang-undang di Indonesia yang merupakan kompetensi kewenangan dari Mahkamah konstitusi dengan melakukan analisis terhadap putusan-putusan terhadap pengujian formil. Adapun beberapa permasalahan yang dibahas dalam penelitian tesis ini meliputi: (i) desain dan praktik pengujian formil undang-undang di Indonesia; (ii) permasalahan pengujian formil undang-undang di Indonesia; dan (iii) desain gagasan ideal penataan pengujian formil undang-undang di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Untuk menunjang penelitian ini, metode pendekatan yang dilakukan meliputi pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual,  dan pendekatan perbandingan. Pengujian formil undang-undang memiliki kaitan erat dengan pengejawantahan dari berbagai teori tentang pembentukan undang-undang yang pada intinya menekankan bahwa pembentukan undang-undang harus memenuhi asas dan prosedur formil baik secara teoritis maupun normatif, dikarenakan tanpa pemenuhan unsur tersebut sebuah undang-undang dapat dinyatakan tidak berlaku. Sehingga pengujian formil merupakan kerangka untuk menguji dan menilai pemenuhan persyaratan formil dalam pembentukan undang-undang. Pada praktiknya Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian formil dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dengan tetap menggunakan perspektif konstitusionalitas dalam melakukan pengujian. Pada perkembangannya tren putusan Mahkamah Konstitusi menunjukkan Mahkamah Konstitusi cenderung membatasi diri untuk mengabulkan pengujian formil undang-undang kendati terbukti undang-undang tersebut bertentangan dengan proses formil. Tercatat, Mahkamah Konstitusi baru sekali memutuskan dengan amar putusan mengabulkan pengujian formil yakni pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Maka dari itu, terdapat urgensi bagi Mahkamah Konstitusi Indonesia untuk membuat sebuah batasan dan standar yang bersifat relatif dan bersifat mutlak. Standar yang bersifat relatif ini berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran relatif yang tidak berimplikasi pada pembatalan sebuah undang-undang. Di sisi lain standar mutlak ini berkaitan dengan standar yang harus dipenuhi yang mana pelanggaran terhadap standar ini akan berdampak pada sebuah norma dinyatakan inkonstitusional.

This thesis examines the formal review of laws in Indonesia which is the competence of the constitutional court by conducting an analysis of decisions on formal review. Some of the issues discussed in this thesis research include: (i) the design and practice of formal review of laws in Indonesia; (ii) the problem of formal review of laws in Indonesia; and (iii) the design of ideal ideas for the arrangement of formal review of laws in Indonesia. This research is normative legal research with an explanatory research typology. To support this research, the approach taken includes a statutory approach, a conceptual approach, and a comparative approach. The formal examination of laws has a close relationship with the embodiment of various theories regarding the formation of laws which in essence emphasize that the formation of laws must comply with the principles and formal procedures both theoretically and normatively, because without fulfilling these elements a law can be declared not applicable. So that formal testing is a framework for testing and assessing the fulfillment of formal requirements in the formation of laws. In practice, the Constitutional Court carries out a formal review by referring to the laws and regulations that regulate the procedures for forming statutory regulations while still using the perspective of constitutionality in carrying out trials. In its development, the trend of Constitutional Court decisions shows that the Constitutional Court tends to limit itself to granting a formal review of a law even though it is proven that the law is contrary to the formal process. It is recorded that the Constitutional Court has only decided once with a ruling to grant a formal review, namely in the Constitutional Court Decision Number 91/PUU-XVIII/2020. Therefore, there is an urgency for the Indonesian Constitutional Court to make a limitation and standard that is both relative and absolute. This relative standard relates to relative violations that do not have implications for the cancellation of a law. On the other hand, this absolute standard relates to standards that must be met where violations of these standards will have an impact on a norm being declared unconstitutional."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismah Naqiyyah
"Dua puluh tahun berdirinya Mahkamah Konstitusi, baru sekali Mahkamah Konstitusi memutus inkonstitusional pada uji formil pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, yaitu saat memutus konstitusionalitas UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dari tiga puluh sembilan permohonan uji formil yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi dan diperiksa, tiga puluh delapan diantaranya ditolak. UUD 1945 tidak mengatur secara rigid mengenai prosedur pembentukan undang-undang, sehingga belum ada batu uji yang jelas dalam pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945. Oleh karenanya, dibutuhkan gambaran mengenai penggunaan batu uji formil di Mahkamah Konstitusi agar dapat terlihat paradigma berpikir yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara uji formil. Dalam tulisan ini, Penulis akan menganalisis bagaimana perkembangan batu uji formil yang terdapat di putusan-putusan uji formil konstitusionalitas undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi di Indonesia dan bagaimana model putusan batu uji formil pada UU Cipta Kerja. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal yang akan menggunakan bentuk yuridis-normatif dalam penulisannya.

Two decades after the founding of the Constitutional Court of Republic of Indonesia, only once has the Constitutional Court decided unconstitutional in a formal review of an act against the 1945 Constitution, namely when it decided on the constitutionality of Act Number 11 of 2020 concerning Job Creation. Of the thirty-nine requests for formal review that were submitted to the Constitutional Court and examined, thirty-eight were rejected. The 1945 Constitution does not regulate rigidly regarding the procedure for forming laws, so there is no clear formal standard in the formal review of laws against the 1945 Constitution. Therefore, it is needed to picturing the standard used by Constitutional Court in deciding formal review cases. In this paper, the author will analyze how the development of the formal review standardcontained in the decisions of the formal review of the constitutionality of laws by the Constitutional Court in Indonesia and what is the model for the formal review of verdict on the Job Creation Law. This research is a doctrinal research that will use a normative-juridical form in its writing."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfuady Bakir
"Sebagai pengadilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24C Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Diantara kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, kewenangan memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dapat dikatakan sebagai kewenangan utama dari sisi teori dan sejarah. Dalam praktiknya, sejak berdirinya hingga sekarang Mahkamah Konstitusi telah memutus banyak perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Akan tetapi tidak terdapat satu putusan yang mengabulkan pengujian undang-undang secara formil. Dalam penelitian ini menganalisis bagaimana penyelesaian pengujian formil undang-undang terutama melihat pertimbangan-pertimbangan Hakim Konstitusi dalam dalam memutus pengujian perkara secara formil. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain analisis deskriptif. Hasil penelitian menemukan bahwa dalam memutus perkara pengujian formil, Mahkamah Konstitusi tidak hanya mempertimbangkan aspek-aspek formil prosedural dari pembentukan undang-undang.

As a constitutional court, the Constitutional Court has four powers and one obligation as stipulated by Article 24C of the 1945 Constitution. Among the powers possessed by the Constitutional Court, the authority to decide judicial review of the Constitution can be said to be the main authority in terms of theory and history. In practice, since its establishment until now the Constitutional Court has decided many cases of judicial review against the Constitution. However, there are no decisions that grant formal judicial review. In this research, it analyzes how the completion of the formal judicial review, especially looking at the considerations of the Constitutional Justices in deciding formal judicial review. This research is a qualitative research with a descriptive analysis design. The research found that in deciding formal review cases, the Constitutional Court did not only consider formal procedural aspects of the formation of laws."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafli Fadilah Achmad
"Pengujian undang-undang merupakan kewenangan yang paling dominan terjadi di Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi hingga empat belas tahun Mahkamah Konstitusi dibentuk belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai batas waktu penyelesaiannya. Tesis ini membahas sekaligus merumuskan urgensi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang disempurnakan dengan perbandingan lima negara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa telah terjadi standar ganda antara batas waktu pengujian undang-undang dengan sengketa yang lain dimana sengketa pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan umum dan impeachment memiliki batas waktu penyelesaian sedangkan pengujian undang-undang yang notabenenya adalah kewenangan dominan dari Mahkamah Konstitusi justru tidak memiliki batas waktu penyelesaiannya.Selain itu ketiadaan batas waktu penyelesaian juga terbukti menciptakan suatu kondisi yang dinamakan justice delayed is justice denied, dimana baik Pemohon, Masyarakat dan Mahkamah Agung tidak mengetahui kepastian waktu tentang putusan pengujian undang-undang akan memiliki kekuatan hukum tetap. Kasus korupsi mantan Hakim Konstitusi berinisial "PA" juga menjadi studi dalam penelitian ini yang membuktikan bahwa ketiadaan batas waktu menciptakan ruang negosiasi antara para pihak dan oknum pengadilan untuk melakukan tindakan koruptif. Maka dari itu perlu adanya upaya untuk merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan menambahkan tiga formulasi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang dalam suatu rumusan norma. Ketiga rumusan tersebut adalah batas waktu pengujian undang-undang yang bersifat kerugian potensial terhadap peristiwa konkret, batas waktu penyelesaian terhadap PERPU, dan batas waktu secara umum. Apabila Mahkamah Konstitusi memutus lebih dari waktu yang telah ditentukan maka terdapat konsekuensi hukum yang harus dilakukan berupa melakukan notifikasi dan penjelasan yang rasional kepada Pemohon dan Masyarakat.

Judicial Review represents the most dominant authority at the Constitutional Court. However, it has been fourteen years since the establishment of the Constitutional Court and the regulation to specifically determine a definite deadline for case resolution has yet to be issued. This theses discusses and also formulate the urgency to establish case resolution deadline for judicial review at the Constitutional Court of the Republic of Indonesia. The research method applied utilizes normative research method improvised with comparative study from three countries. Research results revealed signs of double standards between the deadlines for judicial review with other judicial disputes, whereas political party dissolution dispute, general election results dispute and impeachment presented definite deadline for case resolution while judicial review which supposedly represents the domain jurisdiction of the Constitutional Court fails to submit any deadline for case resolution. In alternative, that the vacuum in such deadline has generated the condition known as "justice delayed is justice denied", in which the Applicant, Public and the Supreme Court is shrouded concerning the definite deadline for the judicial review, to interpret any legal binding effect out of it. The corruption case of "PA" as former Constitutional Court was also investigated in this research as an evidence that the vacuum in the deadline has in turn created a negotiation room between parties and court officials to conduct corruptive actions. As such, the necessity to revised the Law on Constitutional Court is of paramount importance by adding three formula on deadline for case resolution within a normative framework. Those three formulations constitutes deadline in judicial review for laws with potential laws in nature to concrete events, deadline in judicial review to PERPU, and general deadline. In the event that the Constitutional Court issued a decision for such case beyond the agreed deadline, then such act will trigger mandatory legal consequences comprised of issuing notification and rational reasoning to the Applicant and Public at large.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Nafi Uz Zaman
"Melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Konstitusi (MK) menafsirkan partisipasi masyarakat dalam sebuah terminologi “meaningful participation” yang mencakup 3 (tiga) syarat yaitu right to be heard, right to be considered dan right to be right explained. Namun makna tersebut masih bersifat umum dan membutuhkan elaborasi lebih lanjut. Misalnya dalam menentukan sejauh mana indikator “bermakna” dapat dinilai dari partisipasi dan apakah jumlah masyarakat menentukan bermaknanya sebuah partisipasi. Melalui pendekatan doktriner dan analisis terhadap Putusan MK perihal pengujian formil sejak tahun 2003-2022, penelitian ini bertujuan untuk melihat pola Putusan MK dan menganalisis ratio decidendi yang digunakan oleh Majelis Hakim. Dari 49 putusan tentang permohonan pengujian formil, diperoleh 23 putusan yang dipertimbangkan dengan dalil permohonan “partisipasi masyarakat.” Hasil penelitian menunjukkan terdapat parameter yang menentukan meaningful participation sebagai elaborasi dari 3 (tiga) syarat sebelumnya yaitu Pertama keterbukaan akses masyarakat dalam mengetahui setiap tahapan beserta riwayat/risalah. Kedua, pertimbangan jangka waktu pembahasan dan subjek terdampak secara proporsional dengan cakupan undang-undang yang dibahas. Ketiga, tracking atas pendapat masyarakat yang diadopsi maupun tidak dalam perumusan norma. Selain itu, kedepan diharapkan adanya terobosan hukum dengan lebih mengedepankan keadilan substantif dalam pengujian formil terutama menguji pemenuhan partisipasi masyarakat. Hal ini bertujuan agar tercapainya hakikat dari meaningful participation itu sendiri.

Through Decision Number 91/PUU-XVIII/2020, the Constitutional Court (MK) interpreted the participation of the public in the terminology of "meaningful participation," which includes three requirements: the right to be heard, the right to be considered, and the right to be right explained. However, this meaning remains general and requires further elaboration. For example, it needs clarification on how the indicator of "meaningful" can be assessed in participation and whether the number of people determines the meaningfulness of participation. Using a doctrinal approach and analyzing MK's decisions on formal testing from 2003 to 2022, this study aims to observe patterns in MK's decisions and analyze the ratio decidendi used by the panel of judges. Out of 49 decisions on formal testing applications, 23 decisions were related to the argument of "public participation." The research findings indicate that there are parameters determining meaningful participation as elaboration of the previous three requirements. Firstly, it involves the openness of public. Secondly, it considers about the numbers. Thirdly, it involves tracking the adoption or non-adoption of public opinions. Moreover, in the future, it is hoped that legal breakthroughs will prioritize substantive justice in formal testing, especially when evaluating the fulfillment of public participation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Jefri Porkonanta
"Pada tahun 2011 Mahkamah Konstitusi mendapat permohonan dengan registrasi perkara nomor 33/PUU-IX/2011 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN). Hal yang menjadi perdebatan adalah mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional.
Penelitian ini berangkat dari penilaian tepat tidaknya keberadaan Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional. Tiga permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai (1) keberadaan undang-undang pengesahan perjanjian internasional dalam sistem hukum di Indonesia; (2) pengujian konstitusionalitas undang-undang pengesahan perjanjian internasional oleh Mahkamah Konstitusi; serta (3) mencari bentuk pengesahan perjanjian internasional yang sebaiknya diterapkan di Indonesia. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan bahan hukum berupa putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan, serta tulisan-tulisan yang berkaitan dengan hukum tata negara dan hukum internasional. Adapun jenis penelitian ini adalah yuridis-normatif.
Ada beberapa teori dalam pemberlakuan kaidah perjanjian internasional ke dalam hukum nasional, salah satunya adalah teori transformasi. Melalui transformasi, perjanjian internasional tidak otomatis berlaku dalam hukum nasional melainkan memerlukan aturan pelaksana yang materinya adalah pengejewantahan dari ketentuan dalam perjanjian internasional. Dengan diketahuinya tentang keberadaan undang-undang pengesahan perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia maka hal tersebut juga turut menjawab kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang pengesahan perjanjian internasional.

In 2011 the Constitutional Court received the petition with 33/PUUIX/ 2011 case registration number of the judicial review of Act No. 38 Year 2008 about Ratification of the Charter of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN Charter). It is a debate about the authority of the Constitutional Court in reviewing the Act of Ratification of International Treaty.
This study departed from the assessment about the existence of the Act of Ratification of International Treaty. Three issues discussed in this study is (1) the existence of the Act of Ratification of International Treaty in the legal system of Indonesia, (2) the constitutional review of the Act of Ratification of International Treaty by the Constitutional Court, and (3) seek the form of ratification of international treaty that should be applied in Indonesia. To answer these problems, this study uses materials such as the Constitutional Court decisions, regulation, and writings relating to constitutional law and international law. This research is a juridical-normative.
There are several theories to apply international treaty into national law, one of which is the transformation theory. Through transformation, international treaty are not automatically applicable in national law but require regulation which the material is the manifestation of the provisions of international treaty. By knowing about the existence of the Act of Ratification of International Treaty in the Indonesian legal system then it also helped answer the authority of the Constitutional Court in reviewing the Act of Ratification of International Treaty.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T36787
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Devi Melissa
"Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis normatif terhadap kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian konstitusional undang-undang ratifikasi. Sebagaimana diketahui, kebutuhan kerjasama antarnegara berkembang secara signifikan dalam berbagai aspek. Dalam rangka mengadopsi dan mengimplementasi setiap perjanjian yang disetujui di tingkat bilateral, regional, dan multilateral, Indonesia wajib melakukan ratifikasi melalui legislasi nasional. Akan tetapi, produk hukum hasil ratifikasi perjanjian internasional bukan merupakan produk legislasi meskipun secara hierarki kedudukannya dikategorikan sebagai undang-undang. Hal ini disebabkan, sifat undang-undang ratifikasi itu sendiri terutama dalam hal substansi, yaitu adanya perbedaan karakteristik dengan undang-undang yang berlaku pada umumnya. Atas hal itu, pengujian terhadap undang-undang ratifikasi sepatutnya tidak dapat dilakukan mengingat persoalan yang dapat ditimbulkan. 

This research attempts to analyze normatively the jurisdiction of Constitutional Court in doing constitutional review towards ratification act. As we know, the need of cooperation between countries is increasing significantly in variant aspects. In order to adopt and implement every single agreement that has been agreed in bilateral, regional, and multilateral level, Indonesia needs to ratify through national legislation. However, the product of ratification of international treaty is not legislation product law even though it is equally extended to the act based on hierarchy.  This caused by the nature of ratification act itself mainly in the substances area, in which comprehensively different with characteristics of common act applied.  Therefore, the examination of ratification act could not be done since it may disclose problematic decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54827
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aziz Fauzi
"Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) merupakan kewenangan yang diberikan UUD NRI Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Akibat hukum dari pengujian suatu undang-undang yang tidak sesuai dengan konstitusi ditentukan lebih lanjut dalam Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Suatu undang-undang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dikarenakan prosedur pembentukan tidak sesuai UUD NRI Tahun 1945 atau materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Mendasari ketentuan Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dipahami bahwa inti dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang adalah untuk membatalkan norma yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi, dalam beberapa putusannya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya membatalkan norma, melainkan juga membuat norma yang berakibat pada terjadinya perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran. Kendati perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi tersebut tidak ditentukan dalam UUD NRI Tahun 1945, namun hal tersebut diperlukan untuk memastikan UUD NRI Tahun 1945 tetap sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ketatanegaraan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tesis ini akan menjelaskan 2 (dua) pokok bahasan. Pertama, sebab terjadinya perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran konstitusi dalam pengujian undang-undang dengan memberikan makna tekstual (textual meaning) terhadap UUD NRI Tahun 1945 melalui pemaknaan yang berbeda dari makna asli (original meaning) UUD NRI Tahun 1945. Sehingga, secara materiil terjadi perubahan UUD NRI Tahun 1945 yang disebabkan adanya penafsiran Mahkamah Konstitusi yang menganggap kalimat konstitusi tidak jelas atau tidak memberikan jalan keluar. Kedua, akibat hukum perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (i) terjadi perubahan makna tekstual terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang berakibat pada terjadinya perubahan implementasi ketentuan UUD NRI Tahun 1945; dan (ii) wewenang MPR untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 tidak menjadi hilang setalah perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi. Sebab, wewenang MPR untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 merupakan wewenang atribusi yang bersumber dari UUD NRI Tahun 1945, sehingga tidak akan hilang sepanjang tidak dihapus dari UUD NRI Tahun 1945.

The judicial review of the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 (UUD NRI Tahun 1945) is an authority given to the Constitutional Court by the UUD NRI Tahun 1945. The legal consequences of reviewing a law that is inconsistent with the constitution are further specified in Article 56 and Article 57 of Law Number 24 of 2003 concerning the Constitutional Court, namely that they do not have binding legal force. A law is declared to have no binding legal force because its formulation is not in accordance with the UUD NRI Tahun 1945 or the contents of paragraphs, articles and/or parts of the procedural law are contrary to the UUD NRI Tahun 1945. Based on the provisions of Article 56 and Article 57 of the Law It can be understood that the essence of the Constitutional Court's authority in reviewing laws is to abolish norms that are contrary to the UUD NRI Tahun 1945. However, in several of its decisions, the Constitutional Court not only annuls norms, but also makes norms that result in fatal in the occurrence of amendments to the UUD NRI Tahun 1945 through monitoring. Although the amendment to the UUD NRI Tahun 1945 through the stipulation of the Constitutional Court was not specified in the UUD NRI Tahun 1945, this was necessary to ensure that the UUD NRI Tahun 1945 remained in accordance with the needs and developments of the state administration. By using normative juridical research methods, this thesis will explain 2 (two) main topics. First, the reason for the amendment to the UUD NRI Tahun 1945 through the interpretation of the Constitutional Court. The results of the study show that the Constitutional Court interprets the constitution in judicial review by giving a textual meaning to the UUD NRI Tahun 1945 through a different meaning from the original meaning of the UUD NRI Tahun 1945. Thus, materially there was a change in the UUD NRI Tahun 1945 due to the interpretation of the Constitutional Court which considered the sentence of the constitution to be unclear or did not provide a way out. Second, the legal consequences of changing the UUD NRI Tahun 1945 through the interpretation of the Constitutional Court. The results showed that: (i) there was a change in the textual meaning of the UUD NRI Tahun 1945 which resulted in a change in the implementation of the provisions of the UUD NRI Tahun 1945; and (ii) the MPR’s authority to amend the UUD NRI Tahun 1945 was not lost after the amendment to the UUD NRI Tahun 1945 was through the interpretation of the Constitutional Court. This is because the MPR’s authority to amend the UUD NRI Tahun 1945 is an attribution authority originating from the UUD NRI Tahun 1945, so it will not be lost as long as it is not removed from the UUD NRI Tahun 1945"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilam Rahmahanjayani
"Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangan menguji Undang-undang terhadap UUD 1945 berperan sebagai negative legislator. Dalam perkembangannya seringkali Mahkamah Konstitusi tidak hanya memutus apakah suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak tetapi juga merumuskan norma baru. Sikap aktif Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap sebagai bentuk penerapan prinsip judicial activism. Judicial Activism dipahami sebagai dinamisme para hakim ketika membuat putusan tanpa melalui batas-batas konstitusi. Namun banyaknya kritik terhadap prinsip judicial activism melahirkan doktrin judicial restraint sebagai sebuah antitesa. Dalam doktrin judicial restraint, pengadilan harus dapat melakukan pengekangan diri dari kecenderungan ataupun dorongan untuk bertindak layaknya sebuah miniparliament. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menerapkan prinsip ini pun tidak sedikit jumlahnya. Namun hingga kini penerapan kedua prinsip tersebut oleh Mahkamah Konstitusi belum jelas. Oleh karena itu, skripsi ini ingin membahas mengenai penerapan kedua prinsip tersebut dalam putusan pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan kepustakaan serta wawancara.
Dari hasil riset didapati bahwa belum adanya parameter bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana bisa menerapkan prinsip judicial restraint dan judicial activism menimbulkan kerancuan. Prinsip judicial restraint dan judicial activism tidak bisa disamakan penerapannya dalam setiap kasus karena masing-masing kasus memiliki persoalan yang berbeda. Tidak ada satu prinsip yang lebih baik atau yang lebih tinggi dari prinsip lainnya, sehingga tidak bisa dikatakan jika Mahkamah Konstitusi lebih baik mengedepankan penerapan judicial restraint dibanding judicial activism maupun sebaliknya.

The Constitutional Court in executing its authority to review the constitutionality of the law act as negative legislator. In its development the Constitutional Court often to not only decide whether a norm contradict to the constitution or not but also formulate a new norm. The Constitutional Court 39s active stance is considered as a form of applying the judicial activism principle. Judicial Activism is understood as the dynamism of judges when making decisions without going through the boundaries of the constitution. However, many criticisms towards judicial activism causing judicial restraint doctrine to rise as an antithetical view In judicial restraint doctrin, the court must be able to exercise self restraint from the tendency to act like a miniparliament. There are many Constitutional Court's cases that applies the judicial restraint principle. However, until now the application of both principles by the Constitutional Court is not clear. Therefore, this thesis would like to examine about the application of both principles on judicial review cases in Constitutional Court. Research method used is normative juridical writing with qualitative approach from library materials and interview.
The research results found that there is no parameter yet for the Constitutional Court to decide when and under what circumstances to apply the judicial restraint and judicial activism principles. It cause confusion. Nevertheless, the judicial restraint and judicial activism principle can not be equated with the application in each case because each case has different problems. There is no one principle that is better or higher than other principles, so it can not be said if the Constitutional Court is better put forward the implementation of judicial restraint than judicial activism or vice versa.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>