Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116405 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tities Anggraeni Indra
"Latar Belakang: Seiiring dengan bertambahnya jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 maka angka kejadian nefropati diabetik juga ikut meningkat. Berbagai faktor telah diidentifikasi turut memperberat kejadian nefropati diabetik salah satunya status vitamin D 25(OH)D. Vitamin D memiliki efek non-kalsemik yang dapat memengaruhi sistem renin-angiotensin sehingga turut berperan dalam kejadian albuminuria. Studi sebelumnya menunjukan tingginya prevalensi defisiensi vitamin D 25(OH)D pada pasien diabetes melitus tipe 2 dan defisiensi vitamin D diduga berhubungan dengan kejadian albuminuria.
Tujuan: Mengetahui asosiasi antara status vitamin D 25(OH)D dengan albuminuria pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
Metodologi: Dilakukan studi potong lintang pada 96 pasien diabetes melitus tipe 2 yang berobat ke poliklinik Metabolik-Endokrin RSUPN-CM. Pemeriksaan kadar vitamin D 25(OH)D menggunakan kit Diasorin dengan metode CLIA dan albuminuria dinilai berdasarkan kadar albumin pada sampel urine sewaktu. Analisis bivariat menggunakan metode chi square dan analisis multivariat menggunakan teknik regresi logistik.
Hasil: Prevalensi defisiensi vitamin D 25(OH)D pada pasien diabetes melitus tipe 2 sebesar 49% dengan nilai median kadar vitamin D 25(OH)D pada pasien diabetes melitus tipe 2 adalah 16,35 ng/mL (4,2-41,4 ng/mL). Tidak didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara defisiensi vitamin D dengan albuminuria baik pada analisa bivariat maupun multivariat (OR 0,887;IK95% 0,335-2,296). Faktor perancu seperti kontrol gula darah yang buruk dan berat badan lebih sangat mempengaruhi hubungan antara defisiensi vitamin D dengan kejadian albuminuria pada pasien diabetes melitus tipe 2.
Simpulan: Studi ini belum dapat menyimpulkan adanya hubungan antara defisiensi vitamin D 25(OH)D dengan albuminuria pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.

Background: In line with the increasing number of patients with diabetes mellitus type 2, the incidence of diabetic nephropathy is also increased. Various factors aggravating diabetic nephropathy have been identified, among others vitamin D 25(OH)D level. Vitamin D has a non-calcemic effect on renin-angiotensin system, causing albuminuria. Previous studies showed a high prevalence of vitamin D deficiency in patients with type 2 diabetes mellitus and it was related to the incidence of albuminuria.
Aim: To know the association between vitamin D 25(OH)D level with albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study was conducted in 96 patients with type 2 diabetes mellitus at outpatient clinic of Metabolic-Endocrine Cipto Mangunkusumo Hospital. Serum vitamin D level was assessed using Diasorin kit with CLIA method. Albuminuria was assessed using random urine sample. For bivariate analysis using chi square and multivariate analysis using regression logistic method.
Results: The prevalence of vitamin D 25(OH)D deficiency in patients with type 2 diabetes mellitus was 49% with a median value 16,35 ng / mL (4,2 - 41,4 ng /mL). There was no significant correlation between vitamin D deficiency with the severity of albuminuria (OR 0,887; 95% CI 0,335 to 2,296). Confounding factors such as poor blood glucose control and overweight strongly influenced the association between vitamin D deficiency with the incidence of albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus.
Conclusion: The results of this study have not been able to show an association between vitamin D deficiency with the severity of albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresna Adhiatma
"Latar Belakang. Populasi penderita DM tipe 2 semakin meningkat, seringkali disertai dengan komorbid, salah satunya depresi dengan prevalensi bervariasi. Depresi dapat mempengaruhi keluaran penyakit DM tipe 2. Beberapa obat antidepresan diketahui dapat mengganggu kontrol gula darah. Vitamin D, telah lama diketahui berkaitan dengan berbagai penyakit kronik, berpotensi memperbaiki gejala depresi, walaupun belum diketahui hubungannya.
Tujuan. Mengetahui adanya hubungan antara kadar vitamin D pada pasien DM tipe dengan kejadian depresi pada pasien dengan DM tipe 2.
Metode. Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang, dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pasien DM tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi pada, dilakukan penapisan depresi menggunakan kuesioner BDI-II, kemudian dibagi menjadi dua kelompok, depresi (BDI-II ≥14) dan tanpa depresi (BDI-II <14). Kemudian kedua kelompok dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D, dan dilakukan analisis perbedaan rerata pada kedua kelompok tersebut. Kemudian dilakukan analisis multivariat regresi logistik terhadap variabel perancu.
Hasil. Dari 60 subjek dengan DM tipe 2 yang yang memenuhi kriteria, didapatkan 23 subjek (38,3%) yang depresi, dan 37 subjek (61,7%) yang tidak depresi. Didapatkan median kadar vitamin D 21,8 ng/mL (RIK 14,9-26,6) pada kelompok depresi, sementara median kadar vitamin D 26,5 ng/mL (RIK 23,96-34,08) pada kelompok tanpa depresi. Terdapat perbedaan bermakna antara keduanya (p = 0,001). Setelah dilakukan analisis multivariat dengan variabel perancu jenis kelamin, paparan sinar matahari, dan IMT, didapatkan adjusted odds ratio(adjusted OR) 1,123 (IK 95%: 1,003-1,259) dengan nilai p=0,045.
Kesimpulan. Kadar vitamin D yang lebih rendah meningkatkan kejadian depresi pada pasien DM tipe 2.

Background. The population of people with type 2 diabetes is increasing, which is often accompanied by comorbid, one of them is depression. The presence of depression can affect the outcome of type 2 diabetes mellitus. Some of antidepressants are known to interfere with blood sugar control. Vitamin D levels have long been known to be associated with a variety of chronic diseases, have the potential to improve symptoms of depression, although the relationship is not yet known.
Methods. This research is a cross sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients with type 2 DM who met the inclusion criteria on an outpatient basis were screened for depression using BDI-II questionnaire, then divided into two groups, depressed (BDI-II ≥ 14), and without depression (BDI-II <14). Then both groups were examined for vitamin D levels using the ELISA method, and an analysis of the mean difference between the two groups was performed.
Results. From the 60 subjects with type 2 DM who met the criteria, 23 subjects (38.3%) were depressed, and 37 subjects (61.7%) were not depressed. The median of vitamin D level was 21.8 ng/mL (IQR 14.9-26.6) in the depressed group, while the median vitamin D level was 26.5 ng/mL (IQR 23.96-34.08) in the non-depressed group (p = 0.001). After doing multivariate analysis with confounding variables the adjusted odds ratio was 1.123 (95% CI: 1.003-1.259) with p value=0.045.
Conclusion. Lower levels of vitamin D increase the incidence of depression in type 2 DM patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Jovita Kartiko
"Latar Belakang: Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronik progresif dengan sebagian besar populasi berada pada usia produktif. Di Indonesia, capaian kendali glikemik yang optimal hanya didapatkan pada 20-30% pasien. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi muskuloskeletal seperti sarkopenia yang sudah mulai terjadi sejak usia 20 tahun. Vitamin D merupakan salah satu suplementasi nutrisi yang direkomendasikan dalam tata laksana sarkopenia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan populasi DM tipe 2 berusia 18-59 tahun yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia pada bulan Januari 2021 sampai dengan April 2022. Dilakukan pengukuran massa otot dengan bioimpedance analysis (BIA), kekuatan genggam tangan, kecepatan berjalan, antropometri, serta kadar HbA1c dan vitamin D serum. Titik potong vitamin D ditentukan berdasarkan kurva receiver-operating characteristic (ROC).
Hasil: Dari 99 subjek, 38,4% mengalami sarkopenia, yang terdiri dari 94,7% possible sarcopenia dan 5,3% true sarcopenia. Kadar vitamin D di bawah 32 ng/mL didapatkan pada 78,9% kelompok sarkopenia. Berdasarkan analisis multivariat, prevalensi sarkopenia pada populasi DM tipe 2 dengan defisiensi vitamin D didapatkan 1,94 kali lebih tinggi (p=0,043) dibandingkan dengan populasi DM tipe 2 tanpa defisiensi vitamin D, setelah dilakukan penyesuaian dengan usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri, setelah penyesuaian dengan faktor usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a chronic progressive metabolic disease with most of the population being at productive age. In Indonesia, optimal glycemic control is only achieved in 20-30% of patients which increases the risk of musculoskeletal complications such as sarcopenia. Sarcopenia has been known to develop since the age of 20. Vitamin D is one of the recommended nutritional supplementations in the management of sarcopenia.
Aim: We aimed to determine the association between serum vitamin D and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM.
Methods: This cross-sectional study involved 18-59 years old T2DM outpatients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia between January 2021 and April 2022. We performed muscle mass measurement using bioimpedance analysis (BIA), handgrip strength, gait speed, anthropometrics, as well as serum vitamin D and HbA1c levels. The cut-off Vitamin D level was determined using receiver-operating characteristic (ROC) curve.
Results: A total of 99 subjects were analyzed of which 38.4% had sarcopenia. The proportion of possible sarcopenia was 94.7% and true sarcopenia 5.3%. Vitamin D level below 32 ng/mL was found in 78.9% of the sarcopenia group. Based on multivariate analysis, the prevalence of sarcopenia in the T2DM population with vitamin D deficiency was found to be 1.94 times higher (p=0.043) compared to the T2DM population without vitamin D deficiency, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
Conclusion: There is a significant relationship between vitamin D levels and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Nurul Rachman
"Vitamin D memiliki efek mempertahankan fungsi endovaskular dan mengatur aktivitas inflamasi dalam dinding pembuluh darah. Lemak viseral, disebutkan sebagai prediktor risiko yang baik untuk penyakit vaskular karena berperan aktif secara metabolik serta bersifat meningkatkan pengeluaran sitokin proinflamasi Kedua hal ini berpengaruh dalam peningkatan risiko kejadian stroke akut. Sampai saat ini penelitian yang membahas korelasi antara kedua faktor tersebut masih inkosisten. Studi potong lintang dilakukan pada subyek berusia >18 tahun dengan stroke akut yang menjalani perawatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia. Pengukuran kadar lemak viseral menggunakan bioelectrical impedance analysis bedridden multifrekuensi. Penilaian kadar serum vitamin D (25 (OH)D) menggunakan metode chemiluminescent immunoassay. Terdapat total 73 subyek penelitian, sebanyak 55 subyek (75,3%) dengan insufisiensi dan 15 subyek (20,5%) mengalami defisiensi vitamin D, dengan nilai rerata di 17,08±7,85 ng/mL. Sejumlah 78,1% subyek memiliki kadar lemak viseral yang tinggi. Terdapat korelasi negatif (r= -0,271) yang signifikan (p <0,021) antara kadar lemak viseral dan kadar vitamin D serum pada stroke akut. Dilakukan analisis multivariat lanjutan, didapatkan kadar lemak viseral dan jenis pakaian (pakaian tertutup) menjadi faktor paling signifikan dalam menilai kadar vitamin D serum.Terdapat korelasi yang signifikan antara kadar lemak viseral dengan kadar vitamin D 25 (OH) pada pasien stroke akut.

Vitamin D has effects in maintaining endovascular function and regulating inflammatory activity in the vascular wall. Visceral fat is said to be a good risk predictor for vascular disease because it plays a metabolically active role and increases the release of pro-inflammatory cytokines, both of which are influential in increasing the risk of acute stroke events. Studies that discuss the correlation between these two factors are still inconsistent.  A cross-sectional study was conducted on subjects aged >18 years with acute stroke who underwent treatment at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and University of Indonesia Hospital. Measurement of visceral fat levels using bioelectrical impedance analysis bedridden multifrequency. Assessment of serum vitamin D (25(OH)D) levels using chemiluminescent immunoassay method.  In a total of 73 subjects, 55 (75.3%) subjects had vitamin D insufficiency and 15 (20,5%) subject had deficiency, with mean values at 17.08±7.85 ng/mL. A total of 78.1% of subjects had high visceral fat levels. There was a significant (p<0.021) negative correlation (r= -0.271) between visceral fat and serum vitamin D levels in acute stroke. In a further multivariate analysis, visceral fat content and type of clothing (concealing clothing) was found to be the most significant factor in assessing serum vitamin D levels. There is a significant correlation between visceral fat levels and 25 (OH) vitamin D levels in acute stroke patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Nurul Rachman
"Latar Belakang: Vitamin D memiliki efek non-skeletal dalam mempertahankan fungsi endovaskular dan mengatur aktivitas inflamasi dalam dinding pembuluh darah. Lemak viseral, disebutkan sebagai prediktor risiko yang baik untuk penyakit vaskular karena berperan aktif secara metabolik serta bersifat meningkatkan pengeluaran sitokin proinflamasi Kedua hal ini berpengaruh dalam peningkatan risiko kejadian stroke akut. Sampai saat ini penelitian yang membahas korelasi antara kedua faktor tersebut masih inkosisten. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar lemak viseral dan kadar vitamin D serum pada pasien stroke akut.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada subyek berusia >18 tahun dengan stroke akut yang menjalani perawatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia selama bulan November -Desember 2023. Pengukuran kadar lemak viseral menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) bedridden multifrekuensi. Penilaian kadar serum vitamin D (25 (OH)D) menggunakan metode chemiluminescent immunoassay (CMIA). Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk menilai korelasi dan hubungan antara variable bebas dan terikat, serta mengidentifikasi faktor perancu lain yang berhubungan dengan kadar vitamin D serum.
Hasil: Terdapat total 73 subyek penelitian, sebanyak 55 subyek (75,3%) dengan insufisiensi dan 15 subyek (20,5%) mengalami defisiensi vitamin D, dengan nilai rerata di 17,08±7,85 ng/mL. Sejumlah 78,1% subyek memiliki kadar lemak viseral yang tinggi. Terdapat korelasi negatif (r= -0,271) yang signifikan (p <0,021) antara kadar lemak viseral dan kadar vitamin D serum pada stroke akut. Dilakukan analisis multivariat lanjutan dengan regresi linear untuk faktor perancu lain, hanya didapatkan kadar lemak viseral dan jenis pakaian (pakaian tertutup) yang menjadi faktor paling signifikan dalam menilai kadar vitamin D serum.
Kesimpulan: Terdapat korelasi yang signifikan antara kadar lemak viseral dengan kadar vitamin D 25 (OH) pada pasien stroke akut.

Background: Vitamin D has non-skeletal effects in maintaining endovascular function and regulating inflammatory activity in the vascular wall. Visceral fat is said to be a good risk predictor for vascular disease because it plays a metabolically active role and increases the release of pro-inflammatory cytokines, both of which are influential in increasing the risk of acute stroke events. Until now, studies that discuss the correlation between these two factors are still inconsistent. This study aims to determine the correlation between visceral fat levels and serum vitamin D levels in acute stroke patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted on subjects aged >18 years with acute stroke who underwent treatment at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and University of Indonesia Hospital during November - December 2023. Measurement of visceral fat levels using bioelectrical impedance analysis (BIA) bedridden multifrequency. Assessment of serum vitamin D (25(OH)D) levels using chemiluminescent immunoassay (CMIA) method. Bivariate and multivariate analyses were used to assess the correlation and relationship between independent and dependent variables, as well as identify other confounding factors associated with serum vitamin D levels.
Results: In a total of 73 subjects, 55 (75.3%) subjects had vitamin D insufficiency and 15 (20,5%) subject had deficiency, with mean values at 17.08±7.85 ng/mL. A total of 78.1% of subjects had high visceral fat levels. There was a significant (p<0.021) negative correlation (r= -0.271) between visceral fat and serum vitamin D levels in acute stroke. In a further multivariate analysis with linear regression for other confounding factors, only visceral fat content and type of clothing (concealing clothing) was found to be the most significant factor in assessing serum vitamin D levels.
Conclusion: There is a significant correlation between visceral fat levels and 25 (OH) vitamin D levels in acute stroke patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa
"Latar belakang: Alopesia androgenetik (AAG) merupakan jenis kebotakan rambut paling umum pada laki-laki yang menyebabkan gangguan estetik sehingga memengaruhi kualitas hidup dan dapat berkaitan dengan kondisi sistemik. Tata laksana yang ada seringkali belum memuaskan. Vitamin D sebagai salah satu mikronutrien yang telah dikenal memiliki banyak manfaat juga diduga berperan dalam kejadian kelainan rambut termasuk AAG.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kadar 25(OH)D serum dan status kecukupan vitamin D dengan derajat keparahan AAG pada laki-laki.
Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi observasional analitik dengan desain potong lintang. Subjek penelitian dipilih menggunakan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria penelitian. Diagnosis AAG ditegakkan secara klinis berdasarkan klasifikasi Hamilton-Norwood lalu dibagi menjadi derajat ringan dan sedang-berat. Dilakukan pula fotografi 7 posisi kepala serta pemeriksaan trikoskopi dan Trichoscan®. Pemeriksaan kadar 25(OH)D serum diambil dari darah vena sebanyak 3 mL dan menggunakan metode chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA). Klasifikasi status kecukupan vitamin D ditetapkan menjadi defisiensi dan nondefisiensi berdasarkan Endocrine Society Guideline. Nilai p<0,05 dianggap bermakna secara statistik.
Hasil: Di antara 74 SP dengan rerata usia 37,4(8,89) tahun yang berpartisipasi dalam penelitian, sebanyak 29 orang (39,2%) mengalami AAG ringan dan 45 orang (60,8%) mengalami AAG sedang hingga berat. Rerata kadar 25(OH)D serum untuk seluruh SP adalah 18,9(5,89) ng/mL yang termasuk ke dalam kategori defisiensi vitamin D. Rerata kadar 25(OH)D serum pada SP dengan AAG ringan adalah 21,8(6,39) ng/mL dan pada AAG sedang hingga berat sebesar 17,1(4,79) ng/mL. Terdapat hubungan bermakna secara statistik antara kadar 25(OH)D serum dan status kecukupan vitamin D dengan derajat keparahan AAG (p=0,01; p<0,001). Sebagai data tambahan, ditemukan pula hubungan bermakna secara statistik antara diameter rambut (p=0,036) dengan derajat keparahan AAG.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara status kecukupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum dengan derajat keparahan AAG pada laki-laki.

Background: Androgenetic alopecia (AGA) is the most common type of hair loss in men which causes aesthetic disturbances that affect quality of life and can be associated with systemic conditions. Existing management is often not satisfactory. Vitamin D, as a micronutrient that is known to have many benefits, is also thought to play a role in the incidence of hair disorders including AGA.
Objective: This study aims to analyze the association between serum 25(OH)D levels and vitamin D sufficiency status with the severity of AGA in men.
Method: This research is an observational analytic study with a cross-sectional design. The study subjects were selected using consecutive sampling. The diagnosis of AGA was established clinically according to the Hamilton-Norwood classification and then categorized into mild and moderate-severe degrees. Photographs of the head in seven positions were taken, and trichoscopy and Trichoscan® examinations were performed. Serum 25(OH)D levels were measured from 3 mL of venous blood using the chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA) method. Vitamin D status was classified as deficient or non-deficient according to the Endocrine Society Guideline. Statistical significance were set at p<0.05.
Results: Among the 74 subjects with a mean age of 37.4 (8.89) years, 29 (39.2%) had mild AGA and 45 (60.8%) had moderate to severe AGA. The mean serum 25(OH)D level for all participants was 18.9 (5.89) ng/mL, indicating vitamin D deficiency. For those with mild AGA, the mean serum 25(OH)D level was 21.8 (6.39) ng/mL, while for those with moderate to severe AGA, it was 17.1 (4.79) ng/mL. There was a statistically significant association between serum 25(OH)D levels and vitamin D status with AGA severity (p=0.01; p<0.001). Additionally, a significant association was found between hair diameter and AGA severity (p=0.036).
Conclusion: This study found significant association between vitamin D status and serum 25(OH)D levels with AGA severity in men
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arieska Felicia
"Infeksi pada pasien sakit kritis umum terjadi. Hal ini menyebabkan tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien ICU. Peran mikronutrien terutama vitamin D pada sistem imun terus berkembang, penelitian yang ada menghubungkan defisiensi vitamin D dengan tingginya kejadian infeksi pada pasien sakit kritis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara defisiensi vitamin D saat masuk ICU dengan kejadian infeksi pada pasien sakit kritis. Rancangan penelitian menggunakan kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ICU RSCM dan RSUI. Pada penelitian ini dilakukan analisis interim, diperoleh 31 subjek dengan rerata usia 50,52±15,79, jumlah laki-laki 61,3%, sebesar 45,1% subjek mengalami malnutrisi dan diagnosis pembedahan sebesar 46,2%. Diperoleh hasil pasien dengan defisiensi vitamin D sebanyak 62,5% mengalami infeksi ditandai dengan peningkatan kadar leukosit ≥ 12.000/µL. Pada penelitian ini secara statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan kejadian infeksi pada pasien sakit kritis (P=0,17, CI 95% 3,12(1,06 – 9,12)). Diperlukan penelitian lanjutan hingga jumlah sampel terpenuhi, menganalisis faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kejadian infeksi dan dapat menggunakan modalitas pemeriksaan laboratorium yang lebih sensitive seperti CRP dan PCT.

Infection in critically ill patients is common, leading to high morbidity and mortality in ICU patients. The role of micronutrients, especially vitamin D, in the immune system is evolving. Existing research links vitamin D deficiency with higher infection rates in critically ill patients. This study examines the relationship between vitamin D deficiency at ICU admission and infection in critically ill patients. The study design involves a prospective cohort of subjects aged ≥18 years treated at RSCM and RSUI ICUs.  An interim analysis involved 31 subjects with a mean age of 50.52 ± 15.79 years. Of these, 61,3% were male, 45,1% were malnourished and 46,2% had surgical diagnoses. Results showed that 62,5% of patients with vitamin D deficiency experienced infection, indicated by leukocyte counts ≥ 12,000/µL. Statistically, there was no significant association between vitamin D levels and infection incidence in critically ill patients (P = 0.17, 95% CI 3.12 (1.06 – 9.12)). Further research with a sufficient sample size is needed to analyze other factors influencing infection incidence. More sensitive laboratory tests such as CRP and PCT could also be utilized."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raihanah Suzan
"Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien lupus eritematosus sistemik perempuan usia dewasa.
Metode: Peneltian ini merupakan penelitian potong lintang pada 36 pasien SLE perempuan dewasa dari Poliklinik Reumatologi di RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan data subyek meliputi usia, klasifikasi penyakit SLE, obat-obatan yang digunakan, tipe kulit, penggunaan tabir surya, bagian tubuh yang tertutup pakaian, lama terpajan sinar matahari, indeks massa tubuh (IMT), asupan vitamin D, dan kadar 25(OH)D serum.
Hasil: Sebagian besar (41,7%) subyek berusia antara 36–45 tahun, tergolong klasifikasi SLE ringan (52,8%), selalu menggunakan tabir surya (63,9%), tipe kulit IV (69,4%), dan memakai pakaian yang menutupi seluruh/sebagian besar tubuh (69,4%), serta tidak terpajan dan terpajan sinar matahari <30 menit (77,8%). Semua subyek menggunakan kortikosteroid. Separuh subyek memiliki berat badan normal berdasarkan IMT, sebagian besar (55,6%) subyek mempunyai asupan vitamin D cukup berdasarkan AKG 2012, dan 28 subyek (77,8%) menderita defisiensi vitamin D ( kadar 25(OH)D serum <50 nmol/L). Didapatkan korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada subyek penelitian (r = 0,52; P <0,01).
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien SLE perempuan dewasa (r = 0,52; P <0,01).

Objective: the aim of the study is to investigate the correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted in 36 adult woman patients with SLE from Rheumatology Clinic of the Departemen of Internal Medicine Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. Data collection included age, SLE classification, drugs, skin type, use of sunscreen, part of the body covered by clothes, length of sun exposure, body mass index (BMI), vitamin D intake, and serum 25(OH)D concentration.
Results: Most of the subjects (41.7%) aged 36–45 years old, classified as mild SLE (52.8%), always used sunscreen (63.9%), skin type IV (69.4%), wearing clothes that covered all or almost of the body (69.4%), and not exposed or had sun exposure less than 30 minute (77.8%). All subjects used corticosteroid. Based on BMI half of the subjects had normal body weight, Based on AKG 2012 most (55.6%) had adequate vitamin D intakes, and 28 subjects (77.8%) were in vitamin D-deficient (serum 25(OH)D concentration <50 nmol/L). There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration in subjects (r = 0.52; P <0.01).
Conclusion: There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients (r = 0.52, P <0.01).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liza Rastiti
"Kadar HbA1c sebagai parameter keberhasilan terapi pasien Diabetes Melitus DM dipengaruhi oleh berbagai hal. Pasien DM tipe 2 yang fungsi ginjalnya menurun sering kali diberi vitamin B12. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi faktor faktor yang mempengaruhi kadar HbA1c pasien yang menggunakan vitamin B12.
Metode penelitian adalah potong lintang. Sampel adalah rekam medis pasien rawat jalan yang menderita DM tipe 2 di RS Pasar Rebo, periode Mei-November 2015 di Jakarta yang menerima vitamin B12 dan menjalani pemeriksaan kadar HbA1c. Analisis data dilakukan dengan Kai Kuadrat. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria sebanyak 42 orang.
Hasil penelitian menunjukkan kondisi klinis pasien dan penggunaan obat tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kadar HbA1c. Kondisi klinis pasien yang dianalisis ialah usia, jenis kelamin, penyakit ginjal kronik, hipertensi, hiperlipid, dan gout. Penggunaan obat yang dianalisis adalah pemakaian metformin, sulfonilurea, akarbosa, dan pioglitazon HCl.

HbA1c levels as parameters of the success for the treatment of patients with diabetes mellitus DM was influenced by many things. Type 2 diabetes patients whose kidney function decline often given vitamin B12. This study was aimed to evaluate the factors affecting HbA1c levels of patients who use vitamin B12.
The method was a cross sectional study. Samples were outpatient medical records of patients who suffer from type 2 diabetes in Pasar Rebo Hospital, the period from May to November 2015 in Jakarta who received vitamin B12, and undergo HbA1c levels. Data analysis was done by Kai Squares. The number of samples that meet the criteria as much as 42 people.
The results shown that patient 39 s clinical condition and use of the drug was not have a significant effect on HbA1c levels. The clinical condition of patients analyzed were the age, sex, chronic kidney disease, hypertension, hiperlipid, and gout. The use of drugs analyzed were the use of metformin, sulfonylurea, akarbosa, and pioglitazone HCl.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mufqi Handaru Priyanto
"Ulkus kaki diabetik (UKD) merupakan luka kronik pada pasien diabetes melitus (DM). Vitamin D dipercaya memiliki peran penting pada diferensiasi, proliferasi, pertumbuhan sel, dan modulasi sistem imunitas sehingga kadar yang optimal dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Defisiensi vitamin D juga diduga mengganggu produksi dan sekresi insulin sehingga berkontribusi pada kronisitas UKD. Penelitian bertujuan membandingkan kadar vitamin D pada pasien DM dengan dan tanpa UKD; serta untuk mengetahui korelasi antara durasi UKD dan keparahan UKD berdasarkan skor PEDIS (perfusion, extension, depth, infection, sensation) dengan kadar vitamin D. Serum 25-hidroksivitamin D (25(OH)D) dianalisis menggunakan in-vitro chemiluminescent immunoassay (CLIA). Analisis statistik yang sesuai dilakukan untuk membuktikan tujuan penelitian. Perbandingan nilai median (Q1-Q3) kadar vitamin D pada pasien DM dengan dan tanpa UKD secara berurutan adalah 8,90 ng/mL (6,52-10,90) dan 16,25 ng/mL (13-19,59), serta bermakna secara statistik (p<0,001). Tidak ada korelasi antara durasi UKD dan keparahan UKD berdasarkan skor PEDIS terhadap kadar vitamin D, serta tidak bermakna secara statistik. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa kadar vitamin D pada pasien DM dengan UKD lebih rendah dibandingkan pasien tanpa UKD. Namun belum ada bukti yang cukup untuk menyimpulkan bahwa tidak ada korelasi antara durasi UKD dan keparahan UKD berdasarkan skor PEDIS terhadap kadar vitamin D.

Diabetic foot ulcers (DFU) are chronic wounds in patients with diabetes mellitus (DM). Vitamin D believed have important role in differentiation, proliferation, cell growth, and immune system modulation hence optimal levels are needed for wound healing. Vitamin D deficiency also thought to interfere insulin production and secretion, thereby contributing to DFU chronicity. This study aims to compare vitamin D levels in DM patients with and without DFU; and determine the correlation between DFU duration and severity by PEDIS (perfusion, extension, depth, infection, sensation) score to vitamin D levels. 25-hydroxyvitamin D serum analyzed using in-vitro chemiluminescent immunoassay. Appropriate statistical analysis was done following the study. Comparison of median values ​​(Q1-Q3) vitamin D levels in DM patients with and without DFU were 8.90 ng/mL (6.52-10.90) and 16.25 ng/mL (13-19.59) respectively, and statistically significant (p<0.001). There was no correlation between DFU duration and severity PEDIS score to vitamin D levels, and it was not statistically significant. The results of this study indicate that vitamin D levels in DM patients with DFU are lower than patients without DFU. However, there is not enough evidence to conclude that there is no correlation between DFU duration and severity by PEDIS score to vitamin D levels."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>