Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130674 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irvanu Rahman
"Emisi gas rumah kaca sebagai dampak pertumbuhan ekonomi dapat mengancam keberlanjutan pembangunan dari sebuah kota besar (urban) seperti Jakarta. Upaya mitigasi perlu dilakukan secara bijak dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Pendekatan multi-dimensi belum banyak dilakukan dalam mengevaluasi dampak emisi gas rumah kaca tersebut. Riset ini bertujuan untuk mengukur dampak penerapan Strategi Penjernihan Udara sebagai upaya mitigasi gas rumah kaca terhadap keberlanjutan aspek-aspek pembangunan kota Jakarta menggunakan metode Analisis Kebijakan berbasis model pembelajaran (exploratory modeling). Keluaran dari penelitian ini adalah analisis dan pilihan kebijakan terbaik dalam menurunkan emisi gas rumah kaca Jakarta sehingga diperoleh pemahaman terhadap pentingnya penerapan strategi mitigasi.

The rise of Green House Gases (GHG) emission in an urban city could threaten the sustainability of growth and development of the city, like Jakarta, as the Capital City of Indonesia. There is a need to compose multiple dimensions analysis of mitigation policy in reducing GHG emission. This research is developing an integrated policy model of system dynamics to assess air purification strategy and its impacts on economic, social, and environmental aspects of the capital city. The alternatives of this strategy give coherent results with problem owner perspective. The result shows that implementation of this strategy could reduce emission and its impacts progressively.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
T35215
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Utami
"Penelitian ini mengangkat masalah implementasi kebijakan program bina lingkungan di Kota Bandar Lampung. Penelitian ini menggunakan pendekatan post positivist dengan metode kualitatif. Hasil peneilitian ini (i) Implementasi kebijakan program bina lingkungan yang diatur dalam Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan belum berjalan secara efektif karena adanya kerancuan dan ketidakjelasan isi kebijakan yang tertulis (ii) Program ini memiliki tiga dampak dalam pelaksanannya yaitu, dampak pada sekolah swasta yang kekurangan siswa, hilangnya hak dari siswa reguler yang akan masuk ke sekolah negeri dan, turunnya mutu pendidikan. Saran yang diberikan adalah Perbaikan isi kebijakan dan melibatkan sekolah swasta dalam program kebijakan.

This study raised the issue of implementation of the policy on Bina Lingkungan program in Bandar Lampung. This research used the post positivist using a qualitative methodology. Using the implementation of merilee s .Grindle .The results of this research ( i ) Bina Lingkungan Policy program regulation covers number 1 in 2012 about the education system has not been effectively because a confusion and obscurity the policies written ( ii ) there are three impact on the implementation, the impact is on private schools that a shortage of students, loss of the rights of regular students who will enter the public schools, and decline in the quality of education. Advice provided, first improve the contents policy and second involving private schools in the policy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T45785
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
G. J. Viandrito
"Gerakan lingkungan di Amerika Serikat mengemuka sejak tahun 1960-an. Dukungan kuat masyarakat Amerika Serikat terhadap gerakan lingkungan menguat seiring meningkatnya kesadaran akan besarnya bahaya akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Pemerintah pun didorong untuk segera mengambil tindakan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya bencana ekologis lebih lanjut, dengan memperbanyak perundangan di bidang lingkungan hidup. Gerakan lingkungan hidup dinilai ikut berperan dalam mempengaruhi opini masyarakat, dengan memberi informasi mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang dihadapi Amerika Serikat bahkan dunia.
Namun demikian organisasi-organisasi lingkungan hidup itu sendiri terdiri dari berbagai spektrum yang luas, dengan prinsip dan gaya politik yang beraneka, dengan ideologi dan ciri yang beraneka. Jumlah anggota organisasi-organisasi lingkungan ini pun melonjak secara signifikan, dan di tahun 1990-an tercatat mencapai tujuh juta orang. Hal ini tentu menjadi suatu kekuatan politik tersendiri.
Sebagai sebuah `interest group' pada gilirannya ternyata turut memberi tekanan pada penetapan berbagai kebijakan lingkungan di Amerika Serikat. Di tengah tekanan dari gerakan lingkungan, berbagai kebijakan lingkungan pun terus bermunculan, diantaranya Clean Air Act, Federal Water Pollution Control Act Amendments, Safe Drinking Water Act dan Multiple Use-Sustained Yield Act. Meski berbagai perundangan lingkungan telah diluncurkan, namun dalam pelaksanaannya ataupun penegakan hukum atas perundangan tersebut masih mengalami banyak tantangan dan hambatan. Kegagalan implementasi perundangan tentu akan memerosotkan kredibilitas institusi federal yang mendapatkan mandat untuk melaksanakan perundangan tersebut. Namun demikian berbagai pihak ternyata turut serta memberikan andil dalam "melumpuhkan" institusi pelaksana perundangan ini.
Presiden dan Kongres dinilai juga turut melemahkan institusi pelaksana perundangan lingkungan. Pemerosotan kredibilitas institusi federal ini, dilakukan pemerintah federal dengan Cara memberikan beban yang terlalu berat untuk ditangani institusi federal, selain kurangnya `political will'. Selain itu dalam banyak kasus, pemerintah federal sendiri cenderung lebih pro pada kepentingan bisnis.
Berbagai perundangan lingkungan terlihat masih menyediakan celah-celah, yang memungkinkan berbagai pihak mengambil keuntungan, sekaligus menggagalkan implementasi perundangan. Pihak-pihak tersebut adalah kelompok bisnis dan negara bagian yang "kaya" (kuat dalam basis industrinya).
Kasus yang terjadi pada kebijakan lingkungan, dengan demikian menunjukkan adanya suatu kontroversi politis. Di satu sisi, banyak perundangan lingkungan telah diloloskan pemerintah federal dalam kurun waktu yang relatif singkat (lebih dari 50 perundangan dalam kurun 1960-1992), namun di sisi lain justru implementasi perundangan tersebut terhambat atau bahkan gagal/digagalkan karena kurangnya kemauan politik (political will) dari pemerintah federal.
Selain itu dalam kasus kebijakan lingkungan, keterlibatan dari berbagai kekuatan politik tersebut terlihat sangat intens, karena kebijakan lingkungan merupakan suatu kebijakan politik yang sensitif. Intensnya interaksi dan keterlibatan diantara kekuatan-kekuatan politik tersebut menciptakan dinamika tersendiri dalam implementasi kebijakan lingkungan. Dinamika ini dimungkinkan dalam sistem politik Amerika Serikat yang menganut asas pluralisme. Sesuai asas pluralisme, berbagai kekuatan politik tersebut dapat saling mengawasi, saling mengimbangi dan saling berbagi kewenangan.
Dalam kebijakan lingkungan, dinamika tersebut terlihat jelas, dari proses tarik-menarik, pengaruh-mempengaruhi, dan saling mendominasi diantara berbagai kekuatan politik. Sering terjadi satu pihak menjadi lebih dominan dalam memaksakan kepentingannya dibanding pihak lain. Dalam kasus implementasi perundangan lingkungan, `power struggle' ini terlihat jelas.
Karena itulah thesis ini disusun dengan maksud untuk mengungkap dominasi pemerintah federal serta kuatnya lobi kelompok bisnis, yang mengakibatkan terhambatnya/gagalnya implementasi kebijakan lingkungan. Tinjauan tersebut secara spesifik akan bertolak dari kasus-kasus kebijakan utama, yaitu: Clean Air Act (1970), Federal Water Pollution Control Act Amendments (1972); Safe Drinking Water Act (1974), Toxic Substance Control Act (1976) dan amandemennya tahun 1986 (Superfund), Resource Conservation and Recovery Act (I980) dan amandemennya (1984), Nuclear Waste Policy Act (1982), clan Multiple Use-Sustained Yield Act (1960).
Penelitian terhadap hal tersebut sekaligus dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan yang komprehensif tentang kekuatan-kekuatan politik yang terlibat dalam penentuan kebijakan lingkungan di Amerika Serikat, serta untuk memahami kompleksitas interaksi diantara berbagai kekuatan politik tersebut.

Environmental movement in the United States of America gets stronger since 1960s. People support this movement due to many environmental disasters that getting frequently happened. Government is urged to take appropriate actions to overcome any further ecological disasters by launching environmental laws. Environmental movement takes part in giving enlightenment to people regarding many environmental problems in the U.S. and the world.
Environmental organizations, however, is diversified towards a broad spectrum, principally and ideologically. Anyway the member of those organizations has raised significantly to 7 million people in 1990s, that makes them become an interest group in American politics.
They pursue government to launch many environmental laws. Some of them are Clean Air Act, Federal Water Pollution Control Act Amendments, Safe Drinking Water Act and Multiple Use-Sustained Yield Act. Though many laws had been declared, in practice there is still weak in law enforcement. For sure, failure in implementation has decreased credibility of federal institution in implementing environmental laws. This research will show that the federal government (President and Congress) gives contribution in making federal institution getting weaken.
President and Congress give to much pressure to federal institution in implementing the laws, in other side they have no political will and seems more favor to business groups side. Many laws are created with its weakness, that any parties could take advantages of it, even could make it fail in implementation. Those parties particularly are business groups and "rich-states".
Environmental laws show in particular a political controversy. Though federal government in just 30 years established more than 50 laws, however in practice and implementation those laws was crippled and failed due to less of political will of federal government.
Moreover interest groups were involved extensively, since environmental laws are very sensitive. Intensity and involvement of any interest groups had created motion in American politics. This could be occurred in the U.S.A, which respect pluralism. In pluralism, any parties or political bodies could play a "check-and balance" mechanism.
The check-and-balance mechanism, in practice, could create any efforts from any parties to dominate, and to attract the other party. This mode clearly display in implementing the environmental policy.
Based upon this issue, this thesis is designed to disclosure power struggle among political bodies and interest groups in environmental law implementation. In particular, it will reveal how federal government and business groups play its dominant role on environmental policy.
To give a clear analysis, the thesis will take selected environmental laws, such as: Clean Air Act (1970), Federal Water Pollution Control Act Amendments (1972); Safe Drinking Water Act (1974), Toxic Substance Control Act (1976) and its Amendment - 1986 {Superfund}, Resource Conservation and Recovery Act (1980) and its Amendment (1984), Nuclear Waste Policy Act (1982), and Multiple Use-Sustained Yield Act (1960).
The research is executed to give a comprehensive analysis about how power struggle happened in America's politics, especially in environmental law implementation, and to understand why this is happened.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T14639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rasdiman Rasyad
"Tingginya angka laju pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan di Indonesia dalam 3 dekade terakhir menyebabkan permintaan akan pelayanan prasarana kota meningkat tajam. Hal ini mendorong pemerintah untuk membangun prasarana kota secara besar-besaran, meluas dan terencana. Pembangunan prasarana kota dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk, untuk memacu perkembangan ekonomi dan mengarahkan perkembangan fisik kota. Kepentingan pembangunan prasarana kota untuk mengarahkan perkembangan fisik kota adalah untuk mencapai kualitas tata ruang perkotaan yang baik sehingga kota layak untuk dihuni oleh penduduknya.
Penelitian mengenai manfaat pembangunan prasarana kota untuk memenuhi kebutuhan penduduk telah banyak dilakukan. Namun pengaruh pembangunan prasarana kota terhadap kualitas tata ruang belum banyak diteliti. Kualitas tata ruang merupakan salah satu faktor yang membentuk kualitas Iingkungan hidup perkotaan. Dengan meneliti kualitas tata ruang suatu wilayah, dapat diketahui gambaran kualitas lingkungan hidup wilayah tersebut.
Penelitian ini menilai kualitas tata ruang suatu kawasan dengan mengukur variabel-variabel tertentu sebagai indikator dari kualitas tata ruang tersebut. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa (i) kualitas tata ruang pada koridor perkembangan perkotaan ditentukan oleh faktor-faktor kepadatan hunian, koefisien dasar bangunan, penggunaan tanah, garis sempadan bangunan, dan pohon peneduh; dan bahwa (ii) perkembangan fisik perkotaan di lokasi penelitian cenderung menyebabkan rendahnya kualitas tata ruang kawasan tersebut.
Lokasi penelitian merupakan penggalan prasarana jalan yang telah mengalami perubahan kondisi sebagai akibat dari pelebaran pada tahun 1997 - 1999. Jalan yang menghubungkan Kota Cibinong dengan Kota Citeureup sekarang ini telah berkembang menjadi koridor perkembangan perkotaan yang memiliki peran ekonomi yang cukup penting bagi Kabupaten Bogor.
Metode penelitian yang digunakan adalah metoda deskriptif dan survey. Variabel yang diteliti adalah Kepadatan Hunian dan Koefisien Dasar Bangunan (dua indikator terpilih yang mewakili faktor daya dukung lingkungan), Kecocokan Penggunaan Tanah (indikator terpilih yang mewakili faktor fungsi lingkungan), Ketaatan Garis Sempadan Bangunan dan Ratio Pohon Peneduh (dua indikator terpilih yang mewakili faktor estetika lingkungan). Variabel dipilih berdasarkan pertimbangan batasan operasional kualitas tata ruang dan kemungkinan ketersediaan data.
Penilaian kualitas rata ruang dilakukan dengan membandingkan hasil penelitian setiap variabel terhadap tolak ukur tertentu. Tolak ukur dikembangkan dari ketentuan variabel-variabel tersebut yang dialur di dalam berbagai peraturan daerah Kabupaten Bogor terkait dan beberapa referensi lainnya. Skala penilaian yang digunakan di dalam tolok ukur adalah 1 (sangat buruk) sampai dengan 5 (sangat baik).
Hasil analisis univariat dengan metoda distribusi frekuensi memperlihatkan bahwa variabel Kepadatan Hunian dan Koefisien Dasar Bangunan memiliki nilai buruk. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepadatan penduduk di lokasi penelitian telah melampaui ketentuan sebagaimana yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang wilayahnya, dan sebagian besar bangunan dibangun dengan melanggar ketentuan koefisien dasar bangunan yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang wilayahnya.
Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa variabel Kecocokan Penggunaan Tanah memiliki nilai menengah. Hal ini menunjukkan bahwa banyak bangunan yang digunakan tidak sesuai dengan ketentuan rencana tata guna lahan dibandingkan bangunan yang digunakan sesuai dengan ketentuan rencana tata guna lahan. Hal ini membelikan gambaran bahwa perkembangan fisik perkotaan yang terjadi di lokasi penelitian tidak sepenuhnya mendukung fungsi lingkungan yang diinginkan.
Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa variabel Ketaatan Garis Sempadan Bangunan memiliki nilai yang cukup baik dan Ratio Pohon Peneduh memiliki nilai yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa cukup banyak bangunan yang menaati ketentuan garis sempadan bangunan, namun sebagian besar halaman bangunan tidak memiliki pohon peneduh atau memiliki pohon peneduh kurang bila dibandingkan dengan luasnya.
Secara keseluruhan, nilai rata-rata kualitas tata ruang lokasi penelitian adalah menengah, namun secara distributif, sebagian besar bangunan sampel berada pada kelompok yang berkualitas buruk dan sangat buruk. Hal ini menunjukkan bahwa Kualitas Tata Ruang Lokasi Penelitian yang dibentuk oleh variabel-variabel Kepadatan Hunian, Koefisien Dasar Bangunan, Kecocokan Penggunaan Tanah, Ketaatan Garis Sempadan Bangunan dan Ratio Pohon Peneduh berada dalam keadaan yang cenderung buruk.
Hasil analisis univariat juga memberikan petunjuk bahwa variabel Ketaatan Garis Sempadan Bangunan dan Ratio Pohon Peneduh merupakan variabel yang berpengaruh terhadap pembentukan kualitas tata ruang di lokasi penelitian. Hasil analisis multivariat dengan metoda analisis faktor menunjukkan bahwa faktor yang dibentuk dari kombinasi variabel Koefisien Dasar Bangunan, Ketaatan Garis Sempadan Bangunan, dan Ratio Pohon Peneduh merupakan faktor yang berdasarkan uji validasi sampel, sangat stabil, Artinya faktor tersebut dapat digeneralisasi untuk menganalisis populasi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tata ruang di lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel Koefisien Dasar Bangunan, dan oleh variabel Ketaatan Garis Sempadan Bangunan dan Ratio Pohon Peneduh.
Dari hasil analisis tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan kualitas tata ruang di lokasi penelitian sangat di pengaruhi oleh variabel Ketaatan Garis Sempadan Bangunan dan Ratio Pohon Peneduh.
Dengan memperhatikan hasil-hasil penelitian di atas, dapatlah diajukan saran sebagai berikut:
1) Indikator/variabel yang digunakan di dalam penelilian ini adalah merupakan ketentuan di dalam rencana kata ruang wilayah daerah. Oleh karena itu penelitian ini dapat dijadikan model bagi pemerintah daerah untuk menilai dan mengevaluasi pencapaian kualitas tata ruang bagian-bagian wilayahnya.
2) Indikator/variabel yang dinilai berpengaruh kuat terhadap kualitas tata ruang di lokasi penelitian perlu mendapat perhatian oleh pemerintah daerah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan perkembangan fisik perkotaan.
3) Pemerintah daerahn perlu menyusun Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) setiap bagian wilayah yang telah menunjukkan perkembangan yang cepat.
4) Penelitian serupa sebaiknya menggunakan variabel yang lebih beragam dan sampel yang lebih banyak.

The high rate of urban population growth in Indonesia in the last 3 decades increasing high demand of urban infrastructures. This situation encourage the Government to build a huge, wide and planned urban infrastructure. The development of urban infrastructure were intended to fulfill the basic needs of inhabitant, to spur ahead economic development of the city, and to lead physical development of the city. The significances of urban infrastructures development in leading physical development of the city is to accomplish a good urban area spatial quality suitable to be inhabited by its inhabitants.
The research concerning to the benefits of urban infrastructure development in fulfilling the basic needs of inhabitant were mostly performed. However the influence of urban infrastructure development to the urban area spatial quality is lessly examined. The urban area spatial quality is one of the factors which is generating the urban area environment quality. By examining the urban area spatial quality, we could have an outline of environment quality of the area.
The research is assessing the area spatial quality by measuring selected variables as the indicators of spatial quality. Hypothesis which is set forward are that (i) the spatial quality on urban development corridor is detemiined by the factor of dwelling density, building coverage ratio, land use, building line, and shade trees; and that (ii) the physical development in the research location tend to depleting the area spatial quality.
The research location is a section of access road with its condition changing due to widening project in 1997 - 1999. The section that linking Kota Cibinong and Kota Citeureup recently has been developed as urban development corridor with its important economic role for Bogor Regency.
The research methodology is descriptive and survey methodology. The variables examined are Dwelling Density and Building Coverage Ratio (two selected indicators which represent the factor of environment carrying capacity), Land Use Suitability (selected indicator which represent the factor of environment function), Building Line Obedience and Ratio of Shade.
Trees (two indicators which represent the factor of environment aesthetic). The variables were selected by considering the operational definition of spatial quality and the situation of research location.
The assessment of spatial quality was executed by comparing the result of each variabel to a certain standard. The standards are developed from the stipulation of variables which are stipulated in various relevant local regulations of Bogor Regency and other references. The assessment scale used in the standard is from 1 (very bad) to 5 (very good).
The results of univariate analysis with frequency distribution methodology shows that the values of Dwelling Density and Building Coverage Ratio variable is bad. These figures show that the level of population density in the location has exceeded the ideal standard as stipulated in its spatial plan, and most of buildings are built by violating the stipulation of building coverage ratio which stipulated in its spatial plan.
The results of analysis also show that the value of land Use Suitability variable is moderate. It shows that more buildings are used in incompatible way to the land me plan rather than the buildings in compatible way to the plan. This situation describes that the physical development of the area is not fully support the expected environment functions.
The analysis show that the level of Building Line Obedience variable is good and Ratio of Shade Trees is bad. These figures show that sufficient amount of buildings comply with the regulation of building lines, and most building's yard does not have shade trees or have little compare to the wide of the yard.
As a whole, the level of Spatial Quality of Research Location is moderate, however distributively, most of sample buildings are in the group with bad and very bad quality. This point indicates that the spatial quality which created by the variables of Dwelling Density, Building Coverage Ratio, Land Use Suitability, Building Line Obedience and Ratio of Shade Trees tends to be in bad situation.
The result of univariate analysis also show that the variable of Building Line Obedience and Ratio of Shade Trees are the variables with influence to the creation of spatial quality of research location.
The result of multivariate analysis by using factor analysis method shows that the factor developed from the combination of Building Coverage Ratio, Building Line Obedience, and Ratio of Shade Trees are the factors which, based on validation examination of sample, very stable. It means that factor might be generalised to analyse the population. This indicates that the spatial quality of research location is intensely influenced by the variables of Building Coverage Ratio, Building Line Obedience, and Ratio of Shade Trees.
From the result of these analysis, it might be summarized that the creation of spatial quality of research location intensely influenced by Building Line Obedience and Ratio of Shade Trees variables.
Taking into account the results above, the following recommendations could be submitted:
1) Indicators/ variables used in the research are parts of the stipulation of the local spatial plan. Therefore the research could be used as model to the Local Government to assessing and evaluating the gain of spatial quality of its parts area.
2) Indicators/ variables assessed that intensely influencing the spatial quality of research location need to be noticed by Local Government in order to control the physical development of the area.
3) The Local Government needs to prepare Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL/ Building and Environment Code) of every part of its area which is inclining fast development.
4) It is better for the next similar research, if any, to use more various variables and sample size."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11086
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Fitria
"Pada kegiatan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), air merupakan bahan penolong yang sangat penting, yaitu sebagai air umpan boiler untuk pembangkit tenaga dan untuk air pengolahan (Naibaho, 1996:24). Keperluan PKS akan air sesuai dengan angka kerja pengolahan pada Standarisasi Ditjen Perkebunan (1997:4), adalah sebesar 1,2 - 1,5 m3 per ton tandan buah segar (TBS) yang diolah. Dari jumlah penggunaan air untuk kegiatan PKS sesuai angka kerja pengolahan pada Standarisasi Ditjen Perkebunan dan memperhatikan penggunaan air sesuai dengan angka pengolahan yang dikeluarkan Naibaho (1996:154) dan H-Kittikun (2000:7), yaitu; 1,1 - 1,2 m3/ton TBS diolah, serta data realisasi penggunaan air dari 11 PKS di Sumatera Utara, pada kisaran 1,20 - 2.16 m3/ton TBS diolah, maka keadaan ini memperlihatkan adanya indikasi penggunaan air yang tidak terkendali dan inefisien. Selain itu yang tak kalah pentingnya, mengingat bahwa air buangan PKS menjadi tercemar (BOD berkisar 20.000 - 30.000 ppm), dengan debit 0,44 - 1,18 m3 / ton TBS diolah (H-Kittikun, 2000:5), maka bila air yang digunakan tidak efisien, potensi air buangan mencemari air tanah dan air permukaan akan menjadi lebih besar. Keadaan tersebuttentu bukan masalah yang penting, bila suplai air di muka bumi ini dalam keadaan melimpah dan seimbang.
Dengan memperhatikan hal di atas, serta untuk: 1) menyikapi kecenderungan global (dengan komponen globalisasi produksi, keuangan, perdagangan, dan teknologi) yang mengakibatkan lahirnya global consumers dengan salah satu cirinya perlu adanya kepedulian terhadap lingkungan, sehingga berimplikasi bahwa pertimbangan produk yang perduli terhadap lingkungan (menjadi global) (Salim, 1995:15-17); 2) memenuhi program pengembangan agrobisnis dalam UU No. 25 Th. 2000 (PROPENAS) yaitu, berupa terpeliharanya sistem sumberdaya alam dan lingkungan, serta keberlanjutan pembangunan ekonomi untuk mengantisipasi trade barrier dalam sistem perdagangan global; 3) mempermudah pencapaian persyaratan debit beban pencemaran untuk PKS (dari 6 m3/ton produksi menjadi 2,5 m3/ton produksi) pada tahun 2000, sesuai lampiran A. IV dan lampiran B. IV, tentang Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Minyak Sawit, Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-51/MENLH/10/1995, tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri, maka pengelolaan sumberdaya air di PKS harus dilakukan dengan prinsip yang bersifat global dalam suatu tindakan lokal (think globally, act locally), yaitu secara proaktif untuk memenuhi sasaran agar pembangunan ekonomi tetap berlanjut.
Dalam ringkasan Agenda 21 Indonesia (1997:54), salah satu alternatif pengelolaan lingkungan yang disarankan untuk mencapai sasaran tersebut adalah menerapkan prinsip Pencegahan Pencemaran (Pollution Prevention). Dari pengamatan lapangan, penerapan prinsip pencegahan pencemaran (P2) seperti pengurangan dari sumber (source reduction) limbah cair pada PKS antara lain dapat dilakukan dengan menekan penggunaan air berlebih, melalui pengaturan kondisi proses produksi sesuai dengan prosedur standar operasi (SOP). Alternatif daur ulang sebagaimana yang direkomendasikan dalam buku panduan Teknologi Pengendalian Dampak Lingkungan Industri Minyak Kelapa Sawit (BAPEDAL, 1988:65), yang pertama adalah pemanfaatan kembali atau recycle air dari fat-pit (kolam pengutip minyak) untuk kebutuhan pengepresan, atau pemanfaatan kembali air kondensat rebusan sebagai air pengencer unit press (Tobing, 2000:4-5), sedangkan yang kedua adalah pemanfaatan kembali air pendingin turbin. Selain itu dari hasil pengamatan di PKS, memanfaatkan kembali air kondensasi sisa uap pemanas adalah sesuatu yang perlu dilakukan.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi yang menggambarkan penerapan prisip P2 dalam penggunaan sumberdaya air di PKS dan mengetahui manfaat ekonomis dan lingkungan dari penerapannya. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1) Mengetahui rancang penerapan prinsip P2 yang meliputi source reduction dan pemanfaatan kembali (recovery dan recycle) pada kegiatan PKS SMK; 2) Mengetahui besar penurunan penggunaan air, dan penurunan debit limbah cair di PKS SMK dari masing rancang penerapan prinsip P2; 3) Mengetahui kelayakan ekonomis dan prediksi dampak terhadap lingkungan dan sosial, dari rancang penerapan prinsip P2 dalam penggunaan sumberdaya air di PKS SMK.
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif yang didukung oleh penelitian terapan dengan metode eksperimen. Jenis data untuk penelitian ini adalah data sekunder dan primer, meliputi operasional PKS, penggunaan air, produksi, biaya, peraturan-peraturan pemerintah dan standarisasi yang terkait dengan ketentuan pelaksanaan kegiatan PKS, serta data lain yang erat hubungannya dengan materi penelitian. Penelitian dilakukan di PKS Sei Mangkei, Kecamatan Bosar Malinggas, Kabupataen Simalungun, Propinsi Sumatera Utara, dilaksanakan dari bulan januari sampai dengan Juni 2002.
Kerangka analisis penelitian dilaksanakan menurut tahapan: Langkah pertama, mengidentifikasi kuantitas dan kualitas penggunaan air dan debit limbah cair PKS. Langkah kedua, mencermati potensi penerapan prinsip P2 dengan mengetahui jumlah penurunan penggunaan air pengolahan dan debit limbah cair PKS. Langkah ketiga, mengetahui dampak ekonomis dan prediksi dampak lingkungan dan sosial dengan penerapan prinsip P2 tersebut. Analisis dilkukan dengan cara analisis matematis, tabel, statistik SPSS, dan analisis kelayakan finansial Microsoft Excel 2000.
Dari hasil analisis dan pembahasan dalam tesis ini, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan: 1) Rancangan penerapan prinsip P2 yang diusulkan untuk diterima adalah source reduction dengan pengaturan kondisi proses produksi, yaitu dengan mengatur tekanan boiler pada tekanan optimal; penggunaan kembali (recovery) air kondensat rebusan untuk air pengencer press dan waste vibro, dan penggunaan kembali (recycle) air pendingin turbin, air pendingin LSS (LSS Cooler); 2) Terjadi penurunan penggunaan air 10 -39 % dan penurunan debit limbah cair high pollutant berkisar antara 26 - 39%, debit limbah cair low pollutant 100%, bila PKS SMK menerapkan masing-masing rancang penerapan prinsip P2 yang diusulkan. 3) Hasil analisis kelayakan ekonomis dan prediksi dampak terhadap lingkungan dan sosial, dari rancang penerapan prinsip P2 dalam penggunaan sumberdaya air di PKS SMK, menunjukkan; a) diperoleh keuntungan berkisar antara enam puluh lima juta seratus lima puluh dua ribu empat ratus dua puluh dua rupiah sampai dua ratus empat puluh satu juta dua puluh lima ribu sembilan ratus lima puluh rupiah per tahun (menurut nilai tahun 2001 - 2002), bila PKS SMK menerapkan masing-masing rancang penerapan prinsip P2 yang diusulkan, serta manfaat marjinal (marginal benefit); b) Aspek pengurangan penggunaan air atau peningkatan efisiensi penggunaan air (EPA), dan penurunan debit limbah cair hingga di bawah ambang batas yang diijinkan, akan berdampak pada konservasi sumberdaya air dan menurunkan tingkat pencemaran. Penghematan biaya air dan biaya instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang diperoleh dari penerapan prinsip P2 akan dapat meningkatkan keuntungan perusahaan dan sosial pendapatan karyawan PKS.
Saran dari hasil penelitian ini adalah: 1) Mengingat penerapan prinsip P2 bukan suatu keharusan, tetapi hanya bersifat sukarela, maka pihak pengusaha (top management), dituntut memiliki komitmen dan peran yang tinggi untuk mengubah budaya dan etika bisnis perusahaan, serta menggalang dukungan penuh dari karyawan agar penerapan prinsip ini dapat mencapai sasaran. Dukungan tersebut akan menjadi nyata bila pihak pengusaha mau memasukkan biaya lingkungan menjadi bagian langsung dari komponen biaya produksi; 2) Pemerintah dan badan yang terkait diharapkan dapat meningkatkan penegakkan peraturan dan perundang-undangan lingkungan dengan; a) meningkatkan peran pengawasan dan pengendalian emisi, b) menetapkan kriteria standarisasi penggunaan sumberdaya alam yang lebih mengikat dan diterapkan, c) memasukkan nilai insentif, menaikkan pajak pengambilan dan pemanfaatan air, serta memberlakukan retribusi bagi setiap pembuangan limbah cair agar sifat sukarela seperti penerapan prinsip P2 lebih menarik dan memiliki arti; 3) Untuk lebih bisa mendapalkan hasil yang lebih nyata, diharapkan hasil rancang bangun (disain) penerapan prinsip P2 yang diusulkan dapat diuji coba, serta perlu ada suatu penelitian lebih lanjut dari beberapa hal yang membutuhkan jawaban yang lebih teknis dan spesifik dari penelitian ini.

In Palm Oil Mill (POM), water is essential supporting material, such as feed water for the power generator boiler and the water processing (Naibaho, 1996:24). The requirement of water in POM, according to the number of processing in the Standardization of Dirjen Perkebunan (1997:4 of 26), is approximately 1.2-1.5 m3 per ton of processed Fresh Fruit Bunch (FFB). Based on the data: (1) the total amount of water utilization in POP corresponding to number of processing in the Standardization of Dirjen Perkebunan; (2) the water utilization based on number of processing by Naibaho (1996:154) and H-Kittikun (2000:7), that is 1.1-1.2 m3/ton of processed FFB; (3) the data of actual water utilization of 11 POP in North Sumatera, is about 1.20-2.16 m3/ton of processed FEB; It is clear that these situations show the indication of uncontrollable and inefficient water utilization. Moreover, considering that POM is waste water could be pollution source (BOD is about 20,000-30,000 ppm) with water debit of 0.44-1.18 m3/ton processed FFB (H-Kittikun, 2000:5), the potential of waste water polluting the underground and the surface water becomes greater if the water is used inefficiently. Such condition will not be so crucial, if the water resources are unlimited and at equilibrium.
Based on the case mentioned before, and to: (1) pay heed to global trend ( with components of globalization production, finance, commerce and technology) which leads to the emerging of global consumers with one of its character is the environmental awareness. It's implication is the consideration of environment friendly products (has become global) (Salim, 1995:15-17); (2) implement the agro business development program in UU No. 25 Th. 2000 (PROPENAS) which protects the natural resources and environmental system, and the continuity of the economic development to anticipate the trade barrier in global trading/commerce system; (3) to facilitate the achievement of the required pollution load in POM (from 6 m3lton production to 2.5 m3/ton production) in the year 2000, according to appendix A. IV and appendix B. IV, concerning The Liquid Waste Standard for Palm Oil Industry, Letter of Decision from The Minister of The Environment No. Kep-51/MENLH/10/1995 concerning The Liquid Waste Standard for Industry Activities, therefore the management of POM water resources should be done with the global principles of spirit applied in local measures (Think Globally, Act Locally). This kind of management is a proactive way to meet the purposes sustainable economic development
In The Agenda 21 summary (1997:54), one of the alternatives in environmental management suggested to achieve the purposes mentioned before is to use the Pollution Prevention Principle (P2). Based on the field study, the application of the Principle (P2), such as source reduction of liquid waste in POP could be done by reducing the over usage of water, through controlling the conditions of production process according to Standard Operating Procedure (SOP). The recycling alternative recommended in A Guide Book of Controlling Technology of Environment Impact in Palm Oil Industries (BAPEDAL, 1988:65) is, firstly, to reuse to recycle the water from 'fat-pit' (the oil collecting pool) for pressing process, or to reuse the condensed water as dilution water for pressing process (Tobing, 2000:4-5), and, secondly, to reuse the turbine cooling water. In addition, from the observation in POM, the reuse of condensate water from heating steam is advisable.
Generally, this study aims to obtain the information describing the implementation of P2 principle in the use the water resources in POM and to know the economic and environmental advantages of the implementation. Particularly, this study aims to:
1. Know the implementation design of P2 principle including source reduction, recovery and recycle in POM SMK activities.
2. Know the reduction of water consumption, and the amount of the liquid waste reduction in POM SMK from each implementation design of P2 principle.
3. Know the economical feasibility and prediction of environment and social impact of P2 principle implementation design impact in the use of water resources in POM SMK.
The research is a descriptive one supported by applied research using experimental method. The data of this research are secondary and primary data, including POM operation, water consumption, production, cost, government laws and standardization related to POM activities implementation procedures, and also other related data. This study was performed in Sei Mangkei POM, Kec. Bosar Malinggas, Kabupaten Simalungun, North Sumatera. The duration of this study was in January - June 2002.
The research analysis framework was performed in several steps: first, identifying the quality and the quantity of water consumption and the amount of POM liquid waste; second, observing the possibility of P2 Principle implementation and identifying the decrease of water consumption and POM liquid waste; third, identifying the economic impact and prediction of environmental and social impact by implementing The P2 Principle. The analysis was carried out by math analysis, tables, SPSS software, and financial feasibility analysis by Microsoft Excel 2000.
The conclusions of this research are: (1) The P2 Principle Implementation design suggested to be adopted is source reduction by controlling production process conditions, that is controlling the boiler pressure at its optimum condition, recovery of condensate water for dilution water of pressing process and waste vibro, and also reuse the turbine cooling water, LSS cooling water (LSS cooler); (2) The reduction of water consumption is approximately 10-39%, of high polluted liquid waste debit is approximately 26-39%, and of low polluted liquid waste debit is 100%, if SMK POM adopts all the suggested P2 Principles Implementation design; (3) The economic feasibility analysis and the prediction of the environmental and social impact of the P2 Principle implemented design in water resources utilization at SMK POM indicate: (a) profit around Rp.65,152.422-Rp.241,025,9501year (2001- 2002 value), if SMK POM adopts all the suggested P2 Principle Implementation and the marginal benefit; (b) the aspect of decreasing the water consumption or increasing the efficiency of water consumption, and decreasing the amount of liquid waste under the permitted limit, would have impact on the water resources conservation and lower the pollution level. The efficiency of water and Waste Water Treatment Plant (WVVTP) cost resulted from implementing The P2 Principle would increase the company profit and the PKS employees' income.
The suggestion of this study are; (1) Realizing that the implementation of The P2 Principle is not a must, but voluntary, the top management of the company, therefore, should have strong commitment and take part in changing the culture and ethics of the company business, and together with full support of employees so that the implementation of this principle could reach its goals. Such support would become real if the company have the willingness to put the environmental cost as direct component of the production cost; (2) The government as well as other related institutions are expected to increase the role of the environmental regulations by: (a) improving the role and implementation of emission supervision and control; (b) setting standard criteria of natural resources utilization which is more restricted and must be applied; (c) providing incentives, raising the water consumption taxes and applying the waste water retribution, so that the voluntary nature of implementing The P2 Principle is more attractive and worthy; (3) To gain more significant benefit, the design of The P2 Principle implementation should be tested and other follow-up research is required to produce more technical and specific aspects.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11030
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rayi Putra
"Kerusakan lingkungan adalah masalah besar yang kini dihadapi manusia. Deep ecology adalah jenis etika environmentalisme yang bereaksi terhadap kerusakan lingkungan dengan berusaha membuktikan alam memiliki nilai intrinsik. Gagasan deep ecology menjadi kontraposisi dari antroposentrisme. Padahal, antroposentrisme yang digagas oleh Stephen K White telah memperkenalkan dimensi tanngung jawab terhadap lingkungan dengan mengajukan konsep subject centred responsibility. Dengan demikian, dalam usaha menjaga lingkungan, konsep subject centred responsibility milik White dapat digunakan untuk mengkritik pandangan-pandangan etika deep ecology.

Abstract
Environmental destruction is a mass problem that mankind now faces. Deep ecology is a type of environmental ethic that reacts to environmental destruction by trying to emphasize that nature does have intrinsic value. The idea of deep ecology has become a contra of anthropocentrism. Meanwhile, anthropocentrism that was formulated and presented by Stephen K White introduced a dimension of responsibility towards the environment through the concept of subject centered responsibility. Thus in an effort to protect the environment, the concept of subject centered responsibility by White can be used to criticize ethical views on deep ecology."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S225
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Chaezienul Ulum
"buku ini membahas tentang suatu reaksi multi level yang dilakukan dalam ranah kebijakan terkait lingkungan."
Malang: UB Press, 2017
363.7 CHA e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Yuli Puspitasari
"ABSTRAK
Gumuk pasir adalah bentang alam yang unik karena biasanya bentang alam seperti ini adanya di wilayah yang beriklim gurun, namun di Indonesia yang beriklim tropis memiliki bentang alam seperti ini. Selain itu di Indonesia, Gumuk Pasir Parangtritis adalah satu-satunya di Asia Tenggara. Secara ekologis, Gumuk pasir penting untuk mencegah intrusi air laut, meminimalisir dampak terjadinya gempa dan tsunami. Dari keunikan dan fungsi ekologis tersebut, pemerintah merencanakan untuk menjadikan gumuk pasir sebagai wilayah konservasi. Wilayah konservasi haruslah bebas dari bangunan-bangunan yang tidak berkepentingan dalam upaya konservasi. Namun, di gumuk pasir Parangtritis banyak penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan peruntukkannya. Hal ini dikarena masyarakat Parangtritis belum paham mengenai pentingnya gumuk pasir. Hal ini dapat menyebabkan rusaknya dan berkurangnya luasan gumuk pasir. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu sosialisasi untuk menyamakan persepsi mengenai pentingnya gumuk pasir agar pemanfaatan di gumuk pasir harmonis sesuai dengan fungsinya, sehingga keberlanjutan gumuk pasir dapat tercipta. Peran pemerintah dalam membentuk kebijakan dan mengawasi kebijakan tersebut harus lebih optimal dan efektif.

ABSTRACT
Sand dunes landscape is unique because it is usually the existence of such landscapes in the temperate regions of the dessert, but in tropical Indonesia has a landscape like this. Also in Indonesia, Parangtritis sand dunes are the only one in South East Asia. Ecologically, the sand dunes are important to prevent the intrusion of sea water, minimizing the impact of the earthquake and tsunami. From the uniqueness and the ecological function, the government is planning to make a sand dune conservation are. Conservation region should be free of buildings that are not interested in conservation. However, in the sand dunes Parangtritis many land uses that are not in accordance with their distribution. This is caused Parangtritis people do not understand the importance of sand dunes. This can cause damage and loss of sand dune area. Therefore we need some socialization to make the perception of the importance of sand dunes sand dunes in order to use in harmony according to function, so that sustainability can create sand dunes. The role of government in shaping policy and oversee the policy must be optimal and effective."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T38765
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baumol, William J.
Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1979
330 BAU e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sabikhism Noorfajr
"Penulisan ini berupaya untuk menganalisis bagaimana pemerintah menanggapi permasalahan mengenai isu lingkungan hidup yang sudah hadir pada tahun 1960-an. Sejak meningkatnya kebutuhan infrastruktur serta teknologi di Indonesia menyebabkan perkembangan yang meningkat begitu pesat. Infrastruktur yang dibangun diantaranya seperti industri, gedung-gedung perkantoran, hingga pemukiman warga. Akan tetapi, dengan adanya pembangunan-pembangunan tersebut memberikan dampak terhadap lingkungan. Pemerintah pada masa Orde Baru menanggapi permasalahan tersebut dengan menerapkan berbagai kebijakan, seperti dibentuknya Kementerian Lingkungan Hidup serta memberikan mandat kepada Emil Salim sebagai Menterinya guna mengatasi masalah lingkungan Hidup yang semakin mengakar. Salah satu langkah awal yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup adalah dengan menetapkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, Pemerintah juga membuat kebijakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam upaya mengontrol dan mengawasi industri-industri yang berpotensi besar dapat merusak lingkungan hidup. Karya penulisan ini berbeda dengan karya- karya sebelumnya karena dari hasil yang didapat dalam penelitian-penelitian mengenai permasalahan lingkungan hanya ditulis secara umum dalam aspek lingkungan ataupun hukum tanpa menggunakan penulisan sejarah, sedangkan penulisan ini ditulis dengan pendekatan penulisan sejarah lingkungan. Dari hasil penulisan ini dapat dijelaskan bahwa penerapan kebijakan AMDAL pada masa ini terbukti belum dapat diimplementasikan dengan sesuai karena sejak kebijakan tersebut diterapkan masih banyak penyelewengan-penyelewengan yang terjadi.

This study aims to define how the government responds to problems regarding environmental issues that present in the early 1960s. Since the increase of infrastructure development as well as technology in Indonesia, the country’s development is increasing rapidly. Several infrastructures that were built are such as industry, office buildings, to residential areas. However, with those infrastructures being built, it gave bad impacts to the environment. In the new order era, the government responded to that problem by applying a series of policies, such as the formation of the Ministry of Environment and giving Emil Salim a mandate as the minister to resolve problems regarding the living environment which was getting bigger. One of the initial steps done by the Ministry of Environment was establishing Law No. 4 of 1982 regarding basic provisions of environmental management. Besides that, the government also established Analysis Regarding Environmental Impact (AMDAL) in an attempt to control and to supervise industries which have big potential to harm the environment. This study is different from the previous studies because the results of the previous ones regarding environmental problems were only written generally in the aspects of environment and law but not in the aspect of history, while this study is written with an approach of environmental history. From this study, it can be explained that the practice of AMDAL policy in this era is proven cannot be implemented yet accordingly, because since the establishment of that policy there are still many frauds and deceptions that happen."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>