Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134858 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adhi Dharma
"Tesis ini membahas mengenai Trans Pacific-Partnership Agreement di Asia Pasifik dan polemik yang terjadi di Jepang dalam keputusan pemerintah untuk terlibat dalam negosiasi Trans-Pacific Partnership Agreement. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai kondisi perekonomian dan politik Jepang yang melatarbelakangi keputusan pemerintah untuk ikut serta dalam negosiasi Trans-Pacific Partnership Agreement, pihak-pihak yang mendukung dan menolak keputusan tersebut, serta pihak-pihak yang terlibat dalam keputusan tersebut. Fokus utama diarahkan pada bagaimana Interest Group berusaha mempengaruhi keputusan pemerintah Jepang dalam negosiasi Trans-Pacific Partnership Agreement.

This thesis provide brief description about the Trans Pacific-Partnership Agreement in Asia Pacific and the controversy surrounding the Japanese Government decision to join the Trans Pacific-Partnership Agreement negotiation. It also explain the economic and political background of the government of Japan in announcing this decision. The research study the involvement of relevant parties that influence the government decision to enter the Trans Pacific-Partnership Agreement negotiation, focusing on the action of Interest Group."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu R. N. Rahman
"Keputusan Jepang untuk ikut berpartisipasi dalam Trans-Pacific Partnership TPP pada tanggal 5 Oktober 2015 mengharuskan Jepang untuk meliberalisasi berbagai sektor perekonomiannya termasuk sektor pertanian. Selain penghapusan tarif, pemerintah Jepang juga mengubah pola kebijakan proteksi yang selama ini diimplementasikan menjadi suatu kebijakan yang dapat meningkatkan daya saing sektor pertanian Jepang dalam menghadapi tren pasar bebas kawasan seperti TPP. Kondisi ini menyiratkan adanya perubahan yang cukup signifikan atas implementasi Developmental State Jepang yang sarat akan ideologi merkantilisme yang selama ini menjadi ciri pembangunan ekonomi Jepang. Namun demikian, penelitian ini menemukan bahwa terjadi perubahan berupa pergeseran dalam implementasi Developmental State di Jepang ke arah Developmental State Dualism. Perubahan tersebut terjadi sebagai akibat pengaruh dari mekanisme pasar yang sarat akan prinsip-prinsip liberalisme dan memberikan pengaruh terhadap bagaimana pemerintah Jepang melakukan intervensi terhadap sistem pembangunan perekonomian.

Japan rsquo s decision to participate in Trans Pacific Partnership TPP on October 5, 2015 has made Japan to liberate economic sectors including the agricultural sector. Beside tariff abolition, Japan government also changed the pattern of protection policy that used to be implemented to be a policy that can promote Japan rsquo s agriculture competitiveness encountering free trade trend like TPP. This condition implies a significant change of Japan rsquo s merchantilism based Developmental State that well known as the main characteristic of Japan rsquo s economic development. However, this research discovered the transformation of Japan rsquo s Developmental State implementation in to Developmental State Dualism. The transformation occured due to the influence of liberalism based market mechanism that leverage how the government intervenes the the system of economic development."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Gilang Pusparani
"Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi maksud dan tujuan di balik kebijakan partisipasi Amerika Serikat di Trans Pacific Partnership TPP pada tahun 2009 Menggunakan metodologi kualitatif dengan studi pustaka dan dokumen sebagai metode pengumpulan data penelitian ini berasumsi bahwa kebijakan partisipasi AS di TPP sebagai sebuah manuver geopolitik dengan komunikasi sebagai unit analisis Dengan demikian penelitian ini lebih dapat mengungkap secara komprehensif maksud dan tujuan kebijakan AS di TPP dalam kaitannya dengan narasi resminya. Temuan penelitian ini adalah bahwa partisipasi A S di TPP merupakan sebuah gimmick dalam upaya diplomasi publik serta sebuah aksi komunikatif bermakna geopolitis Analisis studi kasus di Malaysia dan Jepang memberikan gambaran bagaimana implikasi komunikasi di level domestik yaitu order yang ditunjukkan dengan adanya konvergensi komunikasi atau konflik yang ditunjukkan dengan adanya divergensi komunikasi yang keduanya ditentukan oleh karakter aliran informasi domestik.

This research aims to explore the meaning and purpose of the United States participation in Trans Pacific Partnership TPP in 2009 Using the qualitative methodology with literature and document review as the data collecting method this research assumes that participation in TPP is a geopolitical ploy with communication as the unit of analysis. Therefore this study is able to explore the meaning and purpose of global policy in TPP in relations to its official narrative in a comprehensive manner The research concludes that U S participation in TPP is a gimmick in its public diplomacy effort as well as a communicative turn which expresses geopolitical meanings The analysis of case studies in Malaysia and Japan providesa picture of the communication implication of US global policy at the domestic level either order which is indicated by the communication convergence or conflict which is indicated by the communication divergence both of which are determined by the character of the flow of information at the domestic level.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Sudirman
"Kerjasama dagang Trans Pasifik atau yang lebih dikenal dengan Trans-Pacific Partnership TPP adalah sebuah perjanjian perdagangan bebas yang diprakarsai oleh dua belas negara termasuk Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Tujuan TPP pada umumnya meliputi liberalisasi tarif bea masuk, penguatan hak kekayaan intelektual, peningkatan layanan dan investasi, reformasi tenaga kerja, dan sampai masalah perlindungan lingkungan. Blok perdagangan ini mencapai 28 triliun US Dollar atau sekitar 36 dari PDB dunia pada tahun 2014. Dari perspektif Indonesia dan Vietnam, Amerika Serikat dan Jepang merupakan mitra dagang utama. Namun fakta bahwa Vietnam telah bergabung dalam TPP akan memberikan mereka keunggulan atas Indonesia, terutama dalam ekspor produk alas kaki dan tekstil ke Amerika Serikat. Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba untuk mengukur dampak TPP terhadap ekspor produk alas kaki dan tekstil Indonesia dengan menggunakan model SMART. Model SMART adalah model ekuilibrium parsial yang dikembangkan oleh Bank Dunia dan United Nations Conference on Trade and Development UNCTAD . Model ini dapat memberikan informasi tentang trade diversion dengan hasil yang sangat detail HS-6 . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa trade diversion yang merupakan dampak dari TPP akan mengurangi ekspor alas kaki dan tekstil Indonesia ke Amerika serikat. Namun, penurunan ekspor yang tinggi hanya dialami beberapa produk alas kaki dan tekstil, sementara secara rata-rata penurunan ekspor per produk relatif kecil. Dengan asumsi nilai elastisitas 8,1 dan 7,4 untuk alas kaki dan tekstil, rata-rata penurunan ekspor per produk berkisar antara 4,17 untuk produk alas kaki dan 6,01 untuk produk tekstil.

The Trans Pacific Partnership Agreement TPP is a free trade agreement initiated by twelve countries including USA, Japan, and ASEAN countries such as Vietnam, Malaysia, and Singapore. TPP goals are generally about lowering trade barriers, strengthening of intellectual property rights, increasing services and investments, reforming of labor and state owned enterprise, and increasing environmental protection. The trade block represents US 28 trillion combined GDP in 2014 or about 36 of world GDP in 2014. From the Indonesian and Vietnamese perspective, the United States and Japan are both main trading partners. The fact that Vietnam has joined the TPP will give them an advantage over Indonesia, especially in the export of footwear and textile product to the USA. Thus, this paper tries to measure the impact of the TPP to Indonesia, a non TPP member, on footwear and textile export products using the SMART model. The SMART model is a partial equilibrium model developed by the World Bank and the United Nations Conference on Trade and Development UNCTAD . The model can provide information about trade diversion at a very disaggregated result HS 6 . Therefore, the research shows that trade diversion will harm Indonesia rsquo s footwear and textile export. However, despite the high export loss in several footwear and textile products, the average export loss per product is quite small. Even at the highest elasticity value 8.1 and 7.4 , the average export loss per product ranges between 4.17 and 6.01 for footwear and textile product respectively."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
T49155
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evelyne Miroza
"Tesis ini membahas mengenai Kajian Terhadap Rencana Keikutsertaan Indonesia Dalam Trans-Pacific Partnership Ditinjau dari Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999) yang menggunakan metode penelitian normatif dengan bahan hukum yang diperoleh dari studi pustaka meliputi bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundangundangan dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari literatur-literatur. Trans-Pacific Partnership merupakan salah satu perjanjian perdagangan bebas yang dibentuk oleh Amerika Serikat yang terdiri dari 12 negara anggota dan merupakan perjanjian perdagangan bebas pertama yang menyertakan pengaturan tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam satu bab khusus. Mengingat BUMN mempunyai peranan penting di Indonesia, maka perlu kiranya dilakukan kajian untuk melihat apakah pengaturan dari perjanjian tersebut bersinggungan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, khususnya Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999) dan UUD 1945. Perjanjian ini berusaha menghilangkan hak istimewa BUMN agar bersaing secara kompetitif dengan perusahaan swasta dan asing lainnya. BUMN dianggap tidak efisien karena telah memonopoli bisnis di level domestik melalui dukungan negara baik dalam bentuk pinjaman yang murah ataupun pengecualian pajak. Namun bukan berarti pemerintah tidak dapat melindungi kepentingan BUMN untuk kesejahteraan rakyat, dengan adanya pengaturan Non-Conforming Activities, negara dapat mengajukan daftar BUMN yang dapat dikecualikan dari segala pengaturan perjanjian Trans-Pacific Partnership bab 17 yang memenuhi ketentuan sehingga kemudian tidak akan bersinggungan dengan Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999) dan pasal 33 UUD 1945. Namun demikian tetap diperlukan pertimbangan yang matang sebelum memutuskan untuk bergabung, mengingat akan banyak sektor perundangundangan yang akan dipengaruhi dari keikutsertaan ini.

This Thesis discusses the Study of Indonesia's Participation Plan in Trans-Pacific Partnership Judging from the Prohibition of Monopoly Practices and Unfair Business Competition Act (Law Number 5 Year 1999) using normative research method with legal material obtained from literature study covering legal material Primers consisting of legislation and secondary legal materials comprising literature. The Trans-Pacific Partnership is one of the United States' free trade agreements consisting of 12 member states and is the first free trade agreement to include the regulation of State-Owned Enterprises (BUMN) in a special chapter. Considering that SOEs have an important role in Indonesia, it is necessary to conduct a review to see whether the arrangement of the agreement is tangent or not in accordance with the existing laws and regulations in Indonesia, in particular the Prohibition of Monopoly Practices and Unfair Business Competition Act (Law Number 5 Year 1999) and UUD 1945. This Agreement sought to eliminate the privileges of state enterprises and compete competitively with other private and foreign companies. SOEs are considered inefficient because they have monopolized business at the domestic level through state support either in the form of cheap loans or tax exemptions. However, it does not mean that the government can not protect the interests of SOEs for the welfare of the people, in the presence of the arrangement of Non-Conforming Activities, the state may file a list of BUMNs that can be exempted from all arrangements of the Trans-Pacific Partnership agreement 17 that fulfill the provisions so that it will not interfere with The Prohibition of Monopoly Practices and Unfair Business Competition Act (Law Number 5 Year 1999) and Article 33 of the 1945 Constitution. Nevertheless, careful consideration is required before deciding to join, considering that many sectors of legislation will be influenced from this participation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rendy Feronema
"Perjanjian Kemitraan Antara Ritel Modern Dengan Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah (UMKM) di dalam Persaingan Usaha Industri Ritel Terdapat Posisi Dominan dan Ketidakseimbangan oleh Ritel Modern yang berdampak terhadap Kesejahteraan Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah (UMKM). Penelitian ini membahas Permasalahan mengenai bagaimana Implementasi Perjanjian Kemitraan antara Ritel Modern dengan UMKM di Wilayah Kota Madya Bogor, dan apakah Perjanjian Kemitraan antara Ritel Modern dengan UMKM tersebut sesuai dengan Prinsip-Prinsip Persaingan Usaha Sehat, serta bagaimana Model/Mekanisme Pengawasan Perjanjian Kemitraan antara Ritel Modern dengan UMKM. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Dalam Tesis ini, penulis mengambil contoh perjanjian kemitraan antara Yogya Bogor Junction (Ritel Modern) dengan salah satu Usaha Kecil di wilayah Kota Bogor.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa secara tidak langsung Yogya Bogor Junction telah menguasai UMKM sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 35 UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM Jo. Pasal 12 huruf (a) PP No. 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Pengawasan Kemitraan menggunakan 2 (dua) jenis Pengawasan yaitu Pengawasan secara Preventif dan Pengawasan secara Represif, Perizinan merupakan salah satu bentuk Pengawasan Preventif dan yang berwenang melakukan Pengawasan Represif adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pada akhirnya penulis menyarankan bahwa Pemerintah Pusat harus terus mengawasi Pelaksanaan maupun Penerapan Program Kemitraan agar dapat berjalan sesuai yang diharapkan dan hendaknya Usaha Besar Ritel Modern selalu memegang teguh prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, agar dapat ikut membina usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi lebih mandiri dan berdaya guna.

Partnership Agreement between Modern Retail with The Micro, Small, And Medium Enterprises (SMEs) in the retail industry competition there dominant position and imbalance by Modern Retail that affecting welfare Micro, Small, And Medium Enterprises (SMEs). This study discusses the problem about The Implementation of The Partnership Agreement between Modern Retail with SMEs in The Bogor City, and whether The Partnership Agreement between The Modern Retail with SMEs in accordance with The Principles Of Fair Business Competition, and how The Model/Monitoring Mechanism Partnership Agreement between The Modern Retail with SMEs. The Method used in this Research is a normative legal research methods, with the approach of legislation. In this research, The Authors take an example of a Partnership Agreement between Yogya Bogor Junction (Modern Retail) with a Small Enterprise in The Bogor City.
The Research concludes that indirectly Yogya Bogor Junction has mastered SMEs as business partners in The Implementation of The Partnership, it is contrary to Article 35 of Act Number 20 of 2008 on SMEs and Article 12 (a) of Government Regulation Number 17 of 2013 on The Implementation of Act Number 20 of 2008 on SMEs. Monitoring partnership uses two (2) types of monitoring is preventive and repressive, licensing is one form of preventive monitoring and authorized to repressive monitoring is The Business Competition Supervisory Commission (KPPU). In The End, The Authors recommend that The Central Government must be continue to monitor implementation and application of partnership program to make it work as expected and should large enterprises such as Modern Retail always uphold The Principles Of Of Fair Business Competition, in order to participate to foster Micro, Small And Medium Enterprises become more independent and efficient.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ermanto Fahamsyah
"Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan dan keputusan pengadilan. Penelitian kepustakaan tersebut dilanjutkan dengan penelitian lapangan melalui wawancara dan peninjauan ke dua desa di Lebak, Banten. Yang menjadi permasalahan dalam disertasi ini adalah apakah perjanjian-perjanjian dalam Pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan di Lebak, Banten adil bagi petani peserta? Apakah Pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan dapat membawa kesejahteraan yang kontinu kepada petani peserta di Lebak, Banten? Faktor-faktor apakah yang menyebabkan Pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan di Lebak, Banten akhirnya tidak berhasil? Usaha-usaha apakah yang perlu dilakukan agar Pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan membawa keuntungan baik untuk perusahaan inti maupun petani peserta di Lebak, Banten? PIR Perkebunan dilaksanakan untuk membangun petani perkebunan yang sejahtera dan mandiri melalui peningkatan pendapatan dan taraf hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan melalui mekanisme yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan perjanjian. Pola PIR Perkebunan dalam pelaksanaannya mengalami hambatan-hambatan atau kesulitan-kesulitan. Di samping ada PIR Perkebunan yang berhasil, tetapi ada pula yang mengalami kegagalan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perjanjian dalam Pola PIR Perkebunan yaitu perjanjian pembelian-pembayaran hasil panen dan kredit petani peserta dibuat dalam bentuk standar dengan tujuan untuk memperhatikan asas keseimbangan, tetapi dalam pelaksanaannya tidak selalu tercapai. Perjanjian mengenai pengelolaan kebun dan kredit petani peserta dibuat dalam bentuk perjanjian standar dan isinya belum sepenuhnya adil bagi petani peserta. Sementara perjanjian kredit dibuat dalam bentuk standar, tetapi dalam perjanjian tidak ditemukan unsur-unsur yang memberatkan petani peserta. Selanjutnya Perjanjian Produksi dan Jual Beli buah kelapa sawit semula dibuat untuk memberikan keuntungan bagi perusahaan inti dan petani peserta, tetapi perjanjian tersebut belum sepenuhnya adil bagi petani peserta. PIR Perkebunan akhirnya tidak dapat membawa kesejahteraan yang kontinu kepada petani peserta di Lebak yang ditunjukkan dengan rendahnya tingkat pendapatan petani peserta dan beberapa mengalihkan tanah perkebunan. Pola PIR Perkebunan yang mempunyai tujuan mulia ternyata gagal membawa kesejahteraan kepada petani peserta di Lebak karena tidak berjalannya mekanisme dalam Pola PIR Perkebunan. Usahausaha yang perlu dilakukan agar PIR Perkebunan dapat membawa keuntungan bagi perusahaan inti dan petani peserta di Lebak diantaranya harus dilakukan perbaikan tugas dan peran perusahaan inti serta petani peserta, kelembagaan petani peserta harus dibentuk dan diperkuat, serta kemitraan antara perusahaan inti dan petani peserta harus diperbaiki.

This research utilizes the legal normative research methodology which is based on legal norms within regulations and courts decision. In addition to that, library research is complemented by field research through interviews and observation to the two villages in The Regency of Lebak, Banten Province. Specifically, the main research questions for this research are whether the agreements within The Nucleus Estate Smallholder Plantations are impartial for its farmer members? Other questions that will be evaluated are whether The Nucleus Estate Smallholder Plantations could bring continuous social prosperity for its farmers in Lebak, Banten? Moreover, which factors are influencing the failures of The Nucleus Estate Smallholder Plantations in Lebak, Banten? More importantly, what efforts need to be made so that The Nucleus Estate Smallholder Plantations could be beneficial for its own good and also the its farmers in Lebak, Banten? Nucleus Estate Smallholder Plantations are designed to create a prosperous and self-sufficient farmers through increasing their wages and living conditions. These objectives are pursued through the establishment of a mechanism which are managed through existing regulations and agreement. During its implementation, the pattern of Nucleus Estate Smallholder Plantations encountered obstacles and difficulties whereas in spite of several successful NES Plantations, there are also those that failed. The result of this research has shown that the agreements within The Nucleus Estate Smallholder Plantations namely, the agreement on the buying-payment of harvest results and farmers credit are made with equality in concept but it failed to achieve its intended goals during its implementation. In addition to that, the agreement on the management of plantations and farmers credit are made in the form of standard agreements in which its contents does not serve the interest of the farmers. At the same time, the credit agreements are created in the standard forms but it is not found to have a negative impact on the farmers. Furthermore, the agreement on production and selling of palm oil are originally designed to benefit for the nucleus estate and its farmers, but as this research has shown it has not created a fair and just impact for its farmers. As a result, The Nucleus Estate Smallholder Plantations could not create continuous social prosperity for the farmers in Lebak as shown by the low income of the farmers and several plantation lands issues. The noble goal of The Nucleus Estate Smallholder Plantations in the end has not been beneficial on the farmers in Lebak due to the failed mechanism within The Nucleus Estate Smallholder Plantations. Therefore, efforts need to be made so that The Nucleus Estate Smallholder Plantations could create a positive output for the nucleus estate and the farmers in Lebak, these reforms can be made in the form of improving the scope of task and roles of nucleus estate and its farmer?s members, the strengthening of the farmer?s institutions and improving the partnership model between nucleus estate and its farmer?s members in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
D1421
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Annisaa Farista
"Hubungan trilateral antara China, Jepang, dan Korea Selatan memiliki karakteristik berupa hot economics, cold politics. Hubungan ekonomi yang erat ditengah tensi hubungan politik yang tinggi membuat ketiga negara ini tidak dapat duduk dalam satu forum tanpa melibatkan pihak ketiga. Tahun 2002 menjadi momen penting dalam sejarah hubungan trilateral ketika Pemerintah China mengajukan inisiasi pembentukan China-Japan-Republic of Korea Free Trade Agreement (CJK FTA). Jepang menanggapi proposal kerjasama tersebut dengan skeptis. Namun pada tahun 2003, Jepang menerima inisiasi kerja sama tersebut dan dibentuk trilateral joint study. Penelitian ini menganalisis faktor eksternal dan internal yang mendorong Jepang untuk menerima inisiasi pembentukan CJK FTA. Penelitian ini menunjukkan bahwa Jepang tidak dapat dilihat sebagai black box dalam proses pembentukan kebijakan FTA.

Trilateral relationship among China, Japan, and South Korea is known as hot economics, cold politics. Close economic relationship in the midst of political tensions has created a difficulty for these three countries to sit together in one forum. The year of 2002 became a historical moment in their trilateral relationship when China initiated China-Japan-Republic of Korea Free Trade Agreement (CJK FTA). Japan gave a skeptical respond towards the initiation. However, in 2003 Japan agreed to the initiation and established a trilateral joint study. The research aims to analyze the external and internal factors that pushed Japan to accept the initiation. This report demonstrates that Japan cannot be viewed as a block box in its FTA policy making.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56398
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roehim Nuranas
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai implementasi special and differential
treatment di dalam IJEPA sebagai sarana pembangunan dalam bentuk bantuan
teknis dan kerjasama dari Jepang kepada Indonesia untuk mencapai tujuannya yaitu
membangun melalui perdagangan internasional. Hal tersebut diberikan karena pada
dasarnya Indonesia mengalami kerugian secara intrinsik akibat liberalisasi IJEPA.
Bantuan tersebut berupa pengembangan manufaktur atau yang disebut dengan
MIDEC. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan kajian
normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi MIDEC sebagai
sebuah bentuk special and differential treatment di dalam IJEPA belum
dilaksanakan secara maksimal. Hal tersebut dikarenakan lemahnya landasan hukum
dalam segi pengaturan tanggung jawab pelaksana dan pengawasan organisasi
MIDEC terhadap kegiatan MIDEC, pengaturan pembiayaan MIDEC, dan
penetapan program/roadmap yang kurang terperinci.
Disis lain, implementasi MIDEC selama 5 tahun memberikan pengaruh
terhadap perdagangan barang di Indonesia, antara lain perbaikan standard kualitas
produk manufaktur (elektronik, besi, otomotif), penurunan harga domestik produk
manufaktur di Indonesia, dan meningkatkan nilai ekspor beberapa barang
manufaktur dalam program MIDEC (seperti otomotif dan elektronik). Penelitian ini
juga menyarankan agar Pemerintah Republik Indonesia dapat melakukan
renegosiasi terkait hal tersebut di atas serta memanfaatkan program MIDEC secara
maksimal bagi seluruh stakeholder di Indonesia.

ABSTRACT
This thesis discusses the implementation of special and differential treatment
in the IJEPA as a means of development in the form of technical assistance and
cooperation from Japan to Indonesia to achieve its goal of building through
international trade. It is given because basically Indonesia experienced a loss due
to liberalization IJEPA intrinsically. Assistance in the form of manufacturing or
development called MIDEC. This study is a qualitative study using normative
study. The results of this study indicate that the implementation MIDEC as a form
of special and differential treatment in the IJEPA not yet fully implemented. This
is due to a weak legal basis in terms of regulation and oversight responsibilities of
implementing the activities of MIDEC by the MIDEC organization, MIDEC
financing arrangements, and the establishment of a program /roadmap that lack
detail.
On other hand, the implementation MIDEC for 5 years to gave effect to trade
goods in Indonesia, among others, improvement of standards of quality of
manufactured products (electronics, steel, automotive), the decline in domestic
prices of manufactured products in Indonesia, and increase the value of exports of
manufactured goods in the program MIDEC (such as automotive and electronics).
This study also suggested that the Government of the Republic of Indonesia to
renegotiate related to the above as well as maximally utilize MIDEC program for
all stakeholders in Indonesia."
2014
T42319
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angeline Berliano Bahtera
"Pembahasan dalam skripsi ini mengangkat kasus ratifikasi U.S.-Japan Trade Agreement (USJTA) oleh Jepang pada tahun 2019. Pembahasan berfokus untuk menjawab mengapa Jepang bersedia untuk meratifikasi USJTA tanpa adanya kesepakatan penghapusan tarif pada komoditas otomotif asal Jepang, yang merupakan tujuan utamanya dalam memulai negosiasi USJTA. Alih-alih memprioritaskan tujuan utama Jepang, kesepakatan akhir yang terbentuk dinilai lebih mengakomodasi kepentingan Amerika Serikat dalam membuka pasar pertanian Jepang. Bahkan, hingga penulisan skripsi ini dibuat, belum ditemukan adanya tanda-tanda akan dimulainya pembicaraan terkait penghapusan tarif pada komoditas otomotif asal Jepang meskipun tiga tahun telah berlalu sejak USJTA resmi berlaku. Untuk memahami tindakan Jepang dalam meratifikasi USJTA, skripsi ini menggunakan kerangka analisis teori two-level games milik Robert Putnam dengan metode penelitian kualitatif yang bersifat eksploratif dan berpusat pada studi pustaka. Penelitian dalam skripsi ini menemukan bahwa kebijakan Jepang untuk meratifikasi USJTA tanpa kesepakatan tarif pada komoditas otomotifnya dipengaruhi oleh proses negosiasi USJTA yang berlangsung pada level internasional dan mayoritas konstituen domestik serta institusi politik Jepang yang mendukung ratifikasi USJTA pada level domestik. Menurut teori two-level games, temuan ini menunjukkan bahwa masih terdapat win-set yang tumpang tindih antara level internasional dan domestik Jepang sehingga memungkinkan Jepang untuk tetap meratifikasi USJTA walaupun bukan berada pada kondisi yang ideal.

The discussion in this thesis addresses the case of the U.S.-Japan Trade Agreement (USJTA) ratification by Japan in 2019. The focus of the discussion is to answer why Japan was willing to ratify USJTA without the inclusion of a tariff elimination agreement on automotive commodities originating from Japan, which was its main objective in initiating the USJTA negotiations. Instead of prioritizing Japan's main goal, the final agreement formed was deemed to accommodate the interests of the United States in opening Japan's agricultural market. Even as of the writing of this thesis, there have been no signs of initiating discussions on the tariff elimination of Japanese automotive commodities, despite three years having passed since the USJTA officially came into effect. To understand Japan's actions in ratifying the USJTA, this thesis utilizes the analytical framework of Robert Putnam's Two-Level Games theory with an exploratory qualitative research method that is focused on literature review. The research in this thesis finds that Japan's policy to ratify the USJTA without a tariff agreement on its automotive commodities is influenced by the USJTA negotiation process that took place at the international level, as well as the majority of domestic constituents and Japanese political institutions that supported the ratification of the USJTA at the domestic level. According to the Two-Level Games theory, these findings indicate that there is still an overlapping win-set between the international and domestic levels in Japan, allowing Japan to ratify the USJTA even though it is not under ideal conditions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>