Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139999 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rampengan, Starry Homenta
"Latar belakang: Gagal jantung kronik merupakan penyakit progresif lambat dengan morbiditas serta mortalitas yang tinggi. Penggunaan obat-obatan seringkali tidak berhasil, sehingga Enhanced External Counterpulsation (EECP) yang bersifat non-invasif dapat menjadi alternatif terapi dalam penanganan gagal jantung.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinik terkontrol secara randomisasi terbuka terhadap kelompok yang menjalani terapi EECP dan yang tidak menjalani terapi (non-EECP). Masing-masing kelompok terdiri dari 33 pasien. Pada semua pasien dilakukan pemeriksaan mieloperoksidase (MPO) sebagai penanda inflamasi pada awal dan setelah 6 bulan pengamatan untuk dinilai kelompok mana yang lebih banyak mengalami kejadian kardiovaskular.
Hasil: Pengukuran kadar MPO awal (743,4 ± 232,9 pM) dan setelah 6 bulan pengamatan (534,8 ± 191,3 pM) pada kelompok EECP mengalami penurunan bermakna secara statistik (p < 0,001) tetapi pada kelompok non-EECP (679,4 ± 332,3 pM menjadi 517,6 ± 189,7 pM) secara statistik tidak bermakna (p = 0,110). Penurunan kadar MPO sangat bermakna secara statistik pada semua pasien kelompok EECP dibandingkan kelompok non-EECP (13 pasien). Hasil perhitungan risiko relatif (RR) menyatakan bahwa risiko penurunan MPO pada kelompok EECP 2,08 kali lebih baik daripada kelompok non-EECP. Pengamatan kejadian kardiovaskular setelah 6 bulan penelitian menunjukkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p = 0,037). Kejadian kardiovaskular kelompok non-EECP ditemukan 15 pasien (45,5 %) sedangkan pada kelompok EECP hanya ditemukan 7 pasien (21,2 %).
Kesimpulan: Terapi EECP menurunkan kadar MPO pasien GJK dan dapat menurunkan kejadian kardiovaskular dalam 6 bulan pengamatan. Makin tinggi kadar MPO berkorelasi dengan makin tingginya insiden kejadian kardiovaskular.

Background: Chronic heart failure (CHF) is a slowly progressive disease with high morbidity and mortality; the management using pharmacological treatments frequently fail. Therefore, Enhanced External Counterpulsation (EECP), a non-invasive treatment, may serve as alternative treatment for heart failure.
Methods: Our study was an open randomized controlled clinical trial. All subjects were categorized into two groups, i.e. the group who had EECP therapy and those who did not have EECP (non-EECP group). Each group consisted of 33 patients. Myeloperoxidase (MPO) as inflammatory marker was examined in all subjects at baseline and after 6 months of observation to assess which group had more cardiovascular events.
Results: Baseline MPO measurement (743.4 ± 232.9 pM) and after 6 months (534.8 ± 191.3 pM) in 32 patients in EECP group showed statistically significant reduction (p < 0.001); however in the non-EECP group, mean reduction value of MPO from 679.4 ± 332.3 pM to 517.6 ± 189.7 pM was not statistically significant (p = 0.110). MPO level reduction was statistically significant in all subjects of EECP group compared to non-EECP group (13 patients). Measured relative risk (RR) demonstrated that there was 2.08 fold risk of reduced MPO in EECP group compared to non-EECP group. Cardiovascular events observed after 6 months study showed that there was a significant difference between groups (p = 0.037).
Conclusion: EECP therapy can reduce MPO level in CHF patients. It may lower cardiovascular events in 6 months observation. Higher MPO level are associated with higher incidence of cardiovascular events.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I.G.N. Putra Gunadhi
"Untuk menilai manfaat tindakan Kontra Pulsasi Extemal Diperkuat
(KPEK - ’EECP’) pada penatalaksanaan penderita APS, telah dilakukan penelitian "pre-post uncontrolled clinical trials" terhadap 38 penderita APS (36 laki-laki, 2 wanita) berumur rata-rata 56,31±1,34 tahun dengan rentang usia 43 - 73 tahun, dilakukan di RS Jantung Harapan Kita Jakarta pada periode 1 Desember 1992 sampai dengan 31 Agustus 1993. Semua penderita menjalani tindakan KPEK 36 jam, 1 jam setiap hari yang sama) pra dan pasca tindakan KPEK serta perubahan keluhan subyektif
pasca tindakan. 35 orang diantaranya dievaluasi dengan uji latih Jantung beban dan skintigrafi talium 1 minggu pra dan pasca tindakan KPEK. Didapatkan perbaikan kelas angina sesuai kriteria CCS pada 32 (84,2%) penderita serta. Dari hasil skintigrafi talium 201, 9 penderita (23,6%) tidak
didapatkan defek iskemi lagi, pengurangan area iskemi didapatkan pada 24 penderita (63,2%) dan hanya 5 penderita (13,2%) tidak mengalami perbaikan. Sehingga total penderita yang menunjukkan perbaikan defek iskemi adalah 33 orang (86,8%). Toleransi latihan (’exercise duration’) dari ULJB juga mengalami peningkatan pada kelompok penderita yang menunjukkan bebas defek iskemi dari 5,76±2,35 menjadi 7,78±2,28 menit (P<0,02), demikian juga pada kelompok yang menunjukkan pengurangan area iskemi dari 5,61±2,19 menjadi 6,65±1,85 menit ( P < 0,05 ). Sedangkan pada kelompok yang tidak
mengalami perbaikan tidak menunjukkan peningkatan toleransi latihan. Produk ganda pada ULJB pada kelompok penderita yang mengalami bebas defek iskemi menunjukkan penurunan dari 25166,67±4609,26 menjadi 24503,33±4012,03 ( P < 0,001 ), demikian juga pada kelompok yang menunjukkan pengurangan area iskemi dari 22910,48±6193,11 menjadi 21644,29±4227,46 ( P < 0,001 ), tapi sebaliknya pada kelompok yang tidak mengalami perbaikan menunjukkan peningkatan dari 23392±4470,75 menjadi 26908±5738,59 mmHg LJ/menlt ( P < 0,001 ). Perbaikan defek reperfusi dan peningkatan toleransi latihan menggambarkan perbaikan perfusi koroner ke daerah miokard yang mengalami iskemi."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dexanda Pravian
"ABSTRAK
Latar belakang: External Counter Pulsation (ECP) dapat diaplikasikan sebagai pilihan terapi pada pasien dengan angina refrakter yang tidak adekuat dikendalikan dengan terapi medis, angioplasti perkutan (IPK) ataupun bedah pintas arteri koroner (BPAK). Hasil bervariasi masih diperoleh pada perbaikan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pasien yang menjalani ECP. Metode 2D-Speckle Tracking Echocardiography (2D-STE) dianggap lebih unggul menilai perbaikan klinis, namun hingga kini belum ada penelitian yang mengevaluasi mekanikal ventrikel kiri dengan menggunakan 2D-STE pada pasien yang menjalani protokol standar ECP (35 sesi).
Tujuan: Mengetahui perubahan mekanik ventrikel kiri sesudah dilakukan 35 protokol standar ECP dibandingkan dengan kontrol/sham pada pasien angina refrakter yang tidak ideal menjalani revaskularisasi konvensional (IPK/BPAK).
Metode: Pasien dengan angina refrakter yang tidak dapat dilakukan revaskularisasi lebih lanjut secara konvensional (IPK/BPAK) dirandomisasi menjadi 2 kelompok: kelompok terapi standar ECP (300 mmHg) dan kelompok placebo/sham (75 mmHg). Terapi standar ECP diberikan selama 35 sesi, durasi 1 jam/hari/sesi, selama 5 hari/minggu, selama 7 minggu. Data 2D-STE mencakup strain longitudinal dan post systolic index (PSI) diambil sebelum dan sesudah terapi (dengan double-blind).
Hasil: Terdapat 46 subjek ikut serta dalam penelitian dan tidak ada subjek yang mengalami drop-out. Tiga pasien dieksklusi karena kualitas ekokardiografi sub-optimal. Dua puluh dua subjek disertakan dalam Grup Terapi ECP dan 21 subjek dalam Grup Kontrol (sham). Karakteristik dasar strain homogen sebelum dilakukan perlakuan baik secara global (Grup Terapi 12,42±4,55 vs Grup Sham 12,00±4,92; p 0,774) maupun secara segmental/regional (Grup Terapi 12,63 (0,01-25,16) vs Grup Sham 12,43 (0,01-27,20); p 0,570). Setelah perlakuan tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik antar kelompok pada parameter mekanik ventrikel kiri baik secara global (p 0,535) maupun regional (p 0,434). Parameter PSI mengalami perbaikan pada grup Terapi (p 0,049) dan segmen dengan PSI≥20% cenderung mengalami perbaikan strain longitudinal pada grup Terapi dibanding grup Sham (p 0,042).
Kesimpulan: Terapi ECP sebanyak 35 sesi tidak memberikan perbaikan mekanik ventrikel kiri secara global maupun regional/segmental pada pasien angina refrakter yang tidak ideal menjalani revaskularisasi konvensional (IPK/BPAK) dibanding sham.

ABSTRACT
Background: External Counterpulsation (ECP) can be applied as a therapeutic option in patients with debilitating refractory angina inadequately controlled by medical therapy, percutaneous angioplasty (PCI), or coronary artery bypass surgery (CABG). Varied results are still obtained in the improvement of the left ventricular ejection fraction in patients undergoing ECP. The 2D-Speckle Tracking Echocardiography (2D-STE) method is considered superior in assessing clinical improvement, but there has been no study evaluating mechanical parameters of the left ventricle using 2D-STE in patients undergoing the standard ECP protocol (35 sessions).
Objective: To determine the effect of ECP on left ventricular mechanical parameters changes after performing 35 ECP standard protocols compared with sham (control) in patients with refractory angina who are not ideal for conventional revascularization (PCI/CABG).
Methods: We conducted a double-blind randomized control trial. Patients with refractory angina who could not be further revascularized conventionally (PCI/CABG) were randomized into 2 groups: the ECP group (300 mmHg) and the Sham group (75 mmHg). ECP standard therapy was given for 35 sessions, duration of 1 hour/day/session, for 5 days/week, for 7 weeks. 2D-STE data including strain and post systolic index (PSI) were obtained before and after therapy.
Results: There were 46 subjects included in the study without any drop-out. Three patients were excluded due to suboptimal echocardiographic images. Twenty-two subjects were included in the ECP group and 21 subjects into the sham group. A homogenous baseline strain was found either globally (ECP group 12.42 ± 4.55 vs Sham group 12.00±4.92; P=0.774) or segmentally/regionally (ECP group 12.63 (0.01-25.16) vs the Sham group 12.43 (0.01-27.20); P=0.570). After treatment, there was no statistically significant improvement between groups in the mechanical function of the left ventricle both globally (P=0.535) or regionally/segmentally (P=0.434). There were improvements in the PSI parameters found in the ECP group (P=0.049) and segments with PSI ≥20% tended to improve longitudinal strains in the Therapy group compared to the Sham group (p 0.042).
Conclusion: 35 sessions of ECP therapy did not improve the global nor regional/segmental left ventricular mechanical parameters in patients with refractory angina who were not ideally suited for conventional revascularization (PCI/CABG) compared to Sham."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Lilihata
"Latar Belakang : External counterpulsation (ECP) ditunjukkan dapat mengurangi gejala angina dan memperbaiki kualitas hidup pasien penyakit jantung koroner (PJK) dengan angina refrakter. Efek protektif jangka panjang ini dipikirkan merupakan efek dari peningkatan pulsatile shear stress pada endotel vaskular sehingga terjadi perbaikan pada fungsi endotel. Dalam proses ini, sekelompok miRNA berfungsi meregulasi ekspresi gen dan dipengaruhi oleh shear stress, diantaranya adalah miR-92a yang bersifat proatherosklerosis. Tujuan : Mengetahui pengaruh ECP terhadap kadar miR-92a di plasma pada pasien PJK dengan angina refrakter. Metode : Sebanyak 50 pasien PJK dan angina refrakter direkrut dan diacak ke salah satu dari kelompok terapi ECP atau sham (1:1), dan menjalani 35 sesi yang berdurasi 1 jam tiap sesi. Terapi sham serupa dengan terapi ECP namun memberikan tekanan yang jauh lebih rendah. Level miR-92a di sirkulasi diukur di plasma darah sebelum dan sesudah selesai seluruh terapi, kemudian besar perubahan pada kedua kelompok dibandingkan. Hubungan antara keluaran klinis seperti keluhan angina, kapasitas fisik dan ejection fraction (EF) ventrikel kiri dengan kadar miR-92a juga dinilai.
Hasil : miR-92a di plasma meningkat bermakna pada kelompok ECP [+5.1 (+4.2 s.d +6.4) menjadi +5.9 (+4.8 s.d +6.4), p value <0.001] dan sham [+5.2 (+4.1 s.d +9.4) menjadi +5.6 (+4.8 s.d +6.3), p value 0.008]. Besar perubahan dan fold changes cenderung lebih besar pada kelompok ECP namun tidak berbeda bermakna secara statistik dibandingkan kelompok sham. Kadar miR-92a post intervensi berkorelasi signifikan dengan rasio diastolik/sistolik selama terapi dan perbaikan EF pasca intervensi. Selain itu, perubahan miR-92a berkorelasi positif dengan perbaikan kapasitas fisik.

Background : Noninvasive modality External counterpulsation (ECP) can improve angina frequency and exercise capacity in refractory angina (RA) patients. The long term benefit is thought to be the result of increase in shear stress on vascular endothelial cells resulting in improvement of endothelial dysfunction. In this process, a group of miRNA regulating gene expression in relation to shear stress is called flow-sensitive miRNA, among them is miR-92a. Aim : To evaluate ECP effect on plasma miR-92a level in RA patients. Method : Fifty subjects with RA were enrolled and randomized to either one of ECP or sham therapy (1:1 randomization). Each therapy session was one hour, for a total of 35 sessions. As a control, sham gave same sensation as ECP but with lower pressure. Plasma miR-92a level was measured before and after therapy and delta changes was compared between group. Secondary clinical outcome such as angina class, physical capacity and left ventricle Ejection Fraction (EF) were also measured and correlated with miR-92a level.
Result : Plasma miR-92a level increased in both treatment groups [in ECP group +5.1 (+4.2 to +6.4) to +5.9 (+4.8 to +6.4), p value <0.001, in sham group +5.2 (4.+1 to 9.4) to +5.6 (+4.8 to +6.3), p value =0.008]. There was higher delta increase and fold changes in ECP group, however the difference did not reach statistically significant. miR-92a level post intervention correlated significantly with Diastolic/Systolic ratio during intervention and improvement in ejection fraction (EF) post intervention. Moreover, changes in miR- 92a correlated positively with improvement in physical capacity. Conclusion : ECP did not cause significant different increase of miR-92a compared to sham.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Rina
"Latarbelakang. Enhanced External Counterpulsation (EECP) dilaporkan oleh beberapa peneliti dapat meningkatkan aliran darah perifer yang selanjutnya menimbulkan shear stress tinggi dan pada gilirannya mempengaruhi fungsi sel sel endotel yang berperan langsung didalam penurunan resistensi pembuluh darah, melalui peningkatan pembentukan substrat vasodilatasi NO (nitrogen monoksida). Secara teori peningkatan NO menginduksi terjadinya dilatasi pembuluh darah, dikenal sebagai flow mediated dilation (FMD). Sampai saat ini belum ada laporan tentang perubahan FMD pasca EECP. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan apakah FMD arteri brakhialis mengalami perubahan pada penderita PJK yang menjalani EECP. Metodologi. Dilakukan penelitian prospektif eksperimental dengan desain pra pasca pada 20 penderita PJK laki-laki, umur 42 - 71 th di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita selama periode Mei - Juli 1999. Semua penderita telah menjalani pemeriksaan angiografi koroner. Lima penderita dengan satu penyempitan pembuluh koroner utama (1-VD), 5 penderita dengan 2-VD, 9 penderita dengan 3-VD. Satu penderita dikeluarkan dari penelitian karena operasi tumor paru Seluruh penderita mendapat perlakuan EECP selama 1 jam sekali perhari selama 36 kali, minimal 5 kali seminggu. Pada semua penderita dilakukan pengukuran diameter arteri brakhialis memakai scan Duplex ultrasonografi perifer, sebelum dan sesudah perlakuan EECP. Untuk menilai FMD, diukur diameter (mm) baseline arteri dan saat hiperemia. FMD adalah persentase perubahan diameter akibat induksi peningkatan aliran darah. Analisa statistik Data disajikan dalam nilai rerata + SD. FMD pra dan pasca disajikan dalam satuan persen (%). Analisa perubahan variabel pra dan pasca EECP dilakukan dengan pair-t test. Nilai bermakna bila p<0,05.
Hasil penelitian. Usia rerata 58,1±7,72 thn. Peningkatan FMD pra (4.57±7,72%) dan pasca EECP (5,96±5,49%) pada penderita PJK secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Uji statistik yang dilakukan pada 3 subkelompok VD dan 2 subkelompok umur (dibawah 60 th dan > 60 th), secara statistik tidak bermakna. Pada kelompok pra EECP (6 penderita) yang dengan kegagalan FMD (0%), pasca EECP terjadi peningkatan bermakna (p<0,05). Pada 2 penderita subkelompok usia lanjut (umur 60 th) FMD pasca EECP masih tetap menunjukkan penurunan, hal ini mungkin terjadi disfungsi endotel berat. Pembahasan. FMD adalah salah satu parameter untuk menilai perubahan biologis fungsi endotel pembuluh darah. Semakin tinggi respon FMD menunjukkan fungsi endotel semakin baik. Pada penelitian ini, FMD menunjukan peningkatan tidak bermakna, mungkin shear stress yang dihasilkan EECP secara mekano hemodinamik tidak cukup untuk merangsang pelepasan NO, walaupun D/S ratio yang optimal. Penderita dengan gangguan fungsi endotel berat, pelepasan NO kedalam darah sangat menurun, sehingga sehingga terjadi peningkatan rasio ET-1/NO atau terjadi pelepasan ET-1 dari smooth muscle cell (SMC) yang selanjutnya menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Kesimpulan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa:
1. Peningkatan FMD pada penderita lelaki dengan PJK yang menjalani EECP secara statistik tidak bermakna.
2. Subkelompok penderita lelaki usia lanjut dengan PJK kemungkinan EECP menyebabkan kecendrungan penurunan FMD."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57284
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ervan Zuhri
"Latar Belakang: ECP mampu menurunkan frekuensi angina, meningkatkan kualitas hidup, serta memperbaiki exercise–induced ischemia time. Manfaat tersebut dapat bertahan beberapa tahun setelah ECP. Mekanisme manfaat jangka panjang ECP tersebut telah dibuktikan akibat adanya angiogenesis yang diduga diperankan VEGF-A, VEGFR-2, dan miR-92a.
Tujuan: Mengetahui efek ECP terhadap VEGF-A dan VEGFR-2, serta hubungannya dengan miR-92a pada pasien angina refrakter.
Metode: Studi ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda yang melibatkan 50 subjek dengan angina refrakter. Subjek dirandomisasi (1:1) ke dalam kelompok terapi ECP atau sham, yang masing-masing dilakukan selama 1 jam, hingga 35 kali. Kadar VEGF-A, VEGFR-2, dan miR-92a plasma diukur sebelum dan sesudah terapi menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk VEGF-A dan VEGFR-2, serta quantitative reverse transcription-polymerase chain reaction (qRT-PCR) untuk miR-92a. Keluaran klinis sekunder seperti derajat angina, kualitas hidup, 6-minutes walk test (6MWT), dan ejection fraction (EF) juga dinilai.
Hasil: Kadar VEGF-A dan VEGFR-2 dipertahankan pada kelompok ECP, sedangkan kadar VEGF-A dan VEGFR-2 mengalami penurunan yang signifikan pada kelompok sham [ΔVEGF-A ECP vs sham: 1 (-139 to160) vs -136 (-237 to 67) pg/ml, p = 0.026; ΔVEGFR-2 ECP vs sham: -171(-844 to +1166) vs -517(-1549 to +1407) pg/ml, p = 0.021, respectively]. Kadar miR-92a meningkat secara signifikan pada kelompok ECP [5.1 (4.2 – 6.4) to 5.9 (4.8 – 6.4), p<0.001] and sham [5.2 (4.1 – 9.4) to 5.6 (4.8 – 6.3), p=0.008]. Tidak terdapat korelasi antara perubahan kadar VEGF-A, VEGFR-2, dan miR-92a [VEGF-A vs VEGFR-2 (r = 0.243, p = 0.09; uji Spearman), VEGF-A vs miR92-a (r = 0.229, p = 0.11; uji Spearman), dan VEGR-2 vs miR92-a (r = 0.08, p = 0.581; uji Spearman)].
Kesimpulan: ECP mampu mempertahankan angiogenesis dengan cara mempertahankan kadar VEGF-A dan VEGFR-2. Pada kondisi iskemia, baik high shear stress (ECP) maupun low shear stress (sham) dapat menginduksi pelepasan miR-92a. ECP mempengaruhi VEGF-A, VEGFR-2, dan miR-92a secara independen.

Background: ECP is able to reduce angina frequency, improve quality of life, and improve exercise time-induced ischemia time. These benefits can last several years after the ECP. The mechanism for the long-term benefit of ECP has been proven by the presence of angiogenesis, which is thought to be mediated by VEGF-A, VEGFR-2, and miR-92a.
Objective: To determine the effect of ECP on VEGF-A and VEGFR-2, and its relationship with miR-92a in patients with refractory angina.
Methods: This study was a double-blind randomized clinical trial involving 50 subjects with refractory angina. Subjects were randomized (1:1) into either ECP or sham therapy groups, each administered for 1 hour, up to 35 times. Plasma VEGF-A, VEGFR-2, and miR-92a levels were measured before and after therapy using the enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method for VEGF-A and VEGFR-2, as well as quantitative reverse transcription-polymerase chain reaction (qRT-PCR). ) for miR-92a. Secondary clinical outcomes such as degree of angina, quality of life, 6-minute walk test (6MWT), and ejection fraction (EF) were also assessed.
Results: VEGF-A and VEGFR-2 levels are maintained in the ECP group, while VEGF-A and VEGFR-2 levels decrease in the sham group [ΔVEGF-A ECP vs sham: 1 (-139 to160) vs -136 (-237 to 67) pg/ml, p = 0.026; VEGFR-2 ECP vs sham: -171(-844 to +1166) vs -517(-1549 to +1407) pg/ml, p = 0.021, respectively]. MiR-92a levels increase significantly in the ECP group [5.1 (4.2 – 6.4) to 5.9 (4.8 – 6.4), p<0.001] and sham [5.2 (4.1 – 9.4) to 5.6 (4.8 – 6.3), p=0.008]. There is no correlation between changes in VEGF-A, VEGFR-2, and miR-92a levels [VEGF-A vs VEGFR-2 (r = 0.243, p = 0.09; Spearman's test), VEGF-A vs miR92-a (r = 0.229 , p = 0.11; Spearman's test), and VEGR-2 vs. miR92-a (r = 0.08, p = 0.581; Spearman's test)].
Conclusion: ECP therapy is able to maintain angiogenesis by maintaining VEGF-A and VEGFR-2 levels. In ischemic conditions, both high shear stress (ECP) and low shear stress (sham) can induce the release of miR-92a. ECP affects VEGF-A, VEGFR-2, and miR-92a independently.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Budiono
"Shear stress tinggi terbukti berkaitan dengan penglepasan dan peningkatan sintesa EDRF, khususnya nitrogen monoksida (NO). Telah diketahui bahwa konsep respon endotil terhadap shear stress mendasari perbaikan fungsi endotil pada penelitian in vitro maupun in vivo. Penelitian mengenai efek olah raga terhadap fungsi endotil pada binatang percobaan maupun penderita gagal jantung, menjelaskan dugaan bahwa stimulus peningkatan aliran darah yang berlangsung lama, dapat merangsang pemulihan disfungsi endotil. Adanya peningkatan aliran darah (shear stress) juga telah dibuktikan pada penderita yang menjalani enhanced external counterpulsation (EECP), sehingga diduga akan menimbulkan respon yang mirip dengan aktivitas olah raga, yaitu pelepasan NO oleh sel endotil. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah terdapat peningkatan kadar NO plasma pada penderita penyakit jantung koroner yang mendapat perlakuan EECP. Dilakukan penelitian eksperimental dengan desain pra-pasca pada 20 penderita penyakit jantung koroner (PJK), di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita selama periode Mei - Juli 1999. Seluruh penderita berjenis kelamin laki koronerangiografi dengan hasil 9 (47,4%) penderita dengan penyempitan di tiga pembuluh koroner utama, 5 (26,3%) penderita dengan penyempitan laki, dengan rerata umur 58,1 ± 7,72 tahun, telah menjalani pemeriksaan dua pembuluh koroner utama dan 5 (26,3%) penderita dengan penyempitan pada satu pembuluh koroner utama. Satu orang penderita dikeluarkan dari penelitian karena akan operasi tumor paru. Seluruh penderita tersebut mendapat perlakuan EECP satu jam perhari sampai tiga puluh enam kali, minimal lima kali seminggu. Setelah puasa 12 jam, pengambilan sampel darah dari vena kubiti dilakukan sesaat sebelum EECP pertama dimulai dan sesaat sesudah EECP pertama selesai. Pengambilan sampel darah berikutnya dilakukan sesaat sebelum dan sesudah EECP ke tiga puluh enam. Kadar NO plasma diukur secara tidak langsung memakai reagen Griess. Analisa statistik dilakukan dengan uji non parametrik Wilcoxon sign rank test untuk distribusi tidak normal atau paired t test bila distribusi sampel normal, menggunakan perangkat Sigma Stat Jandel Scientific Software 1994. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara kadar NO sebelum dan sesudah EECP ke-1 (p-0,046), sebelum EECP ke-1 dan sebelum EECP ke-36 (p=0,003) dan kadar NO sesudah EECP ke-36 dan sebelum EECP ke-1 (p=0,002). Sedangkan efek langsung peningkatan kadar NO pada EECP ke-36 tidak signifikan (p=0,181). Dari analisa statistik, kelompok umur < 60 tahun, memiliki peningkatan signifikan kadar NO3 dibanding dengan NO (p= 0,043) dibanding dengan kelompok umur ≥ 60 tahun (p= 0,077). Data tersebut memperlihatkan bahwa pada kelompok usia < 60 tahun memiliki respon lebih baik terhadap perlakuan EECP kumulatif dibandingkan dengan kelompok usia > 60 tahun. Keadaan ini sejalan dengan konsep bahwa proses penuaan berpengaruh terhadap fungsi endotil. Pengelompokan berdasar jumlah vessel disease memperlihatkan adanya peningkatan signifikan rerata kadar NO3 dibandingkan dengan NO (p=0,04) dan NO4 dengan NO1 (p=0,015) pada kelompok 1-2 vessel disease, sedangkan kelompok 3 vessel disease hanya terjadi peningkatan signifikan kadar NO4 dibandingkan dengan NO, (p=0,021). Peningkatan kadar NO yang belum signifikan, sekalipun telah mendapat perlakuan EECP 35 kali, mencerminkan bahwa perlakuan tersebut belum cukup adekuat untuk meningkatkan kemampuan memproduksi NO. Hal ini sesuai dengan penelitian Neunteufl dkk, yang mengatakan bahwa luasnya stenosis arteri koroner sebanding dengan luasnya disfungsi endotil sistemik. Seperti halnya pada organ lain, proses pemulihan fungsi akan sangat dipengaruhi oleh seberapa berat gangguan fungsi yang dihadapi. Secara umum hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilaporkan oleh Daisuke Masuda, dkk. Mereka, menggunakan tehnik pemeriksaan kadar NO dengan reagen Griess, melaporkan bahwa pada 11 pasien PJK yang dilakukan EECP selama 35 kali mengalami kenaikan rerata kadar NO dari 50 ± 26 menjadi 108 ± 9 uMolar/ L. Penelitian yang dilakukan oleh Giu-Fu Wu dkk, juga melaporkan terjadinya kenaikan rerata kadar NO secara signifikan pada 43 pasien PJK sejak jam pertama (1,26 ±0,06 menjadi 1,48 0,06 mg/ L, (1 pg/ul = 1μM)) dan kenaikan kadar NO tertinggi terjadi setelah EECP ke-36 (2,11 ± 0,20 mg/l). Kenaikan kadar NO diikuti penurunan kadar endotelin-1 sehingga rasio endotelin-1/ NO turun bermakna dari 96,37 5,95 menjadi 35,15 ± 4,39. Pada populasi penelitian kami, kadar basal NO lebih rendah. Populasi penelitian Masuda memiliki rerata kadar basal NO pra EECP 50 ± 26 Mol/L, sedangkan populasi penelitian kami 12,30 ± 6,82 µMol/L. Kadar NO basal yang lebih rendah mungkin menggambarkan kondisi disfungsi endotil yang lebih berat. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya ialah; 1. Jumlah sampel kecil. 2. Tidak dilakukan pemeriksaan pada beberapa hal yang dapat mempengaruhi respon endotil terhadap stimulus shear stress seperti kadar gula darah dankadar kolesterol. KESIMPULAN:
1. Terjadi peningkatan kadar NO pada penderita PJK yang diberi perlakuan EECP
2. Pada kelompok usia kurang dari 60 tahun terjadi peningkatan kadar NO yang lebih tinggi daripada kelompok usia lebih dari 60 tahun.
3. Pada kelompok 2 vessel disease terjadi peningkatan kadar NO yang lebih tinggi daripada kelompok 3 vessel disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57279
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinas Yudha Kusuma
"ABSTRAK
Tujuan: mendapatkan kuesioner Minnesota Living with Heart Failure MLHFQ versi bahasa Indonesia yang sahih dan handal untuk digunakan di Indonesia. Metode: studi ini merupakan studi potong lintang dengan 85 subyek rerata usia 58 11, pria 55 pasien gagal jantung kronik di poli kardiologi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Kesahihan diuji dengan menilai kesahihan konstuksi multitrait multimethod analysis dan kesahian eksternal dengan membandingkan dengan kuesioner SF-36. Keandalan dinilai dengan menggunakan cronbach ?, dan intraclass coefficient correlation ICC . Hasil: MLHFQ bahasa Indonesia memiliki korelasi sedang-kuat antara domain dan item pertanyaan r 0,571-0,748, ABSTRACT
Aim to obtain a valid and reliable Indonesian version of MLHFQ for Indonesian application. Methods This cross sectional study enroled 85 patients mean age 58 11, male 55 with chronic heart failure of of cardiology clinic Ciptomangunkusumo Central Hospital Jakarta. Validity of MLHFQ was evaluated by measuring construct validity using multitrait multimethod analysis and by compairing MLHFQ with SF 36. Reliability of MLHFQ was evaluated by calculating Intraclass Correlation Coefficient ICC and by calculating cronbach to determine internal consistency Results Indonesian version of MLHFQ has moderated strong correlation item to domain correlation r 0,571 0,748, p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jehezkiel Kenneth Guilio
"

Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan kegiatan yang dilakukan apoteker untuk memastikan terapi obat yang diberikan pasien aman, efektif dan rasional.  Tujuan dilakukan kegiatan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan menurunkan risiko terjadinya Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD), meminimalkan biaya pengobatan serta menghormati pilihan pasien. Dengan dilakukannya kegiatan PTO, diharapkan terapi obat yang diberikan kepada pasien dapat terhindar dari risiko klinik dan meningkatkan efektivitas biaya terapi pada pasien. Beberapa kriteria pasien yang diprioritaskan untuk dilakukannya kegiatan PTO adalah pasien dengan multi penyakit yang menerima polifarmasi serta pasien dengan gangguan fungsi organ seperti hati dan ginjal. Contoh kasus yang perlu dilakukannya PTO adalah pasien Tn. IZN yang didiagnosis utama gagal jantung kongestif dan penyakit ginjal kronis serta diagnosis penyerta hiperplasia prostat yang dirawat inap di Ruang Anggrek RSUD Tarakan. Setelah dilakukannya PTO, ditemukan beberapa masalah terkait obat yang dapat diidentifikasi berdasarkan panduan PCNE dan metode Hepler and Strand yaitu indikasi tanpa terapi, interaksi obat, dosis obat berlebih, dan kesalahan pemilihan obat pada pengobatan yang diterima pasien Tn. IZN. Masalah terkait obat yang muncul dapat direkomendasikan penyelesaian berupa pemberian obat yang sesuai, pemantauan efek terapi obat melalui hasil laboratorium dan gejala yang timbulkan, pemberian jeda konsumsi obat, dan penyeseuiaan dosis sesuai tatalaksana dan kondisi pasien.


Drug Therapy Monitoring (PTO) is an activity carried out by pharmacists to ensure drug therapy given to patients is safe, effective and rational. The purpose of PTO activities is to increase the effectiveness of therapy and reduce the risk of unwanted drug reactions (ROTD), minimize medical costs and respect patient choices. By carrying out PTO activities, it is hoped that drug therapy given to patients can avoid clinical risks and increase the cost-effectiveness of therapy for patients. Some of the criteria for prioritized patients for carrying out PTO activities are patients with multiple diseases who receive polypharmacy and patients with impaired organ function such as the liver and kidneys. An example of a case where PTO needs to be done is the patient Mr. IZN who was diagnosed primarily with congestive heart failure and chronic kidney disease as well as a concomitant diagnosis of prostatic hyperplasia who was hospitalized in the Orchid Room of Tarakan General Hospital. After the PTO was carried out, several drug-related problems were found which could be identified based on the PCNE guidelines and the Hepler and Strand method, namely indications for no therapy, drug interactions, drug overdosage, and drug selection errors in the treatment Tn's patient received. IZN. Drug-related problems that arise can be recommended for solutions in the form of administering appropriate drugs, monitoring the effects of drug therapy through laboratory results and the symptoms they cause, giving pauses in drug consumption, and adjusting doses according to the management and condition of the patient.

 

"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Edwin Budiman
"Latar Belakang: Infeksi COVID-19 merupakan penyakit dengan komplikasi multi-organ, salah satunya komplikasi kardiovaskular. Dengan kejadian gagal jantung akut sebagai komplikasi COVID-19 dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi, perlu dilakukan identifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya gagal jantung akut pada pasien COVID-19, khususnya pada derajat sedang – berat.
Tujuan : Mengetahui prediktor gagal jantung akut pada pasien COVID-19 yang dirawat, khususnya derajat sedang – berat
Metode : Metode penelitian bersifat kohort retrospektif. Luaran primer adalah kejadian gagal jantung akut saat perawatan. Terdapat 15 faktor klinis dan laboratoris yang dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil: Dari total 208 subjek sesuai kriteria inklusi dan eksklusi, sebanyak 73 subjek (35%) mengalami episode gagal jantung akut saat perawatan. Riwayat gagal jantung kronik memiliki risiko 5,39 kali (95% IK: 1,76 – 16,51; p = 0,003) mengalami kejadian gagal jantung akut. Pasien dengan nilai TAPSE < 17 mm memiliki risiko 4,25 kali (95% IK: 1,13 – 16,07; p= 0,033) mengalami gagal jantung akut. Sedangkan pemakaian ACE-i/ARB memiliki risiko 0,16 kali (95% IK: 0,05 – 0,51; p = 0,002) untuk mengalami gagal jantung akut intraperawatan dibandingkan kelompok tanpa pemakaian ACE-i/ARB.
Kesimpulan: Riwayat gagal jantung kronik, TAPSE < 17 mm, dan pemakaian ACE-i/ARB diidentifikasi sebagai prediktor kejadian gagal jantung akut pada pasien COVID-19.

Introduction: COVID-19 infection is a disease with multi-organ complications, including cardiovascular organ. As heart failure is one of COVID – 19 complications that has high morbidity and mortality, we need to identify factors that can predict acute heart failure in COVID – 19, especially in moderate to severe patients.
Objective : to determine predictors of acute heart failure in hospitalized COVID -19 patients
Method : This was a retrospective cohort study. The primary outcome was acute heart failure that happened during hospitalization. There were total of 16 clinical (age, sex, body mass index, hypertension, diabetes, smoking history, coronary artery disease, chronic kidney disease, chronic heart failure, chronic obstructive pulmonary disease, PaO2/FiO2 ratio, non-cardiogenic shock at admission, use of ACE-inhibitors/ARBs during hospitalization, ejection fraction, TAPSE) as well as 6 laboratory parameters (neutrophil - lymphocyte ratio, platelet - lymphocyte ratio, eGFR, D-Dimer, procalcitonin, CRP) that were used in statistical analysis.
Result: From total of 208 subjects with moderate – severe COVID-19, 73 (35%) had acute heart failure. The median time of developing heart failure is 4 ( 1 - 27) days. On multivariate analysis, patients with history of chronic heart failure exhibited a 5.39-fold higher risk of acute heart failure compared with no history of chronic heart failure (95% CI: 1.76 – 16.51; p = 0.003). The risk of acute heart failure was multiplied by 4.25 in patients that was presented with TAPSE <17 mm (95% CI: 1.13 – 16.07; p= 0.033). In contrast, use/continuation of ACE-inhibitors/angiotensin receptor blockers during hospitalization showed reduced risk of acute heart failure (16% of the risk developing acute heart failure compared with patients with no use of ACE-inhibitors/angiotensin receptor blockers). In subjects developing acute heart failure, the mortality rate was 67%, compared with 57% in subjects without acute heart failure (p = 0,028).
Conclusion: History of chronic heart failure, TAPSE <17 mm, and the use of ACE-inhibitors/angiotensin receptor blockers were identified as predictors of acute heart failure in hospitalized COVID-19 patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>