Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66966 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jaqualine Lukman
"Literature review ini menjelaskan bahwa konstruksi persepsi terhadap pengungsi berevolusi sesuai dengan situasi internasional saat itu. Kepentingan negara juga turut berperan dalam pembentukan konstruksi. Definisi pengungsi juga tidak lepas dari adanya konstruksi persepsi terhadap pengungsi. Saat berakhirnya Perang Dunia II, pengungsi dipersepsikan sebagai korban, lalu menjadi alat kepentingan politik saat Perang Dingin. Seiring dengan munculnya pengungsi dari Dunia Ketiga, pengungsi mulai dipersepsikan sebagai ancaman. Ini menunjukkan adanya pergerakan persepsi dari korban ke ancaman, di mana dua persepsi ini saling bertolak belakang. Dua persepsi ini menafikan kemampuan agensi kepada pengungsi dan memicu generalisasi yang dapat berakibat pada salah penanganan.

This literature review explains that the construction of these perceptions evolves by international situation. State interests also play a role in the construction. The definition of refugees is inseparable from the perception of refugees. When the World War II ends, refugees were perceived as victims. Refugees then became political pawn in the Cold War era. Following the emergence of Third World refugees, refugees were perceived as threat. This shows a shift from victim perception to threat perception. These perceptions also become contending perceptions at the same time. Both of these perceptions deny the agency capability of refugees and could trigger generalization that leads to unsuitable approaches.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Avyanthi Azis
"This article is a short report drawn from a research on the issue of the Afghan refugees in Australia (1999-2002). Using the infamous "boat people" case as illustration, the research was intended provide careful observation on the concept "human security/' a term increasingly linked to forced migration issues. Although human security is often portrayed as a benign concept with strong moral stance, its vastness and loose definition limit its adequacy as a useful tool of analysis. The concept is also prone to misuse because it loosely adapts to various ideological interests. Following framework elaborated from the thoughts of Caballero-Anthony and Freitas, the article shows that it: is possible to implement the human security approach in two conflicting dimensions, positive (the ideal) or negative. Both serve to protect the individuals, but each secures a different entity.
"
2004
GJPI-7-1-Nov2004-80
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Nur Azza
2002
S3080
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dion Arochman Wijanarko
"Penelitian ini berfokus pada penanganan imigran ilegal di Indonesia khususnya dalam bidang keimigrasian yang fokus kepada pencari suaka dan pengungsi pada saat penghentian kerjasama antara Indonesia dan Australia pada akhir tahun 2013. Selain itu, berdasarkan data yang didapatkan, Indonesia masih menghadapi ancaman berupa kedatangan imigran ilegal walaupun Australia telah mengefektifkan kebijakan Operation Sovereign Borders yang menghalau semua imigran ilegal yang mencoba masuk wilayah Australia melalui jalur laut.
Penelitian ini menggunakan teori Robbins dalam merumuskan strategi yang terdiri dari analisis internal yang berupa Strengths dan weakness of Organisation dan analisis eksternal yang terdiri dari Threats and opportunities yang ada di lingkungan organisasi. Selanjutnya, peneliti menggunakan variabel-variabel berdasarkan teori Rangkuti melalui proses wawancara terbuka untuk menentukan faktor- faktor internal dan eksternal tersebut.
Teknik wawancara mendalam dilakukan untuk menggali informasi yang sedalam-dalamnya mengenai permasalahan imigran ilegal kepada empat responden sebagai narasumber yakni Kepala Sub Direktorat kerjasama Asia Timur dan Pasifik, Kepala Sub Direktorat Kerjasama Luar Negeri, Kepala Sub Direktorat Detensi dan Pendeportasian dan Kasi Imigran Ilegal.
Setelah mendapatkan variabel faktor internal dan eksternal, peneliti menggunakan matriks EFAS/IFAS berdasarkan teknik analisis SWOT kualitatif untuk mendapatkan alternatif strategi untuk Direkotrat Jenderal Imigrasi. alternatif strategi yang telah tersedia kemudian diseleksi kembali untuk mendapatkan strategi prioritas dengan menggunakan teori Duttweiler yang menetapkan cara- cara menentukan prioritas strategi. Kemudian cara tersebut diaplikasikan berdasarkan teori geopolitik.
Hasil analisis menyimpulkan bahwa Direktorat Jenderal Imigrasi harus meningkatkan efektivitas dan memaksimalkan sarana dan prasarana yang dimiliki terhadap program yang telah berjalan sebelumnya seperti operasi gabungan dengan melibatkan instansi lain (SIPORA) karena ancaman paling potensial berada pada wilayah perairan Indonesia yang menjadi titik rawan masuknya imigran ilegal ke wilayah Indonesia.

This study focuses on the handling of illegal immigrants in Indonesia, particularly in the field of immigration that focus on refugees and asylum seekers during the discontinuation of the cooperation between Indonesia and Australia at the end of 2013. Moreover, based on the data obtained, Indonesia still faces the threat of illegal immigrants even though Australia has effective policies Sovereign Borders Operation that banishes all illegal immigrants trying to enter Australian territory by sea.
This study uses the Robbins theory in formulating a strategy that consists of an internal analysis in the form of Strengths and Weakness of Organisation and external analysis consists of Threats and opportunities that exist within the organization. Furthermore, the researcher uses variables based on Rangkuti's theory through an open interview process that will determine the internal and the external factors.
An in-depth interviewing techniques is conducted to gather information about the deepest problems of illegal immigrants to the four respondents as the guest speaker Deputy Director for East Asia and Pacific cooperation, Deputy Director of International Cooperation, Deputy Director for Detention and Deportation and Illegal Immigrants Head Officer.
After getting the internal and external factors, the researchers used the matrix EFAS / IFAS based techniques to obtain qualitative SWOT analysis of alternative strategies for Direkotrat General of Immigration. Alternative strategies available is then selected again to get priority strategy using Duttweiler theory that establishes the ways to determine strategic priorities. Then the method is applied based on the geopolitical theories
The results of the analysis concluded that the Directorate General of Immigration should improve effectiveness and maximize infrastructure owned by the program that has been run previously as a joint operation involving other agencies (SIPORA) due to the potential threats in the Indonesian waters which are becoming critical points of entry of illegal immigrants into Indonesian territory.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elva Sagita Cindra
"Tahun 2015 terjadi krisis di wilayah Eropa karena masuknya jutaan pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika terutama dari Suriah. Uni Eropa sebagai institusi supranasional yang bertanggung jawab pada isu ini berusaha menyelesaikan krisis dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan. Salah satu institusi Uni Eropa yang berwenang dalam kebijakan adalah Parlemen Eropa. Kekuatan Parlemen Eropa meningkat sejak Perjanjian Maastricht hingga Lisbon. Anggota PE ketika berada di parlemen tidak lagi menjadi perwakilan partai politik nasional, melainkan perwakilan dari kelompok politik Eropa. Dengan teori pola perilaku dalam proses kebijakan publik dan jaringan aktor, skripsi ini akan berusaha membuktikan bahwa ada pengaruh partai politik nasional Prancis terhadap anggota PE dalam kebijakan pengungsi Suriah Uni Eropa tahun 2015-2016. Kelompok politik Eropa tidak menjadi satu-satunya penentu keputusan anggota PE asal Prancis karena kebijakan yang krusial. Pengaruh ini terlihat ketika partai politik nasional dan kelompok Eropa memiliki pandangan berbeda dalam suatu isu.

In 2015 there was a crisis in Europe because the influx of millions refugees from the Middle East and Africa mainly from Syria. The EU as a supranational institution responsible for this issue seeks to resolve the crisis by making policies. One of the European Union institutions responsible in policy is the European Parliament EP. The strength of the EP has increased since the Treaty of Maastricht and Lisbon. Members of the EP MEPs while in EP are no longer representative of national party, but representatives of European political group. With the theory of behavioral patterns in the process of public policy and the actor network, this paper will attempt to prove that there is an influence of France 39 s national party on their MEPs in the EU Syrian refugee policy of 2015 2016. European political group are not the sole determinants of French MEPs decision because this policy is crucial. This influence is seen when national party and European political group have different stance on an issue.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farina Chairunnisa
"ABSTRAK
Tulisan ini merupakan penelitian terhadap keputusan Amerika Serikat menerima 10.000 pengungsi Suriah di tahun fiskal 2016 di tengah kekhawatiran potensi ancaman keamanan yang dibawa para pengungsi. Penelitian terdahulu seputar kebijakan penerimaan pengungsi di Amerika Serikat umumnya fokus pada kepentingan keamanan politik, sementara keputusan penerimaan pengungsi Suriah mencerminkan adanya kepentingan lain yang menjadi pertimbangan. Aspek ideasional sebagai nation of immigrants, aspek yang umumnya terabaikan dalam kajian penerimaan pengungsi di Amerika Serikat, menjadi patut diperhatikan dalam memahami keputusan ini. Dengan menggunakan analisis diskursus terhadap pidato dan pernyataan resmi para aktor pemerintahan Amerika Serikat, penelitian ini menawarkan perspektif alternatif dalam memahami bagaimana Amerika Serikat mengambil keputusan yang tidak sejalan dengan kepentingan keamanan tradisional namun didorong pertimbangan lain, yaitu keamanan ontologis atau keamanan akan identitas diri. Dalam mengkaji keputusan tersebut, penelitian ini menggunakan kerangka analisis yang ditetapkan oleh Brent J. Steele dengan mengkaji empat komponen keamanan ontologis, yaitu kapabilitas material dan refleksif, penilaian krisis, narasi biografis negara, dan strategi diskursus sesama aktor. Tulisan ini menemukan bahwa kesadaran Amerika Serikat akan kapabilitasnya, disertai oleh ingatan masa lalu akan identitas sebagai bangsa imigran dan imbauan aktor-aktor internasional mendorong Amerika Serikat mencapai keputusan menerima pengungsi Suriah. Upaya melanggengkan identitas ini tidak dapat lepas dari kekhawatiran akan ancaman keamanan nasional yang diutarakan berbagai aktor dalam negeri, sehingga jumlah pengungsi yang diterima dapat dilihat sebagai kompromi antara keamanan ontologis dan keamanan tradisional.

ABSTRAK
This paper is a research on the United States of America rsquo s decision to admit 10.000 Syrian refugees in the fiscal year of 2016 amidst potential national security concerns brought by the incoming refugees. Past studies on the United States rsquo policies of refugee admission mainly focus on the security and political interests, while this particular admission decision reflects a different interest consideration. The ideational aspect of the United States as a nation of immigrants has largely been overlooked by past studies, whereas this aspect plays a role in understanding the decision to admit Syrian refugees. Through discourse analysis on the speeches and remarks made by government actors of the United States, this research offers an alternative perspective on understanding how the United States came to a decision that may not reflect traditional security interests but reflects its ontological security needs or its security of being. In studying the decision, this research adopts the framework of analysis offered by Brent J. Steele by focusing on four components of ontological security, namely material and reflexive capabilities, crisis assessment, state biographical narrative, and co actor discourse strategies. This research finds that the United States rsquo awareness of its capabilities, along with past memory as a nation of immigrants and urgings from fellow international actors affect the United States in reaching the decision to admit Syrian refugees. This effort to preserve its identity, however, is still limited by security worries voiced by internal actors, thus resulting in the small number of refugees admitted as a compromise between the needs to ensure both ontological and traditional security."
2017
S69648
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Modhy Mahardika Jufri
"Terjadinya konflik di berbagai negara di Asia berakibat pada meningkatnya jumlah pengungsi dan pencari suaka. Kebutuhan akan perlindungan dan kehidupan yang layak membuat para pencari suaka ini rela menempuh cara apapun untuk mendapat perlindungan di negara lain, termasuk dengan menjadi imigran gelap. Australia, sebagai salah satu negara tujuan pencari suaka, memberlakukan Operation Sovereign Borders dengan mencegat dan mengembalikan kapal pengangkut pencari suaka untuk melindungi perbatasan sekaligus mengurangi laju imigran gelap yang masuk ke negara tersebut. Pada praktiknya kebijakan ini melanggar berbagai ketentuan hukum internasional yakni prinsip non-refoulement, hukum hak asasi manusia, kewajiban SAR, penanganan terhadap penyelundupan imigran, dan pelanggaran kedaulatan Republik Indonesia.

Conflicts in several countries in Asia resulted in increasing number of refugees and asylum seekers. The need for protection and a decent life makes them willing to take any way to get protection in other countries, including by being illegal migrants. Australia, as a destination country for asylum seekers, imposed Operation Sovereign Borders by intercepting and returning ships carrying asylum seekers to protect the border while reducing the rate of illegal migrants coming into the country. In practice, this policy violates various provisions of international law, namely the principle of non-refoulement, human rights law, SAR obligation, the handling of migrant smuggling and violations of Indonesia sovereignty.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65398
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Susetyo
"Internally Displaced Persons adalah salah satu fenomena sosial yang klasik di Indonesia juga di dunia internasional. Namun sedihnya belum banyak mendapat perhatian publik maupun penanganan yang serius dari pemerintah Indonesia. Padahal, pengungsi internal telah ada sejak Negara Republik Indonesia ada. Sejak perang kemerdekaan 1945 - 1950, perang sipil 1965 - 1966, hingga era konflik etnis dan konflik vertikal 1989 - 2002, dan entah sampai kapan lagi.
Sejak pertengahan tahun 90-an, Indonesia didera konflik internal baik yang berskala vertikal maupun horisontal. Mulai dari kasus DOM di Aceh 1989 -- 1998 yang berlanjut dengan perang TNI versus GAM tahun 2003, kemudian kasus Timor Leste, Papua Barat, sampai yang berskala horisontal seperti konflik etnis dan konflik agama di Maluku, Maluku Utara, Poso, Sampit dan Sambas. Khusus tentang konflik Sambas tahun 1999 yang terjadi antara etnis Melayu Sambas dengan Madura Sambas, disamping telah berakibat tewasnya ratusan jiwa dan hancurnya sekian ratus rumah dan harta warga Madura, juga telah menimbulkan gelombang pengungsian dari Kabupaten Sambas dan Bengkayang yang begitu besar.
Tujuan utama pengungsian adalah mengungsi sementara di tempat yang cukup aman sebelum kembali ke tempat asal. Maka, para pengungsi-pun berlabuh di kota Pontianak. Tak dinyana, sampai sekian bulan bahkan berbilang tahun, pengungsi warga Madura tetap tidak dapat kembali ke tempat asal di Sambas karena warga Melayu Sambas belum dapat menerima mereka kembali. Alias, rekonsiliasi antar etnis masih gagal. Merespon fenomena tersebut, pemerintah pusat melalui Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) yang dibentuk melalui Keppres No. 3 tahun 2001 dan pemerintah daerah Kalimantan Barat melalui Tim Gabungan Penanggulangan Pengungsi Paska Kerusuhan Sosial Sambas (TGPPPKSS) menelurkan program alternatif yang kemudian disebut sebagai relokasi.
Relokasi adalah pemindahan pengungsi dari tempat penampungan sementara menuju pemukiman permanen yang dibangun pemerintah di sekitar Kabupaten Pontianak. Konsepnya nyaris mirip dengan transmigrasi, namun lebih bersifat darurat karena sifatnya sebagai alternatif penanganan pengungsi setelah pemulangan pengungsi gagal dilakukan. Karena sifat daruratnya, juga karena pemerintah Republik Indonesia belum cukup punya pengalaman menyelenggarakennya, relokasi ini mengundang sejumnlah masalah, baik dalam proses perumusan kebijakannya, proses implementasinya, maupun dampaknya terhadap kehidupan warga pengungsi Madura.
Penelitian ini mengkaji kebijakan relokasi pengungsi Madura korban kerusuhan Sambas dengan meminjam paradigma kebijakan sosial model Gilbert dan menggunakan pisau analisis model Smith, Sabatier dan Mazmanian. Secara normatif, implementasi dan dampak kebijakan relokasi ini dikaji kesesuaiannya dengan the Guiding Principles on Internal Displacement 1998, Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Bakornas PBP tahun 2001 dan Kebijaksanaan Nasional Percepatan Penanganan Pengungsi di Indonesia.
Analisis kebijakan dan analisis data lapangan mengasumsikan bahwa kebijakan relokasi ini adalah program darurat yang tak direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya seperti halnya program transmigrasi. Relokasi ini lahir karena gagalnya rekonsiliasi antara warga Melayu Sambas dengan warga pengungsi Madura. Artinya, rekonsiliasi yang dilanjutkan dengan pemulangan ke Sambas tetaplah menjadi pilihan utama. Maka, amatlah wajar apabila pelaksanaannya carut marut. Disamping, karena pemerintah pusat maupun daerah tak punya cukup pengalaman dalam menangani relokasi, juga karena masyarakat memiliki ekspektasi yang bertebihan tentang relokasi.
Menurut Smith ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan yaitu (1) Idealized policy (2) Target group (3) Implementing Organization dan (4) Environmental Factors . Sedangkan Sabatier dan Mazmanian mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan harus memperhatikan ; (1) karakteristik masalah (2) daya dukung peraturan (3) variabel non peraturan (4) dan proses implementasinya.
Idealized policy, dalam kebijakan relokasi ini kurang terumuskan secara baik. Policy yang ada adalah tentang pembagian kerja. Akan halnya kerjanya apa itu sendiri tak terumuskan dengan baik. Sama halnya dengan policy di tingkat pusat yang cenderung mengatur mekanisme kerja namun cenderung bersifat umum dan tak bermuatan perlindungan terhadap hak-hak pengungsi itu sendiri.
Implementing organization, yaitu Tim Gabungan Penanggulangan Kerusuhan Sosial Sambas, kurang menunjukkan koordinasi yang baik-baik. Ada saat-saat setiap instansi berjalan secara terkoordinasi, namun sering juga mereka berjalan sendiri-sendiri. Kemudian, kebijakan relokasi juga tidak terumus secara jelas. Tidak ada acuan yang jelas dari atas, juga tidak ada contoh yang dapat diacu dari pengalaman daerah lain.
Environmental factors dan variabel non peraturan cukup berpengaruh dalam pelaksanaan relokasi ini. Relokasi dijadikan alternatif bukan karena sejak awal telah direncanakan, melainkan karena desakan dari pihak luar. Karena rekonsiliasi yang gagal tercipta antara warga Melayu dan Madura Sambas.
Juga karena desakan dari penduduk di sekitar penampungan yang sudah agak 'gerah' dengan para pengungsi. Anehnya, pemerintah juga turut memberikan ultimatum, bahwa pengungsi harus segera direlokasi pada tanggal tertentu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12077
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masinambow, Arnold A E.
"Tulisan ini berusaha memetakan pengetahuan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia yang relatif masih jarang mendapatkan sorotan dalam studi Hubungan Internasional. Pembacaan yang melihat serta memproblematisasi bias kolonial dalam rezim pengungsi internasional serta kategorisasi dari migrasi transit dan pengungsi-pencari suaka, akan menjadi titik berangkat tulisan ini. Melalui tinjauan taksonomis terhadap 22 literatur, tulisan ini kemudian berusaha mengkontekstualisasikan dinamika pengungsi di Indonesia dengan migrasi-pengungsi secara lebih luas lewat pembacaan genealogis yang menyentuh aspek legal, multisiplistas aktor, dan (re)konseptualisasi konsep transit yang kerap disematkan kepada konteks Indonesia, sembari berusaha mengedapankan pengetahuan yang dibawa oleh pengungsi di Indonesia itu tersendiri. Penulis menemukan bagaimana di Indonesia, diskursus pengungsi, yang baru masuk ke Indonesia di periode gelombang pengungsi Indochina pada dekade 1970-an, berkelindan erat dengan pola migrasi-pengungsi internasional, utamanya lewat fractioning dan kategorisasi transit-pengungsi-pencari suaka, dan terus direproduksi dalam kerangka pengamanan hingga sekarang. Secara tataran pengetahuan, penulis menilai bahwa produksi pengetahuan di ranah akademik tentang pengungsi di Indonesia kurang lebih berada di bawah satu payung ‘kritis’ yang sama dan berusaha mengarusutamakan pengetahuan dari pengungsi di Indonesia, namun masih banyak ceruk pengetahuan yang masih bisa diisi dan dinavigasi lebih lanjut.

This article seeks to map the knowledge of refugees and asylum seekers in Indonesia, which, relatively speaking, has not been thoroughly investigated by International Relations-adjacent scholarship. An outlook that problematizes colonial biases on international refugee regime, as well as the categorization of transit migration and refugee-asylum seeker, will be central to this reading. Departing from taxonomic appraisal of 22 accredited-literatures, this article aims to contextualize the dynamics of refugees in Indonesia within the broader scope of migration-refugee studies through a genealogical reading that encompasses legal aspects, multiplicity of actors, and the (re)conceptualization of the transit concept oft-attributed to the Indonesian context, whilst trying to posit decentralized knowledge coming from refugees themselves. This author postulates that in Indonesia, discourses (and the language) of refugees, which predominantly emerged during the influx of Indochinese refugees in the 1970s, were/are heavily intertwined with the patterns of international migration-refugees, primarily through fractioning and categorization-labelling of transit-refugees-asylum seekers, and continues to be reproduced under securitized framework and language to this day. Insofar knowledge production on academia level, this author remarks that knowledge production of refugees in Indonesia virtually falls under a similar 'critical' umbrella, which seeks to prioritize knowledge from refugees in Indonesia, whilst acknowledging a plethora of knowledge gaps that can be probed and inquired further."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pirade, Henry
"Ada kaidah sosial yang menegaskan bahwa selama dalam sebuah masyarakat ada perbedaan kepentingan dan pada setiap masyarakat pasti ada perbedaan kepentingan maka sepanjang itu pula konflik akan hadir tak terelakan. Konflik tidak selamanya harus dimaknai pertikaian atau permusuhan, tetapi juga bisa mengandung makna kompetisi, tegangan (tension) atau sekedar ketidaksepahaman. Itu sebabnya, kehadiran konflik itu sesungguhnya menjadi sangat wajar, alami, bahkan harus diterima sebagai sebuah realitas dimanapun, oleh siapapun, kapanpun, apalagi dalam sebuah komuniti besar bernama komunitas atau masyarakat. Semakin besar perbedaan kepentingan terjadi, akan semakin besar pula kemungkinan konflik terjadi. Semakin banyak pihak yang memiliki perbedaan kepentingan, akan semakin banyak pula kemungkinan pihak-pihak yang terlibat konflik. Semakin tidak jelas tujuan berkonflik dan semakin konflik itu menyentuh nilai-nilai inti maka semakin keras dan lamalah konflik akan berlangsung. Celakanya, konflik sering berubah menjadi disfungsional ketika sudah mengarah kepada proses yang kaotik, destruktif dan anarkhis, seperti yang terjadi di Tuapukan dan Naibonat, Timor Barat.
Berdasarkan fenomena tersebut diatas maka penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di dua daerah konflik di wilayah Timor Barat yaitu Tuapukan dan Naibonat. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif untuk menjelaskan permasalahan khususnya mengenai konflik yang ada dan bagaimana konflik itu berlangsung. Penyebab konflik, lamanya konflik, kerasnya konflik yang sangat berhubungan dengan realistik dan non-realistik konflik serta fungsi konflik itu sendiri. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang dipilah karena dianggap lebih efektif digunakan dalam menemukan dimensi-dimensi penting dari struktur tindakan kolektif yang berhubungan dengan terjadinya konflik di Timor Barat. Sumber data utama penelitian ini adalah data primer yang digali dari beberapa sumber yang terkait dengan dinamika konflik yang terjadi, baik dari kalangan masyarakat lokal, pengungsi maupun pemerintah dan lembaga sosial yang bekerja di lokasi target penelitian.
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah focus group discussion dan wawancara mendalam untuk memperlengkapi hasil diskusi serta pengamatan langsung. Informan yang digunakan adalah informan yang dipilih mewakili tiap kelompok yang telah ditentukan. Data yang dihasilkan kerudian diolah dan dianalisis secara kualitatif dengan menyeleksi dan menyederhanakan data. Kemudian data tersebut dihubungkan kembali dengan konsep dan permasalahan serta tujuan penelitian. Kerangka konseptual dalam penelitian ini dibangun dari pola konflik yang terjadi di target penelitian yaitu penyebab konflik, lamanya konflik, kerasnya konflik dan fungsi konflik. Hal ini sangat terkait dengan pertanyaan; apakah konflik yang terjadi tersebut sifatnya realistik ataukah non-realistik? Penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa konflik yang terjadi disebabkan oleh gangguan terhadap keteraturan sosial yang ada serta adanya pelanggaran terhadap konsensus dalam suatu komunitas. Situasi ini kemudian diperuncing dengan adanya rasa frustasi dan ketidakadilan dalam bermasyarakat. Kondisi ini kemudian memacu penguatan identitas kolektif pada masyarakat yang kemudian menimbulkan konflik. Penelitian ini juga membuktikan bahwa konflik yang terjadi bersifat non-realistik dengan tidak terdefinisinya tujuan berkonflik secara jelas atau samar-samar yang mengakibatkan konflik yang terjadi menjadi lama waktunya. Terlebih lagi, konflik yang terjadi menyentuh nilai-nilai inti seperti tindakan yang mempengaruhi harga diri yang mengakibatkan timbulnya rasa dendam dan menjadikan konflik berlangsung keras. Lama dan kerasnya konflik yang terjadi membuat persoalan menjadi semakin lebar sehingga penanganannya menjadi lebih rumit. Proses penanganan yang dilakukan terhadap konflik yang terjadi bervariasi, baik itu melalui pendekatan represif maupun pendekatan pemerintah melalui pemimpin, tidak terlalu berdampak signifikan. Persoalan yang mengemuka memberikan indikasi bahwa kohesi sosial antara masyarakat dengan masyarakat lainnya dan masyarakat dengan pemimpinnya tidaklah terlalu berat sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh para pemimpinnya tidak terlalu mempengaruhi pemahaman pada level bawah.
Dari hasil penelitian dan pengalaman yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa pola penanganan dan pendekatan yang terbaik yang dapat dilakukan terhadap konflik yang terjadi di Timor Barat ini adalah dengan transformasi konflik melalui pendekatan penguatan dan pemberdayaan masyarakat dalam upaya pengembangan perdamaian. Konsep ini telah dilakukan oleh beberapa lembaga kemanusiaan di beberapa wilayah konflik dan cukup baik dalam menata kembali hubungan antar masyarakat paska konflik melalui pelembagaan kegiatan-kegiatan yang merupakan kebutuhan masyarakat baik dari segi pengembangan sosial kemasyarakatan maupun penguatan ekonomi. Berdasarkan kesimpulan tersebut maka diusulkan saran-saran yaitu: perlunya diupayakan program-program rekonsiliasi melalui kerjasama semua pihak terkait dan kegiatan bersama khususnya bagi kelompok yang bertikai untuk membangun nilai-nilai kebersamaan antara individu dan antar kelompok serta melembagakan nilai-nilai toleransi. Upaya ini dapat diselenggarakan dalam bentuk program pengembangan dan pemberdayaan komunitas."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>