Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177980 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuni Azizah
"Keikutsertaan peran keluarga dalam penatalaksanaan medis pada penderita Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) menjadi indikator penting dalam mempertahankan kualitas hidup yang baik untuk mencegah terjadinya eksaserbasi. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak yang menderita SLE, dan menyiapkan keluarga serta merawat anggota keluarga dengan SLE. Discharge planning sebagai salah satu bagian dari intervensi keperawatan untuk mempertahankan kontinuitas perawatan yang komprehensif dan aplikatif bagi perawat dan keluarga. Discharge planning memberikan dampak yang positif, yaitu dapat memastikan dengan aman kapan pasien siap untuk dipulangkan. Hasil karya ilmiah ini menyarankan instansi pelayanan dapat menjadikan discharge planning sebagai bagian dari proses keperawatan terintegrasi khususnya pada pasien dengan penyakit kronik.

Family role of medical management in patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) to be an important indicator in maintaining a good quality of life to prevent exacerbations. The purpose of this papers is intended to provide an overview of nursing care to children with SLE, and set up a family in caring for family members with SLE. Discharge planning as a part of nursing interventions to maintain continuity and comprehensive care applicable to nurses and families. Discharge planning have a positive impact, can ensure the safety when the patient is ready to be discharged. The results suggest that health care providers can make discharge planning as a part of an integrated nursing process especially in patients with chronic disease.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Maula Utrujah
"Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit kronis yang dapat dirasakan oleh pasien dengan SLE seumur hidup. Manifestasi klinis dari SLE berbeda-beda pada tiap individu, sehingga dibutuhkan perawatan yang tepat agar komplikasi yang parah dapat diminimalisasi. Discharge planning merupakan solusi untuk perawatan anak ketika sudah pulang ke rumah. Discharge planning bertujuan untuk memberikan  pembekalan perawatan di rumah sehingga orangtua atau keluarga dapat merawat pasien secara mandiri. Karya Ilmiah ini ditulis dengan tujuan memberikan informasi tentang hasil implementasi discharge planning pada anak dengan SLE. Metode yang digunakan untuk oenulisan karya ilmiah ini menggunakan studi kasus pada anak dengan SLE yang diberikan intervensi discharge planning sejak pasien pertama kali masuk dan dilakukan pemantauan selama lima hari  dengan pemberian asuhan keperawatan. Hasil discharge planning menunjukkan peningkatan keterampilan orangtua dan keluarga dalam merawat anak dengan SLE yang dibuktikan dengan hasil observasi selama masa perawatan. Sehingga, discharge planning tepat digunakan untuk pasien dengan SLE dalam perawatan lanjutan di rumah sehingga pasien dengan SLE dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan mencegah kejadian eksaserbasi berat dan komplikasi yang parah. Discharge planning yang dilakukan memberikan dampak yang positif bagi pasien dan keluarga.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a chronic disease. Clinical manifestations of SLE vary in each, so proper care is needed so that severe complications can be minimized. Discharge planning is a solution for childcare when they have returned home. Discharge planning aims to provide debriefing at home so parents or families can take care of patients independently. This Scientific Work was written to provide information about the results of discharge planning implementation in children with SLE. The method used for writing scientific papers uses case studies on children with SLE who are given discharge planning intervention since the patient first entered and monitored for five days with the provision of nursing care. The discharge planning results show an increase in parental and family skills in caring for children with SLE as evidenced by the results of observation during the treatment period. Thus, discharge planning is appropriate for patients with SLE in continuing care at home so that patients with SLE can improve their quality of life and prevent severe exacerbations and complications. Discharge planning carried out had a positive impact on patients and families.

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES.
Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis.
Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik.
Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.

Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients.
Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS.
Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records.
Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value.
Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Dewi Satria
"Latar belakang: Lupus eritrematosus sistemik (LES) adalah penyakit yang kompleks dengan manifestasi yang bervariasi. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin pleitropik yang mempunyai aktivitas biologis dengan rentang luas yang berperan penting pada regulasi imun dan inflamasi. Saat ini belum ada biomarker yang dapat membedakan kondisi remisi total dengan aktivitas penyakit ringan. Interleukin-6 diharapkan dapat digunakan sebagai parameter aktivitas penyakit terutama pada kasus-kasus dimana antara manifestasi klinis dan skor SLEDAI tidak sesuai yaitu pada pasien LES dengan aktivits ringan dan remisi total.
Tujuan: Mengetahui karakteristik IL-6 pada LES anak dengan berbagai aktivitas ringan dan remisi total.
Metode: Penelitian kasus kontrol dilakukan di poli rawat jalan Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta mulai Mei hingga Juni 2019. Pasien anak usia 1-18 tahun dengan diagnosis LES dinilai kadar IL-6 dan aktivitas penyakit yang dinilai dengan skor SLEDAI. Uji korelasi chi square dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan luaran. Analisis data dilakukan dengan program SPSS for Window ver 20,0
Hasil: Dari 60 subjek penelitian yang terdiri dari 30 pasien LES aktivitas ringan dan 30 remisi total. tidak ada perbedaan kadar IL-6 tinggi pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol dengan p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628). Terdapat 2 subyek dengan kadar IL-6 tinggi menderita infeksi saluran kencing.
Simpulan: Tidak ada perbedaan aktivitas penyakit pada pasien LES anak dengan aktivitas ringan dibanding remisi total.

Background: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a complex disease with various manifestations. Interleukin-6 (IL-6) is a pleiotropic cytokine with a wide range of biological activities that plays an important role in immune regulation and inflammation. Recently, there is no other biomarker that could differentiate total remission condition and mild disease activity in juvenile SLE. Interleukin-6 may be used as a parameter of disease activity, especially in the cases with different clinical manifestations and SLEDAI scores among SLE patients with mild activities and total remissions.
Aim: To indentify the characterictics of serum IL-6 concentration in juvenile systemic lupus erythematosus with mild activities and total remissions.
Methods: Case control study was performed at outpatient clinic of allergy-immunology, department of child health dr. Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta and dr. Sardjito hospital, Yogyakarta during May-June 2019. Serum IL-6 consentration and disease activity were assessed in all juvenile SLE patients aged 1-18 year. SLE disease activity was assessed with SLEDAI scores and serum level of IL-6 was measured by enzyme linked immunosorbent assay. Chi square correlation analysis was used to determine the correlation of serum IL-6 concentration with disease activity in juvenile SLE patients. Analyses of data were performed using the SPSS statistical software for windows version 20,0.
Results: Among 60 subjects included in this study, 30 subjects with mild activities in the case group and 30 subjects with total remissions in the control group. There was no differences of serum IL-6 concentration between case and control group (p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628)). In this study, we found 2 subjects with urinary tract infection have high serum IL-6 concentration.
Conclusion: There was no differences of serum IL-6 concentration between juvenile SLE patients with mild activities compared with total remissions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisah M. Saleh
"Latar belakang. Penilaian aktivitas penyakit lupus eritematosus sistemik (LES) dengan skor Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) berperan penting dalam pemantauan atau follow up aktivitas penyakit LES pada anak. Saat ini belum ada data mengenai aktivitas penyakit LES anak dengan menggunakan skor SLEDAI setiap 3 bulan di Indonesia.
Tujuan. Memantau aktivitas penyakit LES anak dengan skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan.
Metode. Studi deskriptif untuk memantau aktivitas penyakit LES anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo secara retrospektif menggunakan data rekam medis dari bulan Juli 2005 hingga Juli 2013.
Hasil penelitian. Jumlah subjek pada penelitian ini sebanyak 30 pasien. Mayoritas penderita LES adalah perempuan. Rerata usia awitan 11,23 (SD 2,88) tahun dan rerata usia saat diagnosis ditegakkan 11,79 (SD 2,69) tahun, terbanyak didiagnosis di atas usia 10 tahun dan tidak ada yang di bawah usia 5 tahun. Median (rentang) waktu antara timbulnya gejala sampai diagnosis ditegakkan adalah 3 (1–84) bulan dan terbanyak pada jarak kurang dari 5 bulan. Terapi inisial yang paling banyak diberikan adalah kortikosteroid dalam bentuk metilprednisolon. Manifestasi klinis awal tersering adalah artritis, rash, dan demam, sedangkan untuk laboratorium adalah peningkatan dsDNA dan komplemen darah yang rendah. Perbedaan skor SLEDAI terutama terlihat antara pengamatan bulan ke-0 dengan bulan ke-3. Skor SLEDAI yang dinilai setiap 3 bulan menunjukkan perubahan aktivitas penyakit LES yang bermakna, dengan mayoritas high activity pada awal pengamatan menjadi no activity pada akhir pengamatan.
Simpulan. Penilaian skor SLEDAI setiap 3 bulan dapat digunakan untuk memantau aktivitas penyakit LES anak.

Background. Assessment of disease activity in pediatric systemic lupus erythematosus (SLE) with SLEDAI scoring system has an important role in monitoring or follow up disease activity of pediatric LES. Currently no available data that assess disease activity in pediatric SLE with SLEDAI scoring system every 3 months in Indonesia.
Objective. To assess disease activity in pediatric SLE with SLEDAI scoring system every 3 months for one year observation.
Methods. Descriptive study to assess disease activity of pediatric SLE at Department of Child Health Cipto Mangunkusumo Hospital using medical record retrospectively from July 2005 until July 2013.
Results. Thirty patients were included in this study. Majority of SLE subjects were girls. Mean age at symptoms onset was 11.23 (SD 2.88) y.o and mean age at diagnosis was 11.79 (SD 2.69) y.o, most of them were diagnosed above 10 y.o and no one had below 5 y.o. The median of duration between symptoms onset and diagnosis was 3 (1–84) months, most of them had duration below 5 months. Majority of the subjects received corticosteroid in the form of methylprednisolone as initial therapy. Most common clinical manifestations were arthritis, rash, and fever, for laboratorium results were elevation of dsDNA and low complement level. The difference of SLEDAI score were especially obtained between the initial month with the 3rd months. SLEDAI score that assessed every 3 months showed significant disease activity changes, with majority of patients had high activity in the beginnning and became no activity in the end of observation.
Conclusions. Assesment of SLEDAI score every 3 months is useful for monitoring disease activity of pediatric SLE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwitya Elvira
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun
dengan penyebab multifaktorial. Ketidakseimbangan sitokin Th17 (Interleukin-17; IL-
17) dan T-regulator (Transforming Growth Factor-; TGF- and Interleukin-10; IL-10)
diduga terlibat dalam patogenesis LES yang mempengaruhi aktivitas penyakit.
Tujuan: Penelitian dilakukan untuk menguji perbedaan rerata IL-17, TGF- dan IL-10
dengan aktivitas penyakit LES dan menguji korelasi sitokin Th17/T-regulator.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang melibatkan 68 pasien LES
berdasarkan kriteria inklusi MEX-SLEDAI <2 untuk LES inaktif dan >=2 untuk LES
aktif. Kriteria eksklusi adalah pasien LES dengan riwayat autoimun lain, inflamasi
kronik; infeksi akut secara klinis; serta asma bronkial, dermatitis atopi dan urtikaria
didasarkan pada catatan rekam medis. Serum IL-17, TGF-, IL-10 diperiksa dengan
metode ELISA. Data dianalisis dengan perangkat lunak SPSS 20 menggunakan uji-T
independen untuk data berdistribusi normal dan uji Mann-Whitney untuk data tidak
normal.
Hasil: Rerata IL-17 serum adalah 19,67 (1,299) pg/ml. Median TGF- dan IL-10 adalah
175,02 (132-396) pg/ml dan 2,96 (0-11) pg/ml. Tidak terdapat perbedaan rerata yang
signifikan dari kadar IL-17, TGF- dan IL-10 serum pasien LES aktif dan tidak aktif.
Didapatkan korelasi positif sedang yang signifikan antara IL-17 dan IL-10 (p<0,005;
r=0,529) dan korelasi yang tidak signifikan antara IL-17 dan TGF- (p>0,005; r=-
0,142).
Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan rerata yang signifikan sitokin Th17/Treg pasien
LES aktif dan inaktif. Terdapat korelasi positif signifikan sedang antara IL-17 dan IL-
10, sementara tidak terdapat korelasi signifikan antara IL-17 dan TGF-. Penelitian
lanjutan dengan disain kohort prospektif diperlukan untuk mengkonfirmasi peran
sitokin jalur Th17/Treg ini pada pasien LES aktif dan inaktif.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hamid Faqih Umam
"Lupus Eritematosus Sistemik LES merupakan penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan adanya autoantibodi yang menyerang antigen sendiri. Kasus LES setiap tahunnya mengalami peningkatan. LES pada anak berkontribusi sebesar 15-20 dari keseluruhan penderita. Penyakit ini dapat menyerang berbagai sistem organ. Komplikasi endokrinopati berupa gangguan pubertas yang cukup sering terjadi pada anak. Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai gangguan pubertas pada anak LES di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya amenore pada anak LES. Penelitian dilakukan menggunakan desain potong lintang pada pasien anak perempuan usia 11-18 tahun di Poliklinik Alergi dan Imunologi dan Poliklinik Endokrinologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara. Terdapat 25 subjek yang diikutsertakan.
Hasil penelitian dilakukan analisis statistik menggunakan uji Chi-square dan uji Fisher. Prevalensi pubertas terlambat terjadi pada satu subjek 4 ; IK95 = -0,04-0,12 dan amenore terjadi pada dua belas subjek 48 ; IK95 = 0,27-0,69. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara amenore dengan durasi penyakit p=1,000; PR=1,05, aktivitas penyakit p=1,000; PR=0,86, durasi kortikosteroid p=0,673; PR=1,23, dan jenis terapi p=0,198; PR=0,55.
Hasil penelitian tidak bermakna karena besar sampel tidak memenuhi jumlah minimal. Dari hasil tersebut, belum dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara amenore terhadap durasi penyakit, aktivitas penyakit, durasi kortikosteroid, dan jenis terapi.

Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease characterized by autoantibodies that attack self antigen. The case of SLE each year has increased. SLE in children contributes 15 20 of all patients. This disease can attack various organ systems. Complications of endocrinopathy in the form of pubertal disorders are quite common in children. Until now, there has been no research on pubertal disorders in children with SLE in Indonesia.
This study aims to determine the prevalence and associated factors of amenorrhea in children with SLE. This study was a cross sectional study in girls aged 11 18 years at Allergy and Immunology Polyclinic and Endocrinology Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Kiara Hospital. There are 25 subjects included.
The result of the research was statistical analysis using Chi square test and Fisher test. The prevalence of delayed puberty occurs in one subject 4 IK95 0,04 0,12 and amenorrhea occurs in twelve subjects 48 IK95 0,27 0,69. There was no significant association between amenorrhea with disease duration p 1,000 PR 1,05, disease activity p 1,000 PR 0,86, corticosteroid duration p 0,673 PR 1,23, and type of therapy p 0,198 PR 0,55.
The results were not significant because the sample size did not meet the minimum amount. From these results, it can not be concluded yet that there is no association between delayed puberty and amenorrhea with disease duration, disease activity, corticosteroid duration, and type of therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Fadilah
"Kerusakan struktur dan penurunan fungsi ginjal pada anak pengidap Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Chronic Kidney Disease (CKD) mengakibatkan penumpukan produk sisa-sisa metabolisme yang disebut uremia. Komplikasi ini mengakibatkan terjadinya gangguan integritas kulit berupa kulit kering (xerosis) yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan menimbulkan infeksi lebih lanjut. Karya ilmiah ini bertujuan memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak pengidap SLE dengan komplikasi CKD dan menganalisis penerapan intervensi pemberian Virgin Coconut Oil (VCO) pada masalah gangguan integritas kulit. Intervensi diterapkan sebanyak dua kali dalam sehari dan dilakukan selama 3 hari. Metodologi yang digunakan adalah metode studi kasus. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat penurunan luas kulit yang mengalami xerosis yang ditandai dengan penurunan nilai overall dry skin score dari 4 menjadi 3 dan keluarga mampu melakukan perawatan kulit secara mandiri. Rekomendasi dari studi kasus ini adalah diharapkan pemberian VCO dapat menjadi terapi penunjang sebagai upaya untuk mengatasi gangguan integritas kulit pada kondisi xerosis.

Structural damage and decreased kidney function in children with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with the Chronic Kidney Disease (CKD) complication caused accumulation of metabolic waste products called uremia. This complication resulted in impaired skin integrity in the form of dry skin (xerosis) which can affect the patient's quality of life and lead to further infection. This scientific work aims to provide an overview of nursing care in children with SLE with complication of CKD and to analyze the intervention of Virgin Coconut Oil (VCO) application to the impaired skin integrity area. The intervention applied twice a day and has been carried out for 3 days. The methodology used is the case study method. The results of the analysis showed that there was a decrease in the area of skin with xerosis which was indicated by a decrease in the overall dry skin score of 4 to 3 and the family was able to perform skin care independently. The recommendation from this case study is application of VCO can be a supporting therapy as an effort to overcome impaired skin integrity in xerosis conditions."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elli Arsita
"Latar Belakang. Peran infeksi sebagai penyebab kematian telah banyak diteliti namun peran infeksi sebagai prediktor mortalitas pada pasien lupus eritematosus sistemik (SLE systemic lupus erythematosus) yang dirawat inap masih kontroversi pada penelitian luar negeri dan belum pernah diteliti di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui peran infeksi sebagai prediktor mortalitas pasien SLE yang dirawat inap.
Metodologi. Penelitian dengan desain kohort retrospektif dilakukan terhadap 181 episode perawatan pasien SLE yang dirawat di RSCM pada kurun waktu Januari 2008 - Desember 2012. Data dikumpulkan dari rekam medik. Variabel bebas infeksi dan perancu lupus neuropsikiatri, lupus nefritis, steroid ≥ 1mg/kgBB/hari 2 minggu sebelum keluar RS, onset muda dan jenis kelamin laki-laki serta variabel tergantung mortalitas pasien SLE dianalisis bivariat dengan Chi-square. Variabel yang memiliki nilai p<0,25 dimasukkan dalam analisis multivariat regresi logistik langkah demi langkah dari variabel infeksi dan perancu sehingga didapatkan crude OR serta adjusted OR.
Hasil. Mortalitas pasien SLE yang dirawat inap 22%. Pasien SLE yang dirawat dengan infeksi 90 orang (49,7%) dan 91 orang( 50,3%) tanpa infeksi. Jenis infeksi dari yang terbanyak pada pasien SLE yang dirawat inap adalah community acquired pneumonia.(CAP) (64,4%), HAP (18,8%), HCAP (5,6%), skin and soft tissue infection (5,6%). Pasien SLE yang dirawat dengan TB paru ada 14 orang(7,7%), riwayat TB paru 7 orang (3,9%). Penyebab kematian pada 40 pasien SLE yang dirawat yaitu syok sepsis irreversible 25 (62,5%), gagal napas 9 (22,5%), dan herniasi cerebri 2 (5%). Pada analisis bivariat infeksi, lupus neuropsikiatri, lupus nefritis, dan steroid ≥ 1mg/kgBB/hari 2 minggu sebelum keluar RS memiliki nilai p<0,25 sehingga dimasukkan dalam analisis multivariat regresi logistik langkah demi langkah. Infeksi berperan sebagai prediktor mortalitas pada pasien SLE dengan adjusted OR adalah 7,4 (IK 95% 2,8 – 19,6).
Kesimpulan. Infeksi berperan sebagai prediktor mortalitas pada pasien SLE yang dirawat inap.

Background. The role of infection as a cause of death is well known but the role of infection as a predictor of mortality in hospitalized patients with systemic lupus erythematosus (SLE) is debatable due to variable results from prior studies in foreign country and never been done in Indonesia.
Objective. Investigating the role of infection as a predictor of mortality in hospitalized patients with SLE.
Methods. A retrospective cohort study was conducted in 181 hospitalization episode of patients with SLE in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from January 2008 until December 2012. Data was collected from medical records. The independent variable was infection, confounders such as neuropsychiatric lupus, nephritis lupus, use of steroid ≥ 1mg/kg BW/day 2 weeks before hospital discharge, young onset, and male gender. Those variables were analysed bivariately using Chi-square test with mortality as the dependent variable. Variables with p<0.25 were analysed using multivariate logistic regression step by step until we got crude OR and adjusted OR of infection.
Results. Mortality of hospitalized patients with SLE is 22%. Infection was found in 90 patients (49.7%). The most common infection was community acquired pneumonia (64.4%). The most common cause of death was irreversible septic shock. Bivariate analysis showed that infection, neuropsychiatric lupus, nephritis lupus, and use of steroid ≥ 1mg/kg BW/day 2 weeks before hospital discharge had p<0.25. Multivariate analysis showed that infection had crude OR 8.60 (CI 95% 3.39 – 21.83) and adjusted OR 7.4 (CI 95% 2.8 – 19.6).
Conclusion. Infection is a predictor of mortality in hospitalized patients with SLE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mala Hayati
"Latar Belakang: Anti dsDNA merupakan salah satu faktor risiko aterosklerosis yang berasal dari LES dan belum ada penelitian yang melihat hubungan antara kadar anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunik intima-media arteri karotis.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang, melibatkan 84 pasien LES dengan kriteria inklusi adalah pasie LES yang memenuhi kriteria diagnosis sesuai dengan ACR 1997 atau SLICC 2012, dan kriteria eksklusi adalah bila terdapat variasi anatomi pembuluh darah yang tidak dapat dilakukan pengukuran. Anti dsDNA diperiksa dengan menggunakan ELISA dan USG Doppler dilakukan pada pasien untuk mengukur ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis (max-IMT). Analisa statistik dilakukan dengan uji parametrik Pearson dan bila tidak memenuhi syarat dilakukan uji non parametrik Spearman.
Hasil: Delapan empat responden (82 perempuan dan 2 laki-laki) dilakukan analisa. Rerata usia pasien 35,5±8,9 tahun dengan 64,3% berusia di bawah 40 tahun, median anti dsDNA 38,9 IU/L(0,9 ? 750 IU/L) dan Median max-IMT adalah 581 μm (385-1800 μm). Terdapat 43 (51,2 %) pasien dengan ketebalan pada tunika intima-media arteri karotis, 36 (42,9%) pasien dengan ketebalan saja, 6 (7,1%) pasien dengan ketebalan pada tunika intimamedia dan plak dan 1 (1,2%) pasien dengan plak di near wall bulbus kiri tanpa disertai dengan ketebalan pada tunika intima-media. Plak terutama ditemukan pada bulbus karotis kanan dan kiri. Berdasarkan uji korelasi speraman's tidak terdapat korelasi antara ati dsDNA dengan ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis. (r = 0,073, p= 0,520).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis pada pasien LES.

Background: Anti dsDNA is considered as one of SLE-related risk factors for atherosclerosis. The evaluation of Carotid intimal-media thickness has recently became one of the surrogate markers for atherosclerosis. Until now, there hasn't been any study relate the level of anti dsDNA antibody with Carotid intimal-media thickness. This study is conducted to determine the correlation between anti dsDNA and Carotid intima-Media Thickness.
Methods: This is a cross sectional study, 84 SLE patients were included. Patients diagnosed as SLE according to ACR 1997 or SLICC 2012 criteria were included in the study, while SLE patients with anatomical variation which difficult to measured were excluded from this study. Doppler ultrasound was carried out for patients and max-IMT was measured. Anti dsDNA was measured with ELISA.
Study results: Eighty four subjects (82 female, 2 male) were included. Mean age was 35,5 ±8,9 years old, 64,3 % between 18-39 years old, median anti dsDNA level 38,9 IU/L (0,9 - 750 IU), and median max-IMT value was 581 μm. There were 43 (51,2 %) patients Carotid intima-media thickness, 36 (42,9%) patients with increased IMT only, 6 (7,1%) patients with increase IMT and Plaque, and 1 (1,2%) patient with plaque in near wall left bulbus without increased IMT. Based on spearman's correlation test there are no correlation between anti dsDNA and max-IMT (r=-0,073, p= 0,520).
Conclusion: There are no correlation between anti dsDNA level and Carotid intimal-media thickness this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>