Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 191375 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vanda Mustika
"Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan peningkatan kapasitas aerobik pasien pasca sindrom koroner akut setelah intervensi koroner perkutan sebelum dan sesudah terapi latihan jalan.
Metode: Penelitian ini adalah studi intervensi dengan desain pre dan post satu kelompok pada 22 subjek pasca sindroma koroner akut setelah intervensi koroner perkutan yang mengikuti program rehabilitasi jantung fase II. Subjek diberikan latihan jalan dengan intensitas submaksimal 3 kali seminggu, selama 8 minggu dengan jarak yang ditingkatkan setiap latihan. Sebelum memulai dan setelah selesai program latihan jalan dilakukan pemeriksaan kapasitas aerobik dengan uji jalan 6 menit dan pemeriksaan echokardiografi untuk menentukan fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Hasil: Didapatkan peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang signifikan (p<0,001), dengan rerata sebelum diberikan latihan jalan 61,49 + 11,94 % dan setelah diberikan latihan jalan mengalami kenaikan menjadi sebesar 65,85 + 8,68 %. Kapasitas aerobik yang dinilai dengan uji jalan 6 menit juga memberikan hasil yang bermakna secara statistik, sebelum diberikan latihan jalan memiliki rerata 16,05 + 3,01 mL/kgBB/menit dan setelah diberikan latihan rerata kapasitas aerobik mengalami kenaikan menjadi sebesar 19,71 + 2,83 mL/kgBB/menit.
Kesimpulan: Pemberian latihan jalan dalam program rehabilitasi jantung fase II pada pasien pasca sindroma koroner akut setelah intervensi koroner perkutan dapat meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kapasitas aerobik.

Objectives: To examine the effect of walking exercise on left ventricular ejection fraction (LVEF) and aerobic capacity in post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention.
Methods: This study is an interventional study with one group pre and post design on 22 subjects post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention in phase II cardiac rehabilitation program. Subjects were given walking exercise programme with submaximal intensity 3 times a week, for 8 weeks with increased distance every attendance. Aerobic capacity were measured with 6 Minute Walking Test, Ejection Fraction were measured with Echocardiography, both were done before and after the walking exercise program.
Results: There were significant improvement in left ventricular ejection fraction (p<0,001), mean LVEF before exercise was 61,49 + 11,94 % and after exercise was 65,85 + 8,68 %. Aerobic capacity also show a significant improvement (p<0,001), with mean aerobic capacity before exercise was 16,05 + 3,01 mL/kgbodyweight/minutes and mean after exercise was 19,71 + 2,83 mL/ kgbodyweight/minutes.
Conclusion: Walking exercise in phase II cardiac rehabilitation program in in post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention can improve the left ventricular ejection fraction and aerobic capacity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Sari Dewi
"Latar Belakang : Rasio netrofil-limfosit (NLR) sudah banyak diteliti memiliki hubungan yang erat dengan luaran penyakit kardiovaskular. Hal ini berhubungan dengan proses inflamasi yang dapat menyebabkan perubahan struktural dan fungsi dari jantung yang dapat dinilai dengan salah satunya fraksi ejeksi (EF). Pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP memiliki resiko untuk mengalami perubahan EF yang berhubungan dengan NLR saat admisi.
Tujuan : Mengetahui hubungan antara NLR rendah dengan peningkatan fraksi ejeksi (EF) ventrikel kiri pada pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP.
Metode : Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dan data dilaporkan dalam bentuk deskriptif dan analitik korelasi. Dilakukan analisa hubungan NLR admisi pasien STEMI yang mendapatkan IKPP dengan EF ≤50% yang di ambil dengan ekokardiografi selama perawatan, akan kemudian dilakukan ekokardiografi kembali pada bulan ke-3.
Hasil : Total sampel penelitian adalah 58 subjek dengan 91,4% merupakan laki-laki. Rerata nilai EF I 42% dan EF ke-2 45,9%. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok dengan NLR <7 dan >7. Terdapat perbedaan proporsi antara kedua kelompok yang ditunjukan dengan nilai p sebesar 0,05. Subjek yang mempunyai kadar NLR >7 lebih beresiko sebesar 4,30x untuk tidak mengalami perbaikan. Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perbaikan EF pada penelitian ini adalah NLR <7 dengan OR sebesar 6,56 (1,31-32,84) setelah dikontrol oleh variable lekosit dan multivesel diseases.
Kesimpulan : Terdapat hubungan antara NLR dengan perbaikan EF ventrikel kiri pada Pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP

Background : The neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) has been widely studied to have a close relationship with cardiovascular disease outcomes. This is related to the inflammatory process that can cause structural and functional changes of the heart which can be assessed by ejection fraction (EF). STEMI patients who receive Primary PCI are at risk for experiencing changes in EF related to NLR at admission.
Objective: To determine the relationship between low NLR and increased left ventricular ejection fraction (EF) in STEMI patients who receive primary PCI.
Methods: The design of this study was a retrospective cohort and the data were reported in descriptive and analytic form. An analysis of the relationship between NLR admissions for STEMI patients who received primary PCI with an EF 50% or below were carried out by echocardiography during treatment, then echocardiography was performed again in the 3rd month.
Results: The total sample of the study ware 58 subjects with 91.4% of males. The mean score for EF I was 42% and EF 2 was 45.9%. Patients were divided into 2 groups with NLR <7 and >7. There is a difference in the proportion between the two groups as indicated by a p-value of 0.05. Subjects who have NLR levels > 7 are 4,30x more at risk for not experiencing improvement. The most dominant factor influencing the improvement of EF in this study was NLR <7 with an OR of 6.56 (1.31-32.84) after being controlled by leukocyte and multivesel diseases variables.
Conclusion: There is a relationship between NLR and left ventricular EF improvement in IMA-EST patients who received PCI
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Santoso
"Sindroma Koroner Akut SKA merupakan kondisi kegawatan kardiovaskuler yang memerlukan penanganan segera. Tatalaksana reperfusi koroner harus segera dilaksanakan untuk mengatasi gangguan sirkulasi koroner yang terjadi. Keputusan yang cepat dan tepat dari keluarga dan pasien akan meningkatkan kualitas hidup, menurunkan angka kesakitan dan kematian pada pasien dengan SKA. Penelitian ini merupakan studi Crossectional, metode pengambilan sampel dengan non probability sampling dan menggunakan teknik consecutive sampling. Jumlah sampel 85 responden. Hasil uji chi-square didapatkan ada kontribusi usia, penanggung biaya, tingkat pengetahuan, nyeri dada, dukungan keluarga dan pemahaman persetujuan tindakan p.

Acut Coronary Syndrome is cardiovasuler emergency conditions that requires immediate reliefs. Management of coronary reperfusion should be implemented immediately to overcome the coronary circulation disorder. Rapid and precise decisions from families dan patient will improve the quality of life, reduce morbidity and mortality in patients with ACS. This study was cross sectional study, sampling method with non probability sampling and used consecutive sampling technique with 85 respondens. The Chi squre test result obtained there is contribution of age, the cost bearer, level of knowledge, chest pain, family support and understanding of actions approval p value."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
T50975
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Permata Sari
"Latar belakang: Belum banyak studi yang menyatakan pengaruh latihan penguatan terhadap peningkatan kapasitas aerobik pada pasien dengan Sindroma Koroner Akut (SKA) risiko ringan dan sedang pasca intervensi koroner perkutan serta apa pengaruhnya terhadap tekanan darah dan laju jantung.
Tujuan: Mengetahui manfaat kombinasi latihan aerobik dan latihan penguatan pada pasien SKA risiko ringan dan sedang pasca intervensi koroner perkutan.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental dengan membandingkan kapasitas aerobik dan hemodinamik pasien SKA pasca intervensi koroner perkutan yang diberikan latihan aerobik saja dan kombinasi latihan aerobik dan penguatan selama 8 minggu.
Hasil: Dari April 2012 - Januari 2013 terdapat 20 subjek yang mengikuti penelitian ini sampai dengan selesai. Terdapat peningkatan kapasitas aerobik setelah perlakuan pada kelompok yang mendapat latihan aerobik saja maupun kelompok yang mendapatkan latihan aerobik ditambah dengan penguatan dengan selisih yang lebih besar pada kelompok latihan aerobik dan penguatan (0,75 + 1,09 vs 2,35 + 0,99) namun perbedaan yang bermakna hanya terdapat pada kelompok yang mendapatkan latihan aerobik dan penguatan (p<001). Terdapat perbedaan kapasitas aerobik yang bermakna antara kedua kelompok sesudah perlakuan (7,3 (5,27 - 9,33) vs 9,75 (4,43 - 11,43), p<001). Untuk variabel hemodinamik (tekanan darah sistolik dan diastolik istirahat, laju jantung istirahat, laju jantung tercapai, dan laju jantung pemulihan) tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (p>0,05). Analisa multivariat menunjukkan faktor yang mempengaruhi peningkatan kapasitas aerobik adalah umur, dengan batasan umur ≤ 55 tahun.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kapasitas aerobik yang bermakna pada kelompok yang mendapatkan latihan aerobik dan penguatan setelah perlakuan.;Background: Aerobic exercise has been use for years in patients with Acute coronary syndrome after a percutaneus coronary intervention but only a few study explain how strengthening exercise combined with aerobic exercise could influence aerobic capacity and hemodynamic parameters in patients with coronary heart disease who had underwent percutaneus coronary intervention (PCI).

Aim od study: to know influence of combined aerobic and strengthening exercise in patients underwent PCI to aerobic capacity and hemodynamics.
Method: This research use experimental study design to compare aerobic capacity in patients post PCI given only aerobic exercise and combine aerobic and strengthening exercises for 8 weeks.
Results: From April 2012 - January 2013 there were 20 subjects volunteered to follow the study. There is an increasing aerobic capacity in aerobics only training group and combined exercise group with the larger difference in aerobic and strengthening exercise group (0.75 + 1.09 vs. 2.35 + 0.99). but the difference only significant in combined exercise group (p <001). There is a significant difference in aerobic capacity between the two groups after treatment (7.3 (5.27 to 9.33) vs. 9.75 (4.43 to 11.43), with p <001). There is no difference in hemodynamic variables in both groups. Multivariate analysis showed that factors influencing the increase aerobic capacity is age, with ≤ 55 years of age limitations.
Conclusion: There is a significant difference in aerobic capacity in the cluster get aerobic and strengthening exercises after treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christianie Setiadi
"Penyakit kardiovaskular, salah satunya sindrom koroner akut merupakan penyebab utama kematian di dunia akibat penyakit tidak menular, di mana penyakit ini memiliki faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan pengaturan nutrisi. Faktor risiko utama sindrom koroner akut pada pasien serial kasus ini adalah sindrom metabolik yang meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus tipe 2. Semua pasien memiliki masalah dengan obesitas abdominal, di mana adipositokin yang disekresikan oleh jaringan adiposa abdominal merupakan mediator inflamasi, menyebabkan stres oksidatif, resistensi insulin, dan mengganggu metabolisme lipoprotein. Dua pasien pada serial kasus ini mengalami miokard infark dengan ST elevasi dan dua lainnya dengan non ST elevasi. Faktor risiko penyerta adalah hipertensi, diabetes melitus tipe 2, dislipidemia, gangguan fungsi hati, dan hiperurisemia. Kebutuhan energi sesuai dengan Harris Benedict dengan faktor stres antara 1,3–1,4 sesuai dengan beratnya kasus. Pada saat kondisi akut setelah hemodinamik stabil, nutrisi mulai diberikan sesuai dengan 80% kebutuhan basal. Kebutuhan makronutrien sesuai dengan National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel III. Kebutuhan cairan dan elektrolit diberikan sesuai dengan kondisi jantung pasien. Pemberian mikronutrien seperti vitamin B dan nutrien spesifik yaitu koenzim Q10 dan omega-3 dapat dilakukan pada beberapa kasus. Monitoring dan evaluasi yang dilakukan meliputi keadaan klinis, antropometri yaitu berat badan, tinggi badan, dan lingkar pinggang, serta toleransi asupan, keseimbangan cairan, dan kapasitas fungsional. Selama pemantauan didapatkan perbaikan klinis dan peningkatan asupan nutrisi pasien. Selanjutnya diperlukan pengendalian faktor risiko pasien dengan modifikasi gaya hidup yaitu pengaturan nutrisi dan peningkatan aktivitas fisik untuk pencegahan sekunder penyakit kardiovaskuler dan mengendalikan komplikasi yang sudah terjadi agar tidak semakin memburuk.

Cardiovascular disease, which one of them is acute coronary syndrome is the most caused of death from non comunicable diseases in the world. It have modified risk factors can be affected by nutrition.In this case series, the risk factor was metabolic syndrome that could elevated risk of cardiovascular diseases and type 2 diabetes mellitus. All of the patients had abdominal obesity, where it secreted adipocytokine, the inflamation mediators that can cause oxidative stress, insulin resistance and interfered lipoprotein metabolism. Two patients in this case series have ST elevation miokard infark dan others were non ST elevation miokard infark. Comorbid risk factors were hypertension, type 2 diabetes mellitus, dyslipidemia, disturbance liver function, and hyperuricaemia. Energy needs were calculated by Harris Benedict with risk factor between 1,3–1,4 depends on severe of the diseases. In acute condition after stable hemodinamic, nutrition was given from 80% basalt. Macronutrients need were appropiate with National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel III. Fluids need and electrolyte were given appropiate of heart condition. Micronutrients, like vitamin B and specific nutrients like coenzyme Q10 and omega-3 could be given in several cases. Evaluation and monitoring included clinical condition, antropometric : body weight, height, waist circumference, tolerance intake, fluid balance, and functional capacity. During follow up, the clinical improvement and enhancement nutrient intake were developed. After that we concidered to control patients risk factors with lifestyle modification include nutrition arrangement and elevated physical activity for secondary prevention of cardiovascular diseases and to control complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gupita Nareswari
"[ABSTRAK
Latar belakang : Penyebab kematian nomor tiga di Indonesia adalah Penyakit Jantung Koroner (PJK). PJK dapat dievaluasi dengan menilai skor Coronary Artery Calcium (CAC) menggunakan modalitas radiologi CT cardiac. Permasalahan saat ini adalah modalitas CT cardiac tidak tersedia di semua institusi kesehatan, sehingga dibutuhkan modalitas lain yang berguna untuk skrining skor CAC menggantikan modalitas CT cardiac. Dari 4 modalitas yang dapat mendeteksi skor CAC,pemeriksaan USG Doppler arteri karotis komunis merupakan modalitas terpilih untuk melakukan skrining.
Tujuan : Menilai apakah terdapat korelasi antara skor CAC dengan nilai CIMT dan RI arteri karotis komunis menggunakan modalitas USG Doppler arteri karotis komunis.
Metode : Penelitian cross sectional ini menggunakan data primer dari pasien yang menjalani pemeriksaan CT cardiac dengan temuan skor CAC. Subjek penelitian yang masuk ke dalam kriteria penerimaan kemudian dilakukan pemeriksaan USG Doppler arteri karotis komunis bilateral dan dilakukan pengukuran terhadap nilai CIMT dan nilai RI.
Hasil : Jumlah subjek penelitian adalah 27 orang, dengan hasil terdapat korelasi positif bermakna dengan nilai korelasi sedang antara skor CAC dan nilai CIMT maksimum dengan persamaan : skor CAC = -85.51 + 199.82 x nilai CIMT maksimum. Terdapat korelasi positif bermakna dengan nilai korelasi sedang antara skor CAC dan nilai RI arteri karotis komunis dengan persamaan : skor CAC = -503.53 + 849.00 x nilai RI.
Kesimpulan : Modalitas USG Doppler arteri karotis komunis pengukuran nilai CIMT dan nilai RI dapat digunakan sebagai modalitas skrining untuk memperkirakan skor CAC pada pasien.

ABSTRACT
Background : Coronary artery disease (CAD) known as the third cause of morbidity in Indonesia. CAD can be evaluated using CAC scoring from CT cardiac. Nowadays the issue related to its availability, not all health institution has this modality. We need other modality imaging that can replace CT cardiac for screening CAC scoring. From 4 modalities imaging that can evaluated CAC scoring, common carotid artery Doppler ultrasonography is the modality of choice for screening.
Purpose : To evaluate correlation value between CAC scoring and carotid intima media thickness (CIMT) and resistive index common carotid artery using Doppler ultrasonography.
Method : Cross sectional research using primary data CAC scoring from CT cardiac. All subject that met research?s criteria will have bilateral common carotid artery Doppler ultrasonography measurement of CIMT and common carotid artery resistive index value.
Result : Total subject is 27 people. There is a positive correlation with medium correlation value between CAC scoring and maximum CIMT using this approach : CAC scoring = -85.51 + 199.82 x maximum CIMT value. There is also a positive correlation with medium correlation value between CAC scoring and common carotid artery resistive index value using this approach : CAC scoring = -503.53 + 849.00 x resistive index value.
Conclusion : Common carotid artery Doppler ultrasonography measurement of CIMT and common carotid artery resistive index value is a promising screening modality to predict patient?s CAC scoring., Background : Coronary artery disease (CAD) known as the third cause of morbidity in Indonesia. CAD can be evaluated using CAC scoring from CT cardiac. Nowadays the issue related to its availability, not all health institution has this modality. We need other modality imaging that can replace CT cardiac for screening CAC scoring. From 4 modalities imaging that can evaluated CAC scoring, common carotid artery Doppler ultrasonography is the modality of choice for screening.
Purpose : To evaluate correlation value between CAC scoring and carotid intima media thickness (CIMT) and resistive index common carotid artery using Doppler ultrasonography.
Method : Cross sectional research using primary data CAC scoring from CT cardiac. All subject that met research’s criteria will have bilateral common carotid artery Doppler ultrasonography measurement of CIMT and common carotid artery resistive index value.
Result : Total subject is 27 people. There is a positive correlation with medium correlation value between CAC scoring and maximum CIMT using this approach : CAC scoring = -85.51 + 199.82 x maximum CIMT value. There is also a positive correlation with medium correlation value between CAC scoring and common carotid artery resistive index value using this approach : CAC scoring = -503.53 + 849.00 x resistive index value.
Conclusion : Common carotid artery Doppler ultrasonography measurement of CIMT and common carotid artery resistive index value is a promising screening modality to predict patient’s CAC scoring.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gloria Gandasari S.
"Tujuan : Mengetahui efek penambahan premedikasi dexmedetomidin intravena dengan dosis rendah 0,3 μg/kg dibandingkan dengan lidokain intravena 1,5 mg/kg terhadap tanggapan kardiovaskular akibat tindakan laringoskopi dan intubasi orotrakea.
Metode : Uji klinik tersamar ganda. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM pada bulan Desember 2004 sampai dengan Pebruari 2005, pada 90 pasien dewasa yang menjalani operasi berencana dengan anestesia umum dan fasilitasi intubasi orotrakea. Pasien dibagi secara acak menjadi 2 kelompok; 45 pasien mendapat penambahan premedikasi dexmedetomidine intravena 0,3 µg/kg 10 menit sebelum intubasi dan 45 pasien lainnya mendapat penambahan premedikasi lidokain intravena 1,5 mg/kg 2 menit sebelum intubasi. Parameter kardiovaskular yang diukur yaitu tekanan darah sistolik - diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung. Analisa statistik melihat perbedaan pada dua data kategori digunakan uji chi-square. Perubahan kardiovaskular pada tiap kelompok dipakai uji wilcoxon, dan melihat perbedaan kardiovaskular antara kedua kelompok dipakai uji Mann-Whitney.
HasiI : Saat intubasi pada kedua kelompok terjadi peningkatan tanggapan kardiovaskular bermakna secara statistik dibandingkan dengan nilai sesaat sebelum intubasi. Tanggapan kardiovaskular pada kelompok dexmedetomidin lebih rendah bermakna secara statistik dibandingkan dengan kelompok lidokain. Ini membuktikan bahwa baik dexmedetomidin maupun lidokain belum dapat mencegah tanggapan kardiovaskular akibat laringoskopi dan intubasi orotrakea, tetapi dexmedetomidin mempunyai efek yang lebih balk bennakna secara statistik dibandingkan dengan lidokain dalam hal mengurangi tanggapan kardiovaskular akibat laringoskopi dan intubasi. Ada 2 sampel yang dikeluarkan, masing-masing 1 sampel dari kelompok dexmedetomidin dan lidokain."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Selvi Belina
"Perawat spesialis kardiovaskuler berperan dalam praktik keperawatan berupa pemberi asuhan keperawatan tingkat lanjut, melakukan pembuktian ilmiah keperawatan dan agen pembaharu. Asuhan keperawatan dilakukan pada kasus pasien post operasi bedah jantung MVR (Mitral Valve Replacement) dan 30 pasien gangguan sistem kardiovaskuler dengan pendekatan model konservasi Levine. Model konservasi Levine efektif digunakan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskuler. Evidence based nursing dilakukan dengan menerapkan edukasi berdasarkan kebutuhan pasien Acute Coronary Syndrome (ACS) untuk menurunkan kecemasan dengan hasil yang signifikan (p value 0,000). Proyek inovasi menerapkan format handover dengan metode SBAR (Situation, Background, Assessment, Recommendation).

Cardiovascular specialist nurses play a role in nursing practice in the form of advanced nursing care providers, scientific proof of nursing and change agents. Nursing care is performed in the case of postoperative heart surgery patients MVR (Mitral Valve Replacement) and 30 patients with cardiovascular system disorder with Levine conservation model approach. Levine's conservation model is effective in patients with cardiovascular system disorders. Evidence-based nursing is done by applying education based on patient Acute Coronary Syndrome (ACS) needs of learning to decrease anxiety with significant results (p value 0,000). The innovation project applies the handover format using the SBAR (Situation, Background, Assessment, Recommendation) method."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Doei Eng Tie
"

Dalam tahun 1674 Antony van Leeuwenhoek di Leiden menemukan lensa jang dapat memperbesar pandangan pada benda jang amat ketjil jang samar atau sama sekali tidak dapat dilihat oleh mata biasa.

Kemudian tertjiptalah mikroskop jang lambat laun diperbaiki hingga sekarang kita mengenal fase-contrast dan elektronntikroskop jang dapat memperbesar pandangan sampai 200.000 kali.

Demikianlah, semendjak terbentuknja mikroskop itu, manusia beladjar kenal dengan apa jang dinamakan cellula dalam bahasa Latin atau dalam bahasa Indonesia sel".

Dengan penemuan sel jang dianggap pada waktu itu merupakan satuan jang terketjil dan terachir pada sctiap machluk, berubahlah djuga pandangan manusia terhadap penjakit. Kalau didjaman kuno ilmu ketabiban sebagian besar dipengaruhi oleh haluan religieus-magis-mystik dan humeral, maka semendjak ditemukan sel", perhatian ditudjukan pada sel itu.

Demikianlah pada tahun 1855 tertjiptalah patologi selluler jang dipelopori oleh Robert Virchow. Terdengarlah pada waktu itu sembojan jang berbunji :

"Qmnis cellula e cellula" (tidak mungkin terbentuknja sel tanpa adanja sel). Singkatnja dan maknanja jalah : semua peristiwa jang bersangkut-paut dengan penghidupan terletak pada integritet daripada sel jang membentuk tubuh manusia. Ilmu ketabiban beralih kedjurusan ilmiah exact (exacta wetenschap). Penjakit hanja dapat dibuktikan dan dipastikan, kalau dapat dilihat perubaban pada se1 tubuh dan/atau ditemukan sel" kuman jang patologis atau dapat dinjatakan kelainan pada tjairan tubuh. Memang benar, pada sebagian benar daripada penjakit dapat ditemukan kelainan' di sel atau tjairan tubuh.

Tetapi lambat laun ditemukan djuga keadaan penjakit jang tidak disertai oleh kerusakan strukturil atau djika ada terdapat kerusakan strukturil, keluhan ternjata tidak selalu berimbang dengan deradjat kerusakan itu. Maka timbullah aliran baru dikalangan kedokteran untuk melihat penjakit tidak hanja dari sudut organis-humoral, tetapi djuga dari sudut psikik atau kedjiwaan jang dipelopori oleh sardjana terkenal seperti Alexander, Saul, French, Weiss, Dunbar, Binger d.l.l. dan di kalangan kita di Indonesia ini oleh Professor Aulia.

Sebetulnja tjara melihat dan merawat penderitaan seseorang dengan memperltatikan sudut ,psikologi atau kedjiwaan ini, tidaklah merupakan aliran fikiran baru. Tjara ini telah dipraktekkan oleh ilmu ketabiban klassik hingga sekarang, terutama oleh ,,familie-dokter" jang mengetahui riwajat hidup serta tindak-tanduk pasiennja dari masa ketjilnja didalam lingkungan keluarga dan masjarakat disekitarnja, walaupun tidak dengan tjara teratur dan sering tidak diinsafi oleh dokter itu sendiri.

Dengan memperhatikan sudut psikologi dalam hal mempeladjari penjakit, tidaklah berarti kita mengurangi perhatian terhadap kelainan atau kerusakan somatis atau ketubuhan, tetapi kita lebih banjak daripada dulu mempeladjari pengaruh djiwa terhadap penjakit itu.

Tidak lagi seorang dokter akan merawat sesuatu anggota tubuh, seperti djantung, kulit, alat pernafasan, alat pentjernaan d.s.b., tetapi jang diperhatikan jalah sipenderita keseluruhannja, tidak hanja sendi lahirnja, tetapi djuga sendi batinnja.

Demikianlah, berbagai djenis keluhan dapat timbul pada seseorang. tidak hanja oleh karena menderita kerusakan atau gangguan somatis (ketubuhan), tetapi oleh karena penderitaan psikik (kedjiwaan), penderitaan batin, atau oleh karena kedua-duanja.

Sering ditemukan gangguan fungsi pada sesuatu anggota tubuh jang hanja merupakan „spreckbuis" atau pembitjara daripada penderitaan batin.

Aliran baru ini, jang mempeladjari hubungan diantara penderitaan batin, emosi dan fungsi anggota tubuh dinamakan ,,psychosomatic medicine" atau ilmu kedokteran kedjiwa-ragaan.

"
Jakarta: UI-Press, 1961
PGB Pdf
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Abhirama Nofandra Putra
"ABSTRAK

PCSK9 telah diketahui sebagai molekul yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. Belakangan ini, PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan, akan tetapi sekelompok pasien masih mengalami luaran klinis buruk meski telah mendapatkan tatalaksana optimal. PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam risiko residual pasien-pasien tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara konsentrasi PCSK9 saat admisi pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Sebanyak 239 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan konsentrasi PCSK9 pada saat admisi. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up telepon. Terdapat 28 (11,7%) subjek penelitian yang mengalami luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari. Akan tetapi, analisis kesintasan tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara konsentrasi plasma PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari. Saat dibandingkan antara tertil 3 dengan tertil 2 konsentrasi PCSK9 didapatkan hazard ratio 1,466 (95%IK 0,579-3,714) serta antara tertil 1 dengan tertil 2 didapatkan hazard ratio 1,257 (0,496-3,185). Dari penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara konsentrasi plasma PCSK9 saat admisi dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

PCSK9 telah diketahui sebagai molekul yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. Belakangan ini, PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan, akan tetapi sekelompok pasien masih mengalami luaran klinis buruk meski telah mendapatkan tatalaksana optimal. PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam risiko residual pasien-pasien tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara konsentrasi PCSK9 saat admisi pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Sebanyak 239 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan konsentrasi PCSK9 pada saat admisi. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up telepon. Terdapat 28 (11,7%) subjek penelitian yang mengalami luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari. Akan tetapi, analisis kesintasan tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara konsentrasi plasma PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari. Saat dibandingkan antara tertil 3 dengan tertil 2 konsentrasi PCSK9 didapatkan hazard ratio 1,466 (95%IK 0,579-3,714) serta antara tertil 1 dengan tertil 2 didapatkan hazard ratio 1,257 (0,496-3,185). Dari penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara konsentrasi plasma PCSK9 saat admisi dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.


ABSTRACT
PCSK9 is a molecule that regulates blood LDL cholesterol level. Recent evidences suggest that PCSK9 may also have other independent mechanisms, such as inflammation, increased Lp(a), triglyceride-rich lipoprotein metabolism, activation of prothrombotic pathways and platelets, and modification of atherosclerotic plaque, which all may play a role in the pathogenesis of atherosclerotic diseases, including STEMI. Previous advances in the management of STEMI had succeed in increasing survival. However, some STEMI patients still experienced adverse outcomes eventhough they already received optimal management in accordance with the guidelines. PCSK9 may have a role in the residual risk that those patients have. However, our knowledge regarding this association between plasma PCSK9 level and MACCE in STEMI is still limited. The aim of this study is to evaluate the association between plasma PCSK9 level during admission with MACCE in STEMI patients who underwent primary PCI. In total, 239 patients with STEMI who were treated with primary PCI had their plasma sample drawn during admission and evaluated for PCSK9 level. PCSK9 level was measured with ELISA.  MACCE and other supportive data were taken from the medical records and telephone follow-up. There were 28 study participants who experienced MACCE in 30 days. However, survival analysis did not show a significant association between plasma PCSK9 level and MACCE in 30 days. The hazard ratio for MACCE between the third tertile and the second tertile of plasma PCSK9 level was 1.466 (95%CI 0.579-3.714) and between the first tertile and the second tertile was 1.257 (95%CI 0.496-3.185). There was no significant association between plasma PCSK9 level during admission and 30 days MACCE in STEMI patients treated with primary PCI.

"
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>