Ditemukan 173398 dokumen yang sesuai dengan query
Muhammad Axel Giovanni
"Kebudayaan Turki merupakan hasil dari percampuran dua peradaban. Turki memiliki keunikan budaya yang menjadi sorotan manca negara. Keunikan tersebut didasari oleh faktor lokasi geografis Turki dan revolusi yang dilakukan oleh Mustafa Kemal. Hadirnya kebudayaan Turki di Indonesia dimulai sejak adanya hubungan diplomasi antar kedua negara. Era globalisasi yang sedang terjadi menjadi faktor terpenting menyebarnya budaya setiap bangsa. Situasi Turki selama pemerintahan Mustafa Kemal dan pengaruhnya terhadap kebudayaan Turki, kebudayaan Turki yang ada di Indonesia dan perkembangannya diuraikan dalam makalah ini.
Turkish culture is a result of the mixing of the two civilizations. Turkey has a unique culture that became the spotlight abroad. The uniqueness is based on the geographical location of Turkey and the factors of the revolution carried out by Mustafa Kemal. The presence of Turkish culture in Indonesia began from the diplomatic relations between two countries. The Era of globalization is going to be the most important factor in the widespread culture of every nation. The situation of Turkey during the reign of Mustafa Kemal and its effects on the culture of Turkey, Turkish culture that exists in Indonesia and its development are outlined in this paper."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
London: Routledge, 1999
R TUR 423.943 DIC
Buku Referensi Universitas Indonesia Library
Maulida Laviena
"Hubungan negara dan masyarakat merupakan hal yang penting untuk dijaga demi menciptakan kedamaian suatu negara. Permasalahan etnis yang terjadi di Republik Rakyat Tiongkok, tepatnya permasalahan suku Uighur di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, telah menciptakan ketegangan antara pemerintah Tiongkok dan suku Uighur. Bingtuan, sebagai sebuah organisasi sosial di Xinjiang yang bertanggungjawab langsung kepada pemerintah pusat, dapat memberikan gambaran atas hubungan pemerintah dan masyarakat Xinjiang, khususnya suku Uighur. Bingtuan sendiri merupakan sebuah organisasi paramiliter yang dibentuk oleh pemerintah Tiongkok untuk mengembangkan daerah Xinjiang, menjaga stabilitas Xinjiang, serta mendukung terciptanya kesatuan etnis di Xinjiang. Suku Uighur yang merupakan penduduk mayoritas Xinjiang sejak lama telah memiliki konflik dengan pemerintah Tiongkok. Berdasarkan peranannya, kehadiran Bingtuan tentu dimaksudkan untuk meredam ketegangan yang ada di antara pemerintah Tiongkok dan suku Uighur. Namun, melihat sejauh mana permasalahan suku Uighur telah terjadi, kehadiran Bingtuan justru memperparah hubungan antara kedua pihak tersebut karena menyebabkan kesenjangan sosial serta memperkuat adanya pandangan bahwa pemerintah berupaya untuk melakukan sinifikasi terhadap suku Uighur.
State-society relation is an important thing to maintain in order to create peace in a country. Ethnic issues that occur in Peoples Republic of China, specifically the Uighurs conflict in Xinjiang Uighur Autonomous Region, have created tensions between Chinese government and the Uighurs. Bingtuan, as a social organization in Xinjiang that is directly responsible to the central government, can give us an overview of the relationship between the government and Xinjiangs people, particularly the Uighurs. Bingtuan itself is a paramilitary organization formed by the central government to develop Xinjiang region, maintain stability in Xinjiang, and promote ethnic unity in Xinjiang. The Uighurs as the majority population in Xinjian have had conflicts with the government since long ago. Based on its roles, the presence of Bingtuan is intended to appease the conflict between the Chinese government and the Uighurs. However, seeing how far the Uighurs issue has happened, Bingtuans presence instead exacerbated the relation between those two because it caused social gap and strengthen the idea that the government strive to sinicize the Uighurs."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Jihan Ammatuz Zakiah
"Wacana gerakan masyarakat adat muncul di Indonesia seringkali dimaknai sebagai upaya untuk melakukan perlawanan dari ancaman pihak eksternal. Sebagian masyarakat memahami bahwa adat merujuk pada sebuah praktik ritual, norma, atau pun kebiasaan—sebagian juga memahami bahwa adat merujuk pada prosedur untuk menyelesaikan sengketa tenurial yang saat ini menjadi agenda LSM. Masyarakat adat di Indonesia didukung oleh pihak LSM untuk memperjuangkan hak-haknya dengan membawanya turut berperan dalam ranah legislasi. Tulisan ini mengeksplorasi bagaimana aktivitas LSM dalam mengupayakan perlindungan dan pengakuan masyarakat lokal yang memiliki klaim hak atas tanah melalui serangkaian praktik inskripsi. Penelitian ini dilakukan dengan mencakup beberapa proses kegiatan advokasi AMAN dan BRWA di beberapa wilayah IKN. Bersamaan dengan posisi saya sebagai fasilitator yang membantu kedua LSM tersebut, tulisan ini juga menjadi refleksi etnografis. Oleh karenanya, tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana agenda advokasi AMAN BRWA dilakukan untuk mengidentifikasi dan merumuskan ‘wilayah adat’ serta memperlihatkan bagaimana agenda advokasi tersebut dilakukan dengan tahapan-tahapan yang sifatnya prosedural, tetapi pada kenyataannya menimbulkan serangkaian konstruksi dan negosiasi.
The discourse of the indigenous peoples' movement emerging in Indonesia is often interpreted as an attempt to resist external forces. Some communities define adat as referring to ritual practices, norms or customs—while others define adat as a procedure for resolving tenurial disputes, which is currently on the agenda of NGOs. Indigenous peoples in Indonesia are supported by NGOs to advocate for their rights by involving them in legislation. This paper explores how NGO activities seek to protect and recognize local communities with land rights claims through a set of inscription practices. The research was conducted by covering several processes of AMAN and BRWA advocacy activities in several IKN areas. Along with my position as a facilitator assisting the two NGOs, this paper is also an ethnographic reflection. Therefore, this paper aims to explain how AMAN BRWA's advocacy agenda is to identify and formulate 'customary territories' and to illustrate how this advocacy agenda is carried out through procedural steps, but in reality leads to a series of constructions and negotiations."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
London: Routledge, 1998
494.3 TUR
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Isti Kholif Maulinur
"Tulisan ini merupakan refleksi pengalaman saya dalam mengikuti Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang diselenggarakan oleh Program Studi Antropologi Sosial, Universitas Indonesia bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (MBKM UI-BRWA). Pembahasan dalam makalah ini difokuskan pada refleksi metodologi etnografi dalam proses fasilitasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di BRWA. Proses ini juga mengungkap relasi identitas antara saya sebagai mahasiswa program studi antropologi sosial dengan BRWA dan relasi identitas saya sebagai fasilitator dengan masyarakat adat dalam menghasilkan etnografi masyarakat adat. Berdasarkan hal tersebut, makalah ini bertujuan memberikan gambaran kepada etnografer maupun fasilitator terkait kemungkinan yang akan mereka hadapi saat berada di lapangan. Pendekatan etnografi yang digunakan yaitu dengan Rapid Ethnography Assessment (REA) dengan metode pengambilan data melalui Focus Group Discussion (FGD), wawancara, transek, serta kolaborasi aktif dari masyarakat adat. Kegiatan ini dilakukan di beberapa wilayah adat yang berada di Kalimantan Tengah (Gunung Mas), Kalimantan Timur (Penajam Paser Utara), Kalimantan Utara (Nunukan), dan Riau (Kampar). Upaya menghasilkan etnografi masyarakat adat dengan acuan formulir pendaftaran BRWA merupakan hal yang penting dan krusial dalam proses advokasi pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Indonesia. Dalam proses melakukan etnografi banyak kemungkinan yang dihadapi oleh seorang etnografer sekaligus fasilitator, baik ekspektasi dari masyarakat adat hingga tantangan dan penyesuaian saat berada di lapangan.
This paper reflects on my experience participating in the Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Program organized by the Social Anthropology Study Program at the University of Indonesia in collaboration with the Indigenous Territory Registration Agency (BRWA). The discussion in this paper focuses on reflecting on the ethnographic methodology in facilitating the recognition and protection of the rights of indigenous communities within the BRWA framework. This process also reveals the identity relationships between myself, as a student of the social anthropology program, and the BRWA, as well as my identity as a facilitator working with indigenous communities to produce an ethnography of these communities. Based on this, the paper aims to provide insight to ethnographers and facilitators regarding the potential challenges they may face in the field. The ethnographic approach employed in this study is Rapid Ethnography Assessment (REA), with data collection methods including Focus Group Discussions (FGD), interviews, transects, and active collaboration with indigenous communities. The activities were conducted in several indigenous territories located in Central Kalimantan (Gunung Mas), East Kalimantan (Penajam Paser Utara), North Kalimantan (Nunukan), and Riau (Kampar). Producing an ethnography of indigenous communities using the BRWA registration form as a guideline is crucial and vital in the advocacy process for the recognition and protection of indigenous legal communities in Indonesia. During the ethnographic process, an ethnographer and facilitator may face various possibilities, from the expectations of indigenous communities to the challenges and adjustments required in the field."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Hany Nurul Nissa Suhendar
"Makalah ilmiah akhir ini membahas fetisisasi tradisi yang saya alami berdasarkan pada pengalaman saya sebagai fasilitator di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dalam upaya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat (indigenous people). Tulisan ini ditujukan sebagai bentuk kontribusi saya dalam menyajikan narasi terkait implikasi fetisisasi tradisi dalam konteks mencari keaslian masyarakat adat di Indonesia, khususnya di beberapa wilayah adat yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Temuan analisis memperlihatkan fetisisasi tradisi terjadi ketika saya ikut berpartisipasi secara langsung dalam menjalankan rangkaian proses yang terdiri dari registrasi, verifikasi, dan validasi untuk memperjuangkan pengakuan dan perlindungan atas keberadaan masyarakat adat berdasarkan pada prosedur BRWA.
This final scientific paper discusses the fetishization of tradition that I have experienced based on my experience as a facilitator at Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) in efforts to recognize and protect the rights of indigenous people. This paper is intended as a form of my contribution in presenting a narrative related to the implications of the fetishization of tradition in the context of seeking the authenticity of indigenous people in Indonesia, especially in several indigenous territories located in Central Kalimantan, East Kalimantan, and South Kalimantan Provinces. The findings of the analysis show that the fetishization of tradition occurred when I directly participated in carrying out a series of processes consisting of registration, verification, and validation to fight for the recognition and protection of the existence of indigenous people based on BRWA procedures."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Hutapea, Hudson
"Tesis ini membahas tentang legal standing masyarakat adat yang belum atau tidak ditetapkan sebagai kesatuan masyarakat hukum melalui peraturan daerah (perda) karena menjadi masalah tentang bagaimana dapat membuktikan kedudukan hukumnya di hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara ketika memperjuangkan tanah ulayat. Sebagaimana yang penulis teliti pada putusan kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 584 tahun 2022 yang pada pokoknya menegaskan bahwa legal standing Masyarakat Hukum Adat (MHA) harus dibuktikan secara hukum melalui Perda yang merujuk pada ketentuan Pasal 67 ayat (1) dan (2) UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999. Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode deskriptif analitis dimana teori teori hukum digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah putusan hakim. Sebagai simpulan terdapat perbedaan pendapat antara penetapan ketua pengadilan TUN yang harusnya jadi pintu masuk masyarakat adat lolos dismissal sebagai kesatuan MHA dengan majelis hakim yang mengadili perkara sengketa yang berkesimpulan masyarakat adat harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan Perda. Kemudian bagi masyarakat adat yang belum mendapatkan pengakuan Perda dapat menggunakan pasal 6 ayat 2 Perma No 2 tahun 2016 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai dasar pelaksana “self determination” (menentukan nasib sendiri) untuk pembuktian legal standing sebagai kesatuan MHA. Masyarakat Adat harus menyusun bukti bukti dalam gugatan tentang unsur unsur syarat kesatuan MHA sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 2 Perma No 2 Tahun 2016 untuk selanjutnya dibuktikan dan diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara, jadi tidak perlu harus ada Perda.
This thesis discusses the legal position of indigenous peoples who have not been or have not been established as a legal community unit through regional regulations (perda) because it becomes a problem of how to maintain their legal standing before the State Administrative Court when fighting for communal land. As the author examines the cassation decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 584 of 2022 which in essence emphasizes that the legal position of Indigenous Peoples (MHA) must be legally proven through a Regional Regulation which refers to the provisions of Article 67 paragraph (1) and (2) of the Forestry Law Number 41 of 1999. The form of research used is normative legal research with descriptive analytical methods where legal theories are used as an analytical knife in dissecting judge's decisions. For example, there is a difference of opinion between submitting the head of the TUN court which should be so that the entrance of indigenous peoples passes dismissal as an MHA Association and the panel of judges adjudicating lawsuits that conclude that indigenous peoples must first obtain recognition from a regional regulation. Then for indigenous peoples who have not received regional regulation recognition, they can use article 6 paragraph 2 of Perma No. 2 of 2016 concerning Guidelines for Proceeding in Disputes on Determining Development Locations for the Public Interest in the State Administrative Court as the basis for implementing "self-determination" to prove legal standing as a unit MHA. Indigenous peoples must compile evidence in a lawsuit regarding the elements of the MHA unitary requirements as stipulated in Article 6 2 Perma No 2 of 2016 to be further proven and tested at the State Administrative Court, so there is no need for a regional regulation."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing, 1990
307.7 IND p III
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Jakarta : Grolier International , 1990
R 909 NEG X
Buku Referensi Universitas Indonesia Library