Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 126570 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Infertilitas merupakan suatu problem psikologis dan bersifat kompleks. Berdasarkan beberapa temuan penelitian kedaan ini dapat memicu timbulnya kecemasan seseorang Kecemasan dapat digolongkan kedalam kecemasan ringan, sedang, berat dan panik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat kecemasan yang tenjadi pada klien dengan impotensi. Penelitian dilakukan terhadap klien yang melakukan pengobatan dan konsultasi di Klinik lmpotensi Rumah sakit Umum Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Jenis penelitian adalah deskriptif sederhana dengan desain cross sectional. Penarikan sampel menggunakan teknik concecutive sampling.
Jumlah sampel 17 orang. Data dikumpulkan dengan kuesioner yang dikembangkan oleh peneliti. Data dianalisis dengan statistik deskriptif. Penelitian ini telah mengidentifikasi bahwa kecemasan yang dialami oleh klien dengan impotensi pada awal terjadinya impotensi, pada klien yang sedang menjalani pengobatan di Klinik Impotensi RSCM rata-rata berada pada kecemasan tingkat ringan (94%) Sedangkan cemas sedang diaiami oleh 6% responden."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2001
TA5072
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Legoh, Dickson Allan
"Latar Belakang: Banyak penelitian yang melaporkan adanya hubungan antara disfungsi ereksi (DE) dengan depresi, akan tetapi hubungan kausal tetap tidak jelas. Sulit membatasi mana yang lebih dahulu apakah depresi atau DE. Prevalensi depresi pada laki-laki dengan DE oleh Strand J, dkk mendapatkan angka 14,7% dengan menggunakan DSM IV. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya hubungan antara lama dan derajat DE dengan depresi.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan cross-sectional terhadap 49 sampel DE organik yang datang berobat di Klinik Impotensi Departemen Urologi RSUPN-CM Jakarta pada bulan Januari 2004 sampai Agustus 2004 yang memenuhi kriteria penelitian. Instrumen yang digunakan adalah structure clinical interview for DSM IV Axis I-Disorder (SCID).
Hasil: Dari 49 sampel DE organik sebesar 22,4% sampel mengalami depresi. Proporsi Gangguan Depresi tertinggi ditemukan pada sampel DE organik derajat ringan (62,5%) dan lama sakit DE 2 tahun (30,4%). Pada sampel terdapat hubungan yang bermakna antara DE organik derajat ringan dengan Gangguan Depresi (p 0,020), sementara hubungan antara lama DE organik dengan Gangguan Depresi tidak terbuktikan secara statistik (p 0,208). Hasil analisis regresi logistik didapatkan DE organik derajat ringan merupakan faktor risiko untuk mengalami Gangguan Depresi pada sampel (OR 8,7).
Simpulan: Disfungsi ereksi derajat ringan adalah faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko untuk mengalami gangguan Depresi pada pasien DE organik.

Introduction: A number of trials have reported a correlation between erectile dysfunction and depression; however the causal link has not been clear yet. It's difficult to determine which of these - erectile dysfunction or depression - occurs first. Prevalence of depression in men with erectile dysfunction, assessed by Strand J et al obtained 14.7% by using DSM-IV. The purpose of this trial was to elicit the presence of correlation between the morbid duration and the degree of erectile dysfunction with depression.
Methods: A cross sectional trial on 49 samples who presented to the Clinic of Impotence in the Urological Department of Cipto Mangunkusunzo Hospital in Jakarta from January 2004 until August 2004. The fulfilled the criteria of the trial. The instrument used was Structured Clinical Interview for DSM IV Axis-I Disorder (SCID).
Result: Out of 49 organic erectile dysfunction samples, 22.4% of them were found to have depression. Proportions of the highest Depression Disorder were found in mild organic erectile dysfunction samples (62.5%) and with the morbid duration 52 years (30.4%). In the samples, significant correlation was found between mild organic erectile dysfunction with Depression Disorder (p 0.020) whereas the correlation of the morbid duration of organic erectile dysfunction with Depression Disorder was not statistically obtained (p 0.208). The results of logistic regression analysis revealed that mild organic erectile dysfunction constituted a risk factor for developing Depression Disorder among the sample (OR 8.7).
Conclusion: Mild erectile dysfunction is a factor that has a role in augmenting the risk for developing Depression Disorder in organic erectile dysfunction patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Taher
"ABSTRAK
Impotensi seksual adalah keadaan dimana ereksi penis tidak dapat dicapai atau dipertahankan untuk melakukan hubungan kelamin. Batasan ini hanya meliputi kemampuan ereksi penis dan tidak melibatkan masalah libido, ejakulasi serta orgasme (KRANE dkk 1989).
Keluhan impotensi, tidak hanya menimbulkan masalah bagi penderita dan pasangannya, akan tetapi bagi seluruh keluarga dan masyarakat lingkungannya. Hilangnya kemampuan ereksi mempunyai dampak lebih besar daripada sekedar kegagalan hubungan kelamin, akan tetapi dirasakan juga sebagai hilangnya sifat kejantanan. Dapatlah dimengerti mengapa keadaan tersebut merupakan sesuatu yang menakutkan bagi penderita. Penderita akan mengalami kecemasan, gangguan komunikasi dan depresi. Dalam keadaan ini keutuhan keluarga sulit untuk dipertahankan lagi (HENGEVELD 1983).
Walaupun angka prevalensi gangguan seksual telah banyak dilaporkan di kepustakaan, akan tetapi kurang dapat menggambarkan masalah kegagalan ereksi. Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 10 juta pria menderita impotensi (SHABSIGH 1988). Impotensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan usia. Keadaan ini diidap oleh sekitar 1.9% pria berusia 40 tahun, angka kejadian ini meningkat menjadi 25% pada usia 65 tahun (KRANE dkk 1989). Angka kejadian ini akan lebih meningkat lagi pada populasi rumah sakit. Impotensi sangat sering timbulImpotensi seksual adalah keadaan dimana ereksi penis tidak dapat dicapai atau dipertahankan untuk melakukan hubungan kelamin. Batasan ini hanya meliputi kemampuan ereksi penis dan tidak melibatkan masalah libido, ejakulasi serta orgasme (KRANE dkk 1989).
Keluhan impotensi, tidak hanya menimbulkan masalah bagi penderita dan pasangannya, akan tetapi bagi seluruh keluarga dan masyarakat lingkungannya. Hilangnya kemampuan ereksi mempunyai dampak lebih besar daripada sekedar kegagalan hubungan kelamin, akan tetapi dirasakan juga sebagai hilangnya sifat kejantanan. Dapatlah dimengerti mengapa keadaan tersebut merupakan sesuatu yang menakutkan bagi penderita. Penderita akan mengalami kecemasan, gangguan komunikasi dan depresi. Dalam keadaan ini keutuhan keluarga sulit untuk dipertahankan lagi (HENGEVELD 1983).
Walaupun angka prevalensi gangguan seksual telah banyak dilaporkan di kepustakaan, akan tetapi kurang dapat menggambarkan masalah kegagalan ereksi. Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 10 juta pria menderita impotensi (SHABSIGH 1988). Impotensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan usia. Keadaan ini diidap oleh sekitar 1.9% pria berusia 40 tahun, angka kejadian ini meningkat menjadi 25% pada usia 65 tahun (KRANE dkk 1989). Angka kejadian ini akan lebih meningkat lagi pada populasi rumah sakit. Impotensi sangat sering timbul pada penderita kencing manis, sklerosis multipel, penyakit tekanan darah tinggi ataupun gagal ginjal.
Pada suatu survai, didapatkan sekitar 50% pria penderita kencing manis ternyata mengalami impotensi (LINCOLN dkk, 1987). TUTTLE dkk melaporkan bahwa sekitar 10% penderita infark otot jantung ternyata menderita kehilangan kemampuan ereksi yang menetap. Keadaan ini juga sering diketemukan pada pria dengan penyakit hipertensi arterial, dengan angka kejadian yang bervariasi antara 20-30% tergantung pada jenis obat-obatan yang digunakan (WEIN dan ARSDALEN, 1988).
Sampai saat ini belum pernah ada laporan angka kejadian impotensi seksual di Indonesia. Faktor psikologis, yang menyebabkan penderita tidak mencari pengobatan ke rumah sakit diduga merupakan penyebab seolah-olah rendahnya angka kejadian ini. Hal ini dapat mengaburkan besarnya permasalahan yang ada. Lebih jauh lagi, langkanya dokter yang terlatih dan sarana diagnostik yang memadai menyebabkan pelayanan penderita impoten secara ilmiah tidak memuaskan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
D410
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyo Pradipto
"ABSTRAK
Tingkat prevalensi disfungsi ereksi (DE) pada usia 40-70 tahun dilaporkan meningkat. Faktor risiko untuk disfungsi ereksi yaitu diabetes melitus, merokok, pengobatan dan faktor hormonal. Untuk menilai kondisi disfungsi ereksi kita dapat menggunakan IIEF-5. Penelitian ini dilakukan retrospektif dengan metode deskriptif analitik cross-sectional dengan mengisi kuisioner IIEF 5 yang diisi secara mandiri oleh responden yang merupakan perokok aktif di lingkungan RS Sarjito, periode bulan Mei 2011. Selama periode penelitian terdapat 99 koresponden dengan rentang usia 24-60 tahun.
Dari hasil analisis dengan Chi-square untuk jenis rokok yang dikonsumsi diperoleh P=0,262, ini berarti tidak terdapat hubungan antara jenis rokok yang dihisap dengan skor IIEF. Dari hasil analisis dengan Chi-square untuk jumlah rokok yang dihisap diperoleh p=0,227, ini berarti tidak terdapat hubungan antara jumlah rokok yang dihisap dengan skor IIEF. Dari hasil analisis dengan Chi-square untuk usia responden diperoleh p=0,424, ini berarti tidak terdapat hubungan antara usia responden dengan skor IIEF. Disimpulkan bahwa jenis rokok yang dikonsumsi,jumlah rokok yang dihisap dan usia responden secara statistik tidak mempengaruhi skor IIEF

ABSTRACT
The prevalence rate of erectile dysfunction (ED) at the age of 40-70 years reported increases. Risk factors for erectile dysfunction are diabetes mellitus, smoking, medication and hormonal factors. To assess the condition of erectile dysfunction, we can use the IIEF-5. This study conducted a retrospective descriptive analytic cross-sectional study by completing the five IIEF questionnaire filled out independently by respondents who were active smokers at the Sarjito Hospital in May 2011. During the study period there were 99 correspondents with the range of age is 24-60 years.
From the analysis by Chi-square for the type of cigarettes consumed, P = 0.262 were obtained, which means there is no correlation between the type of cigarettes smoked and the IIEF score. From the analysis by Chi-square for the number of cigarettes smoked P = 0.227 were obtained, which means there is no relationship between the number of cigarettes smoked and the IIEF score. From the analysis by Chi-square for the age of the respondents p = 0.424 were obtained, which means there is no relationship between the age of respondents and the IIEF score. It was concluded that the type of cigarettes smoked, number of cigarettes smoked and the age of the respondents does not statistically affect the IIEF score."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Seven
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan klien selama dilakukan tindakan pemasangan infus. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif sederhana, Peneliti hanya mengambil 30 orang yang menjadi responden dengan kriteria sebagai berikut : usia 15 - 45 tahun, latar belakang pendidikan klien SLTA - Sarjana, klien dengan penyakit saluran pencernaan, klien yang mendapat dukungan/support sistem dari keluarga, klien dengan kesadaran penuh dan bersedia menjadi responden. Untuk mengumpulkan data tingkat kecemasan tersebut peneliti menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner dan Iernbar observasi. Setelah data terkumpul, data dianalisa dengan menggunakan statistik sederhana. Hasilnya menunjukkan tingkat kecemasan ringan 17 orang responden (57 %), cemas sedang 9 orang responden (30 %), cemas berat 3 orang (10 %), dan panik 1 orang (3 %). Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa tingkat kecemasan yang paling sering muncul pada klien selama dilakukan tindakan pemasangan infus di ruangan IGD RS Medistra Jakarta adalah tingkat kecemasan ringan sebesar 57 %. Peneliti juga memberikan rekomendasi pada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lagi dengan melihat dari tingkat perekonomian, karena biasanya tingkat perekonomian bawah (rendah) lebih dapat mentoleransi hal-hal yang berhubungan dengan rangsang nyeri seperti pemasangan infus, sehingga dapat diperoleh kebenarannya."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2001
TA4974
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Pramita Nastiti
"Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecemasan pasien di ruang rawat ICU, di antaranya pengalaman dirawat di ICU itu sendiri serta lingkungan ICU yang banyak menimbulkan suara dari mesin dan monitor. Selain itu, pasien tidak mampu berkomunikasi secara lisan karena pemasangan endotracheal tube. Ketidakmampuan berkomunikasi ini membuat pasien merasa tidak berdaya, takut, kesepian, dan cemas. Untuk mengurangi dan mencegah kecemasan ini berkembang lebih lanjut adalah dengan menerapkan komunikasi terapeutik pada pasien. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional yang menggunakan purposive sampling dengan 69 responden. Sumber data merupakan data primer yang dikumpulkan peneliti menggunakan kuesioner. Data menggunakan analisa univariat dan bivariat dengan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukan gambaran komunikasi terapeutik mayoritas baik (60.9%). Gambaran tingkat kecemasan mayoritras ringan (56.5%). Hasil uji statistic Chi Square di peroleh nilai ? 0,000 (<0,05) artinya ada hubungan antara komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pada masa penyepihan ventilator. Komunikasi terapeutik yang diterapkan oleh perawat efektif menurunkan kecemasan pasien dalam masa penyapihan ventilator. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasien selama perawatan di ruang ICU.

Many factors can affect the patient's anxiety level in intensive unit, including the experience of being treated in the ICU itself and the ICU environment which generates a lot of noise from machines and monitors. In addition, the patient was unable to communicate verbally because of the endotracheal tube placement. This inability to communicate makes patients feel helpless, afraid, lonely, and anxious. To reduce and prevent this anxiety from developing further is to apply therapeutic communication to patients. The research to be conducted is a quantitative study with a cross-sectional design using purposive sampling with a total sample of 69 respondents. The data source is primary data collected by researchers using a questionnaire. Data analysis used univariate and bivariate analysis with chi-square. The results showed that the majority of the therapeutic communication images were good (60.9%). The description of the level of anxiety of the majority is mild (56.5%). The results of the Chi Square statistical test obtained ? 0.000 (<0.05) meaning that there is a relationship between therapeutic communication and anxiety levels during ventilator withdrawal. Therapeutic communication implemented by nurses is effective in reducing patient anxiety during ventilator withdrawal. Further research is needed to look at the factors that influence the patient's anxiety level during treatment in the ICU.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dahril
"Objektif : Untuk mengetahui korelasi antara Disfungsi Ereksi dengan berat Chips Prostat, Volume Prostat dan lamanya waktu TURP pada BPH.
Metode : Penelitian ini merupakan prospektif deskriptif. Semua pasien BPH yang menjalani TURP di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung selama Juni 2001 - Desember 2002 dimasukkan kedalam penelitian ini. Pada penelitian ini digunakan kwesioner International Index Erectile Function-5 (IIEF-5) untuk menilai keadaan fungsi ereksi sebelum dan dua bulan setelah operasi TURP. Pasien yang mengalami disfungsi ereksi sebelum operasi diekslusi dari penelitian ini.
Hasil: Didapatkan 15,4 % pasien disfungsi ereksi setelah TURP dengan usia rata rata 60,3 ± 4,2 tahun dan didapatkan korelasi yang signifikan antara disfungsi ereksi dengan beratnya chips prostat ( p =0,02 ). Dari analisis regresi diasumsikan bahwa setiap 1 gram chips prostat yang direseksi akan mengakibatkan kemungkinan disfungsi ereksi 0,4 %.

Objective: To determine the correlation between erectile dysfunction and tissue removed at transurethral resection of prostate, volume of the prostate and duration time of resection in Benign Prostate Hyperplasia.
Method: This was a descriptive prospective study. All BPH patients underwent transurethral resection of the prostate in Hasan Sadikin Hospital Bandung during June 2001 - December 2002 was included in this study. International Index Erectile Function-5 (IIEF-5) questionnaires was used to evaluate these subjects preoperatively and two months after operation. Patients with erectile dysfunction before operation were excluded from this study.
Results: After TURP procedure, 15.4 % patients had erectile dysfunction, with mean age 60.3 ± 4.2 years old. We found significant correlation between prostate chips weight resected during TURP and erectile dysfunction (p = 0.02). By regression analysis, it was assumed that every 1 gram resected prostate chip increased the likelihood of erectile dysfunction 0.4%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuty
"Latar belakang: Antipsikotika dan Antikolinergik merupakan obat yang dapat menvebablan efek samping disfungsi ereksi. Selama ini, keluhan tentang disfungsi ereksi jarang dikeluhkan oleh pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi. Di Amerika Serikat, didapatkan prevalensi 20-30% pada pasien skizofrenia yang diterapi. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek samping disfungsi ereksi pada pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi di RS Dr Cipto Mangunkusumo, RS dr Soeharto Heerdjan, RS dr Marzoeki Mahdi.
Tujuan : Untuk mendapatkan prevalensi disfungsi ereksi pada pasien skizofrenia yang diterapi dengan antipsikotika dan antikolinergik, dan mendapatkan hubungan antara jenis, dosis antipsikotika, dan lamanya terapi dengan timbulnya disfungsi ereksi.
Metodologi : Merupakan studi potong lintang yang melibatkan 48 responden yang menggunakan antipsikotika tipikal, dan 48 responden yang menggunakan antipsikotika atipikal. Instrumen yang digunakan yaitu IIEF-5 (International Index of Erectile Function)-5 untuk mengetahui adanya disfungsi ereksi. Diagnosis skizofrenia berdasarkan pada diagnosis skizofrenia yang ditegakkan psikiater lain di rumah sakit setempat. -
Hasil: Prevalensi disfungsi ereksi pada pasien skizofrenia yang mendapat terapi antipsikotika dan antikolinergik adalah 26%. Variabel yang paling berpengaruh terhadap timbulnya disfungsi ereksi adalah terapi tipikal yaitu sebanyak 3,5 kali lebiih banyak dari terapi atipikal. Dosis, lama terapi, pendidikan, usia, bekerja/tidak bekerja tidak bermakna secara statistik
Simpulan: Didapat kesan bahwa antipsikotika mempunyai efek samping yang sama pada ras yang berbeda Keluhan disfungsi ereksi perlu ditanyakan dahulu oleh psikiater karena pasien jarang mengeluh tentang hat ini karena rasa malu.
Rata kunci: pria penderita skizofrenia, disfungsi ereksi, antipsikotika, antikolinergik.

Back ground : Erectile Dysfunction is a common side effect from antipsychotic and ant cholinergic. However, complain about erectile dysfunction is rare (underreporting) from the schizophrenics on therapy here. The prevalence of erectile dysfunction is about 20%-30% from the schizophrenics on therapy in the United States.4 The aim in doing this research is to know whether the schizophrenics on therapy in Dr Cipto Mangunkusumo Hospital, dr Soeharto Heerdjan Hospital, dr Marzoeki Mahdi Hospital have the adverse effect of erectile dysfunction.
Purpose: To study the prevalence of erectile dysfunction (ED) in Schizophrenics on therapy, and the correlation between type, dose, and length of therapy with erectile dysfunction.
Methodology : A cross sectional study of 48 respondents on typical therapy and 48 respondents on atypical theory , aged above 20 was conducted using the abridged , five item version of the International Index of Erectile Function (IIEF-5). Presence of erectile dysfunction was defined as IIEF-5 score of less than or the same with 21. A Logistic regression model was used to identify significant independent risk factors for ED. The diagnosis of schizophrenia was established based on previous diagnosis from another psychiatrist at the respective hospital.
Results: 26% male schizophrenics on antipsychotic and ant cholinergic therapy in Dr Cipto Mangunkusumo Hospital, dr Soeharto Heerjan Hospital, dr Marzoeki Mahdi Hospital suffered from erectile dysfunction. The only significant variable for erectile dysfunction is type of therapy (first generation antipsychotic). The first generation antipsychotic cause erectile dysfunction 3,5 times more than the second generation antipsychotic. Dose, length of therapy, education level, age, and labour 1 unemployment is not significant statistically.
Conclusion: There is an impression that antipsychotic has the same adverse effect toward different race. Psychiatrists need to be aware of a possible reluctance from the patients to discuss erectile dysfunction because it precipitates feeling of embarrassment and humility. Psychiatrists are encouraged to initiate discussions accordingly.
Keywords: male schizophrenics, erectile dysfunction, antipsychotic, ant cholinergic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurma Mulyasari
"Upaya untuk menentukan pasien menderita keganasan adalah hasil patologi anatomi dari tindakan diagnostic kanker yang menyatakan positif menderita kanker. Tindakan diagnostik kanker menimbulkan kecemasan bagi pasien. Pemberian edukasi diharapkan dapat mengurangi kecemasan. Penelitian mengenai “Pengaruh edukasi terhadap tingkat pengetahuan dengan tingkat kecemasan pasien yang akan dilakukan tindakan diagnostik kanker". Dilaksanakan pada tanggal 5 - 24 Mei 2008 dengan jumlah sampel 40 responden yang dilakukan tindakan diagnostik kanker di Rumah Sakil Kanker "Dharmais" Jakarta.
Penelitian ini mengidentifikasi pengaruh edukasi terhadap pengetahuan dengan kecemasan pasien yang akan dilakukan tindakan diagnostik kanker. Mengidentifikasi pengaruh edukasi terhadap pengetahuan sebelum dan sesudah edukasi dan mengidentifikasi pengaruh edukasi terhadap kecemasan sebelum dan sesudah edukasi. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner, yaitu kecemasan berupa rentang kecemasan dan kuisioner pengetahuan. Disain penelitian ini adalah quasi eksperimen.
Hasil pengolahan data dengan T-Test diperoleh gambaran bahwa ada pengaruh pengetahuan sebelum edukasi dan pengetahuan sesudah edukasi, dan adanya pengaruh kecemasan sebelum edukasi dan setelah edukasi. Keterbatasan penelitian ini adalah hanya melihat pengaruh edukasi terhadap pengetahuan dengan tingkat kecemasan, sedangkan variable Iain tidak diteiti. Untuk peneliti selanjutnya dapat dikembangkan kerangka konsep yang ada serta menambahkan variable-variabel Iain yang mempengaruhi hubungan pengetahuan dengan kecemasan pada pasien yang akan dilakukan tindakan diagnostik kanker."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5677
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>