Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 43737 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Stephanie Amanda Bintoro
"Pemberian Hak Pengelolaan pada hakekatnya memberikan kewenangan kepada pemegang hak nya untuk dapat mengusahakan tanah tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Namun tujuan sebenarnya diberikannya Hak Pengelolaan tersebut sebenarnya merupakan sebuah usaha untuk menyediakan tanah-tanah tersebut untuk pihak-pihak yang membutuhkan. Oleh karena itu diatas tanah Hak Pengelolaan dapat diterbitkan hak-hak atas tanah yang lain yang sesuai dengan yang diatur oleh peraturan perundang undangan. Hak pengelolaan merupakan gempilan dari Hak Menguasai Negara yang termasuk ke dalam bidang hukum publik, namun pada prakteknya sifat dan hakekat dari Hak Pengelolaan mulai mengalami pergeseran dan masuk ke area hukum privat. Dalam kasus perpanjangan HGB No.26/Gelora dan HGB No.27/Gelora sebagaimana diputus dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 276 PK/Pdt/2011, muncul Hak Pengelolaan diatas tanah yang telah dihaki oleh HGB tersebut terlebih dahulu yang menimbulkan permasalahan ketika HGB tersebut akan diperpanjang dan tidak diletakkan diatas HPL No.1/Gelora tersebut. Munculnya HPL bersyarat tidak pernah diatur dalam peraturan perundang undangan dan menimbulkan permasalahan hukum yaitu tidak adanya kepastian dan perlindungan hukum atas pemegang Hak Atas Tanah lainnya. Melalui penulisan hukum ini, Penulis berharap dapat memberikan sumbangsih dan solusi mengenai Hak Pengelolaan yang dalam praktek masih sering menimbulkan permasalahan yang tidak jarang berujung pada pengadilan.

Granting Rights Management is essentially gave his authority to the holder of the right to cultivate the land in accordance with their needs . But the real goal is actually rendered Rights Management is an attempt to provide the land for those who need . Therefore, the above ground can be issued for the Management of the rights of other land in accordance with the laws and regulations governed by . Rights management is a part of State Mastering of Rights which belong to the field of public law , but in practice the nature and essence of the Management started to experience a shift and get into the area of private law . In case of extension of the Building Right No.26/Gelora and No.27/Gelora as can be seen in the Judicial Review Decision No. 276 PK/Pdt/2011, appeared on the Management of land that has been occupied by Building Right advance that cause problems when these rights will extended and not placed on the HPL No.1/Gelora. The emergence of HPL conditional is never set in the laws and regulations and cause problems is the lack of legal certainty and legal protection of shareholders other Land Rights . Through this thesis, the author hopes to contribute and give some solutions regarding to the Rights Management which in practice still often creates problems and frequently lead to court cases."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T38924
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulisye Indriati
"Ada berbagai macam alas hak atas tanah. Dalam karya tulis ini penulis hanya akan membahas kasus yang terkait dengan alas hak yang berlaku di kalangan masyarakat di Bali yaitu Pipil. Pipil adalah Surat Tanda Pembayaran Pajak sebelum Tahun 1960 yang oleh masyarakat di Bali di kenal sebagai alat bukti kepemilikan hak atas tanah. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 700 PK/PDT/2011 adalah mengenai salah satu sengketa pertanahan di provinsi Bali, dimana terdapat lebih dari satu pipil pada objek tanah yang sama, dan masing masing pihak pemegang pipil mengklaim bahwa tanah adalah milik pemegang pipil tersebut.
Selain itu kantor Wilayah pertanahan Provinsi Bali pada tahun 1991 telah mengeluarkan Surat Keputusan dengan nomor SK.87/HP/BPN/1/Pd/1991 yang isinya menunjuk kantor Wilayah pertanahan Provinsi Bali sendiri sebagai pemegang hak pakai pada tanah sengketa. Adapun pokok permasalahan pada karya tulis ini adalah Bagaimanakah kekuatan pipil sebagai alas kepemilikan hak atas tanah hak milik adat di Bali dan Apakah Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 700 PK/Pdt/2011 Tahun 2011 penyelesaian hukumnya telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan problem solution atas pokok permasalahan.
Pendekatan yuridis normatif digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari studi dokumen di perpustakaan yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, alas hak atas tanah hak milik adat yang termasuk adalah pipil, dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertipikat atas tanah dan memiliki kekuatan pembuktian sepanjang data yang diterangkan di dalamnya mengandung kebenaran. Sehingga alas hak atas tanah merupakan salah satu dasar bagi seseorang untuk dapat memiliki hak atas tanah. Terhadap pokok permasalahan kedua, penulis berpendapat bahwa Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 700 PK/Pdt/2011 Tahun 2011 penyelesaian hukumnya telah sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga memberikan kepastian serta perlindungan hukum kepada Penggugat atas kepemilikan hak atas tanah hak milik.

There are different kind of Indigeneous Land Rights. The author in this study focuses on issues partaining to Indigeneous Land Rights that is common in Baliand called Pipil. Pipil is a form of Farm Produce Tax Receipt (Surat Pajak Hasil Bumi)or commonly known as "petuk pajak", prior to the year of 1960. and has been widely recognized and accepted by people in Balias proof of land ownership. Judicial review of the Supreme Court decision No. 700 PK/PDT/2011 is about one land disputes in the province of Bali, where there is more than one object pipil on the same ground, and each party pipil holders claim that the land is owned by the pipil holder.
Besides Bali provincial office of the land area in 1991 had issued a decree in which it pointed SK.87/HP/BPN/1/Pd/1991 number office land area of ​​Bali itself as the holder of the right to use the disputed land. The principal issue in this paper is How the power pipil as the base land rights of indigenous property rights in Bali and Is judicial review the Supreme Court verdict No.. 700 PK/Pdt/2011 Year 2011 legal settlement in accordance with the applicable regulations.
The approach in this study by using a normative approach, the solution to the problem at issue. Normative approach is used with the intent to hold the approach to the problem by looking at the terms of the legislation in force. Type of data used is secondary data obtained from the study of the documents in the library in the form of primary legal materials and secondary legal materials.
Based on Government Regulation No. 24 Year 1997 on Land Registration, pedestal land rights, including customary property rights is pipil, can be used as the basis for the issuance of certificates of land and has a strength of evidence throughout the data described in it contains the truth. So the title to land is one of the bases for a person to be able to have rights to the land. Subject to the second permasalaha, enulis found Reconsideration Decision Supreme Court. 700 PK/Pdt/2011 In 2011 legal settlement in accordance with applicable regulations, so as to provide certainty and legal protection to the Plaintiff on the ownership rights of land ownership.Based on Government Regulation No. 24 Year 1997 on Land Registration, Indigeneous Land Rights(Alas Hak Atas Tanah) supported by true and well founded data, could become the basis for the issuance of Land Certificate and considered strong evidence of land ownership in court.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T34814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanessa Maurizkha
"Bank selaku kreditur seringkali mengalihkan piutang melalui cessie terhadap kredit. Persoalan yang timbul setelah piutang dialihkan identik dengan keterkaitan keabsahan cessie terhadap peralihan jaminan hak tanggungan yang diikatkan pada perjanjian pokok. Timbul perbedaan implementasi hukum pada tiap-tiap perbedaan kondisi. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu mekanisme pengalihan piutang melalui cessie pada bank konvensional menurut hukum Indonesia, perkembangan pengaturan pendaftaran peralihan hak tanggungan karena cessie, dan akibat hukum pengalihan piutang (cessie) terhadap objek jaminan hak tanggungan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 79/Pdt.G/2019/PN Tab dan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 754 PK/Pdt/2011. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang menitikberatkan pada penggunaan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, penelurusan penelusuran literatur, serta wawancara narasumber dari pihak Bank Konvensional dan Badan Pertanahan Nasional dengan pendekatan kualitatif, dan tipologi penelitian deskriptif. Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa Mekanisme pengalihan piutang melalui cessie pada Bank Tabungan Negara (BTN) menurut Pasal 613 KUHPerdata dan Perjanjian Kredit antara BTN dengan debitur dilakukan dilakukan sebagai salah satu cara penyelamatan kredit macet. Cessie telah mengalami perubahan metode dari yang sebelumnya dilakukan secara konvensional dengan beban tanggung jawab pengecekan berkas berada di Kantor Pertanahan saja menjadi secara elektronik yang telah membagi tanggung jawab pengecekan berkas kepada Kantor Pertanahan, Kreditur, dan PPAT. Walaupun hak tanggungan yang terikat pada perjanjian pokok ikut beralih ke kreditur baru secara hukum, tetapi tetap perlu dilakukan serangkaian prosedur administrasi dengan mendaftarkan peralihan hak tanggungan dalam rangka memenuhi syarat publisitas di Kantor Pertanahan tempat jaminan berada.

Banks act as creditors for selling receivables through a cessie to credit. Problems that arise after the transfer of receivables are identical to the relevance of the validity of the cessie to the mortgage guarantee transfer stipulated in the main agreement. There are differences in the legal conscequences in each conditions. The problems discussed in this research are the mechanism through a cessie in conventional banks according to Indonesian law, the development of the regulation on registration of transfer of mortgage, and the legal consequences of the act (cessie) on objects of mortgage guarantee based on the District Court Decision Number 79/Pdt. G/2019/PN Tab and Judicial Review Decision Number 754 PK/Pdt/2011. This research used normative juridical research method which focuses on the use of secondary data in the form of legislation, literatures, as well as interviewing sources from the Conventional Bank and Badan Pertanahan Nasional with a qualitative approach, and descriptive research typology. Based on the analysis, it can be concluded that the mechanism through the cessie at the Bank Tabungan Negara (BTN) according to Article 613 of the Civil Code and the Credit Agreement between BTN and the debtor is carried out as one way of non-performing loan. Cessie has experienced a change from what was previously done conventionally with the responsibility of checking files being handled by the Land Office transformed into using electronic method that divides the responsibility of checking files to the Land Office, Creditors, and PPAT. Even though the mortgage applicable in the main agreement is legally transferred to the new creditor, it still needs to be carried out through registration of transfer of mortgage in order to fulfill the publicity requirements at Badan Pertanahan Nasional where the collateral land is located."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Iksan
"Ditetapkannya Undang-Undang Pokok Agraria pada tahun 1960 merupakan landasan bagi Pemerintah dalam memberikan kepastian hukum mengenai suatu bidang tanah, hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 19 menjelaskan bahwa untuk menciptakan kepastian hukum pertanahan, maka Pemerintah menyelenggarakan kegiatan pendaftaran tanah, dan atas tanah yang telah didaftarkan selanjutnya diberikan tanda bukti kepemilikan tanah yang berguna sebagai alat bukti yang kuat mengenai hak atas tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah merupakan dasar hukum yang menjadi pendukung atas berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, terutama Pasal 32 mengenai kepastian dan perlindungan hukum sertipikat tanah. Dari penerapan kedua peraturan ini diharapkan dapat memberikan ketenangan bagi seseorang yang memiliki sertipikat tanah. Namun, dalam kenyataannya perolehan tanah yang telah dilakukan sesuai dengan prosedur hukum tetap dapat digugat oleh pihak lain, seperti kasus sengketa tanah antara Subadi Sastro Sudjono sebagai pemilik sertipikat hak milik dengan Suito Wijaya sebagai pemilik girik atas bidang tanah di wilayah Tangerang.
Girik bukan merupakan tanda bukti hak atas tanah, tetapi girik hanya digunakan sebagai bukti pembayaran pajak-pajak atas tanah. Walaupun demikian, Petuk Pajak Bumi/Landrente, Girik, Pipil, Kekitir dan Verponding Indonesia adalah salah satu alat bukti tertulis yang dapat didaftarkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Jika selalu ada permasalahan antara sertipikat dengan girik, maka kekuatan pembuktian dari sertipikat tentu lebih kuat dibandingkan dengan girik, karena pembuktian dengan bukti girik tanpa didukung data yuridis dan data fisik dan/atau penguasaan tanah terus menerus selama 20 (dua puluh) tahun akan sangat lemah. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan cara mengkaji suatu kasus dalam suatu putusan, kemudian diterapkan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku serta dituangkan dalam bentuk tulisan deskriptif analitis mengenai pembahasan dari suatu permasalahan yang terjadi.

The enactment of The Principal Agrarian Laws in 1960 was the foundation for the government in giving a legal certainty on a land, we can review this on article 19, its explained that to create a lands legal certainty, the government will accomodate a registrations land for the registered one. Then it will be given a proof ownership of the land, which can be use as a powerful proof of the right to the land itself. The government regulation no 24 in 1977, about A land's registration can be use as the basic law, which became the support factor of The Principal Agrarian Laws, especially on article 32, review the certainty and legal protection of a land certificate. From the implementation of both regulation, hopefully could give more security for anyone who already have their land's certificate. But in fact, ownership of a land, which claimed as the law procedure, still can be issued by other parties, such as land disputes between Mr. Subadi Sastro Sudjono, as the owner of the land certificate, against Mr. Suito Wijaya, as the owner of the girik of a land in the area of Tangerang.
Girik is not a proof that someone own the land, but girik is only use as proof that someone has doing the payment for the land taxes. Nevertheless, there are other land certificate of Petuk Pajak Bumi/Landrente, Girik, Pipil, Kekitir and Verponding Indonesia that can serve as written evidence for land registration as provided for in Government Regulation Number 24 of 1997. If there's always problems between the certificate and girik, then the proving strength of a certificate, is absolutely more powerful than girik, because the proving with girik without supported by Judicial data and physical data and/or continually Land tenure for 20 (twenty) years or more, will be very infirm. This research was using the Normative Juridical approach method, which examine a case on one decision, then implemented it with the regulation applied, then laid out in the form of a descriptive analytical writing, of a discussion on which the problems happen.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Sovia Febrina Tamaulina
"Tesis ini membahas tentang Surat Keterangan Hak Waris, baik yang dibuat oleh Notaris, maupun pejabat yang berwenang lainnya.Mengenai bentuk Keterangan Waris tidak diatur dalam Undang-undang, sehingga Keterangan Waris termasuk akta di bawah tangan. Pengaturan tentang Keterangan Waris hanya ada di Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ( PMNA 03/ 1997), yakni tentang pejabat-pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan Keterangan Waris berdasarkan golongan penduduk. Terdapat satu kasus yang bertentangan dengan kewenangan ini yakni, Balai Harta Peninggalan mengeluarkan Keterangan Waris bagi golongan Tionghoa, yang seharusnya adalah kewenangan Notaris, adapun Keterangan waris yang dikeluarkan oleh balai Harta Peninggalan tersebut, dinyatakan berkekuatan hukum tetap, dan berdasarkannya telah dikeluarkan Sertifikat Tanah Hak Milik.
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif yang merupakan penelitian kepustakaan terhadap data sekunder di bidang hukum, didasari atas sistematika peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam pengolahan, analisa, dan konstruksi datanya dilakukan secara kualitatif, yang bersifat mono disipliner, tipologi penelitiannya problem identification dan problem solution ditelusuri dengan jalan preskriptif - eksplanatoris untuk mencapai solusi permasalahan tetntang Keterangan waris yang dikeluarkan pejabat yang tidak berwenang untuk itu, dan yang mengeluarkannya adalah Pejabat tata Usaha Negara. juga dari sudut penerapannya berupa problem focused research untuk memberikan kepastian hukum, mengenai surat Keterangan waris yang dibuat oleh masing-masing pejabat.
Dari hasil penelitian penulis, disimpulkan bahwa ada ketidaksesuaian antara regulasi dan implementasi dalam Surat Keterangan Hak Waris Nomor . W9. Ca.HT. 05.14_679/III tanggal 17 September 2003 jo Surat keterangan No. W9.Ca.HT. 05.14-1602/III tanggal 9 Mei 2006 yang dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan HAM cq. Balai Harta Peninggalan Semarang dalam Putusan Nomor. 98 PK/Pdt/2011. Dan upaya yang dapat dilakukan untuk meniadakan kesalahan seperti ini adalah dengan menjalankan prinsip kehati-hatian, serta mengemban kewenangannya sebagai tanggung jawab moral ibunya.

This thesis was discussing specification of Inheritance Rights certificate, whether made by Notary, as well as authorize by the other public officials. About Inheritance Specification form are not made out in the legal form, so the certificate of inheritance right including by the privat document (subscribed deeds). The Legal form about Inheritance Right certificate just regulated in article 111 (1) c he Regulated by minister of Agrarian number 3/1997 about implementation of the provisions of government number 24/1997 on land Registration (PMNA 03/1997), which is about the officials authorized to issue Descrcription Inheritance Right certificate based on group population. There is one case that is contrary to this authority, Heritage hall issued specification inheritance for the Chinese group, which is supposed to Notary authority, while the Inheritance rights certificate issued by Heritage hall, declared force the law, and on that basis have been issued Certificate of Land.
The research was conducted using the normative research is library research on secondary data in the fields of law, based on the systematic regulations in Indonesia. In the processing, analysis and conctructionof qualitative data, which are monodisciplianary, research typologies problem identification and problem solution by prescriptive-explanatory achieve solution to solve problems concerning inheritance issued the official was not authorized to and issuing administrative officials, also from the point of application to a problem focused, also from the point of application to a problem focused research to provide legal certainty, the inheritance right certificate made by each other.
From the results of the study author, concluded that there is a discrepancy between the regulation and mplementation of the inheritance right certificate number W9. Ca.HT.05.14- 679/III on September 17, 2003 juncto Number W9.Ca.HT.05.14-1602/III on May 9, 2006 issued by The Heritage Hall Semarang in decision number 98PK/Pdt/2011, and the efforts should be made to exclude such errors are by running precautionary principle and carry out it’s authority as a moral responsibility.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38988
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pakerti Wicaksono Sungkono
"Perkembangan industri pariwisata Indonesia menarik minat warga negara asing untuk memiliki properti di Indonesia. Minat ini dibatasi oleh larangan bagi warga negara asing untuk memiliki tanah di Indonesia dengan sertipikat hak milik sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Untuk mengatasi hal ini, kebanyakan dari warga negara asing mengadakan nominee agreement dengan warga negara Indonesia untuk menghindari keberlakuan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria tersebut. Penggunaan nominee agreement untuk memiliki tanah dengan sertipikat hak milik ini merupakan bentuk penyelundupan hukum. Berdasarkan 2 kasus yang telah dianalisis, diperoleh kesimpulan bahwa belum ada konsistensi pandangan dan pemahaman hakim terhadap nominee agreement sebagai sarana untuk menyelundupkan hukum.

The growth of Indonesia Tourism Industry attracts foreigners to have land in Indonesia. In addition, according to Law Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Law, the right to own a land in Indonesia is an exclusive right for Indonesian. On the contrary, most of the foreigners disobey this law by conducting nominee agreement with Indonesian to avoid this Law. The use of nominee agreement to acquire property under right to own is considered as fraudulent creation of point of contacts under Private International Law. This research’s result is that there is no such consistency on the judges’ understanding concerning nominee agreement as a tool to evade the agrarian law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47336
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inka Kirana
"Sertipikat merupakan alat bukti kepemilikan hak atas tanah yang kuat bagi pemegang haknya.Sertipikat ganda adalah satu bidang tanah diuraikan dalam dua sertipikatatau lebih yang berlainan datanya.Sertipikat ganda membawa dampakketidakpastian hukum, sehingga tidak jarang terjadi sengketa diantara para pihakbahkan sampai ke Pengadilan. Salah satu contoh yaitu kasus tumpang tindih atas kepemilikan suatu bidang tanah yangdiselesaikan melalui Pengadilan adalah sebagaimana terdapat Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI No. 96 PK/TUN/2007yang terjadi di Desa Citeureup, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, dimana pada bidang-bidang tanah yang sama,dan sebelumnya telah diterbitkan Sertipikat Hak Milik, diterbitkan Sertipikat Hak Milik yang baru.
Dari hasil analisis terhadap Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI No. 96 PK/TUN/2007,dapat diketahui bahwa terjadinya kasus tumpang tindihantara Hak Milik No. 526/Desa Citeureup dan Hak Milik No. 20/Desa Citeureupdengan Hak Milik No. 00825/Desa Citeureup dan Hak Milik No. 00826/Desa Citeureup, disebabkan tidak dilaksanakannya pendaftaran tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung sesuai dengan tata cara dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Penyelesaiansengketa dalam kasus ini dilakukan melalui jalur Peradilan (litigasi).

Certificate serves as a strong evidence for ownership of land by its owner. Double certificate is a plot of land described in two or more certificates which have different data. Double certificate might cause legal uncertainty, thus many disputes occur between the parties on this issue which even have to be settled in the Court. One of the sample of case on overlapping of ownership of a plot of land settled through the Court is as stipulated in Supreme Court Judicial Review Decision No. 96 PK/TUN/2007happened in DesaCiteureup, Regency of Bandung, West Java Province, whereby Certificates of Ownership have been previously issued for the same plots of land, and then new Certificates of Ownership were issued.
Based on the result of the analysis on the Supreme Court Judicial Review Decision No. 96 PK/TUN/2007, the overlapping between Ownership of Right No. 526/DesaCiteureupand Ownership of Right No. 20/DesaCiteureupwithOwnership of Right No. 00825/DesaCiteureupand Ownership of Right No. 00826/DesaCiteureup, is due to the fact that land registration process was not properly implemented in accordance with the procedure stipulated in Government Regulation No. 24 of 1997 regarding Land registration and Agrarian Minister/Head of National Land Agency Regulation No. 3 of 1997 regarding Implementation Regulation of Government Regulation No. 24 of 1997 by the Head of Land Office of Bandung Regency. The dispute in this case was settledthrough court (litigation)."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T32627
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahrul Fauzi
"Para pemegang sertipikat hak guna bangunan atas hak pengelolaan milik PT. KBN (Persero) mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Objek sengketa berupa surat keputusan direksi tentang tarif perpanjangan hak dan sikap diam terhadap permohonan rekomendasi perpanjangan hak yang telah diajukan. Putusan No. 171 PK/TUN/2016 yang berkekuatan hukum tetap memenangkan pihak KBN tetapi perlindungan hukum tetap harus diberikan para pemegang hak guna bangunan atas hak pengelolaan. Pokok permasalahan yang dibahas adalah mengenai implementasi pemberian dan perpanjangan hak guna bangunan serta perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat hak guna bangunan dalam Putusan No. 171 PK/TUN/2016. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan memanfaatkan data sekunder untuk membahas pokok permasalahan dari sudut pandang hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi pemberian hak guna bangunan yang dilakukan KBN pada tahun 1988 hingga 1990 telah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977. Sedangkan, implementasi perpanjangan hak guna bangunan yang sebagian besar berakhir pada 2013 hingga 2014 menghadapi problematika yang berujung penyelesaian di pengadilan. Pengenaan tarif pemanfaatan tanah oleh KBN merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh pemegang hak pengelolaan. Oleh karena itu, pemegang sertipikat hak guna bangunan tetap harus membayar tarif yang disyaratkan untuk dapat memperpanjang haknya. Namun perlindungan hukum terhadap pemegang hak guna bangunan tetap harus diberikan berupa perlindungan terhadap hak prioritas perpanjangan hak dan perlindungan hukum terhadap operasional bisnis, bangunan, serta benda milik pemegang hak guna bangunan. Beberapa perjanjian penggunaan tanah industri terdahulu telah menjanjikan hak prioritas perpanjangan hak guna bangunan sehingga KBN terikat untuk memenuhi hak itu apabila pemegang hak guna bangunan yang telah memenuhi persyaratan. Tidak diperpanjangnya hak guna bangunan juga dapat berimbas pada terhambatnya operasional bisnis, resiko kehilangan bangunan, dan bertambahnya pengeluaran bagi pemegang hak guna bangunan. Sehingga diperlukan perlindungan hukum dan mekanisme penyelesaian yang dapat meringankan beban kerugian pemegang hak guna bangunan. Selain itu, kekosongan hukum yang terjadi pasca dicabutnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 juga kurang memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak guna bangunan di atas tanah hak pengelolaan.

The holders of the certificate of right to build on the right of management belonging to PT KBN (Persero) filed a lawsuit to the state administrative court. There are two objects of dispute, namely director letters concerning the cost of extending the right and silence/rejection on the application for a recommendation for the extension of the right that has been submitted. Supreme Court Decision No. 171 PK/TUN/2016, which has been inkracht won KBN, must still give legal protection to the holders of the right to build on the right of management. The main issues discussed are the implementation of the granting and extension of the right to build and the legal protection for the holders of the certificate of the right to build in the Supreme Court Decision No. 171 PK/TUN/2016. The research method used is normative legal research by utilizing secondary data to discuss the subject matter from the applicable laws and regulations. This study indicates that the implementation of the granting of the right to build carried out by KBN from 1988 to 1990 was following the applicable legislation, namely the Minister of Home Affairs Regulation No. 1 of 1977. Meanwhile, the implementation of the extension of right to build, which mostly ended in 2013 to 2014, faced problems that led to a settlement in court. The imposition of fees for land use by KBN is one of the powers possessed by the holder of the right of management. Therefore, the holders of the certificate of right to build still has to pay the required fee to extend their right. However, it must still give legal protection for the holders of the right to build in the form of protection of the priority right of the extension of the right and legal protection of business operations, buildings, and objects belonging to the holders of the right to build. Several previous industrial land use agreements have promised priority rights to extend the right to build so that KBN is bound to fulfill these rights if the holders of the right to build have fulfilled the requirements. The non-extension of the right to build can also impact the delay of business operations, the risk of losing the building, and increasing expenses for the holders of the right to build. So that legal protection and settlement mechanisms are needed can ease the burden of losses for the holders of the right to build. In addition, the legal vacuum that occurred after the revocation of the Minister of Home Affairs Regulation Number 1 of 1977 also did not guarantee legal certainty for holders of the right to build on the right of management."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Khusuma Putra
"Undang-Undang Pokok Agraria pada tahun 1960 merupakan suatu tonggak sejarah dalam Hukum Pertanahan Nasional. Dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria menjelaskan bahwa untuk menciptakan kepastian hukum pertanahan, maka Pemerintah menyelenggarakan kegiatan pendaftaran tanah, dan atas tanah yang telah didaftarkan tersebut selanjutnya diterbitkan tanda bukti kepemilikan atas tanah yang berguna sebagai alat bukti yang kuat. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah merupakan awal dasar hukum yang menjadi pendukung atas berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, yang kemudian digantikan oleh PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur mengenai kepastian dan perlindungan hukum dari sertipikat tanah. Dengan adanya kedua peraturan yang memberikan perlindungan serta kepastian hukum bagi Warga Negara Indonesia ditandai dengan terbitnya sertipikat. Tetapi di dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menilai bahwa begitu banyak kesalahan serta kecurangan yang terjadi dalam mencapai perlindungan serta kepastian hukum tersebut. Kita dapat melihat dalam hal terbitnya Sertipikat Hak Milik ganda atas sebidang tanah yang sama yang dimiliki oleh Tuan OR. Penerbitan Sertipikat Hak Milik yang kedua dilakukan oleh Nyonya RMH yang berkedudukan sebagai saudara ipar dari Tuan PM. Sertipikat merupakan salah satu alat bukti yang kuat, tetapi harus diingat bahwa sertipikat bukan merupakan alat bukti yang mutlak, selama dapat dibuktikan sebaliknya didalam persidangan, maka perlindungan serta kekuatan hukumnya akan hilang. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan cara mengkaji suatu kasus dalam suatu putusan, kemudian diterapkan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku serta dituangkan dalam bentuk tulisan deskriptif analitis mengenai pembahasan dari suatu permasalahan yang terjadi.

In 1960, Agrarian Law Number 5 Year 1960 was a pioneer and a foundation of our National Land Law. In article 19th explained that to create the certainty of land law, the Government hold the land registration system, so that for which land that was already registered, must have published with a certificate as a solid or strong evidence. Government Regulation number 10 Year 1961 about Land Registration was a beginning of the basic of law which have been supporting the operation of the Agrarian Law. This regulation was then replaced with Government Regulation Number 24 Year 1997. In article 32th of that new government regulation sets about the legal certainty and the legal protection on a land certificate. But nowadays, we could evaluate that there’re so many mistakes and fraudulence happening in reaching the legal certainty and legal protection. Let us see in writer’s case that there are double certificate published on a land owned by Mr. OR. The second certificate publishing was done by Mrs. RMH whom was Mr. OR’s sister in law. Certificate is a solid or strong evidence, but we should remind that it isn’t an absolute evidence as long as it can be proved in reverse when in trial, so that the legal protection and the legal power vanished. This research was using juridical normative method by researching a case of a court decision, and then arranged with the positive regulation and manifested it in analytical - descriptive written form about researching the problem which occurred.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38885
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Makagiansar, Gerry
"Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia sejak manusia tersebut lahir sampai dengan meninggal dunia, manusia senantiasa membutuhkan tanah sebagai tempat tinggal hidupnya, oleh karena itu dapat disimpulkan, tanah adalah tempat manusia tinggal, tempat darimana manusia berasal, dan juga tempat kemana mereka akan pergi. Studi kasus yang akan dibahas dalam tesis ini memaparkan tentang apa yang terdapat dalam teori belum tentu sepenuhnya benar, karena dalam Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 582 PK/Pdt/2011 antara Perkumpulan Kelompok Tani Pemberdayaan Masyarakat Tani dan Nelayan Pesisir Pantai Kabupaten Mamuju Utara melawan PT. Unggul Widya Teknologi Lestari berakhir dengan kemenangan Pihak Kelompok Tani. Kelompok Tani ini memiliki tanah tersebut atas dasar lokasi dibuka sendiri maupun secara berkelompok yang berasal dari Tanah Negara seluas kurang lebih 2722 Ha (dua ribu tujuh ratus dua puluh dua hektar) sejak Tahun 1982 (seribu Sembilan ratus delapan puluh dua) yang terletak di Kabupaten Mamuju Utara, Propinsi Sulawesi Barat yang akhirnya dikukuhkan oleh Pemerintah Desa dan Kabupaten Mamuju pada Tahun 1994 yaitu dikeluarkannya SKP (Surat Keterangan Pemilikan Tanah), SKT (Surat Keterangan Tanah) dan Sporadik tentang Pemberian Hak Kepemilikan atas Tanah Negara, sedangkan PT. Unggul Widya Teknologi Lestari memiliki tanah tersebut berdasarkan Sertipikat HGU (Hak Guna Usaha) yang mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Negara Republik Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Republik Indonesia Kabupaten Mamuju Utara. Seperti apakah kekuatan dan kepastian hukum yang diberikan oleh Hukum Negara Indonesia terhadap hak prioritas atas tanah bagi masyarakat adat setempat, khususnya dalam Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 582 PK/Pdt/2011 dan apakah putusan Majelis Peninjauan Kembali sudah sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.

The soil is basic human needs since human beings are born to die, humans always need land as a place to live his life, therefore it can be inferred, the land is where humans live, a place where humans came from, and also the place where they will go. Case studies will be discussed in this thesis lays out about what there is in theory not necessarily entirely correct, because in the Interim Review of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 582 PK/Pdt/2011 between farmer groups Gathering community empowerment of farmers and fishermen Coastal North Mamuju Regency against PT. Superior Sustainable Technology Widya ended with the victory of The farmers group. This group of farmers have land on the basis of such a location was opened and in groups originating from the State land covering an area of approximately 2263 Ha (two thousand seven hundred twenty-two acres) since 1982 (one thousand nine hundred eighty-two) located in North Mamuju Regency of West Sulawesi Province, which was eventually confirmed by the Government of the village and Mamuju Regency in 1994, namely the promulgation of the SKP (Affidavits Landholdings), SKT (Ground Clearance) and Sporadic on Granting ownership of State land, while PT Widya Superior Sustainable Technologies have the land based on the certificate HGU (Business use rights) are getting recognition from the Government of the Republic of Indonesia issued by the Agency of the Republic of Indonesia Land North Mamuju Regency. Such is the power and legal certainty afforded by State law rights against Indonesia's top priority lands for indigenous peoples, especially in the Review Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 582 PK/Pdt/2011 and whether the verdict of the judicial review is in accordance with the rules applicable law."
Salemba: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>