Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174075 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ashadi Budi
"ABSTRAK
Latar belakang: Penilaian pre-operatif penting dilakukan sebelum reseksi papiloma inverted untuk menjamin reseksi tumor yang bersih dan mencegah kekambuhan, namun belum ada tata cara penilaian pre-operatif papiloma inverted di Indonesia.
Tujuan: Penelitian ini membandingkan penilaian pre-operatif CTscan dan MRI dengan penemuan saat operasi sehingga diketahui modalitas terbaik yang dapat menjadi dasar dalam penatalaksanaan papiloma inverted.
Metode: Dilakukan prediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal dan penentuan stadium tumor pada 10 pasien papiloma inverted dengan CT-scan dan MRI kemudian dibandingkan dengan penemuan saat operasi dengan panduan sistem navigasi pencitraan. Navigation panel unit menjadi alat yang penting dalam memandu operasi dan memastikan kesesuaian pencitraan dengan penemuan saat operasi.
Hasil: Prediksi lokasi asal tumor dengan CT-scan dilakukan dengan menilai hiperostosis (9/10 subjek), sedangkan pada MRI dicari gambaran serpentine cerebriform filamentous structure (5/10 subjek). CT-scan lebih baik dalam prediksi lokasi asal tumor dibandingkan MRI (p=0,046). Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dalam prediksi keterlibatan sinus paranasal (p=0,083) dan stadium tumor (p=0,317) dengan menggunakan kedua modalitas tersebut.
Kesimpulan: CT-scan merupakan pemeriksaan pencitraan yang paling baik dalam penilaian pre-operatif pada papiloma inverted sinonasal.

ABSTRACT
Background: Preoperative assessment is essential before inverted papilloma surgery to ensure complete resection and prevent recurrence. There are no standard preoperative assessment for inverted papilloma in Indonesia.
Purpose: This study was aim to compare CT-scan and MRI in preoperative assessment with the intra operative findings to determine which is the best preoperative imaging for inverted papilloma.
Methods: Preoperative assessment predicted the site of origin, involvement of the paranasal sinus and tumor staging of inverted papilloma in 10 patients with CT-scan and MRI, then subsequently compared with the operation findings by surgical navigation imaging guidance. Navigation panel units was an important tool in guiding operations and ensure the intraoperative findings
consistent with the imaging.
Result: Site of origin was predicted by finding focal hyperostosis on CT-scan (9/10 subjects), whereas the serpentine cerebriform filamentous structure evaluated on MRI (5/10 subjects). The results of this study showed that CT-scan predicted site of origin better than MRI (p=0.046). There were no significant differences in prediction of paranasal sinus involvement (p = 0.083) and tumor staging (p = 0.317) using both modalities.
Conclusion: Therefore, concluded that CT-scan is the best imaging preoperative assessment for sinonasal inverted papilloma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nane Siti Nurhasanah
"ABSTRAK
Latar Belakang dan tujuan: Karsinoma pankreas merupakan keganasan gastrointestinal kedua terbanyak dan merupakan salah satu tumor dengan angka kematian tinggi. Operasi reseksi merupakan satu-satunya terapi kuratif. Kegagalan dalam evaluasi preoperatif dari menyebabkan resiko operasi, terlambatnya pasien mendapat terapi paliatif serta meningkatkan biaya pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penilaian resektabilitas karsinoma pankreas pada CT-scan abdomen dibandingkan penemuan operasi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode: Dilakukan pembacaan ulang CT scan pasien karsinoma pankreas pada sistem PACS Departemen Radiologi RSCM dan dibandingkan dengan laporan operasi pada rekam medis. Hasil: Uji statistik McNemar dari hubungan CT-scan dan operasi n=21 menunjukan p > 0,99, dengan nilai R = 0,52 p = 0,017 . Uji McNemar dari hubungan kesesuaian gambaran CT-scan abdomen dan penemuan operasi dengan teknik pemeriksaan CT-scan p > 0,05.Uji McNemar hubungan kesesuaian gambaran CT-scan abdomen dan penemuan operasi dengan interval CT-scan dan operasi p > 0,99. Uji McNemar hubungan kesesuaian gambaran CT-scan abdomen dan penemuan operasi dengan lama sakit p > 0,05. Kesimpulan: Terdapat kesesuaian antara gambaran CT-scan abdomen dengan penemuan saat operasi terhadap keterlibatan vaskuler pada karsinoma pankreas. Lama sakit, interval CT-scan dan operasi serta teknik pemeriksaan CT-scan memperlihatkan kecenderungan tidak berhubungan.Kata Kunci: CT-scan abdomen; karsinoma pankreas; laparatomi; resektabilitas ABSTRACT
Background and Objective : Pancreatic carcinoma is malignancy in gastrointestinal with high mortality. Surgery is the only curative therapy. Failure evaluation prior to surgery leads to the risk of non-curative surgery, delayed palliative and increased treatment costs. This study aims to evaluate the resectability assessment of pancreatic carcinoma in preoperatif CT-scan compared to surgical findings and the factors that influence it. Methods : Patients with pancreatic carcinoma whose CT scans were in the PACS system of the Radiology Department RSCM reevaluated and compared with surgical reports. Results : McNemar 39;s analysis of the preoperative CT-scan and surgical findings n=21 p>0.99, with R=0.52 p=0.017 . The McNemar analysis conformity relationship between preoperative abdominal CT scan and surgical findings with CT-scan technique p>0.05. McNemar analysis conformity relationship between preoperative abdominal CT-scan and surgical findings with CT-scan interval and surgery p> ?? ??0.99. McNemar analysis conformity relationship between preoperative abdominal CT-scan and surgical findings with prolonged illness p> ?? ??0.05. Conclusion : There is a suitability between preoperative abdominal CT-scan and the surgical findings of vascular involvement in pancreatic carcinoma. Length of prolonged illness, interval between CT-scan and surgery as well as CT-scan technique showed a tendency not to correlate. "
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
David Sitinjak
"Papiloma sinonasal merupakan tumor jinak yang berasal dari epitel mukosa sinonasal. Papiloma sinonasal memiliki kecenderungan untuk mengalami transformasi keganasan. Salah satu petanda biomolekuler yang baru-baru ini diduga berperan dalam transformasi keganasan papiloma inverted menjadi karsinoma sel skuamosa sinonasal adalah FoxM1. FoxM1 merupakan faktor transkripsi yang peran utamanya adalah mengatur proliferasi seluler dan progresi siklus sel dalam karsinogenesis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ekspresi FoxM1 pada sediaan papiloma inverted sinonasal (PIS) dalam kaitannya dengan perubahan epitel menuju keganasan. Penelitian ini bersifat analitik dengan desain potong lintang. Sampel terdiri atas 36 kasus dengan diagnosis histopatologik papiloma inverted sinonasal yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 21 kasus PIS dan 15 kasus PIS yang mengalami perubahan epitel menuju keganasan (displasia) di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM tahun 2014-2019. Dilakukan pulasan imunohistokimia FoxM1 dan perhitungan persentase jumlah sel terpulas positif. Analisis stastistik berupa uji komparatif numerik persentase sel terpulas FoxM1 di antara dua kelompok tersebut. Ekspresi FoxM1 ditemukan pada semua sediaan sampel PIS. Rerata persentase sel terpulas FoxM1 pada PIS sebesar 7,4% (SD±1,67) dan PIS yang mengalami perubahan epitel menuju keganasan sebesar 33,5% (SD±14,77). Terdapat perbedaan persentase sel terpulas FoxM1 yang signifikan di antara kedua kelompok (p<0,001). Terdapat ekspresi FoxM1 yang lebih tinggi pada papiloma inverted sinonasal yang mengalami perubahan epitel menuju keganasan. Pulasan imunohistokimia FoxM1 berpotensi untuk menjadi penanda displasia pada papiloma inverted sinonasal.

Sinonasal papilloma is an uncommon benign neoplasm arising from sinonasal surface epithelia. Sinonasal papilloma has propensity to undergo malignant transformation. A new biomarker recently reported to be involved in malignant transformation in sinonasal papilloma to be sinonasal squamous cell carcinoma. FoxM1 is a transcription factor which main role in carcinogenesis is in cellular proliferation and cell cycle regulation. This study aims to describe the expression FoxM1 in sinonasal inverted papilloma and its association with dysplastic changes. A cross-sectional, analytical study was conducted comprising 36 samples of histologically-confirmed diagnosis of inverted papilloma between 2014 to 2019. The samples were further grouped into 2 groups: 21 samples without associated dysplastic changes and 15 samples with associated dysplastic changes. FoxM1 immunostaining was performed in all samples and. The percentage of positively-stained cells was compared among two groups using appropriate comparative statistics. The mean percentage of positively-stained cells in inverted papilloma without associated dysplastic changes is 7,4% (SD±1,67), and with associated dysplastic changes is 33,5% (SD±14,77). There was statistically-significant difference of FoxM1 expression among two groups (p<0,001). Expression of FoxM1 was found to be higher in the inverted papilloma with associated dysplastic changes. FoxM1 immunostaining is potential to be a biomarker of malignant transformation in sinonasal inverted papilloma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Kresna
"Latar belakang: CT scan merupakan modalitas yang dapat digunakan untuk menilai otot multifidus pada pasien-pasien NPB terutama pasien yang kontraindikasi terhadap MRI. Ketersediaan CT scan lebih merata, waktu pemeriksaan singkat, memiliki akurasi yang tinggi dan dapat menilai rasio infiltrasi lemak secara kuantitatif terutama dalam evaluasi lemak otot mulfidus pasien NPB pasca terapi sehingga hasil terapi terukur. Belum ada penelitian yang menilai kesesuaian rasio tersebut dengan MRI skala Goutallier. Metode: Penelitian dilaksanakan dengan sampel dari data pasien yang melakukan pemeriksaan MRI lumbal atau whole abdomen dan CT scan whole abdomen/abdomen atas/urografi di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan interval antara pemeriksaan <12 minggu. Pada awalnya dilakukan penentuan derajat infiltrasi lemak sesuai skala modifikasi Goutallier setinggi level endplate superior L4 kanan kiri pada T2WI aksial, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan infiltrasi lemak pada otot multifidus pada CT scan dengan ketebalan 0,1 cm dan dilanjutkan dengan perhitungan rasio infiltrasi lemak otot multifidus. Sampel yang didapatkan dianalisis menggunakan uji statistik Shapiro Wilk yang dilanjutkan dengan uji statistik ANOVA pada sebaran data yang normal dan Kruskal Wallis pada sebaran data yang tidak normal. Hasil: Rasio infiltrasi lemak otot multifidus pada kelompok skala modifikasi Goutallier ringan lebih rendah daripada kelompok klasifikasi modifikasi sedang, dan kelompok skala modifikasi sedang lebih rendah daripada kelompok skala modifikasi Goutallier berat.

Background: CT scan is a modality that can be used to assess multifidus muscle in NPB patients, especially patients who are contraindicated with MRI. The availability of CT scans is more evenly distributed, the examination time is short, has high accuracy and can assess the ratio of fat infiltration quantitatively especially in the evaluation of mulfidus muscle fat in low LBP patients post-therapy so that the therapeutic outcome is measurable. There are no studies that assess the suitability of the ratio with the Goutallier scale MRI. Methods: This study was conducted using samples from data from patients who performed a lumbar or whole abdominal MRI examination and CT scan of the entire abdomen / upper abdomen / urography in the Radiology Department of Cipto Mangunkusumo General Hospital with intervals between examinations <12 weeks. Initially, the degree of fat infiltration is determined according to the Goutallier modification scale at the level of the left and right superior L4 endplate on axial T2WI, then proceed with the calculation of fat infiltration in multifidus muscle on CT with a thickness of 0.1 cm and followed by calculating the multifidus muscle fat infiltration ratio. Samples obtained were analyzed using the Shapiro Wilk statistical test followed by ANOVA statistical tests on normal data distribution and Kruskal Wallis on abnormal data distribution. Results: The fat infiltration ratio of multifidus muscle in the mild Goutallier modification scale group was lower than the moderate modification scale group, and the moderate modification scale group was lower than the severe Goutallier modification scale group. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Oktarina
"Stroke atau cerebrovascular accident(CVA) merupakan penyebab kematian nomor tiga di Amerika Serikat dan salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama di Indonesia. Stroke merupakan penyakit kronis yang bersifat menetap dan tidak dapat pulih secara total yang disebabkan oleh adanya gangguan peredaran darah otak (GPDO) (Mansjoer et al, 2000; Taylor, 1999). Efek yang ditimbulkan dari CVA beragarn, tergantung pada daerah otak yang terganggu. Selain kelumpuhan, kesulitan berbicara, dan memori yang terganggu, gangguan yang sering rnuncul adalah afasia yaitu gangguan pada kemampuan menggunakan kata-kata (Davison & Neale, 1996).
Gangguan bahasa (Afasia) merupakan salah satu akibat dari kerusakan hemisfer kiri pada pasien stroke yang kinan. Salah satu alat diagnostik untuk melakukan pengukuran dalam bidang neuropsikologi yaitu TADIR (Tes afasia, diagnosa, inforrnasi, dan rehabilitasi). Melalui TADIR dapat dilihat sindrom afasia yang diderita oleh pasien. Pembagian sindrom-sindrom afasia dalam TADIR menggunakan klasiiikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass dan Kaplan. Atas dasar aspek-aspek penamaan, kelancaran, peniruan dan pernahaman auditif, maka
Goodglass 3: Kaplan (dalam Dharmaperwira-Prins, 2002) menyusun klasifikasi sindrom-sindrom afasia. Setiap sindrom afasia dihubungkan dengan suatu tempat kerusakan tertentu di otak. Salah satu tujuan pemeriksaan ialah menenlukan letak kerusakan. Penelitian yang dilakukan oleh Kertesz (dalam Dharmaperwira-Prius, 2002) dengan menggunakan CT-scan, secara garis besar membenarkan lokalisasi sindrom afasia klasifikasi Boston (Dharmaperwira-Pnns, 2002).
Sementara itu dibidang kedokteran, khusuanya secara neurologis, untuk diagnostik lebih lanjut yang menunjukkan tempat kerusakan di otak dapat dimanfaatkan teknologi tertentu seperti penggunaan CT-scan dan MRI.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di luar negeri dengan menggunakan CT-scan, secara garis besar telah membenarkan lokalisasi sindrom afasia yang klasifikasi Boston. Sedangkan pembagian sindrom-sindrom afasia dalam TADIR menggunakan klasifikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass dan Kaplan. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti kembali hasil penelitian itu, terutama di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otak dengan
sindrom afasia yang diderita pasien berdasarkan hasil tes TADIR.
Di dalam penelitian ini digunakan data sekunder dari bagian Fungsi Luhur, Neurologi RSCM selama tahun 2003. Untuk menghitung korelasi antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otak dengan sindrom afasia yang diderita pasien berdasarkan hasil tes TADIR, digunakan teknik Cramer Coejicient C dan diolah dengan menggunakan program SPSS 10.0 for Windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otalc dengan sindrom afasia yang diderita pasien berdasarlcan hasil tes TADIR. Dengan demikian hasil penelitian ini akan memperkuat teori klasifikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass & Kaplan (dalam Dharmapenvira-Prius, 2002) yang menyusun klasifikasi sindrom-sindrom afasia dimana tiap sindrom afasia dihubungkan
dengan suatu tempat kerusakan tertentu di otak. Selain itu hasil penelitian ini juga
mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan Kertesz (dalam Dharmaperwira-Prins, 2002) dengan menggunakan CT-scan yang secara garis besar membenarkan lokalisasi sindrom afasia berdasarkan klasifikasi Boston.
Sebagai penutup, diberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Untuk penelitian lanjutan dapat memperbanyak sampel, hal ini terkait dengan generalisaai hasil pada populasi. Selain itu secara statistik, dengan sampel besar diharapkan agar semua kategori dalam perhitungan dapat diolah dan tidak ada kategori yang hilang. Perlunya penelitian lanjutan akan afasia terkait dengan aspek psikososial yang ditimbulkannya, dimana seseorang yang terkena afasia akan mempunyai kesulitan besar atau kecil dalam penggunaan bahasanya. Dampak dari perubahan itu tidak hanya dirasakan oleh pasien tetapi juga keluarga dan lingkungan sekitarnya. Perlunya kerjasama lebih lanjut antara bidang neurologi, psikologi, logopedi dan Iinguistik dalam menangani gangguan bahasa atau afasia. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan informasi bagi para dokter, perawat, psikolog, terapis wicara, dan pihak lain yang terkait bahwa selain CT-scan dan MRI, tes TADIR dapat digunakan untuk mendeteksi lokasi kerusakan di otak, serta merupakan salah satu pilihan dari alat diagnostik gangguan bahasa (Afasia) dengan biaya yang relatif tenjangkau dan pelaksanaannya tidak memakan banyak waktu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38382
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Wulan Sari
"Latar belakang: Infeksi COVID-19 menyebabkan terjadinya pandemik diseluruh dunia. Pemeriksaan rRT-PCR merupakan pemeriksaan yang di rekomendasikan dari WHO untuk penegakkan diagnosis dari COVID-19. Faktor-faktor yang mempengaruhi akurasi dari pemeriksaan rRT-PCR untuk diagnosis COVID-19, membuat pemeriksaan penunjang berupa radiografi toraks dan CT-scan toraks juga sangat dibutuhkan guna membantu diagnosis COVID-19. CT-scan toraks lebih sensitif untuk membantu mengarahkan diagnosis COVID-19 namun kurang praktis dalam hal desinfeksi dan dekontaminasi serta transportasi pasien ke ruang CT-scan, dan limitasi ketersediaannya pada fasilitas kesehatan. Di sisi lain, radiografi toraks dengan sensitifitas yang lebih rendah dibandingkan CT-scan, namun memiliki beberapa keunggulan terkait ketersediaan alat serta tidak tidak terkendala masalah transportasi dan dekontaminasi. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder pemeriksaan radiografi dan CT-scan toraks pasien-pasien dengan hasil rRT-PCR positif yang tersedia di PACS Departemen Radiologi RSCM mulai bulan Maret 2020 hingga Juli 2021, dengan total 41 sampel. Kemudian dilakukan analisis dengan konkordansi dan Kohen Kappa. Hasil: Pada analisis Kappa Cohen, terdapat kesesuaian sedang (0,55) antara penebalan pleura, kesesuaian lemah antara gambaran opasitas ground glass (GGO) (0,32), konsolidasi (0,38), efusi pleura (0,36) , distribusi lesi perifer (0,39), fokus lesi yang multifokal (0,32), zona paru yang terkena (atas 0,32, tengah 0,24, bawah 0,36), dan keterlibatan paru bilateral (0,27) serta tidak terdapat kesesuaian antara gambaran opasitas retikuler (0,06) dan lesi sentral (-0,10) pada radiografi dan CT-scan toraks. Pada analisis Konkordansi terdapat kesesuaian kuat antara gambaran GGO(80,5%), penebalan pleura (90,2%), efusi pleura (92,6%), lokasi lesi di perifer(82,9%), kesesuaian sedang antara konsolidasi (68,2%), lesi multifokal (73,1%), Zona bawah(78%), zona tengah (65,8%) dan keterlibatan paru bilateral (70,7%) dan lemah antara lesi di zona bawah (63,4%) serta tidak ada konkordansi antara opasitas retikuler (48,7%) dan lesi di sentral (51,2%) pada radiografi dan CT-scan toraks.

Background: COVID-19 infection causes a worldwide pandemic. The rRT-PCR examination is recommended by WHO for the diagnosis of COVID-19. Factors that affect the accuracy of the rRT-PCR examination for the diagnosis of COVID-19, making supporting examinations of chest radiography and chest CT-scan also needed to help diagnose the COVID-19 infection. Chest CT scan is more sensitive to help direct the diagnosis of COVID-19 but is less practical in terms of disinfection and decontamination and transportation of patients to CT-scan rooms, and limited availability in health facilities. On the other hand, chest radiography has a lower sensitivity than CT scan, but has several advantages related to the availability of tools and transportation and decontamination problems. Methods: This study uses secondary data from chest radiographic and chest CT-scans examinations of patients with positive rRT-PCR results available at the PACS of the RSCM Radiology Department from March 2020 to July 2021, with a total of 41 samples. The analysis was carried out by using Kappa Cohen and concordance. Results: In Kappa Cohen's analysis, there was moderate agreement (0.55) between pleural thickening, weak agreement between ground glass opacity (GGO) images (0.32), consolidation (0.38), pleural effusion (0.36), lesion distribution peripheral (0.39), multifocal lesion foci (0.32), affected lung zones (upper 0.32, middle 0.24, below 0.36), and bilateral lung involvement (0.27) and no agreement between reticular opacity (0.06) and central lesion (-0.10) on chest radiograph and CT scan. In the Concordance analysis there was a strong concordance between the appearance of GGO (80.5%), pleural thickening (90.2%), pleural effusion (92.6%), the location of the lesion in the periphery (82.9%), moderate concordance between consolidation ( 68.2%), multifocal lesions (73.1%), lower zone (78%), middle zone (65.8%) and bilateral lung involvement (70.7%) and weak between lesions in the lower zone (63, 4%) and there was no concordance between reticular opacities (48.7%) and central lesions (51.2%) on chest radiographs and CT scans. Conclusion: From all the lesion assessments on chest radiographs and chest CT-scans, reticular opacity lession and the central location of the lesion had no agreement between chest radiographic findings and chest CT scan. The other lesions had moderate to weak agreement on chest radiographs and chest CT scans"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Rica Sari
"Latar belakang dan tujuan : CT scan merupakan modalitas pencitraan utama pada berbagai tumor primer kepala dan leher serta ketersedian modalitas CT yang lebih luas di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskusikan peranan CT sebagai modalitas yang berpotensi membantu menegakkan diagnosis keterlibatan lokoregional kelenjar getah bening KGB leher sehingga didapatkan perencanaan tatalaksana karsinoma sel skuamosa KSS dengan nilai terapi dan prognosis terbaik. Penelitian ini modifikasi Choi dan meneliti kesesuaian antara kriteria diagnostik KGB metastasis pada CT scan dibandingkan dengan hasil histopatologik pada pasien KSS. Metode : Penelitian ini merupakan studi asosiatif secara potong lintang pada data primer kasus baru KSS-KL. Pengambilan data berlangsung dari bulan Februari 2018 hingga April 2018 di Poli Onkologi Departemen THT, Departemen Radiologi dan Departemen Patologi Anatomi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Sebanyak 90 unit sampel dievaluasi lokasi, morfologi dan kemungkinan metastasis pada CT scan preoperatif menggunakan kriteria diagnostik, kemudian tiap unit sampel diberi label untuk menunjang kesesuaian node-per-node yang kemudian disesuaikan dengan KGB temuan intraoperasi. Operasi diseksi leher dilakukan dengan jarak kurang dari 1 minggu pasca CT scan preoperatif. Pasca diseksi, setiap KGB yang telah diberi label dilakukan pemeriksaan histopatologik. Kemudian asumsi kesesuaian temuan pada CT scan preoperatif dan histopatologik diuji hipotesis komparatif menggunakan uji McNemar. Hasil : Penelitian ini menunjukkan nilai p = 0,000 yaitu terdapat perbedaan bermakna antara kriteria diagnostik KGB maligna pada CT scan dengan histopatologik. Penilaian kesesuaian kriteria diagnostik KGB maligna pada CT scan dengan histopatologik menggunakan Kappa didapatkan R = 0,12 p=0,100 . Kriteria diagnostik KGB maligna pada CT scan pada penelitian ini memiliki nilai sensitivitas 33,3 dan nilai spesifisitas 61,7 dengan nilai spesifisitas ukuran aksis pendek, hipodensitas dan penyangatan heterogen masing-masing 100 dan nilai sensitivitas lokasi drainase primer 100 . Kesimpulan : Tidak terdapat kesesuaian antara kriteria diagnostik KGB maligna pada CT scan dengan hasil histopatologik. Adanya komponen kriteria diagnostik yang sangat sensitif tapi tidak spesifik dan yang sangat spesifik tapi tidak sensitif menyebabkan nilai sensitivitas dan spesifisitas kriteria diagnostik ini rendah.
Background and Objective CT scan is the main imaging modality in various head and neck primary tumors and broader availability in Indonesia. This study aims to discuss CT as a modality that helps establish the diagnosis of lymph node metastases so the management of head and neck squamous cell carcinoma HNSCC can be done with the best therapeutic value and prognosis. This study of Choi modification is trying to research about association between diagnostic criteria of metastases lymph node in CT Scan and histopathologic in SCC Patients Methods This research is a cross sectional associative study on the primary data of the new case of HNSCC. Data collection took place from February 2018 to April 2018 at the Polyclinic Oncology Department of ENT, Department of Radiology and Department of Pathology Anatomy Cipto Mangunkusumo Hospital. A total of 90 sample units were evaluated for location, morphology and possible metastasis on preoperative CT scans using diagnostic criteria, then each sample unit was labeled to support node per node association which was then adjusted to intraoperative lymph node findings. Neck dissection surgery is performed less than 1 week after a preoperative CT scan. After the operation, every lymph node that has been labeled is carried out to histopathologic examination. Then the hypothesis of association of the findings on preoperative CT scans and histopathologic is tested using McNemar test. Results This study shows p value 0,000 so that there is a significant difference between the diagnostic criteria on CT scan and histopathologic examination. Assessment of the diagnostic criteria for malignant KGB on CT scans and histopathologic examination using Kappa obtained R 0.12 p 0.100 , which shows no suitability between them. The diagnostic criteria for malignant lymph node on CT scan in this study have a sensitivity value of 33.3 and a specificity value of 61.7 with a specificity value of the size of the short axis, hypodensity and heterogeneous enhancement respectively 100 and the sensitivity value of the primary drainage site 100 . Conclusion There is no agreement between the diagnostic criteria for malignant lymph nodes on CT scan with histopathologic examination. The existence of a highly sensitive but non specific and a highly specific but insensitive component of the diagnostic criteria might causes the sensitivity and specificity of these diagnostic criteria to be low."
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Written by internationally eminent experts in cardiovascular imaging, this volume provides state-of-the-art information on the use of MRI and CT in the assessment of cardiac and vascular diseases. This third edition, now in four-color, reflects recent significant advances in cardiovascular MRI technology and the continuing emergence of multi-detector CT as an important diagnostic modality, particularly for ischemic heart disease. Seven new chapters have been added including chapters on anatomy, cardiovascular MR in infants/​children, assessing myocardial viability, risk assessment in ischemic heart disease and MR guidance."
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2013
616.107 MRI
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mananagka, Rumuat Semuel Wullul
"Latar belakang dan tujuan : Persiapan pada calon pasien yang akan menjadi pendonor ginjal memerlukan penilaian fungsi dan anatomi organ ginjal. Korelasi antara fungsi dan anatomi ginjal dapat membantu untuk prediksi fungsi dan anatomi ginjal, oleh karena itu dibutuhkan penilaian rerata volume parenkim ginjal dan pada stadium CKD 1, 2 dan 3 serta korelasi antara volume parenkim ginjal dengan rerata estimasi laju filtrasi glomerulus pada stadium CKD 1, 2 dan 3.
Metode : Penelitian cross sectional ini menggunakan data sekunder berupa nilai estimasi laju filtrasi glomerulus yang dihitung dengan rumus MDRD. Subyek penelitian yang sesuai dengan kriteria dihitung volume parenkim ginjalnya menggunakan CT scan. Teknik pengukuran menggunakan cara disc summation. Korelasi dengan tes pearson digunakan untuk menilai hubungan antara estimasi laju filtrasi glomerulus dengan volume parenkim ginjal.
Hasil : Kelompok CKD stage 1 didapatkan volume rerata parenkim ginjal kanan 132,04 cc, ginjal kiri 134,71 cc dan ginjal total 266,75 cc. Kelompok CKD stage 2 didapatkan rerata parenkim ginjal kiri 112,83 cc, ginjal kanan 110,44 cc dan ginjal total 223,28 cc. Kelompok CKD stage 3 rerata parenkim ginjal kiri 100,21 cc, ginjal kanan 101,4 cc dan ginjal total 201,61 cc. Tes pearson memperlihatkan korelasi yang signifikan (p < 0,001) dan kekuatan sedang (r = 0,554) dengan persamaan: y = 0,326x + 16,13.
Kesimpulan : Korelasi antara nilai estimasi laju filtrasi glomerulus pada CKD stage 1, 2 dan 3 menunjukan signifikansi kuat dan korelasi sedang dengan persamaan: y = 0,32x + 16,13. Persamaan yang didapat berguna untuk estimasi nilai laju filtrasi glomerulus maupun estimasi volume parenkim ginjal total apabila nilai salah satunya diketahui.

Background and objective : Preparation to a kidney donor will need assessment of the kidney's function and anatomy. The correlation between the function and anatomy can help to predict the function and anatomy. That is why the measurement of kidney’s volume is needed (in average and in CKD stage 1, 2, and 3) and the correlation between kidneys parenchyme volume and the average estimated glomerulus filtration rate during CKD stage 1,2, and 3.
Method : Cross sectional research using secondary data of estimated glomerulus filtration rate, calculated by MDRD formula. Kidneys parenchyme volume of the subjects were measured using CT scan. Disc summation technique was applied for the measurement. Correlation with Pearson test was made to assesst the correlation between estimated glomerulus filtration rate and kidneys parenchyme volume.
Result : Group of CKD stage 1 had an average kidneys parenchyme volume 134,71 cc (left), 132,04 cc (right), and 266,75 cc (total). Group of CKD stage 2 had an average kidneys’ parenchyme volume 112,83 cc (left), 110,44 cc (right), and 223,28 cc (total). Group of CKD stage 3 had an average kidney's parenchyme volume 100,21 cc (left), 101,4 cc (right), 201,61 cc (total). Pearson test shows a significant correlation (p < 0,001) and moderate strength (r = 0,554) with the equation y = 0,326x + 16,13.
Conclusion : Correlation between estimated glomerulus filtration rate in CKD stage 1, 2, and 3 showed strong significancy and moderate correlation with the equation y = 0,326x + 16,13. This equation can be useful to estimate glomerulus filtration rate and total kidneys’ parenchyme volume if one of the number is known.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59120
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2001
S28675
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>