Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187464 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raissa Lareka Putri
"Dalam jaminan atas tanah, terdapat lembaga khusus yang mengatur ketentuan mengenai jaminan hak atas tanah, yaitu lembaga Hak Tanggungan dan telah diatur dalam suatu perundang - undangan khusus, yaitu Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996. Adanya lembaga khusus tersebut beserta peraturan yang ada berfungsi untuk melindungi kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan agar mempunyai kedudukan yang kuat. Namun karena semakin tingginya persaingan bank, sehingga bank sudah kurang memperhatikan, tidak mematuhi dan mengikuti lagi peraturan - peraturan yang ada. Untuk meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan oleh nasabah selaku debitur dalam proses pemberian kredit, terutama kredit kecil atau kredit mikro, dalam penjaminan hak atas tanah, bank meniadakan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak tanggungan (SKMHT) dan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).
Tesis ini mengangkat pokok permasalahan, seperti bagaimana penjaminan tanah tanpa dibuatnya SKMHT maupun APHT dalam proses perkreditan, serta bagaimanakah penyelesaiannya apabila terdapat kredit macet dengan jaminan tanah yang tidak dibuatkan SKMHT maupun APHT. Untuk menjawab pokok permasalahan tersebut, tesis ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, dimana penelitian dilakukan terhadap hukum positif tertulis dalam suatu perundang - undangan, untuk mengetahui kesesuaian terhadap praktek yang di lapangan mengenai penjaminan tanah dalam proses perkreditan mikro terkait dengan peraturan di dalam Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.
Dari penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa praktek yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan - ketentuan yang diatur dalam Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, dengan tidak melaksanakan peraturan yang ada jelas bank tidak memanfaatkan perlindungan yang telah diatur dalam Undang - Undang Hak Tanggungan. Begitu pula mengenai terjadinya kredit macet, bank tentunya kesulitan untuk melakukan pencairan jaminan hak atas tanah, terlebih apabila nasabah tidak lagi kooperatif. Karena belum dibuatnya SKMHT maupun APHT, sehingga tentunya berakibat tidak dapat dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan, sehingga secara otomatis tidak terbitnya sertifikat Hak Tanggungan, yang mengakibatkan bank tidak menjadi kreditur preferen.

In relation to this, a special institution celled the Mortgage Agency (Lembaga Hak Tanggungan) has been established which is regulated by a special law namely Law Number 4 of 1996 on Mortgage Rights. The main purpose of this institution and related regulations is to protect the creditors as the holder of Mortgage Right, thus giving them a strong legal basis. However, highly intense competition between banks forces them to disregard those regulations. To keep the costs a debtor has to spend to get a loanat a minimum, particularly for small and micro enterprises, when using land as a collateral, some banks no longer issue a Power of Attorney to Charge for the Rights of Land Mortgage (SKMHT) and Deed of Grant of Mortgage (APHT).
This thesis analyzes the process of obtaining bank loans which involves the practice of making land mortgages without issuing SKMHT or APHT. This thesis also identifies the bank’s strategies to settle bad loans involving land mortgages made without SKMHT or APHT. To analyze those problems, this thesis applies juridical-normative approach, in which a codified positive law is examined to measure the relevance between the applicable law and the real practice of land mortgage in the loan process with reference to Law Number 4 of 1996 on Mortgage Right.
Results show that loan practices are not in compliance with the regulations stated in Law Number 4 of 1996 on Mortgage Rights. By not abiding to the applicable law, the bank denies itself the protection provided by the Mortgage Right Law. If bad loans do occur, which requires them to apply for Mortgage Rights first, especially when the debtor is no longer cooperative. The absence of both SKMHT and APHT prevents the bank from appliying the Mortgage Rights, which effectively prevents them from obtaining the Mortgage Right certificate. This will certainly risk the bank’s reputation as a credible creditor.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39109
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Torang, Grace Anne
"Lahirnya Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Undang-undang Hak Tanggungan) pada tanggal 9 April 1996 menjadi peristiwa yang penting dalam pembangunan hukum tanah nasional karena telah tercipta kesatuan hukum di bidang jaminan hak atas tanah yang tidak hanya memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kreditur dan debitur, tapi juga kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. Sifat dan ciri Hak Tanggungan yang mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, menjadikan lembaga jaminan yang satu ini tumpuan perlindungan hukum bagi para kreditur dalam melaksanakan kegiatan perkreditan di tengah masyarakat. Namun pada kenyataannya kemudahan yang ditawarkan oleh Undangundang Hak Tanggungan bagi pemegang jaminan kebendaan untuk melunasi hakhak piutangnya tidak selalu kuat, mudah dan pasti dalam pelaksanaannya, banyak faktor yang menjadi penghalang terwujudnya keadaan tersebut, salah satunya diangkat dalam tesis ini, yaitu terjadinya perbedaan penafsiran Pasal 6 Undangundang Hak Tanggungan yang memuat bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut dan Pasal 15 ayat (1) huruf (b) Undang-undang Hak Tanggungan pada prinsipnya mengatur larangan adanya kuasa substitusi dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang membawa dampak penolakan terhadap pelaksanaan lelang Parate Eksekusi oleh KPKNL Bandar Lampung. Perbedaan dasar penolakan dari kedua lembaga yang terkait erat dalam proses pelelangan yaitu Ketua KPKNL dan Direktur Lelang pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan Republik Indonesia, menunjukkan masih belum sempurnanya pemahaman mengenai Undang-undang Hak Tanggungan, tidak hanya penolakan pelaksanaan lelang Parate Eksekusi Hak Tanggungan merugikan pihak kreditur dan debitur tetapi juga merugikan masyarakat pada umumnya karena telah terjadi ketidakpastian hukum.

The issuance of law No. 4 year 1996 regarding the Mortgage of Land and Objects Related Attached To It, on April 9, 1996 ("Mortgage Act"), is an important event in the development of national land laws for the legal entity created in the field of security of tenure which not only gives protection and legal certainty for creditors and debtors, but also to the other parties concerned. The natures and the characteristics of Mortgage is easy and the execution is definite, that makes this security institution support and giving legal protection, specifically for creditors in conducting lending activities in the community. But in fact the convenience offered by this Mortgage Act for collateral holders to settle the rights to claims are not always robust, easy, and certainly in practice, many factors can be prohibitive of such event, one of them raised in this thesis, that is the differences in the interpretation of Article 6 and Article 15 paragraph (1) letter (b) Mortgage Act that took effect to the rejection of the Parate Execution by KPKNL Bandar Lampung. The basic differences reason given by the two institutions in rejecting Parate Execution, shows that the related authorities have minor understanding of the Mortgage Act, not only the rejection of Parate Execution Mortgage detrimental to the creditors and debtors, but also detrimental to public because of a legal uncertainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30003
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gerardus Cahyo Nugroho
"Sertipikat sebagai alat bukti terkuat ternyata tidak menjamin dapat di jadikan alat bukti yang dapat secara penuh di miliki ini di buktikan dengan di batalkannya Hak Tanggungan No.5/HT/18/IV/199 oleh pengadilan. Akibat di batalkannya Akta Jual Beli Tanah yang menjadi obyek jaminan hak tanggungan sehingga menyebabkan hapusnya obyek jaminan hal ini tentu saja merugikan pihak kreditur karena pihak kreditur yang beitikad baik yang telah memenuhi segala ketentuan untuk memberi pinjaman tidak mendapatkan perlindungan karena haknya telah di cederai dengan di batalkannya hak tanggungan tersebut karena batalnya sertipikat jual beli tersebut. Sehingga dalam hal ini penulis ingin meneliti dan mengkaji bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi bagaimana kekuatan perjanjian yang di lakukan sebelum AJB di buat apakah mempunyai Implikasi yang besar terhadap pembatalan sertipikat kedua tanah tersebut sehingga mengakibatkan batalnya hak tanggungan. Tesis ini di buat untuk dapat mengetahui factor apa saja yang dapat membatalkan sertifikat sehingga penulis mengharapkan dapat mengklarifikasi penyebab batalnya hak tanggungan yang di sebabkan batalnya sertifikat akibat akta jual beli yang batal di masa yang akan datang.

Certificate as the strongest evidence did not ensure that the evidence can be made in full to have this attested by at cancellation of Mortgage No.5/HT/18/IV/199 by the court . Due on Sale and Purchase of Land Deed canceled the object of causing collateral mortgage guarantee this object abolishment of course detrimental to the creditors because the creditors are faith both have met all the provisions to provide protection because the loan did not get in to harm the rights have been in cancellation the encumbrance certificate for the cancellation of the sale and purchase. in this case I want to examine and assess how such events can happen how the strength of the agreement will be undertaken prior to AJB is made whether to have great implications on both the soil certificate cancellation, resulting in the cancellation of mortgage. Thesis is made in order to determine what factors may cancel the certificate so that the author hopes to clarify the cause of the cancellation of mortgage that is caused due to the cancellation of the deed of sale certificate is canceled in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39105
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fikri
"ABSTRAK
Perkembangan teknologi khususnya internet telah membawa banyak perubahan dalamvcara bertrnsaksi dalam perdagangan, melalui internet peserta lelang yang sedianya harus datang ke kantor lelang, saat ini dapat mengikuti kegiatan lelang tanpa datang terlebih dahulu ke kantor lelang, Kementerian Keuangan Republik Indonesia telah membangun Aplikasi
Lelang Email (ALE) untuk mendukung perkembangan dari kegiatan lelang, Kementerian Keuangan juga telah menetapkan peraturan kementerian keuangan yang memperbolehkan lelang online untuk objek hak tanggungan, Padahal sebelumnya telah ditetapkan larangan terhadap pelaksanaan lelang atas objek Hak Tanggungan (eksekusi) melalui internet, bagaimanakah keabsahan serta perlindungan hukum bagi pemenang lelang, Metode
Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini menyimpulkan pelaksanaan lelang atas objek hak tanggungan melalui ALE adalah sah, karena tidak terdapat larangan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, telah memenuhi kriteria dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan juga telah terdapat
aturan baru yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 27/PMK.06/2016 tentang petunjuk pelaksanaan lelang yang menentukan bahwa lelang eksekusi termasuk lelang atas objek hak tanggungan dapat dilaksanakan melalui lelang online, selain itu tidak terdapat perbedan yang signifikan antara lelang online dengan lelang konvensional oleh karenanya hak dari pemenang lelang pada dasarnya secara hukum tetap terlindungi

ABSTRACT
The development of technology, particularly the internet, has brought many changes in commerce. Through the internet, bidders which originally have to come to the auction house, now can remotely participate in the auction. In Indonesia, The Ministry of Finance has built an e-mailauction application(ALE) to support the development of auctions. The Ministry of Finance also enacted ministerial regulation that allowsthe online auctions of mortgage objects. Previously,however, the government had set a ban on the online auction of Mortgage objects (execution auction). Therefore, the problem examined in this theses is the legal validity and the legal protection for the auction winners.The research method used in this paper is a normative study using secondary data.The writer concluded that the online auction of mortgage objects through ALE is legitimate because there is no restriction in the Act No. 4 of 1996 on Mortgage and it is comply with the Act No. 11 of 2008 on Information and ECommerce. Furthermore,the newMinister of Finance Regulation, namelyPMK 27 of 2016,determines that execution auction, including mortgage auction, can be carried out through online auction.Thewriter also found that there is no significant differencebetween online auction and conventional auction. Therefore, the auction purchaser is legally protected"
2016
T46502
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Inggrid Hartanto
"Gadai yang diatur pada Pasal 1150-1160 KUH Perdata merupakan jaminan kebendaan bagi benda bergerak, hal mana dengan ini dapat digunakan untuk saham yang berkedudukan sebagai benda bergerak berdasarkan Pasal 60 ayat (1) Undang- Undang Perseroan Terbatas. Keberadaan jaminan mendorong pemberian kredit, dan pemberian kredit berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran negara. Meskipun demikian, seiring dengan kemajuan masyarakat dewasa ini, pengaturan gadai dalam KUH Perdata sudah berusia lebih dari 100 tahun. Ditemukan juga bahwa pelaksanaan eksekusi jaminan di Indonesia per tahun
2019 cukup rendah, hanya 6% lelang eksekusi dari total non-performing loan perbankan, hal mana eksekusi ini masih didominasi oleh Hak Tanggungan. Di sisi lain, Singapura yang kerap kali menggunakan saham sebagai objek jaminan memperoleh nilai tertinggi dalam indikator penilaian “enforcing contracts” Doing Business yang dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 2020. Penulis dengan ini bertujuan membandingkan pengaturan gadai saham dengan mortgage over shares dan melihat apakah Indonesia dapat mencontoh pengaturan Singapura.

Pledge, as regulated under Article 1150-1160 of Indonesian Civil Code, is a type of security interest available for movable property. Shares, indicated as a movable property by the Article 60 paragraph (1) Law No. 40 of 2007 as amended by Law No. 11 of 2020, is therefore applicable for pledge. The existence of security encourages the provision of credit, and the provision of credit has the potential to increase economic growth and prosperity of a country. However, in contrast to the progress of today’s society, the arrangement of pledge in the Indonesian Civil Code is more than 100 years old. In addition to that, the execution of security rights as of 2019 can also be said to be low, only 6% of the execution auction of all the nonperforming bank loans, of which is still dominated by Mortgage. Singapore, on the other hand, recognize shares as a collateral object and also received the highest score in the Doing Business “enforcing contracts” assessment indicator issued by the World Bank in 2020. The author hereby aims to compare the arrangement of pledged shares of Indonesia with mortgage over shares of Singapore and see if Indonesia can emulate the Singapore arrangements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caroline Syah
"Globalisasi mendorong perkembangan ekonomi yang sangat pesat sehingga diperlukan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga ekonomi, khususnya bagi lembaga pemberi piutang seperti bank dan lembaga keuangan lainnya, untuk menjamin kembalinya haknya. Untuk kegiatan tersebut diperlukan adanya jaminan yang memiliki kepastian hukum, baik bagi pemegang hak atas tanah sebagai pemberi hak tanggungan maupun kreditur sebagai pemegang hak tanggungan yang nantinya akan memperoleh kedudukan yang diutamakan atau mendahului (droit de preference). Namun dalam prakteknya banyak kasus-kasus pelanggaran baik yang dilakukan oleh pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan maupun oleh PPAT yang lalai memenuhi prosedur pembebanan hak tanggungan yang menyebabkan Akta Pemberian Hak Tanggungan menjadi tidak sah dan cacat hukum. Oleh karena itu diperlukan kepastian hukum lebih lanjut agar terjaminnya perlindungan hukum bagi para pihak. Permasalahan menarik untuk diangkat dalam tesis ini adalah mengenai perlindungan hukum bagi pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan dan pihak ketiga dalam kaitannya dengan keabsahan Akta Pemberian Hak Tanggungan dengan menganalisis putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1910 K/Pdt/2005.
Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk dapat mengetahui bagaimanakah proses pembuatan APHT agar menjadi sah dan tidak memiliki cacat hukum, solusi yang dapat ditempuh oleh kreditur apabila APHT menjadi batal, dan apa saja hal-hal yang dapat menyebabkan hapusnya hak tanggungan bila dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi kreditur. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian kepustakaan, data yang diperlukan adalah data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian analisis data dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum bagi pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan dan pihak ketiga agar proses pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) menjadi sah dan tidak memiliki cacat hukum adalah melalui proses pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana telah ditentukan dalam UUHT, yaitu memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas.

Globalization of economic growth is very rapid so that the necessary legal certainty for economic institutions, especially for lending institutions such as bank accounts and other financial institutions, to guarantee the return of their rights. For these activities it is necessary to guarantee the legal certainty, both for the holders of land rights as well as provider of mortgage lenders as mortgage holders who will acquire the preferred position or precede (droit de preference). However, in practice many cases of violations committed by both mortgage providers, mortgage holder or by a failure to fulfill the procedures PPAT mortgages that led to the imposition of Granting Mortgage Deed becomes invalid and legally flawed. Therefore we need more legal certainty in order to guarantee legal protection for the parties. Interesting issues to be highlighted in this thesis is about giving legal protection for mortgages, mortgage holders and third parties in connection with the provision of the Deed of Mortgage legality by analyzing the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 1910 K/Pdt/2005.
The purpose of this thesis is to be able to know how the process of making APHT to be valid and have no legal disability, the solution can be reached by creditors if APHT be canceled, and what are the things that can lead to the abolishment of mortgage when associated with legal protection for creditors. Writing of this thesis research methods literature, the data required is secondary data. Based on the results of data analysis can be concluded that the legal protection for mortgage providers, mortgage holders and third parties so that the process of making provision of the Deed of Mortgage (APHT) to be valid and have no legal disability is through the process of loading Mortgage as defined in UUHT, specialties that meet the principle and the principle of publicity.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30014
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Angelia Mariani Santoso
"Pelelangan eksekusi hak tanggungan seharusnya dilaksanakan berdasarkan hak penerima hak tanggungan peringkat pertama yang terdapat dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (“APHT”) yang berkekuatan hukum (parate eksekusi). Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 988/K/Pdt/2022, APHT yang menjadi dasar pelelangan dibuat secara melawan hukum karena pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungannya tidak dihadiri oleh pemberi hak tanggungan sehingga menjadi batal demi hukum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akibat hukum dari pelelangan yang dilakukan berdasarkan APHT yang dibuat setelah debitur meninggal dunia dan mengenai perlindungan hukum bagi kreditur pasca batalnya lelang eksekusi hak tanggungan ketika debitur wanprestasi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal dengan tipologi penelitian eksplanatoris yang menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Pada penelitian ini, ditemukan bahwa APHT yang dibuat setelah debitur meninggal dunia bertentangan dengan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sehingga menjadi batal demi hukum dan mengakibatkan batal demi hukumnya pelelangan dan peralihan atas objek hak tanggungan. Sedangkan perlindungan hukum bagi kreditur pasca batalnya lelang eksekusi hak tanggungan ketika debitur wanprestasi adalah dengan menyatakan seluruh isi perjanjian kredit harus dilaksanakan dan dapat mengajukan gugatan wanprestasi untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga kepada ahli waris debitur. Maka dari itu, pembuatan APHT setelah debitur meninggal dunia tidak cukup hanya dengan janji dalam perjanjian kredit sehingga pertimbangan hakim tidak tepat.

Execution of mortgage rights should be held by the first holder’s right (parate execution) contained in the legally enforceable deed of grant of mortgage (“APHT”). On the Supreme Court Decision Number 988/K/Pdt/2022, the APHT that used for the auction was made against the law because the power of attnorney was made without the presence of the mortgagee thus becoming null and void. This research aims to analyze the consequences of the auction held based on APHT made after the debtor’s death and regarding legal protection for creditors after the execution of mortgage rights was declared null and void in the event of the mortgagee’s default. This research is a doctrinal legal approach with explanatory research typology that used secondary data obtained through literature study. The data was analyzed qualitatively. Based on this research, it was found that APHT made after the debtor’s death was against Article 15 paragraph (1) Law No. 4 year 1996 on Mortgage Right hence it becomes null and void, resulting the auction and the object of mortgage’s transfer to be null and void as well. Meanwhile, the legal protection that could be taken by the creditors after the execution of mortgage rights was declared null and void in the event of the mortgagee’s default are by stating that all contents of the credit agreement must be implemented and by filing a default lawsuit to the debtor’s heirs to get compensation for losses and interest. The conclusion is the pledge from the credit agreement was not sufficient to be used as a basis to make APHT after the debtor’s death, so the judges’ judgement was not precise."
Depok: 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rissa Zeno Tulus Putri
"Skripsi ini membahas mengenai permasalahan yang dihadapi oleh kreditur perbankan dalam pelaksanaan parate eksekusi berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan terhadap agunan yang masih dibebani credietverband. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan yang menggunakan ketentuan hipotik atau credietverband dapat menggunakan ketentuan-ketentuan eksekusi dan pencoretannya yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan setelah buku tanah dan sertipikat yang bersangkutan disesuaikan menjadi buku tanah dan sertipikat Hak Tanggungan. Namun dalam prakteknya, terdapat dua pendapat yang berbeda antara Kantor Lelang dan Kantor Pertanahan terkait penyesuaian buku tanah dan sertipikat credietverband sebagai dasar pelaksanaan parate eksekusi. Dengan adanya pendapat yang berbeda menyebabkan pelaksanaan parate eksekusi mengalami stagnansi. Oleh karena itu tujuan diadaknnya penelitian ini adalah untuk menganalisa permasalahan yang dihadapi oleh kreditur perbankan dalam pelaksanaan parate eksekusi terhadap agunan yang jaminkan credietverband setelah periode berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan.

This thesis deals with the problem faced by the banking creditors in parate executie according to the article 6 Law No. 4 of 1996 Regarding Mortgage Right Over Land and Objects Related to Land against collateral which saddled with credietverband. Under article 24 paragraph (2) Law No. 4 of 1996 Regarding Mortgage Right Over Land and Objects Related to Land, a mortgage that uses terms of Hypotheek or credietverband can use the terms of execution and deletion arranged in Law No. 4 of 1996 Regarding Mortgage Right Over Land and Objects Related to Land after the book and the corresponding certificate adapted into the book of the land and mortgage certificate. But in practice, there are two different opinions between the Auction Office and Office of Land related land adjustments, land book and certificate of credietverband as the basis for implementing parate executie. The existence of different opinions to the execution of the executable parate experiencing stagnation. Therefore, the purpose of the research is to analyze the problem faced by the banking creditors in collateral parate execution saddled with credietverband after the enactment of Law No. 4 of 1996 Regarding Mortgage Right Over Land and Objects Related to Land."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65369
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frieda Husni Hasbullah, 1942-
"Hak Tanggungan berkaitan aspek-aspek perkreditan, perlindungan dan kepastian hukum, serta aspek Hukum Tanah. Hak Tanggungan dapat dijaminkan untuk hutang yang telah ada atau yang baru akan ada asal diperjanjikan lebih dulu, serta dapat dijaminkan untuk lebih dari satu hutang. Baik kreditur penerima Hak Tanggungan maupun debitur pemberi Hak Tanggungan serta pihak ketiga mendapat perlindungan hukum. Objek yang dijadikan pembebanan Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah Serta hasll karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalarn APHT. Tata cara pembebanannya terdiri dari 2 (dua) tahap yaitu tahap pemberian Hak Tanggungan dengan dibuatnya APHT oleh dan dihadapan PPAT yang didahului dengan perjanjian pokok, dan tahap pendaftarannya di Kanter Pertanahan setempat yang wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan. Namun demikian, ada kalanya pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT dalam rangka pembuatan APHT tersebut. Oleh karena itu ia diperkenankan menunjuk pihak lain melalui SKMHT sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT berikut Penjelasannya, yang dilakukan oleh di hadapan notaris atau PPAT. Praktek pemberian SKMHT di Bank BNI berlatar belakang pada jumlah kredit yang dipiniam debitur tidak terlalu besar, kredit yang diberikan bank termasuk dalam kredit program, dan tanahnya masih dalam proses pengurusan perolehan bak Tujuannya adalah untuk memberi keringanan kepada nasabah debitur, untuk pengamanan kredit, serta untuk penundaan pemberian Hak Tanggungan. Momentum diperlukannya SKMHT adalah dalam rangka perolehan kredit dengan jumlah Rp. 50.000.000.- ( limapuluh juta rupiah ke bawah), peningkatan hak, pemekaran desa, bila objek yang akan dijadikan jaminan terletak di wilayah dari tempat bekerja notaris pembuat SKMHT dan sertipikat belum atas nama pemberi Hak Tanggungan Efektivitas penggunaan SKMHT di Bank BNI adalah, memudahkan bila ada kebutuhan mendesak, memudahkan proses pemberian kredit, dan sepanjang digunakan untuk untuk kredit program pemerintah; sedangkan bagi nasabah debitur, biaya relatif murah dan tidak perlu menghadap PPAT. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan bank bila terlihat gejala-gejala debitur akan melakukan wanprestasi, sedangkan kedudukan bank yang semula konkuren menjadi preferen. Dalam proses pemberian Hak Tanggungan, Bank BNI mempunyai cara khusus bagi pembebanan hak atas tanah yang belum dibukukan dan yang sudah dibukukan."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18936
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Syamsiruddin
"Pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan dikatakan bahwa pesawat terbang dan helikopter yang mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek sedangkan ketentuan pembebanan hipotek diatur Iebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Berdasarkan amanah itulah Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Udara telah melakukan menyusun konsep dan naskah akademis Rancangan Undang-Undang Tentang Hipotek Pesawat Udara yang oleh penulis coba melakukan analisis apakah rancangan undang-undang tersebut sudah memenuhi kebutuhan masyarakat industri penerbangan. Penulis selain membahas hipotek yang merupakan pokok kajian dalam tesis ini juga membahas penggolongan pesawat udara terutama terkait dengan belum jelasnya penggolongan benda sesuai KUHPerdata dari perspektif pesawat udara itu sendiri, belum tersedianya lembaga jaminan dan belum Iengkapnya peraturan-peraturan pelaksana.
Metode penelitian dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dan penelitian lapangan dengan menggunakan wawancara. Dewasa ini praktek pembebanan pesawat udara oleh pihak-pihak terkait ada yang melakukan dengan jaminan fidusia dan hipotek. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 15 Tabun 1992 tidak tegas tetapi mengambangkan dengan cara mempergunakan perkataan "dapat dibebani hipotek" sebagaimana yang ditemukan pada Pasal 12 ayat (1) dan penjelasan yang memungkinkan pembebanan pesawat udara dengan hak jaminan Iainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang beriaku.
Dari analisis yang dilakukan terhadap substansi Rancangan Undang-Undang tentang Hipotek Pesawat Udara yang terdiri dari 8 BAB dan 29 Pasal, menurut hemat penulis sudah memenuhi kebutuhan masyarakat industri penerbangan. Namun demikian terhadap lembaga yang berwenang menetapkan pendaftaran hipotek yang diatur pada Pasal 10 Rancangan Undang-Undang menetapkan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, menurut hemat penulis perlu dibentuk suatu badan atau lembaga yang bersifat independen seperti hainya Badan Pertanahan Nasional pada lembaga jaminan hak tanggungan. Demikian juga perlunya ditetapkan penggolongan hak kebendaan terhadap pesawat udara dalam Rancangan Undang-undang agar lembaga jaminan hipotek sebagaimana yang dimaksudkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan memiliki dasar hukum perundangundangan seperti halnya kapal laut yang mempunyai bobot mati 20 M3 digolongkan sebagai benda tidak bergerak dalam Kitab Undang-Undang Dagang. Akhirnya, sebagai konsep awai Rancangan Undang-Undang ini sudah balk secara keseluruhan namun masih memeriukan penjelasan yang Iebih konkrit, pembahasan yang Iebih mendalam sehingga nantinya memberikan suatu kepastian hukum sebagaimana yang ditunggu tunggu masyarakat industri penerbangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T17315
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>