Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118911 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Samuel Gideon
"ABSTRAK
Digitally reconstructed radiographs (DRRs) merupakan citra hasil rekonstruksi
data set citra CT simulator yang digunakan untuk verifikasi dalam perencanaan
radioterapi eksternal. Penelitian ini mencoba untuk mengimplementasikan
algoritma ray casting dan hardware texture mapping sehingga dapat
menghasilkan citra DRR. Akuisisi citra CT simulator dilakukan terhadap fantom
modifikasi, fantom Catphan, dan fantom RANDO. Citra CT simulator kemudian
dikomputasi dengan menggunakan algoritma yang digunakan serta algoritma di
dalam treatment planning system (TPS). Evaluasi hasil citra DRR dilakukan
secara kuantitatif dan kualitatif. Evaluasi kuantitatif meliputi evaluasi keakurasian
geometri, evaluasi kontras tinggi, evaluasi kontras rendah, evaluasi uniformitas,
dan evaluasi running time. Evaluasi kualitatif berupa kuesioner yang berisi
pendapat praktisi radioterapi mengenai kualitas citra DRR dalam hal kontras,
resolusi, dan uniformitas. Hasil evaluasi kuantitatif menunjukkan kualitas citra
DRR dari algoritma dalam penelitian ini hampir sama dengan algoritma di dalam
TPS dan hasil tersebut didukung oleh hasil evaluasi kualitatif.

ABSTRACT
Digitally reconstructed radiographs (DRRs) are the CT simulator image
reconstruction that used for verification in external radiotherapy planning. This
thesis aims to implementation of ray casting and hardware texture mapping
algorithm to produce DRR images. CT image acquisition is made to modification
phantom, Catphan phantom, and RANDO phantom. These images then computed
become DRR images using ray casting and hardware texture mapping algorithm,
as well as the algorithm used in the treatment planning system (TPS) . Evaluation
of the DRR images conducted quantitatively and qualitatively. Quantitative
evaluation includes evaluation of geometric accuracy, high contrast, low contrast,
grey scale uniformity running time. Qualitative evaluations are questionnaires
which contain the opinion of radiotherapy practitioners regarding DRR image
quality in terms of contrast, resolution, and grey scale uniformity. Quantitative
evaluation shows that there are some similarities of DRR image quality between
algorithm used in this thesis study is similar to the algorithm in the TPS. This also
supported by the results of a qualitative evaluation."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
T39015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Transport radiasi Monte Carlo adalah teknik paling sempurna dalam perhitungan dosis radioterapi. Tapi, karena lamanya waktu simulasi, implementasi klinik simulasi Monte Carlo masih sangat terbatas. Menjalankan beberapa job secara serentak pada beberapa prosessor mengurangi waktu yang dibutuhkan dalam menjalanksan simulasi. Lebih lanjut mengenai ketertarikan pada komputasi cluser, kami mulai melangkah ke komputasi grid, yang dapat memanfaatkan sumber daya yang idle. Paper ini menjelaskan usaha untuk menjalankan aplikasi BEAMnrc/DOSXYZnrc pada SGE pool testbed GRID Laboratorium Komputer Departemen Fisika UI, dan menjelaskan metode untuk men-tuning SGE pool."
Universitas Indonesia, 2007
S28901
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asti Harkeni
"Telah dilakukan rekonstruksi panjang obyek dan posisinya (x,y,z) secara manual menggunakan radiografi ortogonal pada pencitraan anterior/posterior dan lateral pada kasus brakiterapi intrakaviter. Pengukuran dilakukan menggunakan fantom akrilik brakiterapi berdimensi 34 x 34 x 34 cm3. yang disisipi oleh lempeng Pb dengan panjang dan posisi bervariasi. Diperoleh hasil rekonstruksi 70% dari semua titik pengamatan yang berada 10 cm dari titik pusat lapangan menghasilkan deviasi posisi sampai 20%. Untuk rekonstruksi panjang obyek kurang dari 6 cm dari titik isocenter, 56% data menghasilkan deviasi dari panjang real sampai 15%. Disimpulkan bahwa radiografi ortogonal untuk kegunaan rekonstruksi panjang obyek dan koordinat masih menghasilkan deviasi yang cukup besar.

Manual image reconstruction of object length and position by orthogonal radiography has been performed for anterior/posterior and lateral cases in intracavitary brachytherpy treatment planning. Measurement were done on self made acrylic brachytherapy phantom with 34x34x34 cm3 dimension where several lead slabs with different lengths were inserted at different positions. It has been obtained that 70% from all points which were located 10 cm from field center showed significant deviations reaching 20% from real positions. For reconstruction of object length positioned at less than 6 cm from isocenter also showed general deviations of up to 15% to real values.. It was therefore concluded that orthogonal radiography performed poorly in reconstructing object length and positions."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
T20869
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Engracia Alodia Marsha
"Latar Belakang: Radiografi panoramik merupakan salah satu teknik radiografi ekstraoral yang paling sering digunaakan. Pada umumnya, radiograf panoramik menunjukkan adanya magnifikasi sekitar 10-30%. Oleh karena itu, kesalahan dalam penentuan posisi pasien dapat menyebabkan magnifikasi ini lebih tidak proporsional. Struktur anatomi dan tingkat pemahaman instruksi dapat berbeda pada berbagai kelompok usia. Maka dari itu, diperlukan data mengenai frekuensi kesalahan posisi yang terjadi pada kelompok usia anak, dewasa, dan lansia.
Tujuan: Memperoleh perbandingan kesalahan posisi radiograf panoramik yang terjadi pada kelompok usia anak, dewasa, dan lansia.
Metode: Penelitian merupakan studi cross-sectional deskriptif menggunakan sampel berupa data sekunder radiograf panoramik pasien di Unit Radiologi Kedokteran Gigi RSKGM FKG UI.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna (P<0.05) pada posisi tulang belakang tidak tegak, posisi lidah tidak tepat, bergerak selama paparan, dan vertical error antara anak, dewasa, dan lansia.
Kesimpulan: Kesalahan posisi pasien dalam radiograf panoramik relatif umum. Kualitas radiograf panoramik dapat ditingkatkan dengan instruksi yang lebih jelas dan meningkatkan perhatian operator selama memposisikan pasien.

Background: Panoramic radiography is one of the most frequently used extraoral radiography techniques. Usually, panoramic radiographs show magnification of between 10% and 30%. Therefore, errors in the positioning of the patients cause this magnification to become even more disproportionate. Different anatomical structures and levels of understanding instructions may differ in different age groups. Thus, a concrete data is needed regarding the frequency of positioning errors that occur in the age group of children, adults, and the elderly.
Objective: The aim of the study was to investigate the prevalence of panoramic radiographic errors and its correlation between the age group of children, adults, and the elderly.  
Methods: This study is a descriptive cross-sectional study using secondary data in the form of panoramic radiographs of patients at Universitas Indonesia Dental Hospital (RSKGM FKGUI) . Results: It was recorded that spine is not in the upright position, improper positioning of the tongue, moving during exposure, and vertical error were statistically significant in children, adults, and the elderly (p<0.05).
Conclusion: Patient positioning errors on panoramic radiographs are relatively common. The quality of panoramic radiograph can be improved with clearer instructions and intensifying operator attention during patient positioning.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Palupi
"Dalam lima tahun terakhir banyak rumah sakit telah menggantikan film screen radiografi (FSR) dengan radiografi komputer (CR) di layanan radiologi. Berbeda dengan FSR, sistem CR memiliki respon dinamis yang dapat membentuk citra dari dosis rendah hingga dosis tinggi. Dalam penelitian ini telah dilakukan optimisasi pembentukan citra dengan CR Kodak. Optimisasi tersebut merupakan kompromi antara ESD dengan kondisi eksposi kVp. Pengukuran ESD dilakukan menggunakan fantom rando laki-laki untuk pemeriksaan kepala, thorax dan pelvis. Evaluasi citra berdasarkan European Guidelines on Quality Criteria for Diagnostic Radiographic Images oleh dokter spesialis radiologi.
Hasil penelitian dari rumah sakit A menunjukkan kondisi optimum penyinaran kepala AP terjadi pada 70 kVp dengan ESD 3,02 mGy dan nilai ESD/mAs 0,12 mGy/mAs. Nilai kontras tinggi dan rendah untuk pemeriksaan ini adalah 80 dan 32, dengan EI 1609. Untuk thorax PA, kondisi optimum terjadi pada kVp 70 dengan ESD 2,3 mGy dan 0,14 mGy/mAs. Kontras tinggi dan rendah pada kondisi ini adalah 99 dan 62, dengan EI 1455.
Adapun kondisi optimum pemeriksaan pelvis AP terjadi pada 70 kVp diperoleh ESD 4,46 mGy dan 0,16 mGy/mAs. Kontras tinggi dan rendah pada pemeriksaan ini adalah 200 dan 120 dengan nilai EI 1434. Selain itu hubungan kenaikan dosis dua kali lipat karena kenaikan EI 300 hanya berlaku untuk kVp yang konstan. Dengan kVp yang berubah-ubah seperti pada penelitian ini, kenaikan EI 300 hanya akan meningkatkan dosis 7 - 30%.

In the last five years many hospitals have replaced film screen radiography (FSR) with computed radiography (CR) in the radiology service. Unlike the FSR, the CR system has a dynamic response that can form the image of a low dose to high dose. In the present study has been carried out optimization of image formation with Kodak CR. Optimization is a compromise between ESD with conditions eksposi kVp. ESD measurements performed using a male phantom rando for examination of the skull, thorax and pelvis. The evaluation of the image is based on the European Guidelines on Quality Criteria for Diagnostic by a radiologist.
The results from the hospital A showed the optimum conditions of the head AP irradiation occurred in 70 kVp with 3.02 mGy ESD and the value of ESD/mAs 0.12 mGy/mAs. High and low contrast for this examination is 80 and 32, with EI 1609. For PA thorax, the optimum conditions occurred at 70 kVp with ESD 2.3 mGy and 0.14 mGy/mAs. High and low contrast in this condition were 99 and 62, with EI 1455.
The optimum conditions for the AP pelvic examination occurred at 70 kVp obtained ESD 4.46 mGy and 0.16 mGy/mAs. High and low contrast in this examination is 200 and 120 with a value of EI 1434. In addition, the relationship of the increase of the dose doubled because of the increase EI 300 only applies to the constant kVp. By changing kVp as in this study, the increase in EI 300 will only increase the dosage from 7 to 30%.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
T23279
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Auriani
"Radiografi dental panoramik merupakan teknik untuk mendapatkan gambaran daerah mandibula dan seluruh gigi. Saat ini yang menjadi referensi pengukuran dosis pasien adalah penggunaan TLD chip, namun cara pengukuran yang memberikan indikasi langsung dari dosis pasien lebih sulit ditentukan. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran dengan metode CTDI dan pengukuran dengan TLD chip.
Penelitian ini menggunakan jenis fantom silinder PMMA berdiameter 16 cm dengan 5 titik pengukuran yaitu pada periperal dan pusat fantom. TLD diletakkan pada sekeliling permukaan fantom, sedangkan pencil chamber diletakkan ke dalam celah fantom dengan lebar berkas radiasi 5 cm. Selain itu, percobaan ini menggunakan waktu penyinaran 12 detik dengan masing-masing faktor eksposi anak 65 kV dan dewasa 70 kV. Nilai CTDI dihitung dari hasil bacaan pencil chamber, sedangkan TLD dihitung dari hasil pembacaan data TLD chip. Selanjutnya, Dose Area Product (DAP) didapatkan dari mengalikan CT-Dose Index dengan celah sekunder dari reseptor.
Hasil penelitian menunjukkan Dose-Length Product (DLP) dan DAP untuk kondisi anak adalah 18,23 mGy.mm dan 270 mGy.mm2, sedangkan DLP dan DAP untuk kondisi dewasa adalah 23,45 mGy.mm dan 330 mGy.mm2 . Sebaliknya, hasil pengukuran dosis menggunakan TLD pada dental panoramik yaitu 0,0875 ± 0,001 mGy untuk kondisi anak dan 0,0731 ± 0,001 mGy untuk kondisi dewasa.

Dental panoramic radiography is a technique to get an image of mandible and teeths. Commonly the patient dose estimation is TLD measurement, but the measurement of actual patient dose is more difficult to determine. In this study, we did the patient dose assesment of the dental panoramic procedure using CTDI method and compared with TLD measurement.
The experiment was done using 16 cm diameter cylindrical CTDI phantom with 5 points measurement at periapical and center of the phantom. TLDs were distributed circularly at phantom surface, whereas the pencil chamber with 5 cm wide X-ray beam was inserted into the chamber’s holder of the phantom. Moreover, the experiments were performed using 12 seconds time exposure and 65 kV and 70 kV for children and adult respectively. The CTDI was calculated based on the reading of chamber whereas the TLD was calculated based on the TLD reading data. Subsequently, the dose area product was calculated with multiplying the CTDI with the secondary slit are of receptor.
The results show the DLP and DAP for children are 18,23 mGy.mm and 270 mGy.mm2, whereas DLP and DAP for adult are 23,45 mGy.mm and 330 mGy.mm2. On the other hand, the TLD measurement shows that the dose estimation during the dental panoramic procedure are 0,0875 ± 0,001 mGy for children and 0,0731 ± 0,001 mGy for adult.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S45594
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Santoso Sugandi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Opasitas total hemitoraks kanan atas disebabkan dapat disebabkan oleh pneumonia, atelektasis dan massa. Ketiga etiologi tersebut sering ditemukan pada kondisi emergensi di mana ketiganya memiliki penanganan berbeda-beda, yaitu berupa antibiotik pada kasus pneumonia bronkoskopi emergensi pada kasus atelektasis, dan penataksanaan CT Scan toraks pada kasus massa paru. Penegakan diagnosis penyebab opasitas hemitoraks kanan atas tersebut dapat dilakukan melalui pemeriksaan CT Scan toraks dengan spesifisitas tinggi. Pemeriksaan radiografi toraks yang merupakan modalitas pencitraan pertama juga dapat membantu membedakan ketiga diagnosis ini dengan menilai tanda-tanda perubahan volume rongga toraks, salah satunya adalah jarak sela iga. Meskipun demikian, perubahan jarak sela iga ini masih bersifat kualitatif dan belum ditemukan penelitian mengenai titik potong yang dapat digunakan untuk menentukan penyebab opasitas total hemitoraks kanan atas. Tujuan : Meningkatkan nilai diagnostik radiografi toraks sebagai modalitas pemeriksaan awal pada kasus opasitas total hemitoraks kanan atas sehingga diagnosis dan tatalaksana yang diberikan semakin cepat dan akurat.
Metode: Menggunakan desain korelatif dan komparatif studi potong lintang dengan data sekunder, sampel minimal 48 pasien. Analisis data berupa pengukuran korelasi rasio sela iga antara hemitoraks kanan dibanding kiri pada radiografi toraks dan CT Scan, penentuan titik potong menggunakan metode receiver operating curve (ROC) , serta penentuan tingkat sensitivitas dan spesifitasnya.
Hasil: Perhitungan rasio sela iga pada radiografi toraks pada posisi AP maupun PA memiliki korelasi dengan CT Scan toraks dengan korelasi yang lebih kuat ditemukan antara radiografi toraks posisi AP dan CT Scan toraks. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rasio sela iga midposterior kedua dan ketiga di antara kelompok atelektasis dengan pneumonia dan kelompok atelektasis dengan massa. Tidak terdapat perbedaan rasio sela iga antara kelompok pneumonia dan massa (kelompok non-atelektasis). Penggunaan titik potong sebesar 0,9 pada sela iga dua dapat membedakan kelompok atelektasis dan non-atelektasis dengan sensitivitas sebesar 77,8% dan spesifisitas sebesar 73,7%. Apabila titik potong 0,9 tersebut digunakan pada sela iga dua dan tiga, maka kelompok atelektasis dan non-atelektasis dapat dibedakan dengan sensitivitas sebesar 52,63% dan spesifisitas sebesar 93,75%.
Kesimpulan : Pengukuran rasio sela iga pada radiografi toraks dapat digunakan untuk membedakan opasitas total hemitoraks kanan atas yang disebabkan oleh atelektasis dan non-atelektasis. Dengan membedakan kelompok atelektasis atau non atelektasis, maka pasien dapat lebih cepat untuk dilakukan tindakan yang invasif berupa bronkoskopi emergensi atau menjalani penanganan yang noninvasif seperti antibiotik pada konsolidasi pneumonia ataupun pemeriksaan lebih lanjut pada kasus massa.

ABSTRACT
Background: Right upper hemithorax total opacities can be caused by pneumonia, ateletasis, and mass. These etiologies have some distinct treatments such as antibiotic for pneumonia, emergency bronchoscopy for ateletasis, and lung CT Scan for mass. Differentiation between these three causes can be made by chest CT Scan with high spesificity . Chest radiography which act as the first line modality can also help in differentiating between these etiologies by looking for the sign of hemithorax volume changes such as intercostal space. However, intercostal space changes is still measured qualitatively and there still no research about intercostal space cut-off for differentiating the caused of right upper hemithorax total opacities Purpose : Increasing diagnostic value of chest radiography which is the first line imaging in right upper hemithorax total opacities, to provide a better and faster treatment.
Methods: This study is a corellative and comparative cross sectional study with secondary data and 48 minimal subject. The data were analysed by measuring the ratio between right and left intercostal spaces in chest radiography and CT Scan, determining the cut-off using receiver operating curve (ROC), and also determining the sensitivity and specificity.
Result: The intercostal space ratio in AP and PA positions of chest radiography has correlation with the intercostal space ratio in chest CT Scan, which is found higher in AP position. There is a significant difference between intercostal ratio in second and third intercostal at midposterior position between atelectasis and pneumonia group, and also between atelectasis and mass group. There is no significant difference between intercostal ratio in pneuimonia and mass group. By using 0,9 as a cut off in the second midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 77,8% and 73,7% respectively. By using 0,9 as a cut of in both of second and third midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 52,63% and 93,75% respectively
Conclusion: Intercostal space ratio measurement in chest radiography can be used to differentiate right upper hemithorax total opacities, especially by atelectasis and non atelectasis. By defferentiating between atelectasis and non atelectasis groups, the patient can get a faster invasive treatment such as emergency bronchoscopy or proceed to non invasive therapy such as antibiotic in pneumonia or chest CT Scan in mass.
"
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andiena Syariefah Primazetyarini
"Toleransi perubahan sudut vertikal merupakan aspek penting dalam upaya meminimalisir distorsi vertikal pada radiograf gigi molar rahang bawah.
Tujuan: Menganalisis toleransi perubahan sudut vertikal pada radiograf periapikal gigi molar rahang bawah.
Metode: 30 gigi molar rahang bawah (15 gigi molar pertama dan 15 gigi molar kedua) dilakukan pengukuran panjang klinis lalu ditanam dalam model dan dilakukan pemeriksaan radiografik dengan teknik radiografi periapikal masing-masing sebanyak 7 kali dengan sudut vertikal 00, +50, +100, +150, -50, -100 dan -150 kemudian dilakukan pengukuran panjang gigi dan perbedaan tinggi cusp bukal lingual pada radiograf.
Hasil: Panjang gigi radiograf pada sudut vertikal +15° telah bertambah sebesar 0,81 dari rerata panjang klinis dengan simpangan baku ±0.39.
Kesimpulan: Toleransi perubahan sudut vertikal positif pada radiograf periapikal gigi molar rahang bawah untuk melihat panjang gigi adalah 15°.

Tolerance of vertical angle alteration is an important aspect in an effort to minimize vertical distortion on lower molars radiograph.
Objective: To analyze the tolerance of vertical angle alteration on lower molars periapical radiograph.
Methods: 30 lower molars (15 first molars and 15 second molars) were performed measurement of clinical tooth length then were planted in model and were performed radiographic examinations by using periapical radiography technique 7 times for each tooth with vertical angle 00, +50, +100, +150, -50, -100 and -150 then tooth length and buccal and lingual cusp height difference on radiograph were measured.
Results: Tooth length on radiograph at vertical angle +15° has increased 0,81 mm from clinical tooth length mean with standar deviation ±0.39 mm.
Conclusion: Tolerance of positive vertical angle alteration on lower molars periapical radiograph to looking at the tooth length is 15°.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jurita Harjati
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Dalam bidang kardiologi untuk menilai fungsi jantung sering digunakan pembebanan. Biasanya dilakukan pembebanan dalam bentuk kerja isotonik. Pada keadaan dimana tidak dapat dilakukan kerja isotonik, dapat dilakukan pembebanan dengan kerja isometrik (handgrip test) untuk menilai fungsi jantung.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembebanan kerja isometrik dan isotonik yang sesuai terhadap fungsi ventrikel kiri dengan STI dan konsumsi oksigen miokardium dengan Tri-produk yang menimbulkan peningkatan frekuensi jantung yang sama.
Pemeriksaan dilakukan pada 50 pria sehat, usia 20-25 tahun terhadap STI (QS2, LVET, PEP dan ratio PEP/LVET), tekanan darah dan Tri-produk (FJ x TD rata-rata x LVET) dalam keadaan istirahat, waktu kerja isometrik (handgrip test) dan kerja isotonik (ergometer sepeda). Hasil penelitian dianalisis secara statistik.
Hasil dan Kesimpulan: Terdapat pemendekan bermakna (p<0,05) pads lamanya QS2, LVET dan PEP pada kedua jenis kerja dibandingkan istirahat. Pemendekan QS2 dan PEP waktu kerja isotonik lebih besar secara bermakna (p<0,05) dibandingkan kerja isometrik, sedangkan pemendekan LVET waktu kerja isotonik tidak berbeda bermakna (p>0,05) dibandingkan kerja isometrik. Tidak terdapat perubahan pada fungsi ventrikel kiri yang dinilai dari ratio PEP/LVET waktu kerja isometrik dibandingkan kerja isotonik. Tekanan darah sistolik, diastolik dan rata-rata waktu kerja isometrik lebih besar secara bermakna (p<0,05) dibandingkan kerja isotonik. Tidak terdapat perbedaan bermakna {p>0,05) antara tekanan darah diastolik waktu kerja isotonik dibandingkan istirahat. Tri-produk waktu kerja isometrik adalah rata-rata 30% lebih besar dibandingkan kerja isotonik dengan peningkatan frekuensi jantung yang sama, hal mans menatakan bahwa pembebanan jantung dengan kerja isometrik cukup berat dan dapat digunakan untuk menilai fungsi jantung.

ABSTRACT
Evaluation Of The Left Ventricular Function And Myocardial Oxygen Consumption During Isometric Work By Way Of Measurement Of Systolic Time IntervalsScope and Method of Study: Loading the heart during the evaluation of its function is a frequently used method. Usually the heart is loaded by isotonic work, like the ergo cycle or the treadmill test. But in cases where isotonic cannot be performed, loading the heart with isometric work (handgrip test) can also be used. The purpose of this research work is to examine the effect of isometric and isotonic work of equivalent intensity on the left ventricular function and on the myocardial oxygen consumption as evaluated respectively by the STI and Tri-product.
Examination of the STI (QS2, LVET, PEP and PEP/LVET), heart rate, arterial blood pressure and tri-product were performed on 50 young males, age 20 - 25 years, at rest and at the end of isometric work (handgrip test) and isotonic work (ergo cycle). The results are statistically analyzed.
Findings and Conclusions: A statistically significant (p 4 0.05) decrease in the duration of Q52, LVET and PEP is found during both kinds of work when compared to values at rest. The decrease in QS2 and PEP during isotonic work is greater as compared to those during isometric work, which is statistically significant (p 4 0.05). However, the duration of LVET during both kind of work. does not differ significantly. There is also no statistic-ally significant difference in the left ventricular function as evaluated by PEP/LVET between the two kind of work. The rise in systolic, diastolic and mean blood pressure is higher during isometric work as compared with isotonic work, which is statistically significant (p < 0.05). There is no significant difference in the diastolic blood pressure during isotonic work and rest (p > 0.05). The tri-product calculated for isometric work is on the average 30 % higher than for isotonic work, which means that loading the heart with isometric work will be sufficiently high for the purpose of evaluating the performance of the heart.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Bayuadi
"Pemeriksaan Radiografi Thorak Posteroanterior (PA) merupakan pemeriksaan terbanyak didalam radiodiagnostik, diperlukan optimasi dosis dan citra radiografi Thorak PA. Penelitian teknik optimasi dengan menggunakan teknik kV tinggi pada pemeriksaan Radiografi Thorak PA dengan menggunakan reseptor system Kodak CRperlu dilakukan. Pengambilan citra radiografi Thorak PA dilakukan dengan objek fantom thorak dan sample pasien, untuk mengeliminir penilaian subjektif diambil citra radiografi fantom TOR 18 FG dan TOR CDR. Pada saat pengambilan citra radiografi thorak PA dilakukan pengukuran dosis masuk permukaan (Entrance surface dose / ESD ) dengan mengunakan TLD. Evaluasi citra radiografi thorak PA menggunakan 'quality criteria' European Commission EUR 16260 EN (1996). European Guidelines On Quality Criteria For Diagnostic Radiographic Images. Evaluasi dosis dengan membandingkan dengan dosis referensi dari IAEA BSS 115.Hasil evaluasi dosis pada fantom thorak, dari tiga variasi faktor eksposi 66 kV 8 mA, 85 kV 6.3 mAs dan 109 kV 2.2 mAs, dosis paling kecil dihasilkan dari faktor eksposi 109 kV 2.2 mAs.
Hasil evaluasi citra pada TOR 18 FG dan TOR CDR didapatkan sensitifitas kontras rendah, sensitifitas kontras tinggi dan resolusi pada kondisi 109 kV 2.2 mAs lebih besar daripada kondisi 66 kV 8 mAs. Hasil evaluasi gambaran thorak PA dengan mengunakan kondisi eksposi 109 kV 2.2 mAs dibandingkan dengan kondisi eksposi 66 kV 8 mAs kontras pada jaringan yang memiliki perbedaan kerapatan yang besar akan terjadi penurunan kontras. Sedangkan pada jaringan yang memiliki perbedaan kerapatan yang relatif kecil atau sama akan menaikkan kontras.

The Posterior-Anterior (PA) Examination of the thorax is the most frequent radio-diagnostic procedure. Optimization of dose and image of the PA thoracic radiography is required.This research was conducted to determine the optimal of techniques using high kV technique on thoracic radiography PA examination by using the Kodak CR system receptor and the patient sample, to eliminate the subjective assessment of radiographic image taken TOR 18 FG and TOR CDR phantom. At the time of image acquisition PA Thorax radiographs were performed, entrance surface dose measurements (ESD) were made using the TLD. The evaluation of the thoracic radiographic image of the PA using the quality criteria European Commission EUR 16260 EN (1996) European Guidelines On Quality Criteria For Diagnostic radiographic Images were made. An evaluation of dose by comparing with a reference dose of the IAEA BSS 155 was conducted.In the results of dose evaluation in thoracic phantom of the three variations of exposure factor: 66 kV 8 mAs, 85 kV 6.3 mAs and 109 kV 2.2 mAs, the smallest dose resulted from 109 kV 2.2 mAs exposure factor.
The result of the evaluation on TOR 18 FG and TOR CDR obtained low contrast sensitivity. The contrast sensitivity and higher resolution on the condition of 109 kV 2.2 mAs were larger than the condition of 66 kV 8 mAs. The results of the evaluation of thoracic image of PA by using the condition of 109 kV 2.2 mAs were comparable to the conditions of 66 kV 8 mAs contrast to the tissue that has large density differences that will decrease the contrast. While on a tissue that has relatively small density difference, or the same will increase the contrast.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S200
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>