Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104191 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yoga Budhi Prananto
"Permasalahan space debris merupakan salah satu persoalan yang terus menjadi ancaman bagi kegiatan masyarakat internasional di ruang angkasa. Mengingat space debris sebagai suatu akibat langsung dari kegiatan manusia di ruang angkasa, bertambah banyaknya negara-negara yang berkemampuan teknologi untuk melakukan peluncuran hanya akan terus membuat persoalan debris terus berkembang. Walaupun telah terdapat ancaman yang nyata dari keberadaan space debris, kerangka hukum internasional yang tersedia belumlah secara komprehensif mampu menanggapi persoalan yang ada secara langsung. Terlihatlah bahwa konvensi-konvensi ruang angkasa internasional tidak secara langsung membahas mengenai perlindungan lingkungan ruang angkasa terhadap space debris. Contohnya, misi anti-satelit RRC yang dilaksanakan pada tahun 2007. Walaupun tindakan tersebut telah menambah jumlah space debris yang cukup signifikan, akan tetapi tidaklah jelas apakah hal ini dilarang oleh hukum internasional. Tanpa adanya suatu ketentuan hukum internasional yang mengikat, permasalahan yang ada tidak akan dapat diselesaikan. Di lain pihak, masyarakat internasional telah menaruh perhatian pada masalah tersebut dan telah terdapat beberapa usaha dalam penanggulangannya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya resolusi Majelis Umum PBB yang mengadopsi ketentuan UNCOPUOS Space Debris Mitigation Guidelines. Adopsi yang telah dilakukan merupakan langkah besar dalam menanggapi persoalah space debris. Akan tetapi, perlu diingat bahwa adopsi yang dilakukan tidaklah secara serta merta menciptakan norma internasional yang baru. Dalam hal ini, resolusi Majelis Umum PBB yang bersangkutan hanyalah bertindak sebagai "soft law". Walaupun demikian eesolusi tersebut telah mempengaruhi tindakan negara-negara di dunia pada tingkatan tertentu. Usaha-usaha penanggulangan masyarakat internasional telah ditunjukkan dengan adanya implementasi dalam kerangka nasional. Selain itu, resolusi dapatlah dijadikan sebagai harapan-harapan di masa yang akan datang mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh suatu negara terhadap space debris. Dengan ini, maka dapat saja resolusi tersebut dijadikan sebagai landasan pada munculnya norma hukum yang baru.

Space debris has been an increasing threat to space activities conducted by nations worldwide. Considering space debris as a direct consequence of mankind's activity in outer spece, it is inevitable tha future increases in space faring nations will only augment the space debris problem. Despite the obvious danger posed by space debris, the current state of international law has not sufficiently tackle the issue head-on. It is indeed quite clear that the major international space law conventions do not specifically regulate the protection of the outer space environment against the prevalence of space debris. For example, a Chinese anti-satellite missile has destroyed a disused weather satellite in 2007. Though the mission has undeniably generated a substantial amount of space debris, it is unclear whether such an act can be regarded as a violation of international law. Without any binding international norm, the problem is expected to worsen. Fortunately, the international community has recognized the problem and made efforts to mitigate its effects. This has been shown by the UN General Assembly adoption of the UNCOPUOS Space Debris Mitigation Guidelines by way of a resolution. The adoption may be regarded as a major step forward on tackling the problem of space debris. However, it needs to be noted that the adoption does not necessarily generate a new norm under international law. The UN General Assembly resolution may only be regarded as "soft law". In spite of this, the resolution has affected the conduct of nations to some extent. The efforts of nations worldwide on the mitigation of space debris have been shown by the implementation of these guidelines into national framework. Furthermore, the resolution can also be regarded as expectations by the international community on how nations should act towards the problem of space debris. It may well be the case that the resolution might then act as the first step of an emerging international norm."
2014
S53774
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Difa Zahra Afifah
"Mega-Konstelasi Satelit di Low Earth Orbit (MegaLEO) merupakan fenomena eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa baru yang didorong oleh kemajuan teknologi. Peluncuran MegaLEO berpotensi menghasilkan space debris yang mengancam lingkungan ruang angkasa. Karakteristik teknis MegaLEO membuat potensi timbulnya space debris yang berada di Orbit Bumi, terutama LEO, menjadi semakin tinggi. Berdasarkan hukum internasional, negara-negara memiliki kewajiban internasional untuk tidak mencemari lingkungan ruang angkasa. Mitigasi space debris merupakan hal penting yang dapat dilakukan untuk menjamin setiap negara bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan ruang angkasa dari harmful contamination. Beragam organisasi internasional telah mengeluarkan instrumen-instrumen pedoman mitigasi space debris seperti UNCOPUOS Space Debris Mitigation Guidelines dan IADC Space Debris Mitigation Guidelines dan telah diinkorporasikan di tingkat nasional oleh negara-negara, utamanya spacefaring nations. Penelitian ini bertujuan ini melihat bagaimana mitigasi space debris yang berpotensi dihasilkan oleh MegaLEO diatur dalam hukum internasional. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian tersebut adalah yuridis normatif atau doktrinal. Penelitian ini menemukan bahwa upaya mitigasi space debris yang ada saat ini belum cukup untuk menekan pertumbuhan space debris dan belum dapat secara efektif mengatasi masalah space debris yang disebabkan oleh MegaLEO. Hal ini didasari pada peningkatan keberadaan space debris di orbit bumi sejak MegaLEO diluncurkan. Dengan demikian, perlu dilakukannya pengkajian ulang atas guidelines mitigasi space debris yang dan perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait penerapan upaya penanggulangan space debris lainnya seperti upaya remediasi berupa Active Debris Removal.

Mega-Constellation of Satellites in Low Earth Orbit (MegaLEO) is a new phenomenon of space exploration and utilization driven by technological advances. The launch of MegaLEO has the potential to produce space debris that threatens the space environment. The technical characteristics of MegaLEO make the potential creation of space debris in Earth orbit, especially LEO, even higher. Under international law, states have an international obligation not to pollute the space environment. Space debris mitigation is an important thing that can be done to ensure that every country is responsible for protecting the space environment from harmful contamination. Various international organizations have issued space debris mitigation guidance instruments such as the UNCOPUOS Space Debris Mitigation Guidelines and IADC Space Debris Mitigation Guidelines and have been incorporated at the national level by countries, especially by spacefaring nations. The aim of this research is to look at how mitigation of space debris that could potentially be generated by MegaLEO is regulated in international law. The research method used to answer the research objectives is normative juridical or doctrinal. This research found that existing space debris mitigation efforts are not sufficient to suppress the growth of space debris and cannot effectively overcome the space debris problem caused by MegaLEO. This is based on the increase in the presence of space debris in Earth's orbit since MegaLEO was launched. Thus, it is necessary to review the existing space debris mitigation guidelines and further research needs to be carried out regarding the implementation of other space debris management efforts, such as remediation efforts in the form of Active Debris Removal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1997
S25867
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Febri Ariadi
"Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi memiliki peranan penting dalam memajukan perekonomian, utamanya bagi negara berkembang dan negara terbelakang yang belum menguasai teknologi tepat guna bagi perindustrian. Untuk mengadakan akses terhadap teknologi bagi negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang, dilakukanlah transfer of technologi dari negara maju agar negara berkembang dan negara terbelakang dapat menguasai teknologi-teknologi yang meningkatkan daya saing mereka dalam perdagangan internasional. Namun, kerjasama transfer of technology seringkali menimbulkan sengketa, khususnya terkait hak dan kewajiban para pihak (termasuk hak kekayaan intelektual pengalih teknologi dan perbedaan kepentingan antara negara berkembang dan negara maju). Untuk itu, dalam skripsi ini penulis meninjau sengketa-sengketa terkait transfer of technology dari perspektif hukum perdagangan internasional. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dimana penulis menganalisis sengketa transfer of technology dari berbagai perjanjian antarnegara, peraturan perundang-undangan dan kasus-kasus. Dari penelitian tersebut, penulis menemukan bahwa sengketa transfer of technology pada umumnya mencakup pelanggaran hak kekayaan intelektual pengalih teknologi dan aspek-aspek lain dalam perdagangan internasional. Kemudian, penulis menemukan bahwa sejatinya instrumen-instrumen hukum perdagangan internasional telah mengakomodasi kepentingan negara berkembang dan negara terbelakang untuk menguasai teknologi yang dapat memajukan perekonomian serta kepentingan negara maju terkait pelindungan hak kekayaan intelektual.

As the world advances to a new era, technology remains at the corner stone of economic development, especially for developing and the least-developed nations, which have yet to possess viable technological base for their industries. To provide access for such technology, transfer of technology from the developed to the developing and least-developed countries is necessary, as it would lead the recipients to a more competitive position in the international trade. This, however, is not without its issues. Transfer of technology often sparks dispute between the parties involved, mainly with respect to their rights and obligations (including, but not limited to, the intellectual property rights of the transferor and competing interests of developing and developed nation). For that reason, the author will thoroughly observe the legal aspects of such disputes from international trade law standpoint. In doing so, the author implements the normative-juridical method, of which the author will analyze those disputes based on treaties, laws and regulations, and case laws. From this observation, the author found that transfer of technology disputes strongly connects with intellectual property issues and other aspects of international trade. Furthermore, the author found that international trade law instruments have sufficiently accommodate the interests of developing and the least-developed nations with respect to technology dissemination, as well as developed countries interest on intellectual property rights protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alif Nurfakhri Muhammad
"Ruang Angkasa, sebagai suatu wilayah yang digolongkan sebagai common heritage of mankind dijamin kebebasan penggunaannya oleh Outer Space Treaty 1967. Namun, perjanjian internasional tersebut belumlah cukup dalam mengatur aktivitas militer di Ruang Angkasa. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan Ruang Angkasa oleh Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina untuk pengujian-pengujian senjata. Kedua negara tersebut berpendapat secara konsisten dalam praktiknya bahwa Ruang Angkasa dapat digunakan untuk aktivitas-aktivitas militer yang tidak agresif terhadap negara lain. Oleh karena itu, perlu dikaji kembali peraturan-peraturan dalam perjanjian-perjanjian internasional, baik yang berkaitan langsung dengan aktivitas Ruang Angkasa, maupun pemahaman-pemahaman para ahli dalam menginterpretasikan perjanjian-perjanjian internasional yang dapat diaplikasikan kedalam masalah aktivitas-aktivitas tersebut. Skripsi ini akan berusaha menjelaskan mengenai hukum-hukum internasional secara umum mengenai aktivitas militer dan secara khusus mengenai aktivitas-aktivitas militer yang agresif di Ruang Angkasa. Lebih spesifik lagi, skripsi ini juga akan berusaha secara hukum dan kebijakan, mengeksplorasi mengenai aktivitas agresif Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina di Ruang Angkasa. Aktivitas ini akan dianalisis dengan membaginya kedalam tiga kategori pengaturan, dari aktivitasnya menurut Outer Space Treaty, dari sifat pelaksanaannya, serta dari dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan di Ruang Angkasa. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka akan disarankan bahwa perlu pembahasan lebih lanjut terkait perjanjian-perjanjian internasional yang lebih spesifik bagi aktivitas militer di Ruang Angkasa, yang mana dapat diawali dengan usaha-usaha pendekatan soft law dengan membuat manuals yang terfokus pada hal tersebut.

Outer Space, as a common-heritage-of-mankind territory was guaranteed the freedom of use by the Outer Space Treaty of 1967. However, this treaty alone did not cover the whole aspects of military activity in Space. Such “incompletion” was why the United States and China conducted “military testing” of antisatellite weapons. Both Nations have, consistently showed that their practice in Outer Space was “non-aggressive”, as to their understanding of the peaceful purposes stipulation under the treaty. Hence, it is within this thesis to revisit all relevant international law sources, as a way to comprehensively understand the alternative legal basis to military activities in Outer Space. This thesis will also analyze experts’ opinion on military activity in Outer Space and their understanding of the relevant international law sources. Based on this analysis it can also be advised that there is an emerging need to revisit the law to Outer Space internationally, especially on the matter of military activities.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Reza Fahriadi
"Facility Agreement merupakan bentuk pembiayaan dalam bentuk utang, dimana Facility Agreement menjadi transaksi yang kerap dijumpai dalam pembiayaan lintas negara sebagai penyaluran dana dari institusi finansial (khususnya perbankan) bagi para pelaku usaha yang memerlukan dana dalam jumlah besar. Ketika suatu transaksi tersebut melibatkan para pihak yang berbeda kewarganegaraan maka kesepakatan mengenai Pilihan Hukum dan Pilihan Forum merupakan hal yang krusial untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang melakukan transaksi. Penelitian ini meninjau Pilihan Hukum dan Forum dari aspek kontraktual serta dalam aspek HPI.

Facility Agreement is a financing in a form of debt, it is one of transactions that are often encountered in cross-border financing as the distribution of funds from financial institutions (especially banks) for business that requires large amounts of funds. When the transaction involves parties in different law background, an agreement on Choice of Law and Choice of Forum is crucial to provide legal certainty for the parties in the transaction. This thesis studies the Choice of Law and Choice of Forum in contractual and Private International Law aspects."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44972
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hutahaean, Nadya Elisabeth
"Pada awal September 2019, Grab dikabarkan tengah dalam pembicaraan untuk menggabungkan perusahaan pembayaran digital OVO dengan DANA. OVO dan DANA dinilai berpotensi mendominasi pasar pembayaran digital Tanah Air dan mengalahkan dominasi Go-Pay yang dimiliki Gojek,  sehingga penggabungan tersebut akan akan memberikan dampak yang besar bagi para pihak terkait serta dicemaskan akan mengarah kepada persaingan usaha yang tidak sehat. Sebelumnya, dalam menentukan dampak penggabungan perusahaan, perlu dianalisis terlebih dahulu terkait pasar bersangkutannya. Hasil penelitian menunjukkan rencana penggabungan OVO dengan DANA dengan menganalisis cara menentukan pasar bersangkutan dalam industri dompet elektronik mengacu kepada Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2009 tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 Angka 10 tentang Pasar Bersangkutan Berdsasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hingga kewenangan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha dalam menangani tindak penggabungan perusahaan.
Kata kunci: Persaingan Usaha Tidak Sehat, Penggabungan, OVO, DANA, Gopay, Dompet Elektronik, Pasar Bersangkutan
In early September 2019, Grab is rumored to be in talks to merge digital payments company OVO with DANA. OVO and DANA are considered to be able to dominate the homeland digital payments parket and defeat Gopay, so the merger will have a significant impact on related parties (stakeholders) and is likely to lead to unfair business competition. Previously, in determining the impact of corporate mergers, first of all, it was necessary to analyze the relevant market. The analysis of the case has concluded the plan of merging OVO with DANA by analyzing how the relevant market in the electronic wallet industry is in accordance with Regulation of the Commission No. 3 of 2009 on the Application of Article 1 Number 10 of the Law of the Republic of Indonesia No. 5 of 1999 concerning The Ban on Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, up to the authority of the KPPU in handling corporate mergers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Seto Waseso Utomo
"Kejadian aliran debris yang terjadi di puncak Gunung Merapi sangat sulit diamati, maka perlu dilakukan simulasi skala laboratorium untuk mengetahui kapan terjadinya aliran debris akibat intensitas hujan dan kemiringan lereng Gunung Merapi. Penelitian ini mengkaji korelasi antara kemiringan lereng dan potensi terjadinya aliran debris pada intensitas hujan 25 mm/jam. Hal ini akan bermanfaat sebagai acuan peringatan dini bencana longsor di Gunung Merapi. Penelitian menggunakan alat berupa flume berukuran panjang, lebar , dan tinggi (3 x 1,5 x0,15 m)sebagai model kemiringan lereng yang ada di lereng Gunung Merapi, dan artificial rainfall aparatus sebagai simulator hujan. Simulasi dilakukan menggunakan intensitas hujan kala ulang 5 tahun yaitu 25 mm/jam dengan variasi kemiringan lereng 15, 20, 25, 30, dan 35 derajat dimana bahan sedimen yang digunakan berupa pasir yang berasal dari hulu Sungai Gendol dengan ukuran lolos saringan 4,75 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar kemiringan lereng, semakin cepat hujan menyebabkan terjadinya aliran debris. Penelitian dapat dilanjutkan dengan mengubah variasi intensitas hujan untuk lebih mengetahui perilaku aliran debris."
Bandung : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2020
551 JSDA 16:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>